Friday 21 December 2012

Bercinta Dengan Hartini Istri Bawahanku


Ceritanya dimulai sewaktu saya ditugaskan sebagai staff di pabrik pengolahan minyak sawit di salah satu perkebunan di Sulawesi. Ini adalah kisah nyataku. Sebut saja namaku Alex, umurku saat itu 27 tahun, belum menikah. Sebagai seorang staff yang baru pindah ke daerah perkebunan, dimana masyarakat yg tinggal sangat berjauhan kecuali karyawan dan staff perkebunan yg sengaja dibuat dalam satu perumahan, mutlak sebagai pendukung utama opersional yg sewaktu-waktu bisa dipanggil dalam waktu 24 jam.

Walaupun sebagai staff, karena sebelumnya perumahan sudah diisi oleh sebagian karyawan yg sudah duluan menempati, saya menempati rumah kopel kayu (dua rumah dempet menjadi satu bangunan) ketiga dari ujung dan agak kecil yg sebenarnya fasilitas untuk karyawan biasa. Manager pabrik sendiri menganjurkan agar memindahkan karyawan yg sudah menempati fasilitas rumah (rumah single beton) yang sebenarnya diperuntukkan bagi staff bujangan maupun keluarga, tapi untuk mengambil hati para karyawan yang mana nantinya juga akan menjadi bawahan saya. Akhirnya sayapun minta agar diijinkan menempati rumah kopel ketiga dari pinggir menghadap ke timur berhadapan dengan rumah yang menghadap ke barat dibatasi oleh jalan besar belum diaspal tapi sudah dikerasin.

Rumah tetangga sebelah kiri yang agak berjarak tanah kosong selebar satu rumah ditempati oleh karyawan laki-laki yang sudah berkeluarga teapi istrinya masih tinggal di rumah orangtuanya , jauh dari lokasi perkebunan. Biasanya dia pulang sekali sebulan untuk mengantarkan gaji bulanan untuk nafkah anak istrinya. Rumah sebelah kanan yang merupakan pasangan rumah kopelku ditempati oleh karyawan laki-laki berumur 35 tahun, sebut saja namanya bersama Nardi bersama istrinya yang berumur 33 tahun, sebut saja namanya Hartini. Hartini walaupun bukan termasuk wanita kota, tapi sangat modis dan mengikuti kemajuan jaman disesuaikan dengan kondisi ekonomi. Yang paling membuat saya sangat kagum adalah bentuk payudara yang sangat berisi dan body yang cenderung montok. Dengan kondisi rumah kopel kayu seperti itu biasanya sepelan apapun pembicaran ataupun gerakan dalam rumah akan terasa di rumah sebelah. Dan saat itu kebetulan Nardi masuk dalam shift-1 dibawah pimpinan saya.

Karena saya masih bujangan dan memang bukan tipe yang rajin ngurus rumah, untuk makan biasanya saya makan di warung yang berada di luar lingkungan perumahan berjarak sekitar 500 meter dari perumahan pabrik dan 50 meter dari pabrik. Untuk cuci pakaian, aku usahakan cuci sendiri walaupun hanya satu kali seminggu. Seringkali kalau udah malam atau hujan, terpaksa aku tidak makan nasi, hanya mengandalkan mi instant yang direbus seadanya. Karena mungkin kasihan, pada suatu sore sepulang kerja shift-1 pagi, kami bertiga, aku, Nardi dan Hartini ngobrol di teras, dan saat itu Nardi yang menjadi bawahanku itu menyarankan agar makan di rumahnya saja setiap hari dengan membayar secukupnya kepada istrinya. Akhirnya terjadi kesepakatan untuk makan setiap hari sekalian cuci pakaian ditanggung jawabi oleh Hartini. Karena setiap hari berdekatan dan makan bersama semakin lama hubungan kamipun semakin akrab dan tidak sungkan lagi ngobrol berdua tanpa suaminya. Awal kejadian pada suatu sore sepulang kerja sekitar jam 16.00, dan Nardi masih lembur di pabrik untuk mencari tambahan aku dan Hartini duduk ngobrol di teras. Saat itu aku menanyakan kenapa mereka yang sudah menikah 9 tahun belum punya anak. Dia dengan malu-malu bercerita bahwa mereka sudah sangat menginginkan anak dan sampai saat ini Hartini sudah periksa ke dokter dan dinyatakan tidak ada masalah, dan suaminya sendiri katanya tidak mau periksa karena merasa tidak ada kelainan dalam hal fisik, dan kebutuhan batin istrinya sanggup terpenuhi. Dari situ, semakin lama pembicaraan kami semakin bebas sampai saya bercerita bahwa aku pernah mempunyai bekas pacar yang fisiknya agak montok seperti Hartini, dan iseng-iseng aku mengatakan bahwa biasanya wanita yang cenderung gendut mempunyai payudara yang lembek dan turun dan rambut vagina sedikit dan jarang-jarang. Hartini membantah bahwa tidak semuanya begitu, dan dia sendiri mengatakan bentuk kepunyaan dia sangat bertolak belakang dengan ang saya katakana. Karena saya penasaran saya katakana bahwa Hartini pasti bohong, tapi dia menyangkal, akhirnya dengan jantung berdebar keras takut kalau Hartini marah saya minta tolong apabila bersedia ingin melihatnya. 

Tapi mungkin demi menjaga agar dia tidak dianggap murahan, dia menolak keras, lama kelamaan saya memohon dengan muka pura-pura dibuat kasihan ditambah alasan bahwa sudah kangen banget sama pacar yang saat itu berada di Jakarta yang biasanya sekali seminggu bertemu, akhirnya dia mengatakan dengan pipi merah bahwa saya boleh melihat dia tapi dari jauh dan tidak boleh menyentuhnya. Saya tentu saja dengan cepat menyetujuinya. Dengan gerak malas-malasan atau dibuat pura-pura berat hati, dia berjalan menuju kamar belakang yang berdampingan dengan kamar depan dan tak lupa menutup jendela belakang yang berhadapan dengan lahan perkebunan masyarakat untuk menjaga apabila secara kebetulan ada orang yang bekerja di lahan tersebut. Kemudian dia berdiri sambil tersenyum malu-malu kepada saya yang tak mau melepasakan pemandangan indah tersebut dari jendela depan yang sengaja saya atur posisi saya masih di teras tetapi kepala saya melongok ke dalam rumah seakan-akan kalau orang melihat dari halaman ataupun lewat dari jalanan kami sedang berbicara dengan orang yang berada di dalam rumah. Jarak antara posisi duduk saya (diperbatasan teras rumah saya dengan rumah dia) hanya berjarak sekitar empat meter saja keposisi dia berdiri di kamar belakang.

Dengan lagak seorang model dia bergerak pelan-pelan membuka kaos birunya sambil jalan ke kiri dan kanan secara perlahan sampai ke balik pintu kamar sampai mata saya kadang tidak mampu melihat pemandangan yang mengasyikkan, tetapi setiap mau ke arah balik pintu saya perlahan teriak

œTin, jangan sampai kesitu dong, gua nggak bisa lihat nih. .

Sepertinya Hartini memang sengaja membuat saya penasaran. Kaos yang ditarik ke atas lalu dijepit olejh ketiaknya dan kelihatan BH berwarna merah menyala seakan-akan tidak mampu menutupi semua payudara montok putih yang menyembul keluar dari bagian atas BH nya seakan-akan protes mengapa dia dijepit terlalu keras. Setelah didiamkan sekitar 30 detik, sambil tersenyum mengedipkan mata sebelah kepada saya, dia pun mulai membuka kancing depan BH dan membiarkan cup BH nya menjuntai kebawah. (Akhirnya saya ketahui bahwa Hartini mempnyai ukuran 36 dan cupnya saya kurang tau, yang jelas satu telapak tangan saya masih belum bisa menutupi sebelah payudaranya dan dia mempunyai BH yang tidak mempunyai kancing di belakang). Mata saya seakan-akan mau keluar melihat pemandangan tersebut, sedangkan dia sendiri seakan-akan bangga menatap bagaimana saya sangat terpesona dengan payudaranya dengan puting sebesar puntung rokok Sampoerna Mild dan berwarna coklat kemerahan . Dalam 30 detik seakan-akan saya tidak bernafas tidak mau melepaskan pandangan saya sampai akhirnya dia berseru pelan

œUdah ya, ntar lagi suamiku pulang 

Saya tidak dapat berkata apapun saat itu dan sesudah merapikan pakaiannya, Hartini kembali ke teras seakan-akan tidak terjadi apa-apa kecuali berdiam diri dan duduk diteras rumahnya sedangkan saya sudah pindah duduknya kembali ke teras rumah saya. Setelah beberapa lama, perlahan berkata,

œJangan bilangin sama siapa-siapa ya?  kelihatannya Hartini sangat ketakutan apabila diketahui orang lain.

œJelas dong, masak gua bilangin sama orang, kan gua juga menanggung resiko  

Sesaat kemudian dari jauh sudah kelihatan bahwa Nardi sudah pulang bersama teman-temannya yang ikut lembur. Kami pun berusaha berbicara normal tidak perlahan lagi tetapi membicarakan yang lain. Setelah menaiki tangga, Nardi langsung menyerahkan tas bekalnya kepada Hartini dan Hartini langsung membawa masuk sambil memberesi tempat bekal suaminya. Saya dan Nardi ngobrol sebagaimana layaknya bertetangga walaupun dia tetap menaruh hormat karena bagaimanapun kalau di pabrik dia menjadi bawahan saya.

Malamnya saya terus memikirkan persitiwa tadi sore, kenapa dia bersedia menunjukkan sesuatu yang harusnya hanya boleh dilihat oleh suaminya, padahal dia mengatakan dalam hal kepuasan batin dia mengakuinya. Dalam hati saya berniat untuk lebih jauh., lagi mengingat bahwa Hartini tidak marah. Besoknya kira-kira dalam situasi yang sama sepulang kerja kami ngobrol kembali, dan saya beranikan untuk memancing lagi.

œKemarin memang benar ya, punya kamu memang bagus sekali bukan karena BH .

Dia tersenyum manis sedikit malu mungkin merasa bangga dengan pujian yang keluar dari mulut saya

œTapi saya nggak yakin bahwa rambut bawah kamu bukan seperti yang saya lihat punya bekas pacarku
dulu 

Dengan masih tertawa kecil dia memperbaiki rambutnya dengan kedua tangannya.

œKan kemarin aku bilang apa, sekarang minta itu, sekarang ini, besok minta yang lain lagi dong Awas lho nanti ketahuan pacarmu yang sekarang di Jakarta, tau rasa deh. 

œNggak mungkin dia tahu, kecuali kamu yang bilanginnya 

Walaupun saya menjawab mengatakan tidak perlu khawatir, tapi dalam hati saya bertanya kenapa justru pacar saya yang dia khawatirin bukannya diri sendiri atau suaminya. Berkat bujukan dan rayuan seorang laki-laki walaupun bukan seorang ahli, dia berkata perlahan

œTapi ingat ya, hanya sebentar dan sekali ini saja ya. Aku takut nanti ketahuan sama suamiku, bisa dibunuh aku nanti. Sekalian awasi orang lain mana tau ada yang mau kesini  Saya hanya mengangguk cepat, tak sabar melihat pemandangan yang akan saya lihat. Perlahan Hartini berjalan menuju kamar belakang sambil saya menikmati pantatnya seperti pantat bebek sedang berjalan. Pemandangan dari belakang membuat penis saya sudah mulai naik dan saya langsung membereskan posisi kontol saya agar tidak sakit. Sesampai di kamar dia pun sepertinya agak gugup mengintip sekeliling luar rumah dari celah papan. Sebentar kemudian dia menaikkan rok katun berwarna hitam setinggi lutut sampai celana dalam merahnya kelihatan. Mata saya seakan tidak mau berkedip takut melewatkan pertunjukan gratis tersebut. Dia menatap saya dengan mata gugup, sepertinya ingin pertunjukan tersebut.

œLex, udah lihat kan  teriaknya perlahan seperti berbisik.

œKan belum dibuka, tadi udah janji boleh lihat dari jauh. Kalau nggak aku aja deh yang buka ke situ ya  sahutku dengan perlahan sambil mata mengawasi sekeliling, tapi saya yakin masih kedengaran kepada dia.

œJangan ¦jangan kesini, disitu aja. dia menjawab sepertinya ketakutan. Saya pun menganggukkan kepala . Kemudian dia melepaskan lagi rok yang sebelumnya diangkat sampai jatuh seperti posisi biasa, dan kedua tangannya masuk dari bawahnya menurunkan CD sampai lepas, dengan sebelah tangan masih memegangi CD kemudian Hartini mengangkat roknya kembali ke atas. Ya ampun ¦ ¦

Vaginanya sepertinya tertutupi oleh pegunungan hitam. Dia menatap saya dan mengangguk dengan ekspresi meminta persetujuan agar selesai. Saya sendiri berusaha agar lebih lama lagi menonton, tapi 15 detik kemudian dia langsung membungkuk dan memakai kembali CD nya. Kemudian dia membuka pintu kamar belakang untuk menghilangkan kecurigaan suaminya apabila pulang nantinya dan langsung menuju dapur untuk memberesi makan malam kami nantinya dan tidak bertemu lagi sampai kami makan malam. Dalam hati saya mulai yakin bahwa saya tidak bertepuk sebelah tangan. Selama ini apabila saya merasa sudah horny, sayang melampiaskan dengan onani di kamar sambil tiduran ataupun di kamar mandi. Semenjak kejadian tersebut saya mulai berani memeluk, mencium maupun meraba sekalian menciumi buah dadanya sewaktu giliran Hartini mau mengantarkan pakaian bersih dan menyusun di lemari pakaianku yang saya tempatkan di kamar tidurku. Biasanya sewaktu dia mau ngantar pakaian di depan pintu kamar biasanya dia sudah kasih kode jari di mulut, memberi info tidak aman. Apabila aman dia cuma senyum kecil, saya mengartikan isyarat aman. Disaat seperti itulah biasanya saya bisa menikmati bibir maupun teteknya. Kadang saking gemasnya saya tak sadar mengisap puting buah dadanya sampai dia kesakitan dan berbisik

œLex ¦. Jangan keras-keras. Emang nggak sakit. 

Biasanya saya langsung minta maaf dan mengelus-elus buah dadanya dengan mesra. Ada kalanya Hartini tidak mau dicium karena sedang pake pewarna bibir, katanya nanti kalau dicium bisa hilang, suaminya bisam curiga, Sampai sampai sewaktu memberikan uang makan dan cuci pakaianku pun selalu saya menaruhnya sendiri ditengah buah dadanya baru saya tutup sendiri BH nya dan diakhiri dengan senyum dan cium.
Puncak perselingkuhan kami adalah saat saya mau masuk shift sore, masuk jam empat sore dan biasanya pulang jam 12 malam, kalau buah sawit sedang panen raya dan menumpuk biasanya diteruskan sampai pagi. Setiap shift sore biasanya saya akan pulang sekitar jam 7 atau 8 malam untuk malam, sementara bisa bergantian dengan asistenku, biasanya jatah satu jam. Dan suami Hartini yaitu Nardi biasanya karena tidak punya kendaraan, malas pulang dan sudah membawa bekal dari rumah sore harinya. Sore itu sekitar jam 2 siang saya sudah mandi dan bersiap-siap mau berangkat, karena sebagai kepala shift harus koordinasi dulu dengan kepala shift pagi, dan saya masih memakai handuk bertelanjang dada di kamar, Hartini datang ke kamar sambil menaruh jari diatas bibir, pertanda tidak aman. Saya berbisik,

œEmang dimana suamimu 

œItu masih lagi tidur di kamar  jawabnya perlahan. Hartini pun berjalan menuju lemari pakaianku sambil tangan kirinya mencubit puting tetekku. Saya merasa geli, dan mau membalas mencubit teteknya. Dia mengelak sambil berbisik,

œJangan sekarang, ntar malam aja, waktu pulang makan 

œDimana 

œNtar ke kamar saja langsung, pintu belakang tidak kukunci, hanya ditutupkan saja 

œTapi nanti jangan pake apa-apa ya. œ godaku pelan sambil main mata

Saya diam memikirkan kata-katanya, Sambil berjalan ke teras saya masih sempatkan meraba pantatnya sampai dia menepiskannya. Saya kaget memikirkan ada apa Hartini malah mengundang saya malam-malam ke kamarnya.

Sampai di pabrik saya tidak konsentrasi dalam mengawasi karyawan melakukan tugas masing-masing dan masih memikirkan apa maunya Hartini. Saya sengaja agak lebih lama pulang makan malamnya sekitar jam 8.30 malam, dan suasana perumahan sudah agak sepi karena gerimis dari sore. Saya langsung menempat motor dinas ke belakang rumah agar tidak menyolok dari luar. Saya masuk rumah dan menyalakan lampu sebentar kemudian dari celah papan, saya mengintip rumah sebelah dan kelihatan rumah sangat gelap, karena biasanya pada saat tidur memang kebiasaan lampu dimatikan. Pandangan orang dari luar kalau lampu sudah dimatikan biasanya enggan bertamu paling tidak kalau tidak benar-benar penting sekali.

œTin ¦..udah tidur ya, kesini dong?  teriakku pelan, sampai dua kali saya berteriak pelan, Hartinipun mendekat dibatasi oleh papan pembatas berbisik

œPintu belakang tidak dikunci, Alex aja yang kesini 

Sayapun berjalan menuju kebelakang rumah sambil mematikan lampu ruang tengah, sehingga dari luar kelihatan saya sudah pergi kembali ke pabrik. Karena sangat gelap saya membiasakan mata dulu, baru mengawasi sekeliling. Mengingat kaos kerja yang saya pakai berwarna putih, saya membuka dan menyangkutkan di pintu belakang sebelah dalam. Lalu berjingkat-jingkat perlahan saya menuju pintu belakang rumah Hartini. Dengan sangat hati-hati saya mendorong pintu, takut mengeluarkan suara dan berjalan pelan sekali sambil menahan nafas, takut getaran kaki saya di lantai papan kedengaran sama orang lain. Memasuki kamar depan, Hartini kelihatan tidur dengan memakai kain sarung sebatas dada dan kaos you can see berwarna pink yang bisa saya lihat dari cahaya lampu jalan di depan rumah masuk dari celah papan kayu. Hartini berpura-pura memejamkan mata. Saya langsung jongkok di sampingnya dan meraba bua dadanya tanpa membuka kain sarungnya. Dia melirik sambil tangannya mencubit pipi saya. Saya teruskan dengan mencium bibirnya. Tak lama kemudian dia pun membalas dan tangan saya mulai menurunkan kain sarungnya dan manaikkan kaos sampai buah dadanya kelihatan penuh. Saat itu Hartini tidak memakai BH lagi seperti godaan saya siang harinya. Agak lama kami berciuman sambil tangan kananku meremas-remas kedua buah dadanya. Saya merasa sudah sangat horny begitu juga penglihatan saya kepada .Hartini.

œTin, mau nggak kita masukin, ntar gua buang diluar deh.  Bisikku

œLex, jangan dibuang diluar  jawabnya pelan sambil memelukku lebih keras sambil mencium pipi kiriku .

œNtar kalau hamil gimana dong, bisa bahaya kita  sahutku.

Tanganku masih terus memutar-mutar putting kirinya. Tangan kiriku memangku lehernya sambil menahan
berat tubuhku, karena saat itu saya masih jongkok.

œBiar aja. Aku kan punya suami. Kalau aku hamil kan wajar 

œ Tapi kalau nantinya anaknya lahir mirip gua gimana dong, suamimu bisa curiga loh 

Dia menatap saya memelas, seperti meminta pertolongan, saya merasa kasihan melihat wajahnya.

œTolongin aku ya Lex, pokoknya dikeluarin didalam aja. Saya tanggung kamu tidak akan apa-apa. Aku pengen hamil Lex. Aku ingin buktikan kepada keluarga suamiku bahwa aku tidak mandul.  Sepertinya dia memohon. Saya ingat bahwa Hartini pernah cerita bahwa beberapa keluarga suaminya diamdiam sudah menganjurkan agar suaminya mencari istri lagi kalau ingin punya anak.

œKamu sudah yakin  Saya ingin menegaskan lagi bahwa dia memang meninginkannya.

œIya Lex, tolongin aku ya  bisiknya langsung mencium bibirku. Saya pun membalas ciumannya setelah yakin dia memang sangat menginginkannya. Sambil tetap berciuman tanganku mulai menarik turun kain sarungnya sampai lepas melewati kaki. Saya melepaskan bibirku turun ke puting buah dadanya sambil tangan kananku meraba pangkal paha. Sepertinya CD Hartini sudah agak basah. Hartini mendesah pelan sambil tangannya masih memeluk kepalaku, sekali-kali berusaha menekan kearah teteknya yang sedang saya putar-putar pakai lidah, sambil tanganku menarik CD nya turun lepas dari kakinya dibantu dengan gerak pantat Hartini yang terangkat. Mataku sekali-sekali melirik ke arah vagina yang ditumbuhi rambut yang lebat dan tanganku meraba-raba menyisihkan rambut yang lebat agar tanganku bisa masuk ke loban vaginanya. Refleks tangan kiri Hartini menangkap tangan kananku dan menariknya ke atas tanpa melepaskannya lagi. Saat itu mulutku mulai turun ke arah perut, tetapi sesampai pusar Hartini menolak dan menahan kepalaku agar jangan sampai ke memeknya. Saya berusaha pelan-pelan menarik kepalaku sampai mulutku hampir mencium vaginanya. Tiba-tiba Hartini bangun duduk. Saya kaget dan takut dia marah. Sambil menatapku dia melingkarkan tangannya ke leherku, berbisik.

œJangan cium, bau. Aku nggak mau dicium itu. 

œNggak bau kok Tin, malah harum. Sebentar aja ya  jawabku merayu sambil cium lehernya. Hartini menggelinjing dan sambil mendesah pelan

œPokoknya jangan ya Lex, kamu masukin aja punya kamu 

Tangannya meraba ke arah penisku, yang sudah menegang tapi tidak maksimum karena kurang konsentrasi, setiap saat harus mengawasi suara di sekeliling rumah. Saat itu saya malah masih memakai celana kerja telanjang dada. Hartini berusaha membuka gesper, tapi agak kesulitan. Saya bangun dan membuka sendiri sampai benar-benar telanjang. Lalu saya tunjukkan penisku kepada Hartini, dia membuang muka. Saya memegang kepalanya bermaksud agar dia mau mengoral penisku, tapi dia bertahan tidak mau. Akhirnya kami kembali berbaring di tempat tidur menetralkan suasana sambil kembali memulai cumbuan. Akhirnya saya dan Hartini sepertinya sudah kembali sama-sama horny, dan saya putuskan mengangkat kaki kananku merenggangkan kedua kakinya. Sedikit demi sedikit kakinya mulai ngangkang sampai kedua kakiku bisa masuk, siap untuk memasuki lubang surga. Tapi Hartini memelukku dengan erat sampai mulutnya menyumpal mulutku dan membisiki,

œKita di lantai aja ya. Jangan disini. Soalnya tempat tidurnya berisik nanti 

Tanpa menjawab saya langsung bangun turun dari tempat tidur dan Hartini ikut bangun sambil bawa sebuah bantal dan berbaring merenggangkan kakinya di lantai. Saya yang sudah nggak sabaran langsung mengambil posisi. Tak lupa kaos pinknya saya buka sampai lepas melewati kepala. Tangan kanan saya memegang penisku mengarahkan ke vagina yang sudah banyak mengeluarkan cairan. Sesaat sesudah menyentuh bibir vaginanya, kami berdua saling memandang, seakan-akan meminta persetujuan, dan mulutku mencium mulut Hartini dan langsung dibalas sambil memeluk erat.

œTin, gua masukin ya. Nggak nyesal kan?  Bisikku kembali memastikan.

Hartini tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala pelan, tapi terasa bahwa dia sudah merespon, pelanpelan saya masukin penisku yang berukuran diameter 4 cm dan panjang 12 cm. Saya menahan nafas begitupun Hartini menikmati saat indah tersebut. Walaupun vagina Hartini sudah mengeluarkan banyak cairan, sepertinya masih bisa gua rasakan betapa saat memasuki memeknya terasa nikmat sampai sesudah masuk semua, saya diamkan sambil memandang muka Hartini yang memejamkan matanya. Sesaat kemudian dia membuka matanya dan langsung buang muka merapatkan pelukannya sambil mencium leherku. Dengan bertumpukan kedua siku di lantai saya mulai menaikturunkan pantatku, sampai kedengaran bunyi suara dari lobang vagina Hartini seperti suara tepukan tangan di air.

œplok ¦plok ¦.plok ¦ ¦ 
Beberapa lama saya menggenjot penisku, tiba-tiba kedua kaki Hartini menjepit keras kedua kakiku sampai saya kesusahan mengangkat pantatku, sampai saat pantatku kuangkat terasa berat karena pantat Hartini juga ikut terangkat dan kurasakan leherku digigit. Saya berpikir mungkin dia sudah orgasme, tapi kurasakan juga ada yang mendesak dari penisku.

œ Kamu udah keluar duluan ya  tanyaku karena jepitan kakinya terasa semakin lama semakin lemah sampai kini telapak kakinya sudah menapaki lantai kayu lagi seperti semula. Dia tidak menjawab hanya mencaricari mulutku dengan mulutnya dan melumat lidahku.
œGua udah mau keluar nih, keluarin diluar aja ya?  bisikku sesaat setelah bisa melepaskan lidahku dari mulutnya, memastikan karena saya masih takut resikonya di kemudian hari.

œTolongin aku Lex..aku ingin sekali hamil.  Suaranya seperti mau nangis meminta. Tapi tangan kanannya sudah ditaruh diatas pantatku sepertinya menjaga agar nantinya saya tidak melepaskan penisku dari vaginanya.

œYa udah, tapi kamu harus jaga rahasia ini baik-baik ya?  jawabku 

œIya ¦iya ¦nggak usah khawatir, tapi janji jangan dibuang di luar ya  bisiknya. Saya nggak jawab lagi tapi mulai menggenjot memeknya lagi yang sepertinya semakin kurang menjepit karena sudah orgasme seraya mulutku mengulum lidahnya. Beberapa saat kemudian aku membisiki telinganya, œGua udah mau keluar  sambil genjotanku semakin cepat dan tangan kanannya menekan pantatku semakin keras ditambah kedua kakinya menekan belakang pahaku dari atas sambil tangan kirinya memeluk leherku dengan ketat, sampai akhirnya œouchhhhhh ¦ ¦  mulutku mengulum mulut Hartini seakan mau menghabiskan saat itu. Dan terasa ada yang keluar dari kontolku membasahi memek Hartini.

Croooot...Croooottt..CrooTTT..

Sampai rasanya tidak ada lagi yang dikeluarkan baru saya menghentikan genjotanku dan diam bertumpukan kedua siku tangan dan penisku sengaja saya tumpukan ke vagina Hartini. Saya terdiam tidak bergerak, sambil memandangi mukanya yang terpejam. Kukecup bibirnya dan berbisik. Tin, aku balik ya, kelamaan ntar orang lain bisa curiga. Makasih ya Lex, makan malamnya sudah aku taruh dirumahmu tadi sebelum kamu dating.  Jawabnya
pelan.

Tetapi ketika saya mau melepaskan penisku dari vaginanya, dia meraih leherku dan sesaat mencium bibirku dengan mesra. Ketika sudah dilepaskan aku langsung bangkit berdiri dan mencari celanaku yang saya lupa taruh dimana. Hartini masih tiduran dan merapatkan kakinya memandang saya dan mengarahkan telunjuknya ke tempat tidur, tapi yang saya lihat malah CD nya, dan mengambil dengan tangan kiri untuk diserahkan kepada Hartini , tapi dia malah menarik tangan kananku dan tangan kanannya menyambut CD seraya menyuruhku pelan agar jongkok Saya mengikuti saja tanpa tahu kemauannya. Hartini melap kontolku yang masih basah dengan cairanku yang bercampur dengan cairannya sendiri dengan CD putihnya, saya tersenyum dan meremas buah dadanya dengan tangan kiri. Kemudian telunjuknya menunjukkan dimana tadi celana saya lepaskan. Sesaat sesudah saya memakai celana, saya jongkok untuk mencium dia dan pamit sekalian berterima kasih atas bonus cuci pakaian dapat cuci penis, dia tersenyum sambil mencubit pelan pipi kiriku.

Begitulah sampai sekitar 6 bulan kemudian kami sering melakukan hubungan suami istri setiap ada kesempatan, walaupun tidak setiap berhubungan Hartini mendapat orgasme karena kadang saya merayu dengan alasan biar lebih cepat hamil walaupun dia sedang tidak menginginkannya atau takut ketahuan orang lain yang penting birahiku terpuasakan. Enam bulan kemudian saya menikah dan istriku menjadi seorang ibu rumah tangga yang tinggal bertetangga dengan Hartini, dan anehnya empat bulan sesudah menikah istri saya hamil. Saya merasa kasihan kepada Hartini, walaupun kami berhubungan sekitar enam bulan seperti suami istri belum hamil-hamil juga bahkan sampai saya mutasi ke Jakarta kembali. Dia hanya sedih menatap kepergian kami sewaktu mau meninggalkan perumahan tanpa kata-kata perpisahan..

0 comments:

Post a Comment

 

©2011Pojokan Dewasa | by TNB