Wednesday 17 April 2013
Tergoda Tante Mona
Sebut
saja namaku Setio, usiaku 32 tahun, sudah empat tahun perkawinanku tapi
seorang anak belum kami dapatkan. Karena cintaku pada istriku, tidak
ada niat untukku berselingkuh, tapi sejak perkenalanku dengan wanita
itu, aku tergoda untuk selingkuh. Perkenalanku dengan wanita itu berawal
2 tahun yang lalu, saat kakak istriku mau menikah, kami mengunjungi
rumah calon mempelai wanita untuk melamar, aku melihat seorang wanita
berumur kira-kira 40 tahunan yang kutahu dia adalah istri dari pamannya
calon pengantin wanita, dan kutahu kemudian namanya Tante Mona, karena
kami sama-sama panitia perkawinan iparku.
Awalnya
kuanggap biasa perkenalan ini, tetapi pada waktu hari perkawinan
iparku, aku terpana melihat kecantikan Tante Mona yang memakai baju
kebaya bordiran, sehingga lekuk tubuh dan bentuk payudaranya terbayang
ditutupi kemben (pakaian kain Jawa) hitam yang membuatku ingin sekali
melirik kemana perginya Tante Mona dan membayangkannya di saat Tante
Mona telanjang.
Setelah
acara pernikahan itu selesai, otomatis kami jarang sekali bertemu,
karena Tante Mona harus menemani suaminya yang tugas di Surabaya. Hampir
satu tahun lamanya aku ingin melupakan dirinya, tetapi ketika iparku
memiliki anak, aku bertemu lagi dengan Tante Mona pada waktu menengok
bayi. Saat itu Tante Mona mengenakan baju dan jeans ketat, sehingga
lekuk tubuhnya membayangi lagi pikiranku yang terbawa hingga kutidur.
Sebulan
kemudian, ketika acara syukuran bayi iparku, tante Mona datang dengan
suaminya dan ibunya Tante Mona yang duduk di kursi roda akibat sakit
stroke yang katanya sudah 4 tahun diderita. Dan dari iparku, kuketahui
Tante Mona sekarang satu bulan di Jakarta untuk menjaga ibunya dan satu
minggu menemani suaminya di Surabaya.
Seminggu
setelah itu, temanku datang ke rumah untuk menawarkan bisnis "MLM"
berbasis food suplement yang dapat membuat beberapa penyakit sembuh.
Langsung pikiranku tertuju kepada ibunya Tante Mona. Setelah dapat nomor
telpon Tante Mona dari iparku, aku langsung menghubunginya. Setelah
obrolan kami, Tante Mona setuju untuk mencobanya terlebih dahulu.
Keesokan harinya, ketika aku mengantar obat itu, aku berharap bisa
ketemu Tante Mona, tapi karena ibunya sedang anval, otomatis aku hanya
bertemu pembantunya.
Satu
minggu kemudian, tiba-tiba HP-ku berdering, sebenarnya aku malas
menerimanya karena nomor yang tertera tidak kukenal, tapi dengan agak
malas kuterima juga telpon itu yang rupanya dari Tante Mona.
"Dik.. Setio, ya..? Disini Tante Mona."
"Eh.. iya Tante.. apa khabar..?"
"Wah..,
Dik.. tante senang loh kayaknya obat yang adik kirim buat ibu bagus
sekali, ibu sekarang sudah nggak pakai kursi roda lagi.. kalau begitu
tante pesan lagi yach..? Kapan bisa kirim..?"
"Selamet deh Tante.. eng.. kalau begitu besok siang deh.. Tante.. saya kirim ke rumah..!"
"Ya.. sudah.. sampai besok yach..!"
Keesokannya,
pukul 11:00 aku ke rumah Tante Mona. Ketika sampai, aku disuruh
menunggu oleh pembantunya di ruangan yang sepertinya ruang perpustakaan.
Tidak lama kemudian Tante Mona muncul dari pintu yang lain dari tempat
kumasuk ruangan itu. Saat itu Tante Mona mengenakan baju model jubah
mandi yang panjang dengan tali di pinggangnya, dan mempersilakan aku
duduk di sofa yang dia pun ikut duduk, sehingga kami berhadapan. Ketika
dia duduk, satu kakinya disilangkan ke kaki yang lain, sehingga betisnya
yang bunting padi dan putih bersih terlihat olehku, membuat pikiran
kotorku kepada Tante Mona muncul lagi.
Kami
mengobrol panjang lebar, Tante Mona menanyakan hal tentang perkawinanku
yang sudah 4 tahun tetapi belum dikaruniai keturunan, sedangkan dia
menceritakan bahwa sebenarnya Tante Mona menikah disaat suaminya telah
mempunyai anak yang sekarang sudah kuliah. Setelah hampir satu jam kami
mengobrol, Tante Mona mengatakan padaku bahwa ia senang kalau ibunya
sudah agak membaik.
"Oh.. ya berapa nih harga obatnya..?"
"Ah.. sudah Tante, nggak usah, gratis kok, tujuan saya khan yang penting Ibu bisa baik."
"Ah.. nggak lah Dik, Tante ambil dulu yach uangnya di kamar."
Tante
Mona berdiri dan masuk ke pintu tempat tadi dia datang, tapi pintu itu
dibiarkannya terbuka, sehingga kulihat kalau kamar di sebelah ruang
kududuk adalah kamar tidur Tante Mona. Dari dalam dia teriak ke arahku
menanyakan harganya sambil memanggilku.
"Dik.. Setio, berapa sih harganya..? Kamu sini deh..!"
Dengan agak ragu karena perasaanku tidak enak masuk kamar orang lain, kuhampiri juga Tante Mona.
Begitu
sampai di pintu, aku seperti melihat suatu mukjizat, dan tiba-tiba
perasaanku terhadap Tante Mona yang pernah ada dalam pikiranku muncul.
Tante Mona berdiri di samping tempat tidurnya dengan jubah yang
dipakainya telah tergeletak di bawah kakinya. Aku melihat tanpa berkedip
tubuh Tante Mona yang sedang berdiri telanjang dada dan pangkal pahanya
tertutup celana dalam berwarna pink memperlihatkan sekumpulan bulu
hitam di tengah-tengahnya.
"Dik, kalau kamu nggak mau dibayar sama uang, sama nafsu Tante Mona aja yach..? Kamu mau khan..?"
"E.. e.. eng.. bb.. boleh deh Tante..!"
Tiba-tiba
kali ini aku bisa melihat Tante Mona yang setengah bugil dan memohon
kepadaku untuk melayani nafsunya, kuhampiri dia sambil menutup pintu.
Bentuk tubuh Tante Mona sungguh indah di mataku, kulitnya putih bersih,
payudara yang berukuran 36B berdiri dengan tegaknya seakan menantangku,
lekukan paha dan kaki jenjangnya yang indah dan betisnya yang bunting
padi, persis bentuk tubuhnya penyanyi Jennifer Lopez. Aku seakan tidak
bisa menelan ludahku karena Tante Mona sekarang tepat berdiri di
depanku.
"Dik.. Setio, layani Tante yach..! Soalnya sudah dua bulan Tante tidak dijamah Om.."
"Iya.. Tante, ta.. tapi.. kalau anak-anak Tante datang gimana..?"
"Anak-anak kalau pulang jam 5:00 sore, lagi itu kan anak-anaknya Om."
"Ok..
deh Tante, Tante tau nggak, kalau hal ini sudah saya impikan sejak
pernikahan Desi, soalnya Tante seksi banget sih waktu itu."
"Sekarang.. sudah nggak seksi dong..?"
"Oh.. masih.. apa lagi sekarang, Tante kelihatan lebih seksi."
Bibir
tipisnya mencium bibirku dengan hangat, sesekali lidahnya dimainkan di
mulutku, aku pun membalasnya dengan lidahku. Tangan lembutnya mulai
melepaskan dasi dan bajuku hingga kami sudah telanjang bagian atasnya.
Dada bidangku mulai diciumi dengan nafsunya, sementara lehernya dan
pundaknya kuciumi. Wangi tubuhnya membuat nafsuku juga meningkat,
sehingga batangku mulai mengeras mendesak celana dalamku. Tangannya
mengelus celanaku di bagian batangku yang sudah mengeras, sedangkan aku
mulai memainkan mulutku di payudaranya yang terbungkus kulit putih
bersih, putingnya yang putih kemerahan sudah jadi bulan-bulanan lidah
dan gigiku, kugigit dan kusedot, sehingga Tante Mona mengelinjang dan
makin keras tangannya mencengkram batangku.
Celana
panjangku mulai dibuka dengan tangan kirinya, lalu celana dalamku
ditarik turun sehingga batangku sudah dipegang tangan halusnya dan mulai
mengocok batangku.
"Dik.. batangmu besar sekali yach..? Kalau punya Om paling setengahnya aja, berapa sih besarnya..?"
"Kalau panjangnya 20 cm, kalau diameternya 4 cm."
"Wah.. gede banget yach.. pasti Tante puas deh.., boleh Tante isap nggak.."
Aku
hanya mengangguk, Tante mona langsung jongkok di hadapanku, batangku
dipegangnya lalu dimainkan lidahnya pada kepala batangku, membuatku agak
gelisah keenakan. Batangku yang besar berusaha dimasukkan ke dalam
mulut mungilnya, tetapi tidak bisa, akhirnya kepala batangku digigit
mulut mungilnya.
Kira-kira
15 menit, dia berdiri setelah kelelahan mengulum batangku, lalu dia
merebahkan dirinya di sisi tempat tidur. Kali ini aku yang jongkok tepat
di sisi kedua kakinya, tangan kananku melepaskan celana dalam pinknya,
saat itu juga aroma wangi langsung bertebaran di ruangan yang rupanya
aroma itu adalah aroma dari vagina Tante Mona yang bentuknya sangat
indah ditutupi bulu-bulu halus di sekitar liang vaginanya.
"Ah.. Tante Mon.. vagina Tante harum sekali, boleh saya jilatin..?"
"Ah.. jangan Dik.. kamu nggak jijik, soalnya si Om nggak pernah menjilatinya."
"Wah.. payah si Om.. vagina itu paling enak kalau dijilatin, mau yach.. Tante.. enak.. kok..!"
"Iya deh.. kalau kamu nggak jijik."
Paha putihnya sudah kuusap lembut dengan tangan kiriku, sementara jari tengah tangan kananku mulai menjamah liang vaginanya.
Kulihat Tante Mona melirik ke arahku sambil berkata, "Dik.. jilatnya yang enak yah..!"
Aku
hanya mengangguk sambil mulai kutempelkan lidahku pada liang vaginanya
yang rupanya selain wangi rasanya pun agak manis, membuatku semakin
bernafsu untuk menjilatinya, sementara kulirik Tante Mona sedang
merasakan geli-geli keenakan.
"Ah..
ah.. ssh.. argh.. iya.. yach.. Dik.. enak deh rasanya.. wah kalau
gini.. besok-besok mainnya sama Dik Setio aja deh.. sama Om.. ntar-ntar
deh.. abis.. enak.. banget.. sih.. Dik Setio mau khan..? Ah.. argh..!"
Aku
tidak menjawab karena lidahku sudah menemukan biji klitoris yang
rasanya lebih manis lagi dari liangnya, sehingga makin cepat kujilati.
Rasa manisnya seakan-akan tidak pernah hilang. Tante Mona semakin
menggelinjang tidak karuan, sementara tangannya menekan kepalaku yang
seakan dia tidak mau kalau kulepaskan lidahku dari biji klitorisnya.
Hampir 30 menit klitoris manis itu kujilati ketika tiba-tiba tubuh Tante
Mona mengejang-ngejang, dan dari klitoris itu mengalir deras cairan
putih bersih, kental dan rasanya lebih manis dari biji klitoris,
sehingga dengan cepat kutangkap dengan lidahku, lalu kutelan cairan itu
sampai habis. Tante Mona pun mendesah dan langsung tubuhnya lemas.
"Argh..
argh.. agh.. ssh.. sshh.. eegh.. eegh.. Dik.. Setio.. enak.. buangget..
deh.. kamu.. pintar.. membuat.. Tante.. keluar.. yang belum pernah
Tante.. keluarin dengan cara begini.. kamu.. hebat deh, agh.. agh..!"
Kuubah
posisi Tante Mona, kali ini kakinya terjuntai ke bawah, lalu
kuposisikan batangku tepat di liang kemaluannya yang masih agak basah.
Dengan jariku, kurenggangkan liang vaginanya, lalu dengan sedikit
hentakan, batang kejantananku kudorong masuk, tapi agaknya vagina itu
masih agak sempit, mungkin karena batangku yang besar. Kucoba lagi
hingga 5 kali tapi belum bisa masuk.
"Tante.. Vagina Tante.. sempit.. yach.. padahal saya sudah tekan berkali-kali.."
"Iya..
dik.. mungkin karena belum pernah melahirkan.. yach.. tapi tekan.. aja
terus.. biar batang adik.. masuk.. nggak apa-apa kok.. kalau sampai
vagina saya robek.."
Kucoba
lagi batangku kutekan ke dalam vagina Tante Mona. Akhirnya setelah 15
kali, Tante Mona menjerit keenakan, masuklah batang kejantananku yang
super besar itu merobek liang kewanitaannya.
"Ooowww..
argh.. argh.. gila.. hegk.. hegk.. gede.. banget.. sich.. Dik batangmu
rasanya nembus ke perut Tante nich.. tapi.. enak.. banget dech.. trus..
Dik.. trus.. tekannya.. argh.. argh..!" desahnya tidak menentu.
Kulihat
Tante Mona berceracau sambil dengan perutnya berusaha menahan batangku
yang masuk lubang kenikmatannya. Kutekan keluar masuk batangku pada
vaginanya berkali-kali, tangannya memegang perutku berusaha menahan
tekanan batangku pada vaginanya. Tanganku mulai meremas-remas
payudaranya, kupelintir putingnya dengan jariku.
Hampir
satu jam Tante Mona melawan permainanku. Tiba-tiba tubuh Tante mona
menggelinjang dengan hebatnya, kakinya disepak-sepak seperti pemain bola
dan keluarlah cairan dari vaginanya yang membasahi batangku yang masih
terjepit di liang senggamanya. Cairan itu terus mengalir, sehingga
meluber keluar membuat pahaku dan pahanya basah, tetapi aku belum
merasakan apa-apa. Yang kukagetkan adalah ketika kulirik cairan yang
mambasahi paha kami ada tetesan darahnya, aku berpikir bahwa selama ini
Tante Mona pasti masih perawan walau sudah berkali-kali main dengan
suaminya.
Kulihat
tubuh Tante langsung tergolek loyo, "Argh.. arghh.. ssh.. aawww..
oohh.. Dik Setio.. kamu.. e.. emang.. hebat..! Batangmu.. yahud. Aku
benar-benar puas.. aku.. sudah.. keluar. Besok.. besok.. aku hanya..
mau.. memekku.. dihujam.. punyamu.. saja. Ah.. arghh.. ah.. ah.. ah..
ah..!"
Badan
Tante mona langsung kuputar hingga kali ini dia tengkurap, pantatnya
yang dibungkus kulitnya yang putih bersih dengan bentuk yang padat dan
sexy, membuat nafsuku bertambah besar. Kuangkat sedikit pantatnya supaya
agak menungging dan terlihatlah vagina yang tersembunyi di balik
badannya. Aku agak menunduk sedikit, sehingga memudahkan lidahku
memainkan liang kemaluannya untuk menjilati sisa-sisa cairan yang baru
saja dikeluarkan oleh Tante mona. Cairan itu sangat manis rasanya
sehingga langsung kuhisap habis.
Setelah
cairan itu habis, kutempelkan lagi batang keperkasaanku pada liang
senggamanya. Karena tadi Tante mona sudah orgasme, jadi liang
kemaluannya sedikit lebih lebar dan memudahkanku dalam menekan batang
kejantananku untuk masuk ke lubangnya Tante Mona.
"Jleb.. bless.. jleb.. bless.. ah.. ah.. sedapnya.. memek.. Tante.. deh.. ah..!"
Aku
memasukkan batang kejantananku ke liang Tante Mona dengan berceracau,
karena liang senggama Tante mona sangat sedap sekali rasanya. Sementara
kulihat Tante Mona tidak bersuara apa-apa, karena dia sudah tertidur
lemas. Batang kejantananku keluar masuk liangnya dengan lembut, sehingga
aku pun menikmatinya. Hal itu berlangsung satu jam lamanya. Tiba-tiba
Tante Mona terbangun dan dia mengatakan bahwa dia mau mencapai orgasme
yang kedua kalinya, dan meneteslah cairan kental lagi dari liang
kewanitaan Tante mona yang membasahi batang kemaluanku.
"Agh..
agh.. aawww.. arghh.. sshh.. Dik.. Se.. Setio ka.. kamu memang.. he..
hebat..! Tante sampai dua.. kali.. keluar.., tapi.. kamu.. masih tegar..
argh.. sshh..!"
"Ah.. Tante.. saya juga sudah.. mau keluar.. saya.. mau.. keluarin.. di luar.. Tante.. agh..!"
"Jangan..
Dik Setio.. keluarin.. aja.. di dalam.. memek.. Tante.. Tante.. mau..
coba.. air.. mani.. Dik.. Setio. Siapa tahu nanti.. Tante bisa.. hamil..
Keluar di dalam.. yach.. Dik..!"
Tante
Mona merengek meminta untuk air maniku harus dikeluarkan di dalam
vaginanya, sebenarnya aku agak bingung atas permintaannya, tetapi
setelah kupikir, aku dan Tante menginginkan seorang keturunan. Akhirnya
kulepas cairan maniku ke liang senggamanya dengan sedikit pengharapan.
"Crot.. crot.. serr.. serr.. agh.. aghr.. agh.. Tante.. Tante mona.. memek Tante memang.. luar biasa.. argh.. argh..!"
"Ahh.. ahh.. Dik.. air mani.. kamu.. hangat.. sekali.. ahh.. Tante.. jadi segar.. rasanya..!"
Cairanku
dengan derasnya membasahi lubang kemaluan Tante Mona, sehingga agak
meluber dan rupanya Tante Mona menyukai air maniku yang hangat. Akhirnya
kami pun ambruk dan langsung tertidur berpelukan.
Aku
terbangun dari tidurku ketika batangku sedang dihisap dan dijilat Tante
mona untuk mengeringkan sisa air maniku, jam pun sudah menunjukkan
waktu 4:30. Aku berpikir bahwa hampir 3 jam aku dan Tante mona berburu
nafsu birahi.
"Dik
Setio, terima kasih yach..! Tante Mona puass deh sama permainan seks
kamu.. Kamu lebih hebat dari suami saya. Kapan kita bisa main lagi..?
Tante udah pingin main lagi deh.."
"Iya
Tante, besok pun juga boleh. Habis saya juga puas. Tante bisa
mewujudkan mimpi saya selama ini, yaitu menikmati tubuh Tante Mona dan
Tante luar biasa melayani saya hampir tiga jam. Wahh, Tante memang luar
biasaa.."
"Iya..,
kamu pun hebat, Dik Setio. Saya suka sekali ketika batangmu menghujam
memek saya. Terlebih air mani kamu, hanggatt.. sekali. Besok kita bisa
main lagi khan..?"
"Iya.. sayangku. Sekarang kita bersih-bersih, nanti anak dan suamimu datang..!"
Kukecup
bibir Tante Mona yang setelah itu kami membersihkan badan kami
bersamaan. Di kamar mandi, Tante mona sekali lagi kusodok liang
senggamanya sewaktu bershower ria.
Setelah
itu, hampir setiap hari aku bertemu Tante Mona untuk memburu nafsu
birahi lagi. Hingga sekarang sudah berlangsung 3 bulan lebih lamanya,
dan yang agak menyejukkan hati kami berdua bahwa sejak sebulan lalu,
Tante mona dinyatakan hamil.
0 comments:
Post a Comment