Monday 26 May 2014
Nana Yang Haus Sex
Belum lama ini aku kembali bertemu Nana (bukan nama sebenarnya). Ia
kini sudah berkeluarga dan sejak menikah tinggal di Palembang. Untuk
suatu urusan keluarga, ia bersama anaknya yang masih berusia 6 tahun
pulang ke Yogya tanpa disertai suaminya. Nana masih seperti dulu,
kulitnya yang putih, bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang lebat
tumbuh terjaga selalu di atas bahu. Meski rambutnya agak kemerahan
namun karena kulitnya yang putih bersih, selalu saja menarikdipandang,
apalagi kalau berada dalam pelukan dan dielus-elus. Perjumpaan di Yogya
ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika ia masih kuliah di
sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya. Selama kuliah, ia tinggal di
rumah bude, kakak ibunya yang juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude
agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Nana.
Aku mengenalnya
sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang lincah, terbuka dan tergolong
berotak encer. Setahun setelah aku menikah, isteriku melahirkan anak
kami yang pertama. Hubungan kami rukun dan saling mencintai. Kami
tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu melahirkan,
isteriku mengalami pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah sakit
lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus merawat bayi di
rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Nana) serta
Nana dengan suka rela bergiliran membantu kerepotan kami. Semua berlalu
selamat sampai isteriku diperbolehkan pulang dan langsung bisa merawat
dan menyusui anak kami.
Hari-hari berikutnya, Nana masih sering
datang menengok anak kami yang katanya cantik dan lucu. Bahkan, heran
kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Nana. Kalau sedang rewel,
menangis, meronta-ronta kalau digendong Nana menjadi diam dan tertidur
dalam pangkuan atau gendongan Nana. Sepulang kuliah, kalau ada waktu,
Nana selalu mampir dan membantu isteriku merawat si kecil. Lama-lama
Nana sering tinggal di rumah kami. Isteriku sangat senang atas bantuan
Nana. Tampaknya Nana tulus dan ikhlas membantu kami. Apalagi aku harus
kerja sepenuh hari dan sering pulang malam. Bertambah besar, bayi kami
berkurang nakalnya. Nana mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku
juga semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya. Namun suatu
malam ketika aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan di kantor, Nana
tiba-tiba muncul.
“Ada apa Na, malam-malam begini.”
“Mas Danu, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Nana mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Nana terlihat
mengenakan rok dan T-shirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau
parfum khas remaja.
“Ada apa, Nana?”
“Mas.. aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Nana tidak menjawab tetapi malah melangkah
kakinya yang putih mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap
ia sudah duduk di pangkuanku.
“Nana, apa-apaan kamu ini..” Tanpa
menungguku selesai bicara, Nana sudah menyambarkan bibirnya di bibirku
dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi
dan bayangkan, kini benar-benar mendarat keras. Kulumanya penuh nafsu
dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari
lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya
kuat-kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi.
Lebih dari itu, terus terang ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan
tidak berhubungan intim dengan isteriku. Nana merenggangkan pagutannya
dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka berhubungan dengan
laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu
beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah
menemukan laki-laki yang pas.”
Kuangkat tubuh Nana dan
kududukkan di atas kertas yang masih berserakan di atas meja kerja. Aku
bangkit dari duduk dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku
mengunci dan menutup kelambu ruangan.
“Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Nana sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel
di dadaku. Terasa pula penisku yang telah mengeras berbenturan dengan
perut bawah pusarnya yang lembut. Nana merapatkan pula perutnya ke arah
kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Nana kembali menyambar
leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis terkenal.
Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu
menyambut keliaran Nana. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke
seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Kamu amat bergairah, Nana..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmm.. iya.. Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama.. ukh..” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas.. teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Nana sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang
kemaluanku. Bibirnya terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan
tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik perlahan
ke arah atas dan serta merta tangan Nana telah diangkat tanda meminta
T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua
jemariku langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Nana lekat ke
dadaku. Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut.
Jemariku mencari kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas
perlahan, talinya, kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh
ke lantai dan kini ujung payudaranya menempel lekat ke arahku. Aku
melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan
dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Nana, namun
menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan Nana mengusap-usap
rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera menyedot putingnya.
“Sedot kuat-kuat Mas, sedoott..” bisiknya. Aku memenuhi permintaannya
dan Nana tak kuasa menahan kedua kakinya. Ia seakan lemas dan
menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang ber-AC itu terasa
makin hangat. “Mas lepas..” katanya sambil telentang di lantai. Nana
meminta aku melepas pakaian. Nana sendiri pun melepas rok dan celana
dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan celana dalam.
Nana melihat dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar menunggu.
Segera aku menyusulnya, tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah
samping sembari kugosokkan telapak tanganku ke arah putingnya. Nana
melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.
Sengaja ia segera mengarahkan putingnya ke mulutku.
“Mas sedot
Mas.. teruskan, enak sekali Mas.. enak..” Kupenuhi permintaannya sembari
kupijat-pijat pantatnya. Tanganku mulai nakal mencari selangkangan
Nana. Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup mantap untuk
mendaratkan pesawat “cocorde” milikku. Kumainkan jemariku di sana dan
Nana tampak sedikit tersentak. “Ukh.. khmem.. hss.. terus.. terus,”
lenguhnya tak jelas. Sementara sedotan di putingnya kugencarkan, jemari
tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat kenikmatannya. Terasa
jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan kecil daging di dinding
atas depan vaginanya, ujungnya kuraba-raba lembut berirama. Lidahku
memainkan puting sembari sesekali menyedot dan menghembusnya. Jemariku
memilin klitoris Nana dengan teknik petik melodi.
Nana
menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh nikmat. “Mas.. Mas..
ampun.. terus, ampun.. terus ukhh..” Sebentar kemudian Nana lemas. Namun
itu tidak berlangsung lama karena Nana kembali bernafsu dan berbalik
mengambil inisitif. Tangannya mencari-cari arah kejantananku. Kudekatkan
agar gampang dijangkau, dengan serta merta Nana menarik celana dalamku.
Bersamaan dengan itu melesat keluar pusaka kesayangan Tari. Akibatnya,
memukul ke arah wajah Nana. “Uh.. Mas.. apaan ini,” kata Nana kaget.
Tanpa menunggu jawabanku, tangan Nana langsung meraihnya. Kedua telapak
tangannya menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas.. ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Nana geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah
permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit
agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan terlihat menonjol aliran
otot keras. Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang
menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan
bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
“Mas, belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang ini.”
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Nana langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Nana menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa
mulus putih dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya,
terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara pahanya.
Exocet-ku telah siap meluncur. Nana memandangiku penuh harap.
“Cepat Mas, cepat..”
“Sabar Nana. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang..”
Namun tampaknya Nana tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar
Nana. Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya.
“Cepat Mas..” ajaknya lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung
penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh
amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Nana justru mendorongkan
pantatku dengan kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke
arah atas. Tak terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding
tebal. Namun Nana tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum
terangsang benar, kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski
perlahan dapat memasukirongga vaginanya, namun terasa sangat sesak,
seret, panas, perih dan sulit. Nana tidak gentar, malah menyongsongnya
penuh gairah.
“Jangan paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus.
Paksa, siksa aku. Siksa.. tusuk aku. Keras.. keras jangan takut Mas,
terus..” Dan aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh
penisku telah masuk. Nana menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku
menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari
dalam vagina Nana, meleleh keluar. Aku melirik, darah.. darah segar.
Nana diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku menahan
penisku tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi
ketegangannya, kucari ujung puting Nana dengan mulutku. Meski agak
membungkuk, aku dapat mencapainya. Nana sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan
penisku yang hanya separuh jalan, turun naik dan Nana mulai tampak
menikmatinya. Pergerakan konstan itu kupertahankan cukup lama. Makin
lama tusukanku makin dalam. Nana pasrah dan tidak sebuas tadi. Ia
menikmati irama keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan
mengalirkan cairan pelicin. Nana mulai bangkit gairahnya menggelinjang
dan melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih, “Uuuhh.. Mas.. uhh..
enaakk.. enaakk.. Terus.. aduh.. ya ampun enaknya..” Nana melemas dan
terkulai. Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku.
Aku duduk di samping Nana yang terkulai.
“Nana, kenapa kamu?”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
Nana memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum ada yang
berhasil menembus keperawanannya karena selaput daranya amat tebal.
Namun perkiraanku, para lelaki akan takluk oleh garangnya Nana mengajak
senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak kejadian itu, Nana selalu ingin mengulanginya. Namun aku selalu
menghindar. Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel
sepanjang hari. Nana waktu itu kesetanan dan kuladeni kemauannya dengan
segala gaya. Nana mengaku puas.
Setelah lulus, Nana menikah dan
tinggal di Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika pulang
ke Yogya bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas Danu, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Nana pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan.
0 comments:
Post a Comment