Friday 2 May 2014

Selamat Datang Di Kastil Kami

“Selamat datang di Kastil kami, wahai pengembara yang tersesat. Silahkan masuk. Kami sudah menunggu kedatangan anda.”

“A-apa? Dimana ini? Apa yang terjadi disini?” aku bertanya pada sosok perempuan yang berdiri di depanku itu. “Ugh!” aku mengerang. Kepalaku terasa ringan. Aku juga sulit berpikir dan anehnya aku tidak bisa mengingat apapun. Rasanya seperti ada yang menghapus ingatanku dengan penghapus. Semuanya nyaris putih bersih. Kecuali namaku, aku tidak ingat apa-apa sama sekali. Aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi padaku hingga aku sampai di tempat ini. Aku bahkan tidak ingat dimana aku tinggal, siapa nama orang tuaku dan sebagainya.

“Ah, kulihat anda masih bingung. Tidak masalah. Semuanya juga begitu pada awalnya,” ujar wanita misterius itu sambil membungkuk dengan hormat, payudaranya tampak menggelantung indah saat ia melakukan itu. “Tapi jangan khawatir, saya akan memandu anda.” tambahnya kemudian.

Dia lalu mengetuk pintu gerbang raksasa dari kayu yang ada di belakangnya. Ajaib. Hanya dengan ketukan ringan, pintu gerbang itu mengayun terbuka dengan perlahan. Ketika pintu itu sudah terbuka lebar, wanita misterius itu membungkuk sekali lagi. “Sekali lagi. Selamat datang di Kastil kami,” ujarnya. “Perkenalkan, nama saya Losta, saya adalah penjaga gerbang Kastil sekaligus pemandu anda.”

Aku tidak bisa berkata apapun lagi karena terpana melihat pemandangan yang ada di balik pintu berat di depanku itu. Sebuah Kastil yang luar biasa megah dan besar tampak berdiri dengan kokoh. Menara-menara Kastil itu tampak menjulang menantang langit dan dihiasi dengan berbagai macam bendera serta umbul-umbul. Di halaman Kastil yang sangat luas, terlihat ada banyak orang berkerumun. Beberapa orang yang mengenakan seragam aneh tampak sibuk, sementara ada lebih banyak lagi orang yang hanya bergerombol sambil mengobrol.

“Nah. Masuklah,” ujar Losta sambil mendorongku dengan lembut.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain melangkah maju dan melewati gerbang Kastil. Tapi ketika aku baru menginjakkan sebelah kakiku di Kastil itu, tiba-tiba saja aku mendengar suara bisikan entah darimana asalnya.

”Berhenti...!”

Seketika itu juga aku berhenti di tempat sambil memandang ke segala arah, berusaha mencari darimana asalnya suara misterius itu. Tapi selagi aku melakukan itu, suara bisikan misterius itu kembali terdengar.

”Berbaliklah! Jangan masuk ke tempat ini! Pergilah!”

“Hah? Apa?” tanyaku bingung.

“Ada masalah apa?” Losta bertanya padaku sambil tersenyum, memamerkan giginya yang putih dan berderet sempurna. Karena bingung, aku menggelengkan kepala dan terdiam sejenak. Tapi karena suara itu tidak terdengar lagi, aku memutuskan kalau itu hanya khayalanku saja.

“Tidak. Tidak ada apa-apa...” gumamku sambil terus berjalan. Namun begitu aku sudah berjalan cukup jauh melewati gerbang Kastil, tiba-tiba saja, pintu berat itu terayun tertutup dengan perlahan. Tentu saja aku kaget dan langsung berbalik.

“Ke-kenapa gerbangnya tertutup?!” tanyaku dengan suara bergetar. Aku mulai ketakutan dan itu sebenarnya wajar saja. Saat ini aku terjebak di tempat antah berantah, dengan seorang wanita misterius memanduku, dan kini aku berada di dalam sebuah Kastil aneh yang gerbangnya baru saja tertutup. Lengkap sudah.

“Ah, kita tidak ingin ada tamu tidak diundang datang ke Kastil ini. Lagipula dengan begini sekarang kau aman.” Losta menjelaskan padaku sambil tetap tersenyum. Tapi anehnya, kali ini aku merasa ada yang tidak beres dengan senyuman wanita misterius itu.

Aku menelan ludah, lalu memberanikan diri bertanya pada Losta. “Tempat apa ini? Dimana ini sebenarnya?”

Losta tampaknya sudah menunggu-nunggu pertanyaan itu. Dia langsung menepukkan kedua tangannya dan dengan nada riang langsung menjawab pertanyaanku. “Ah, saya senang anda bertanya,” ujar Losta. “Ini adalah Kastil. Tempat para pengembara yang tersesat berkumpul. Tempat dimana anda bisa merasakan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat tujuan akhir dari pengembaraan yang anda lakukan seumur hidup anda. Disini hanya ada satu hukum utama... anda harus tunduk, hormat, dan patuh terhadap titah Yang Mulia Raja. Selain hukum itu, disini anda bebas melakukan apapun, selama itu tidak mengganggu orang lain. Anda pasti akan menyukai kehidupan anda disini.”

Penjelasan Losta sama sekali tidak menjelaskan apapun. Aku malah semakin bingung gara-gara mendengar ucapannya. “Aku tidak mengerti...” sahutku spontan.

“Ah, semuanya begitu pada awalnya. Tapi pada akhirnya anda akan terbiasa dengan tempat ini,” ujar Losta lagi, masih sambil tersenyum. “Ayo. Kita jalan lagi.”

Pada awalnya aku cukup menyukai senyuman wanita itu, tapi lama kelamaan senyumannya jadi terasa sangat... menakutkan. Tanpa sadar aku melangkah mundur, tapi gara-gara itu aku jadi menabrak seseorang.

“Auw!” seru orang itu.

Aku langsung berbalik dan bermaksud meminta maaf. Tapi aku malah terpaku di tempat dengan mulut terbuka lebar. Memang aku pasti terlihat seperti orang idiot, tapi aku yakin ini reaksi yang wajar. Soalnya orang yang kutabrak tadi itu bukan benar-benar ‘orang’, melainkan seekor panda yang berdiri dengan dua kaki dan mengenakan pakaian layaknya manusia.

“Hati-hati kalau jalan! Dasar manusia!” protes manusia panda itu sambil berlalu.

Aku masih melotot ke arah makhluk aneh itu selama beberapa saat, sebelum akhirnya menoleh lagi ke arah Losta. Wanita itu mengangkat kedua bahunya dan tampak biasa saja melihat ada manusia panda lewat di depannya.

“Yah, Panda yang itu memang agak pemarah, walau sebenarnya dia baik hati,” sahut Losta. “Nah, sekarang biar saya memandu anda ke sekeliling Kastil dan memperkenalkan anda pada beberapa orang penting di tempat ini. Mari.”

Meski masih shock, aku menurut saja dan mengikuti Losta. Sambil berkeliling aku baru menyadari kalau makhluk-makhluk aneh di tempat ini tidak hanya manusia panda saja. Sambil berjalan aku sempat melihat sebuah ‘pohon hidup’, yang tampak sedang mengajari sesuatu pada sekelompok orang yang duduk diam di hadapannya. Selain itu, aku sempat melihat sebuah danau besar di belakang Kastil, yang tampak dipenuhi berbagai jenis ‘manusia ikan’ yang sedang mengobrol sambil berjemur di pinggiran danau. Pemandangan yang sungguh absurd dan tidak masuk akal.

“Te-tempat yang aneh...” gumamku dengan suara lirih pada Losta.

“Memang. Tapi jangan khawatir. Anda akan segera menemukan ‘tempat’ anda di Kastil ini. Jangan terburu-buru, nikmati saja waktu anda disini,” balas Losta, masih dengan senyuman di wajahnya yang cantik.

Aku kembali terdiam dan terus bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya tempat apa ini?!

***

Aku tidak terlalu ingat berapa lama aku berada di tempat ini. Yang pasti rasanya cukup lama. Sebelum aku sepenuhnya sadar, tahu-tahu aku sudah berteman dengan beberapa orang yang mungkin bisa dibilang... aneh. Tapi meskipun mereka dan tempat ini memang aneh, tapi entah kenapa aku merasa nyaman berada di Kastil ini. Meskipun aku masih tetap tidak tahu kenapa dan bagaimana aku bisa sampai di tempat ini.

“Mungkin kau dibawa alien dari planetmu, lalu ditempatkan disini. Tapi sebelumnya ingatanmu pasti dihapus dulu biar tidak bisa macam-macam.” Tsuki berkomentar sambil duduk di tepian danau. Pemuda yang satu ini memang agak aneh dan sepertinya punya lebih dari satu kepribadian. Yang kali ini ada di depanku adalah ‘Tsuki’, satu dari entah berapa banyak kepribadian yang dia miliki. Meski begitu, Tsuki sebenarnya sangat cerdas.

“Jangan konyol! Tapi ngomong-ngomong teori itu bisa saja benar. Soalnya aku juga tidak ingat kenapa aku bisa ada di tempat ini.” kali ini yang bicara adalah Yume, seorang gadis bertubuh mungil yang mengenakan penutup kepala aneh, hingga hanya wajahnya yang terlihat. Diantara orang-orang yang kukenal, Yume adalah yang berpikiran cukup ‘lurus’, meski dia bisa jadi ‘liar’ kalau melihat ada gadis imut lainnya.

“Kalian berdua jangan bicara yang tidak-tidak. Lagipula tidak ada gunanya membahas hal itu. Toh kita sudah terlanjur disini dan tidak bisa kemana-mana... atau lebih tepatnya, tidak mau kemana-mana.”

Aku menoleh dan melihat temanku yang lain. Temanku yang satu ini bernama Rilme dan hampir tidak pernah menunjukkan wajahnya. Wajah pemuda itu ditutup oleh topeng tengkorak yang selalu dia kenakan, hingga kadang aku pikir... tengkorak itu memang wajahnya yang asli.

“Memangnya kalian tidak pernah memikirkan alasan kenapa dan bagaimana kalian bisa sampai ke Kastil ini?” kali ini giliran aku yang bertanya. Anehnya, semua teman-temanku itu tampak memikirkan pertanyaanku dengan serius. Ini membuatku semakin penasaran.

“Tidak,” jawab Tsuki.

“Ehm... dulu sih. Tapi sekarang tidak lagi,” sahut Yume.

“... hmmm... ” gumam Rilme.

Aku mendesah. Selalu saja begini. Dari semua orang yang kukenal di sekitar kastil ini, mereka selalu mengatakan hal yang hampir sama kalau aku mulai bertanya pada mereka: kenapa dan bagaimana mereka bisa sampai di sini?

“Tidak perlu dipikirkan dengan serius. Toh disini tidak buruk juga. Walau dari depan terlihat kecil, tapi kalian kan tahu kalau kastil ini sebenarnya sangat luas. Meliputi juga kota di dan hutan sebelah sana itu.” Yume bicara sambil menunjuk ke arah kejauhan.

Memang ucapannya benar. Sejauh mata memandang, aku bisa melihat kota, hutan dan bahkan padang rumput, yang semuanya berada di dalam lindungan sebuah dinding yang sangat tinggi. Semua tempat itu masih merupakan bagian dari Kastil. Sungguh sebuah ‘kastil’ yang sangat luas sekali.

“Tapi apa kalian tidak pernah benar-benar memikirkan... apa yang akan terjadi kalau kalian keluar dari tempat ini?” tanyaku lagi.

“Emang ngapain aku keluar dari tempat ini?” balas Tsuki dengan nada ketus. Mendengar perubahan nada bicaranya, aku tahu yang ini adalah kepribadiannya yang lain dan kalau tidak salah... yang ini namanya Raid.

“Yah... entahlah,” balasku sambil mengangkat bahu. “Memangnya tidak ada yang rindu dengan tempat asal kalian?”

Sejenak ketiga temanku terdiam. Setelah beberapa lama, akhirnya Rilme yang bicara. “Memangnya kau masih bisa ingat dimana kau tinggal dulu dan bagaimana kehidupanmu sebelum sampai di tempat ini?”

Ucapan Rilme langsung membuatku terhenyak. Dia benar! Aku sama sekali tidak punya ingatan tentang kehidupanku sebelum aku sampai di gerbang Kastil. Tapi aku masih merasa kalau aku harus keluar dari tempat ini dan ‘pulang’... meskipun sama sekali aku tidak tahu dimana rumahku berada.

“Mungkin kau benar...” gumamku pada akhirnya. “Tempat ini telah menjadi segalanya bagiku... tidak mungkin aku keluar dari tempat ini.”

“Nah! Kalau kau sudah berpikiran seperti itu, bagaimana kalau kita pergi ke hutan?” usul Yume sambil tersenyum penuh semangat. “Sudah lama aku tidak mengunjungi Okami atau Kim.”

“Usul yang bagus!” sahut Rilme sambil berdiri. “Dan kalau beruntung, kita mungkin bisa menjumpai Rex disana.”

“Kalo gitu, ayo pergi! Jangan lama-lama!” timpal Raid sambil ikut berdiri. “Oii, ikut ga?”

Aku menggelengkan kepala. “Tidak. Kalian pergi saja. Aku punya urusan lain.” aku menjawab sambil berdiri dan meninggalkan teman-temanku itu. Mereka tampak memandangiku dengan tatapan heran, tapi aku tidak peduli. Ada satu hal penting yang seharusnya kulakukan sejak dulu.

Aku harus bertemu Yang Mulia Raja!

***

Jantungku berdebar kencang ketika memasuki bangunan utama Kastil, sebuah istana raksasa yang berdiri tepat di depan pintu gerbang. Dari Losta, orang yang memanduku waktu itu, aku tahu kalau di istana itulah Yang Mulia Raja tinggal. Sebagai tempat tinggal seorang Raja, istana itu memang dijaga oleh banyak penjaga... yang sebagian besar bukan manusia. Mereka tampak memandangiku dengan tatapan penuh selidik.

Maklum saja. Walaupun sama sekali tidak ada larangan untuk masuk kesana, tapi selama aku disini, tidak ada orang –ataupun bukan orang– yang masuk ke dalam istana itu. Semuanya terkesan menjauhi bangunan megah itu. Entah apa alasannya.

Ja-jangan-jangan, Yang Mulia Raja itu adalah sosok yang kejam dan... suka memenggal kepala orang...

Tubuhku langsung gemetar ketika memikirkan kemungkinan itu. Tapi meskipun aku takut, aku harus masuk dan bertemu dengan Yang Mulia Raja. Dari informasi yang kudengar, selain sebagai pimpinan kastil, aku juga dengar Yang Mulia Raja punya kekuatan ajaib yang bisa memulangkan orang dari tempat ini. Aku berharap semua informasi yang kudengar itu memang benar dan aku berharap Yang Mulia Raja bersedia memulangkanku kembali ke ‘rumah’, walaupun aku tidak ingat dimana tempat itu.

Setelah bertanya pada orang-orang di dalam istana, aku tahu kalau Yang Mulia Raja ada di puncak menara utama. Dengan segera aku berjalan mendaki ribuan anak tangga di hadapanku, hingga akhirnya aku sampai di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari perak dan dihias dengan ukiran rumit.

Sambil menelan ludah, aku mendorong pintu itu hingga terbuka. Ketika pintu itu terbuka, aku melihat sebuah singgasana tinggi yang berada jauh di seberang ruangan. Di atas singgasana itu, duduk seorang bocah laki-laki kecil berparas imut bermahkota emas. Di sisi kiri dan kanan bocah itu, tampak berdiri seorang wanita berpakaian putih dan seorang pria berjubah perang. Selain itu, sesosok seorang pria transparan tampak melayang jauh di atas singgasana.

Ketika melihat bocah mungil di singgasana itu, aku langsung mendapat kesan kalau dia adalah Yang Mulia Raja. Walaupun rasanya mustahil kalau pimpinan kastil ini adalah seorang anak kecil.

“Aku sudah menunggumu. Masuklah.” Sang Raja berbicara dengan nada tegas sambil mengacungkan jarinya ke arahku. Sayangnya aku justru terpaku di tempat dan tidak bisa bergerak. Rasanya ada sesuatu di dalam ruangan itu yang menahanku untuk melangkah masuk.

“Aku tahu yang kau inginkan. Jadi mendekatlah kemari. SEKARANG!” Bersamaan dengan seruan Sang Raja, tiba-tiba tubuhku melayang masuk seolah ditarik oleh sebuah tangan yang tidak terlihat. Aku langsung mengerang ketika tubuhku jatuh di depan tangga singgasana yang berlapis karpet tebal. Dengan ngeri aku memandang ke arah Sang Raja yang duduk jauh di singgasananya.

“Y-Yang Mulia...” aku tergagap, sangat takut.

“Aku tahu. Aku tahu,” sahut Sang Raja sambil memandangku dengan tatapan bosan. “Kau ingin kembali ke tempat asalmu kan? Aku sudah tahu itu. Makanya kau kemari. Bukan begitu?” tanyanya.

Aku menelan ludahku. Bagaimana dia bisa tahu?! “Be-benar, Yang Mulia. Anda benar sekali,” gumamku lagi. Aku melihat ada kilatan aneh di mata Sang Raja dan aku langsung berharap, semoga itu bukan berarti kalau dia akan memenggal leherku.

“Membosankan sekali. Kenapa kau ingin keluar dari tempat ini? Apa kau tidak menyukai kastil ini?” tanya Sang Raja. “Katakan padaku, kenapa kau ingin ‘pulang’?”

Aku terdiam. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Jujur saja, tempat ini sangat menyenangkan. Ada banyak keajaiban dan hal menarik di tempat ini. Namun jauh di dalam hati, aku tetap ‘tahu’ kalau ini bukanlah ‘rumahku’.

“Mohon maaf, Yang Mulia... hamba juga tidak tahu kenapa hamba ingin pergi dari tempat ini. Kastil adalah tempat yang luar biasa dan disini hamba juga punya teman-teman yang luar biasa. Tapi...” Aku terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapanku sambil mengepalkan tangannku. “... hamba merasa ini bukan ‘rumah’ hamba. Hamba ingin kembali ke ‘rumah’ hamba yang sesungguhnya.”

Sang Raja tampak terdiam mendengar ucapanku, lalu mendongak ke atas.

”Kau benar-benar ingin pulang?” Tiba-tiba aku mendengar suara aneh dalam benakku. Suara itu sama dengan yang dulu sekali kudengar saat aku pertama kali memasuki Kastil. Aku langsung memandang ke segala arah. Tiba-tiba saja tatapanku terpaku pada si pria transparan yang melayang di atas singgasana. Pria itu langsung tersenyum ketika tatapan kami bertemu.

”Ya. Ini aku, Tungie sang Hantu yang bicara padamu,” ujar si pria transparan, langsung ke dalam benakku. ”Kenapa kau ingin kembali ke kehidupan lamamu? Kau sudah susah payah datang kemari dan percayalah padaku... kau tidak ingin kembali ke ‘tempat itu’. Lagipula, setelah mengenal tempat ini sekali, kau tidak bisa sepenuhnya ‘pulang’.”

Aku tersentak. “Apa maksudmu?” tanyaku pada Tungie. “Kalau tidak salah, waktu pertama aku mau masuk ke tempat ini, kau seperti berusaha mencegahku. Tapi kenapa sekarang kau malah melarangku untuk pulang?”

”Yah... waktu itu kukira kau tidak benar-benar ingin pergi ke tempat ini. Jadi aku berusaha menghentikanmu. Soalnya orang yang datang kesini biasanya tidak akan mau kembali lagi ke ‘tempat asalnya’.” sahut Tungie. ”Lagipula kau ini kan sebenar...”

“Tungie, berhenti bicara! Nanti dia semakin bingung!” potong Sang Raja sebelum Tungie sempat menyelesaikan ucapannya.

Begitu mendengar ucapan Sang Raja, Tungie langsung terdiam. Lalu tatapan mata Sang Raja langsung terpaku ke arahku. Tanpa sadar aku merinding ketakutan. “Kalau dia ingin pulang, biarkan dia pulang,” ujar Sang Raja sambil tersenyum penuh arti. “Tidak ada kewajiban bagi kita untuk menahannya disini. Lagipula, ini keputusannya sendiri. Apapun resikonya, dia yang akan menanggungnya.”

”Baik, Yang Mulia.” suara Tungie masih dapat terdengar di dalam kepalaku. Aku langsung mendongak dan terkejut melihat sosok pria itu sudah menghilang.

“Nah, kau ingin pulang kan?” tanya Sang Raja sambil terus memandangiku dengan tatapan penuh arti. Dia lalu menoleh ke arah wanita berbaju putih yang berdiri di samping singgasananya. “Ren! Pulangkan dia ke ‘rumah’nya dan kembalikan semua ingatannya! Tapi sebelum itu, mandikan dia dulu. Aku tidak ingin dia pulang dalam keadaan kotor seperti itu.”

“Siap, Yang Mulia,” sahut wanita cantik berbaju putih bernama Ren itu. Dia lalu berjalan ke arahku. ”Mari sini.” dia mengajakku berjalan ke lorong sebelah kiri.

Kami masuk ke sebuah ruangan dengan kolam besar berada di tengah-tengahnya. Air hangat berbau harum mengalir dari patung ikan yang ada di pojokan, dan mengalir mengisi kolam tersebut. Ren melepas semua bajuku, dia juga melepas semua bajunya hingga kami sama-sama telanjang sekarang.

Sebelum air yang hangat itu membasahi tubuh kami, Ren memelukku sambil tidak henti-hentinya memuji keindahan tubuhku. Semula aku risih, namun rasa risih itu hilang oleh perasaan lain yang tanpa sadar telah menjalar di sekujur tubuhku. Sentuhan-sentuhan tangan Ren ke sekujur tubuhku membuatku merasa nikmat dan tidak kuasa untuk menolaknya. Apalagi ketika gadis itu menyentuh bagian tubuhku yang sensitif, aku makin terlena.

Kelembutan tubuh Ren yang memelukku membuatku merinding begitu rupa. Buah dadaku dan buah dadanya saling beradu. Sementara bulu-bulu lebat yang berada di bawah perut Ren terasa halus menyentuh daerah bawah perutku yang juga ditumbuhi bulu-bulu serupa. Namun bulu-bulu kemaluanku tidak selebat miliknya, sehingga terasa sekali kelembutan itu ketika Ren menggoyangkan pinggulnya.

Karena suasana yang demikian, aku pun menikmati segala apa yang dia lakukan. Aku benar-benar melupakan bahwa kami sama-sama perempuan. Perasaan itu hilang akibat kenikmatan yang ia berikan yang terus mengaliri tubuhku. Dan pada akhirnya kami saling berpandangan, saling tersenyum, dan mulut kami pun saling berciuman.

Kedua tanganku yang semula tidak bergerak, kini mulai melingkar di tubuhnya. Tanganku menelusuri punggungnya yang halus dari atas sampai ke bawah dan terhenti di bagian buah pantatnya. Bokong bulat yang kencang itu secara refleks kuremas-remas. Tangan Ren pun demikian, dengan lembut dia juga meremas-remas pantatku, membuatku semakin naik dan terbawa arus suasana. Semakin aku mencium bibirnya dengan penuh nafsu, dibalasnya ciumanku itu dengan bernafsu pula.

Hingga suatu saat Ren melepas ciuman bibirnya, dan ganti menciumi leherku dan semakin turun ke bawah, bibirnya kini menemukan buah dadaku yang mengeras kencang. Tanpa berkata-kata, sambil sejenak melirik kepadaku, Ren menciumi dua bukit payudaraku secara bergantian. Nafasku mulai memburu, hingga akhirnya aku menjerit kecil ketika bibir itu menghisap puting susuku. Dan sungguh aku menikmati semuanya, karena baru pertama kali ini aku diciumi oleh seorang wanita.

"Agghhh... Ren... ohhh...!" jerit kecilku sedikit menggema.

"Kenapa, enak ya?" katanya di sela-sela menghisap putingku.

"Iya, ohhh... enaaks... teruus...!" kataku sambil menekan kepalanya lebih dalam.

Diberi semangat begitu, Ren semakin gencar menghisap-hisap putingku, namun tetap lembut dan mesra. Tangan kirinya menahan tubuhku di punggung, sementara tangan kanannya turun ke bawah menuju liang kemaluanku. Aku teringat Rilme yang sering melakukan hal serupa, namun perbedaannya terasa sekali, Ren sangat lembut memanjakan tubuhku ini, mungkin karena dia juga seorang wanita.

Setelah tangan itu berada di kemaluanku, dengan lembut sekali dia membelainya. Jarinya sesekali menggesek klitorisku yang masih tersembunyi, maka aku segera membuka pahaku sedikit agar benda yang terasa mengeras itu leluasa keluar.

Ketika jari itu menyentuh klitorisku yang mengeras, semakin asyik Ren memainkannya, sehingga aku semakin tidak dapat mengendalikan tubuhku. Aku menggelinjang hebat ketika rasa geli campur nikmat menjamah tubuhku. Pori-poriku sudah mengeluarkan keringat dingin, sementara di dalam liang vaginaku sudah terasa ada cairan hangat yang mengalir perlahan, pertanda rangsangan yang sungguh membuatku menjadi nikmat.

Ketika tanganku menekan bagian atas kepalanya, bibir Ren yang menghisap kedua putingku secara bergantian segera berhenti. Ada keinginan pada diriku, dan Ren mengerti akan keinginanku itu. Namun sebelumnya, kembali dia pada posisi wajahnya di depan wajahku. Tersungging senyumannya yang manis.

"Ingin yang lebih ya?" katanya.

Sambil tersenyum, aku mengangguk pelan. Tubuhku diangkatnya dan didudukkan di ujung kolam yang terbuat dari porselen. Setelah aku memposisikan sedemikian rupa, tangan Ren dengan cekatan membuka kedua pahaku lebar-lebar, maka vaginaku kini terkuak bebas. Dengan posisi berlutut, Ren mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Aku menunggu perlakuannya dengan jantung yang berdebar kencang.

Napasku turun naik, dadaku terasa panas, begitu pula vaginaku yang terlihat pada cermin yang terletak di depanku, benda itu sudah mengkilat akibat basah dan terasa hangat. Namun rasa hangat itu disejukkan oleh angin yang keluar dari kedua lubang hidung Ren. Tangannya kembali membelai vaginaku, menguakkan belahannya untuk menyentuh klitorisku yang semakin menegang.

Agak lama Ren membelai-belai kemaluanku itu yang sekaligus mempermainkan klitorisku, sementara mulutnya menciumi pusar dan sekitarnya. Tentu saja aku menjadi kegelian dan sedikit tertawa. Namun Ren terus saja melakukan itu.

Hingga pada suatu saat, "Eiist... aahhh... aawhh... Ren... mmhh... sshhh...!" begitu suara yang keluar dari mulutku, ketika mulutnya semakin turun dan mulai mencium vaginaku. Kedua tangan Ren memegangi pinggul dan pantatku untuk menahan gerakanku yang menggelinjang nikmat.

Kini ujung lidahnya yang basah menyentuh klitorisku. Betapa pintar dia mempermainkan ujung lidah itu pada daging kecilku, sampai aku kembali tidak sadar berteriak ketika cairan di dalam vaginaku mengalir keluar lebih deras. ”Oohh... Reennn... enak sekali...!" begitu aku berteriak.

Aku mulai menggoyangkan pinggulku, memancing nikmat yang lebih lagi. Ren masih pada posisinya, hanya sekarang yang dijilati bukan hanya klitorisku, tapi lubang vaginaku yang panas itu. Tubuhku bergetar begitu hebat. Gerakan tubuhku mulai tidak karuan. Hingga beberapa menit kemudian, ketika terasa orgasmeku mulai memuncak, tanganku memegang bagian belakang kepalanya dan mendorongnya. Karuan saja wajah Ren semakin terbenam di dalam selangkanganku.

"Hisap, Ren! Oohhh... aku... aku... mau keluaar...!" jeritku serak.

Ren berhenti menjilat klitorisku, kini dia mencium dan menghisap kuat lubang kemaluanku. ”Reennnn... aku... keluaar...! Oughhhh... aku keluar, sayang... ohhh.. nikmat sekali... sshhh...!" bersamaan dengan teriakku itu, maka aku pun mencapai orgasme. Tubuhku seakan melayang entah kemana. Wajahku menengadah dengan mata terpejam merasakan berjuta-juta nikmat yang sekian detik menjamah tubuh, hingga akhirnya aku melemas dan kembali pada posisi duduk.

Ren melepas hisapannya. Dia berdiri, mendekatkan wajahnya ke hadapan wajahku, dan kembali dia mencium bibirku yang terbuka. Nafasku yang tersengal-sengal disumbat oleh mulutnya yang melumat bibirku dengan rakus. Kubalas ciuman mesranya itu setelah tubuhku mulai agak sedikit tenang.

"Terima kasih, Ren... enak sekali barusan." kataku sambil tersenyum. Ren membalas senyumanku. Dia membantuku keluar masuk ke dalam kolam. "Kamu mau nggak dikeluarin?" kataku lagi.

"Nanti sajalah, sekarang mending kita mandi aja dulu." jawabnya sambil mengguyurkan air ke tubuhnya yang sintal.

Kusetujui usul itu, sebab badanku masih lemas akibat orgasme tadi. Dan rupanya Ren tahu kalau aku kurang bertenaga, maka aku pun dimandikannya, disabuni, diperlakukan layaknya seorang anak kecil. Aku hanya tertawa kecil. Iseng-iseng kami pun saling menyentuh bagian tubuh kami masing-masing. Begitupula sebaliknya, ketika giliran Ren yang mandi, aku lah yang menyabuni tubuhnya.

Setelah selesai mandi, kami pun keluar dari kolam itu secara bersamaan. Kukeringkan tubuhku dengan handuk bersih yang ada disitu, sambil aku mematut diri di cermin memperhatikan tubuh telanjangku. Ada kebanggaan dalam hatiku. Setelah tadi melihat tubuh telanjang Ren yang indah, ternyata tubuhku jauh lebih indah. Ren memang cantik dan seksi, hanya dia terlalu ramping sehingga sepintas tubuhnya itu terlihat kurus. Sedangkan tubuhku agak sedikit montok, namun tidak terkesan gemuk. Ideal lah pokoknya. Kedua payudaraku berukuran 34B, dengan puting mungil kemerahan yang mencuat ke atas, sedangkan payudara Ren berukuran 32, juga dengan puting yang mencuat ke atas meski warnanya agak sedikit gelap.

Kuputar tubuhku setengah putaran. Kuperhatikan belahan pantatku, benda itu terlihat masih kencang meski agaj sedikit menurun. Berbeda dengan milik Ren yang masih seperti perawan, seperti pantat bebek. Kalau kuperhatikan dari pinggir tubuhku, nampak perutku yang ramping. Vaginaku nampak menonjol keluar. Bulu-bulu kemaluanku tidak terlalu lebat, walaupun jarang aku cukur. Padahal kedua tangan dan kakiku banyak ditumbuhi bulu-bulu tipis, tapi pertumbuhan bulu kemaluanku rupanya sudah maksimal. Lain halnya dengan Ren, walaupun perutnya lebih ramping dibanding punyaku, namun kemaluannya tidak menonjol alias rata. Dan daerah itu ditumbuhi bulu-bulu yang lebat namun tertata rapi.

Ren kemudian mengajakku keluar dari ruangan itu. "Ikuti aku!” dia berkata, tubuhnya masih tetap telanjang. Aku yang risih, segera mengenakan BH dan celana dalam. Aku tidak biasa jalan-jalan dengan tubuh telanjang seperti itu. Karena tidak menemukan bajuku tadi, sementara Ren sudah melangkah keluar, maka aku pun mengambil handuk yang berada di lantai. Sambil berjalan, kukenakan handuk itu menutupi tubuh mulusku, lalu keluar mengikuti Ren.

”Masuk sini!" Ren berbelok ke sebuah kamar. Aku mengikutinya.

Kulihat di dalam kamar itu tubuh Losta, wanita yang pertama kali menyambutku saat datang di kastil ini, telanjang merebah di atas ranjang. Tersungging senyuman di bibirnya yang manis. Karena aku sudah melangkah masuk, maka kuhampiri tubuh telanjang itu. Sementara Ren, setelah mendapat anggukan dari Losta, segera beranjak pergi.

"Kenapa kamu tidak memakai baju?" kataku sambil duduk di tepi ranjang. Kupandangi tubuh Losta yang mulus tanpa berkedip, kemulusan dan kecantikannya setingkat di atas Ren. Begitu juga dengan tonjolan pinggul dan buah dadanya, tampak lebih menggairahkan daripada milik Ren. Aku langsung kesulitan menelan ludah.

"Ah, gampang... itu tinggal pakai!" sahut Losta sambil tangannya menunjuk tumpukan gaun tidur yang berada di ujung ranjang. Lalu dia berkata lagi, "Kamu sudah pake daleman ya?"

Aku mengangguk, "Iya."

Kuperhatikan buah dadanya yang sebesar semangka turun naik. Napasnya terdengar sedikit memburu. Apakah dia sedang bernafsu sekarang? Entahlah. Lalu tangan Losta mencoba meraihku. Sejenak dia membelai tubuhku yang terbungkus handuk ini sambil berkata, "Kamu menggairahkan sekali memakai ini."

"Ah, masa sih?!" kataku sambil tersenyum dan sedikit menggeser tubuhku lebih mendekat ke tubuhnya, sekarang kulit paha kami sudah bersentuhan.

"Benar. Kalo tidak percaya, emm.. kalo tidak percaya..." Losta sedikit menahan kata-katanya.

"Kalo tidak percaya apa?" tanyaku tak sabar.

"Kalo tidak percaya…" sejenak matanya melirik ke arah belakang tubuhku. "Kalo tidak percaya, tanya saja sama orang di belakangmu... hihihi!" Losta terkikik.

Segera aku memalingkan wajahku ke belakang. Dan… hampir saja aku teriak kalau mulutku tidak buru-buru kututup dengan tanganku. Berdiri di belakangku seorang bocah lelaki kecil dengan hanya mengenakan celana dalam berwarna putih yang tidak lain adalah Yang Mulia Raja. Dengan refleks karena kaget, aku langsung berdiri dan bermaksud pergi dari ruangan itu, namun tangan Losta lebih cepat menangkap tanganku lalu menarikku kembali sehingga aku pun terjatuh dengan posisi duduk lagi di ranjang yang empuk itu.

"Mau kemana? Sudah di sini saja temani aku." kata Losta setengah berbisik.

Aku tidak sempat berkata-kata ketika sang Raja mulai berjalan mendekatiku. Dadaku berdebar-debar. Ada perasaan malu dan bingung di dalam hatiku. Malu karena tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bingung karena sang Raja kan masih kecil. Apa bisa dia melayani kami berdua?

"Bagaimana mandinya, segar bukan?" suara sang Raja menggema di ruangan itu. Tangannya mendarat di pundakku, dan lama bertengger di situ.

Aku yang malu tentu saja semakin gelagapan. Namun anehnya, ketika Losta melepaskan cengkeraman tangannya, tidak ada sama sekali keinginanku untuk menghindar atau pergi dari tempat itu. Tubuhku terasa kaku, sama sekali aku tidak dapat bergerak. Lidahku pun terasa kelu, namun aku terus memaksa bibirku untuk berkata-kata.

"A-apa-apaan... i-ini..?" tanyaku parau sambil melihat ke arah Losta. Sementara tangan sang Raja yang tadi bertengger di bahuku, mulai bergerak membelai-belai leher dan punggungku. Serr... tubuhku langsung bereaksi. Aku mulai merinding. Terasa bulu-bulu halus di tangan dan kakiku berdiri tegak. Rupanya sentuhan tangan sang Raja mampu membangkitkan birahiku kembali. Apalagi ketika terasa di bahuku yang sebelah kiri juga didarati oleh tangan sang Raja yang satunya lagi. Perasaan malu yang tadi sempat hinggap di hatiku segera sirna. Tubuhku semakin merinding. Mataku tanpa sadar terpejam menikmati dalam-dalam sentuhan tangan bocah kecil itu.

Pijatan-pijatan kecil di bahuku terasa nyaman dan enak sekali. Aku begitu menikmati apa yang kurasakan. Hingga beberapa saat kemudian tubuhku melemas, kepalaku tertahan oleh perut sang Raja yang masih berada di belakangku. Sejenak aku membuka mata, nampak Losta sudah membelai-belai vaginanya sendiri dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya meremas pelan kedua bukit payudaranya yang membusung indah secara bergantian. Tersungging senyuman di bibirnya yang tipis.

"Nikmati, sayang... nikmati apa yang kamu rasakan sekarang!" Losta berbisik lirih.

Aku tidak menjawab, aku semakin terbuai oleh sentuhan kedua tangan sang Raja yang mulai mendarat di daerah atas payudaraku yang tidak tertutup. Mataku semakin terpejam rapat.

"Ini hadiah sebelum kamu pergi dari tempat ini!" kata Losta lagi. Mataku terbuka dan kembali memperhatikannya yang masih setia dengan posisinya semula: tangan kanan menusuk vagina, tangan kiri meremas-remas payudara.

"Ayo, Yang Mulia... kita puaskan gadis ini bersama-sama!" seru Losta pada bocah kecil yang kini semakin nakal membelai gundukan payudaraku. Meski masih terhalang handuk dan BH, tapi remasan tangannya terasa sangat nikmat sekali.

Aku pun melenguh tak tahan. ”Oughhhh... Yang Mulia!”

"Sabar, cantik. Akan kubuat kamu mengingat tempat ini selamanya.” kata sang Raja, yang tak kusangka suara ternyata begitu berat, padahal dia masih kecil. Kutaksir umurnya tak lebih dari 12 tahun.

Sang Raja membungkukkan tubuhnya, kemudian wajahnya ditempelkan di bagian atas kepalaku. Terasa bibirnya mencium mesra daerah itu. Kembali aku memejamkan mata. Bulu-buluku semakin keras meremang. Sentuhan lembut tangan Raja kecil itu benar-benar terasa nikmat. Sangat pintar sekali dia memancing gairahku untuk bangkit. Kurasakan tangannya yang sebelah kanan berusaha untuk membuka kain handuk yang masih menutupi tubuh mulusku.

"Oh... Yang Mulia... ehmm... aahhhh...!" aku hanya dapat berkata begitu tanpa kuasa untuk menolak tindakan sang Raja yang telah berhasil membuka handukku dan segera membuangnya jauh-jauh. Tinggallah tubuh setengah bugilku. Kini gairahku sudah memuncak dan aku mulai lupa dengan keadaanku. Aku sudah terbius suasana.

Sang Raja berlutut, namun masih pada posisi di belakangku. Kembali dia membelai seluruh tubuhku. Dari punggungku, lalu ke perut, naik ke atas, leherku pun kena giliran disentuhnya, dan aku mendesah nikmat ketika leherku mulai diciumnya mesra. Sementara desahan-desahan kecil terdengar dari mulut Losta yang ada di depanku. Aku meliriknya sejenak, rupanya dia sedang masturbasi dengan menggunakan dildo hitam panjang. Losta menusuk-nusukkan benda itu ke dalam liang vaginanya. Suasana semakin memanas.

Aku memejamkan mata lagi, kepalaku kutengadahkan ke atas untuk memberi ruang pada sang Raja untuk menciumi leherku. Perasaanku sudah tidak malu-malu lagi, aku sudah kepalang basah. Aku sudah lupa bahwa aku ingin ’pulang’, yang ada di pikiranku sekarang cuma bagaimana menikmati rasa yang begitu nikmat ini.

"Buka ya BH-nya?!" kata sang Raja sambil melepas kait tali BH-ku yang ada di punggung. Begitu BH itu terlepas, payudaraku yang sejak tadi tertekan karena mengeras kencang, terasa seperti terbebas, membuatku lega sekaligus malu. Spontan aku segera menutupinya dengan kedua tanganku, kutangkupkan jari-jariku ke permukaannya yang halus dan mulus, kuhalangi putingnya yang telah mengacung tegak dari pandangan sang Raja.

Sementara itu suara Losta terdengar semakin keras, rupanya dia sudah mencapai orgasmenya. Kembali aku meliriknya yang tengah membenamkan jari manis dan jari telunjuknya ke dalam vaginanya sendiri. Nampak dia mengejang-ngejang ringan sambil mengangkat pinggulnya sedikit. "Ahhhh... nikmat... oohhhh... nikmat sekalii...!" begitu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dan tidak lama kemudian dia terkulai lemas di ranjang. Sementara sang Raja masih sibuk dengan kegiatannya.

Kini kedua payudaraku sudah diremasi dengan mesra oleh kedua telapak tangannya dari belakang. Sambil terus bibirnya menjilati inci demi inci kulit leherku seluruhnya. Sedang enak-enaknya aku, tiba-tiba ada yang menarik celana dalamku. Aku membuka mataku, rupanya Losta berusaha untuk melepas celana dalamku itu. Maka kuangkat pantatku sejenak untuk memudahkan celana dalamku dilepas olehnya. Setelah lepas, celana dalam itu dibuang jauh-jauh oleh Losta.

Aku menggeser posisi dudukku menuju ke bagian tengah ranjang. Sang Raja mengikuti gerakanku masih dari belakang, sekarang dia tidak berlutut, namun duduk tepat di belakang tubuhku. Kedua kakinya diselonjorkan, maka pantatku kini berada di antara selangkangan milik bocah cilik itu. Terasa di pantatku ada tonjolan keras pada selangkangannya. Rupanya penis sang Raja sudah tegang maksimal. Meski bertubuh kecil, ternyata dia mempunyai penis yang cukup besar juga.

Losta membuka pahaku lebar-lebar sehingga kakiku sekarang berada di atas paha sang Raja. Lalu dengan posisi tidur telungkup, dia mendekatkan wajahnya ke selangkanganku, dan yang terjadi selanjutnya adalah... "Awwh... ooh... eeisth.. aakh..!" aku menjerit nikmat manakala kurasakan lidahnya menyapu-nyapu belahan vaginaku, terasa klitorisku semakin menegang, membuatku jadi tidak dapat mengendalikan diri akibat enak,geli dan nikmat yang menyatu di dalam tubuhku.

Kembali kepalaku menengadah sambil mulutku terbuka. Sang Raja tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia tahu maksudku. Dari belakang, bibirnya langsung melumat bibirku yang terbuka itu dengan penuh nafsu. Kubalas ciuman itu dengan nafsu pula. Dia menyedot, aku pun menyedot. Terjadilah pertukaran air liur sang Raja dengan air liurku. Tercium aroma permen pada mulutnya yang makin menambah nikmat percumbuan kami.

Kedua tangan sang Raja semakin keras meremas kedua payudaraku, menimbulkan nikmat yang teramat, sementara di bawah, Losta menjilat semakin mengasyikkan. Dia terus mencucup dan menciumi vaginaku yang telah banjir parah. Banjir oleh cairan pelicin vaginaku dan air liurnya.

"Mmmhh... akh... mmhh...!" bibirku masih dilumat mesra oleh sang Raja. Ternyata cukup lihai juga berciuman. Bibirku disedot-sedotnya, sementara lidahku dihisap-hisap sambil sesekali digigit-gigit kecil.

Tubuhku semakin memanas dan mulai memberikan tanda-tanda bahwa aku akan mencapai puncak kenikmatan yang kutuju. Pada akhirnya, ketika remasan sang Raja pada payudaraku semakin keras, dan Losta menjilat, mencium dan menghisap vaginaku semakin liar, tubuhku pun menegang kaku, keringat dinginku bercucuran dan mereka tahu bahwa aku sedang menikmati orgasmeku. Aku mengangkat pinggulku, otomatis jilatan Losta terlepas. Nikmat kurasa ketika jari telujuk dan jari manis Losta masuk ke liang vaginaku menggantikan lidahnya. Dia mengocok vaginaku pelan selama aku menyemburkan cairan surgawiku.

"Aakh... aawhh... nikmatnya... terus.. Lostaa.. oooh... yang cepaat.. akh..!" teriakku parau. Sang Raja menahan tubuhku yang mengejang-ngejang dari belakang. Jari-jarinya tetap memilin-milin puting susuku. Sementara bibirnya ganti mengulum telingaku sambil membisikkan sesuatu yang membuatku semakin melayang.

"Ayo, cantik! Nikmatilah orgasmemu, jangan kamu tahan, keluarkan semuanya, Sayang! Nikmatilah, nikmatilah! Oh, kamu cantik sekali jika orgasme!" begitu bisikan yang keluar dari mulutnya sambil terus mengulum telingaku. Tangannya semakin nakal dengan menarik-narik putingku ke depan.

"Aakh.. Yang Mulia, aduh.. Losta.. nikmaat.. oh... enak sekali!" akhirnya tubuh kejangku mulai mengendur, diikuti dengan turunnya kenikmatan orgasmeku itu. Perlahan tubuhku turun dan akhirnya terkulai lemas di pangkuan sang Raja.

Losta lalu mendekapku dan berbisik, "Ini belum seberapa, Sayaang. Nanti akan kamu rasakan yang lebih nikmat saat Yang Mulia mulai menyetubuhimu!" sambil berkata demikian, dia mencium keningku.

Sang Raja beranjak dari duduknya dan berjalan entah ke arah mana, karena pada saat itu mataku masih terpejam, seakan enggan untuk terbuka. Aku terlalu lelah dan nikmat.

Entah berapa lama aku terlelap. Ketika sadar dan membuka mataku perlahan, hanya kulihat di kamar itu, sang Raja sudah tidak ada. Lelehan sperma kental tampak membasahi vagina Losta yang bengkak memerah, rupanya dia sudah dipuaskan oleh sang Raja saat aku tidur tadi. Segera aku bangkit dari posisi tidurku, lalu berjalan menuju pintu kamar. Telingaku mendengar alunan suara musik klasik yang berasal dari ruang depan. Dan ketika kubuka pintu kamar itu yang kebetulan bersebelahan dengan ruang depan, mataku menemukan suatu adegan dimana Ren dan sang Raja sedang melakukan persetubuhan.

Ren dengan posisi menelentang di sofa sedang ditindih oleh sang Raja dari atas. Terlihat tubuh mungil sang Raja sedang naik turun di atas tubuh montok Ren. Segera mataku kutujukan pada selangkangan mereka. Jelas terlihat penis sang Raja yang berkilat sedang keluar masuk dengan lancarnya di vagina Ren yang basah dan sempit. Erangan-erangan nikmat keluar dari mulut Ren yang sedang menikmati hujaman sang Raja di lubang vaginanya, membuat tubuhku perlahan memanas. Segera saja kuhampiri mereka dan berdiri tepat di hadapan mereka.

Di sela-sela rintihan kenikmatannya, Ren menatapku dan tersenyum. Sang Raja yang kaget dengan kehadiranku, menghentikan gerakannya sejenak dan menoleh memandangku.

"Akh... Yang Mulia, jangan berhentiii... aku mulai enak ini...! Oh..!" seru Ren. Mendengarnya, sang Raja kembali berkonsentrasi lagi dengan kegiatannya. Kembali terdengar desahan-desahan nikmat dari mulut tipis Ren yang membahana ke seluruh ruangan saat sang Raja kembali menghujamkan penisnya. Kali ini lebih cepat dan dalam. Aku yang melihatnya kembali gelagapan, tubuhku semakin resah dan panas. Refleks tanganku membelai vaginaku sendiri.

"Oh... nikmat sekalii... oh... akuu... ooh... mmh..." rintih Ren makin tak karuan. Aku melihat wajah nikmatnya yang begitu cantik. Kepalanya kadang mendongak ke atas, matanya terpejam-pejam. Sesekali Ren juga menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya melingkar pada pantat sang Raja, dan menarik-narik bokong mungil itu dengan keras sekali, membuat penis sang Rja yang besar semakin amblas masuk ke dalam liang vaginanya.

"Oh, Yang Mulia... aku hampir sampaaii...! Teruus... Yang Mulia... terus...! Lebih keras lagi... oooh... akh...!" Ren mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi, sementara sang Raja terus dengan gerakannya menaik-turunkan tubuh mungilnya dalam kondisi push-up.

"Yang muliaaa... akuuu... keluaar...! Aakh... mhh... nikmat sekali.. mmh..!" tubuh Ren mengejang. Rupanya dia sudah mencapai orgasmenya. Tangannya yang tadi melingkar di pantat sang Raja, kini berpindah melingkar di punggung bocah kecil itu.

Sang Raja berhenti bergerak, tapi tetap membiarkan penisnya menancap dalam di lubang kemaluan Ren yang sedang berkedut-kedut kencang saat menyemburkan cairan senggamanya. "Owhh... banyak sekali keluarnya. Vaginamu jadi sangat basah!" kata sang Raja sambil menciumi wajah cantik Ren.

Dapat kubayangkan perasaan Ren saat itu. Betapa nikmatnya dia. Aku jadi makin belingsatan dengan merubah-rubah posisi dudukku di depan mereka. Beberapa saat kemudian, kulihat Ren mulai melemas dari kejangnya. Segera dia turun dari sofa ketika sang Raja mencabut penisnya dari lubang kenikmatannya. Aku melihat dengan jelas betapa besar dan panjang penis bocah kecil itu. Dan ini baru pertama kali aku melihatnya, karena waktu tadi di dalam kamar, sang Raja masih menutupi penisnya dengan celana pendek.

Dengan segera Ren menungging. Lalu segera pula sang Raja berlutut di depan pantatnya. "Giliran anda... Yang Mulia! Ayoo...!" seru Ren.

Sang Raja menggenggam penisnya dan mengarahkan langsung ke lubang vagina Ren yang menganga lebar dari belakang. Saat dia menekan pantatnya, melesaklah penis itu masuk ke dalam, diikuti dengan lenguhan Ren yang sedikit tertahan. "Owwh... Yang Mulia... aakh..!"

"Aduuh... Ren... sempit sekali!" balas sang Raja.

”Bukan, penis Yang Mulia yang terlalu besar... oughh!” Ren merapatkan kakinya sedemikian rupa hingga makin menjepit penis sang Raja.

”Aghh...” melenguh keenakan, sang Raja mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, menyetubuhi tubuh bugil Ren dari belakang sambil berpegangan pada payudara wanita cantik itu yang menggantung indah.

Ufh, pemandangan yang begitu menggairahkan. Baru kali ini aku menyaksikan sepasang manusia bersetubuh tepat di depanku secara langsung. Semakin mereka mempercepat tempo gerakannya, semakin aku terangsang begitu rupa. Tanganku yang tadi hanya membelai-belai vaginaku, kini mulai menyentuh klitorisku. Kenikmatan mulai mengaliri tubuhku dan semakin aku tidak tahan, sehingga aku memasukkan jariku ke dalam vaginaku sendiri. Aku sendiri sangat menikmati masturbasiku tanpa melepas pandanganku dari mereka. Apalagi telingaku dengan jelas dapat mendengar desahan dan rintihan Ren hingga dapat membayangkan apa yang sedang ia rasakan, dan aku sangat ingin sekali ikut merasakannya, merasakan bagaimana vaginaku ditusuk oleh penis sang Raja yang besar dan panjang.

Beberapa saat kemudian, kulihat sang Raja mulai melenguh keras. Kuhentikan kegiatanku dan terus memperhatikan mereka. "Aakhh... Ren... nikmaat... aakh... aku keluaar..!" teriak sang Raja membahana.

"Oh... Yang Mulia... akuu... juggaa... akh..!" kedua tubuh itu bersamaan mengejang. Mereka mencapai orgasme secara berurutan.

Penis sang Raja masih menancap di vagina Ren sampai akhirnya mereka melemas. Dari belakang, sang Raja terus memeluk sambil meremas-remas kedua payudara bulat Ren dengan lembut.

Lama sekali kulihat mereka tidak bergerak. Rupanya mereka sangat kelelahan. Di sofa itu mereka tertidur bertumpukan. Tubuh Ren berada di bawah tubuh sang Raja yang menindihnya. Mata mereka terpejam seolah tidak menghiraukan aku yang duduk terpaku di hadapan mereka. Hingga akhirnya aku pun bangkit dan beranjak pergi menuju kamar dimana Losta berada.

Sesampai di kamar, entah kenapa rasa lelah dan kantukku hilang. Aku malah menjadi semakin resah membayangkan kejadian yang baru aku lihat, di mana Ren dan sang Raja melakukan persetubuhan yang hebat dan liar itu. Keinginanku untuk merasakan penis sang Raja menjadi kian besar. Aku mengharapkan sekali sang Raja sekarang menghampiri dan menikmati tubuhku. Namun itu tak mungkin terjadi, karena aku melihat bocah kecil itu sudah lelah sekali. Entah sudah berapa kali mereka bersetubuh pada saat aku terlelap tadi.

Aku semakin tidak dapat menahan gejolak birahiku sehingga aku pun merebahkan diri di kasur dan dengan posisi telentang, aku mulai menyelipkan tanganku di celah-celah liang vaginaku. Aku membelai-belai selangkanganku yang terasa panas itu. Dan ketika tanganku menusuk semakin ke dalam, dan menyentuh klitorisku, kembali aku menjerit nikmat. ”Oughhhh...!” aku tak kuasa membendung perasaan saat jariku mulai menemukan lubang kemaluanku yang semakin berlendir. Dengan membayangkan sang Raja sedang menyetubuhiku, kumasukkan jari tengahku ke dalam hingga kurasakan kelembutan daging di dalam vaginaku dan gesekan dinding-dindingnya yang membuatku makin mendesah keenakan.

”Mau dibantu?” tanya Losta yang ternyata sudah bangun, mengangetkanku.

Sebelum aku menjawab, dia sudah menarik jariku dan mengganti dengan tangannya. Aku tidak sempat memprotes karena kurasakan kocokan tangannya ternyata begitu nikmat, lebih nikmat daripada saat aku melakukannya sendiri. Jadilah aku merintih-rintih dan mengelinjang semakin keras. ”Oughh... Losta... ya, terus... yah.. disitu... oughhh!”

Beberapa menit kemudian, kurasakan denyutan di liang vaginaku menjadi kian cepat. Losta yang mengetahui hal itu semakin mempercepat kocokan jarinya. Sambil terus membayangkan penis besar sang Raja, aku pun menjemput orgasmeku. kukangkangkan kakiku selebar mungkin hingga dua jari Losta yang keluar masuk di lubang vaginaku menusuk semakin dalam. Saat itulah cairanku menyembur deras.

"Akh... sshh... Lostaa... Okh... aakkh..!" itulah jeritan yang keluar dari mulutku.
Seer... aku merasa liang vaginaku jadi hangat dan basah sekali. Kuangkat ke atas pinggulku sambil tidak melepas kedua jari Losta yang masih menancap dalam. Beberapa lama tubuhku merinding, mengejang, dan merasa nikmat yang tidak terkira. Sampai pada akhirnya aku melemas dan pinggulku turun secara cepat ketika kenikmatan itu perlahan berkurang.

Losta mencabut jari-jemarinya, cairanku yang tadi tersumbat pun meleleh keluar, membasahi bantal dan sprei yang kami gunakan. Losta menjilati jari-jarinya yang penuh dengan cairanku hingga bersih. Dengan mata yang masih terpejam-pejam, kubiarkan ia juga menjilati sisa-sisa cairan yang menempel di paha dan bibir vaginaku. Aku terlalu lelah untuk memperotes. Ohhh.. nikmatnya semua ini.

Dengan senyum penuh kepuasan, kutarik selimut yang ada di sampingku untuk menutupi sekujur tubuhku yang mulai mendingin. Losta tersenyum dan ikut tidur di sampingku. Kami berpelukan dengan tubuh masih sama-sama telanjang.

***

Pagi harinya, aku terjaga dari tidurku saat kurasakan ada seseorang yang menarik kain selimut yang membungkus tubuhku, lalu dengan cepat sekali mulai meraba-raba tubuhku dari ujung kaki sampai celah selangkanganku. Diperlakukan demikian tentu saja membuatku aku menjadi geli. Segera bulu-bulu berdiri semua. Ternyata itu ulah sang Raja.

"Akh... Yang Mulia... Gelii!" kataku.

Tanpa menghiraukannya, dia kini mulai mendaratkan bibirnya ke seluruh kulit pahaku, dari lutut sampai pinggang. Perlakuannya yang berulang-ulang menciptakan rasa geli bercampur nikmat yang membuatku cepat terangsang.

"Akh... Yang Mulia... oh... mmh..!" kupegang bagian belakang kepala sang Raja dan membenamkannya dalam-dalam ketika mulut bocah itu mulai menciumi vaginaku. Kukangkangkan pahaku lebar-lebar hingga ia makin leluasa menjilati vaginaku. Tubuhku mulai bergerak-gerak tidak beraturan, merasakan nikmat yang tiada tara akibat hisapannya pada tonjolan klitorisku yang kini tampak merah merekah.

Aku membuang kain selimut yang masih menempel di tubuhku ke lantai, sementara sang Raja masih dengan kegiatannya, yaitu menciumi dan menjilati vaginaku. Aku menengadah menahan nikmat, kedua kakiku naik kutumpangkan ke bahunya, namun tangan sang Raja cepat menurunkannya dan berusaha membuka lebar-lebar kedua pahaku itu. Karuan saja selangkanganku semakin terkuak lebar dan belahan vaginaku semakin jelas terlihat.

"Akh.. Yang Mulia! Shh.. nikmaat..! Terus, Yang Mulia...!" rintihku. Kedua tangan sang Raja naik ke atas untuk meremas payudaraku yang sudah terasa mengeras. Remasannya membuatku semakin nikmat saja, dan itu membuat tubuhku semakin menggelinjang. Segera aku menambah kenikmatanku dengan menguakkan belahan vaginaku, jariku menyentuh klitorisku sendiri. Oh, betapa nikmat yang kurasakan, liang kemaluanku sedang disodok oleh ujung lidah sang Raja, kedua payudaraku yang diremas-remas olehnya, dan klitorisku yang kusentuh dan kupermainkan sendiri, beberapa detik kemudian, aku pun mengejang hebat disertai perasaan nikmat teramat sangat dikarenakan sudah mendekati orgasmeku.

"Oh... Yang Mulia! Aku... aku... akh... nikmaat... mhh..!" bersamaan dengan itu, aku mencapai klimaksku. Tubuhku serasa melayang entah kemana, dan sungguh aku sangat menikmatinya. Apalagi ketika sang Raja menyedot keras lubang kemaluanku dan menelan semua cairan cintaku. Setelah mereda, sang Raja menghentikan kegiatannya dan segera memelukku, dan mencium bibirku.

"Kamu sungguh cantik, Rid!" sambil berkata demikian, dengan pinggulnya dia membuka kembali pahaku, dan terasa batang kemaluannya menyentuh dinding kemaluannku.

Segera tanganku menggenggam kemaluan itu dan mengarahkan langsung tepat ke lubang vaginaku. "Lakukan, Yang Mulia! Lakukan sekarang! Aku menginginkannya!" kataku sambil menerima setiap ciuman dari bibirnya.

Sang Raja dengan perlahan memajukan pinggulnya, terasa di liang vaginaku ada yang melesak masuk ke dalam. Gesekan itu membuatku kembali menengadah, sehingga ciuman kami terlepas. Betapa panjang dan besar kurasakan batang penisnya, sangat tidak cocok dengan tubuhnya yang kecil dan mungil. Aku merasakan ujung kemaluan sang Raja seperti mentok di mulut rahimku.

"Pernah merasakan yang sepanjang ini?" dia bertanya sambil mulai menggenjot pinggulnya.

Aku menggelengkan kepala sambil terus menikmati gesekan penis itu di liang vaginaku. Kulipat kedua kakiku di belakang pantatnya agar tusukannya terasa semakin nikmat. Kami kembali berciuman dengan mesra. Di alam kenikmatan, pikiranku menerawang. Aku seorang perempuan yang sudah dewasa, tengah disetubuhi oleh anak kecil, yang tidak punya hak sama sekali menikmati tubuhku, dan itu sangat di luar dugaanku. Seolah-olah aku sudah terjebak di antara sadar dan tidak sadar, aku sangat menikmati permainan liar ini. Betapa aku sangat mengharapkan kepuasan bersetubuh dari bocah yang pantas jadi adikku ini.

Beberapa menit berlalu, peluh kami sudah bercucuran. Sampailah aku pada puncak kenikmatan yang kudambakan. Orgasmeku mulai terasa dan sungguh aku sangat menikmatinya. Menikmati orgasmeku dari anak kecil yang seharusnya tidak bisa melakukannya. Aku tidak menduga kalau rahimku akan menampung air sperma yang keluar dari penis bocah kecil macam sang Raja ini.

Saat itulah, saat aku masih menjerit-jerit keenakan, dia tampak memasukkan sebelah tangannya ke balik bajunya dan mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti sebuah stempel berukuran besar. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibir bocah itu.

”A-apa yang akan kau lakukan?” aku bertanya, ketakutan.

“Jangan takut. Ini tidak akan sakit,” kata sang Raja, penisnya masih menempel ketat memenuhi liang vaginaku.

Aku sudah bersiap untuk kabur, tapi tiba-tiba saja tubuhku kaku dan tidak bisa digerakkan. Masih sambil tersenyum lebar, sang Raja mengangkat stempel besar itu tinggi-tinggi, lalu menepukkan benda itu ke atas kepalaku. Seketika itu juga seluruh dunia jadi terasa berputar dan tubuhku langsung roboh ke lantai. Pandanganku langsung buram dan aku jadi tidak bisa berpikir. Suara Yang Mulia Raja terdengar bergema dalam kepalaku.

“Nah. Dengan ini kau resmi ‘dipulangkan’ dari Kastil,” ujar sang Raja. Sekilas aku melihatnya tersenyum lebar. “Selamat jalan... dan sampai jumpa lagi. Aku yakin kau akan segera kembali ke tempat ini.”

Setelah itu, tubuhku langsung ditelan oleh kegelapan dan aku tidak bisa merasakan apapun.

***

Ketika aku membuka mataku lagi, tahu-tahu aku sudah ada di dalam kamarku sendiri. Dengan bingung aku memandang ke segala arah untuk memastikan kalau aku benar-benar berada di dalam ‘kamarku’. Ketika melihat beberapa benda yang familiar, aku langsung yakin kalau tempat ini benar-benar kamarku. Rumahku. Tempat tinggalku.

Dengan lega aku membaringkan tubuh lagi, tapi kemudian tanganku menyentuh beberapa benda aneh. Aku terkejut melihat sebuah tabung kecil dan pil-pil berwarna putih yang berserakan di samping bantalku.

”Apa ini?” tanyaku kebingungan. ”Obat?”

Meski penasaran, aku tidak mau banyak berpikir saat ini. Yang penting sekarang aku sudah kembali ke ‘rumah’ dan semoga saja semuanya kembali normal seperti biasa. Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku turun dari tempat tidurku dan berjalan ke arah pintu kamar. Aku harus memastikan kalau tempat ini benar-benar rumahku dan aku sudah kembali dari Kastil.

Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja ucapan Tungie si hantu kembali terngiang di kepalaku.
Kenapa kau ingin kembali ke kehidupan lamamu?

Aku terdiam dan berpikir sejenak, tapi entah kenapa ingatanku terasa masih buram. Aku masih tidak bisa mengingat apapun selain masa-masa sewaktu aku tinggal di Kastil.

”Aneh sekali...” aku bergumam sambil membuka pintu kamarku.

***

”Mungkin ini yang dimaksud oleh Tungie waktu itu...” aku berpikir sambil memandangi pemandangan kota dan orang-orang yang lalu lalang jauh di bawah sana. Saat ini aku sedang berdiri di lantai paling atas sebuah pusat perbelanjaan di kotaku. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Semuanya kacau. Semuanya berantakan. Semuanya... tidak normal.

Sejak kembali dari Kastil, perlahan-lahan ingatanku kembali. Lebih tepatnya, ingatanku tidak kembali, tapi aku dipaksa menjalani kembali apa yang ada di dalam ingatanku. Kehidupanku ternyata benar-benar mengerikan. Lebih mirip neraka. Aku ternyata tidak lebih dari seorang pecundang yang gagal dalam hampir segala aspek kehidupanku. Di rumah, semua orang menjauhiku karena aku ketahuan selingkuh dengan laki-laki lain. Sebagai balasannya, suamiku menjualku untuk melunasi hutang-hutangnya, setelah itu dia menceraikanku. Bapak mertua dan sopir pribadiku memperkosaku saat aku tengah terpuruk sendirian. Aku sudah hampir bunuh diri saat itu, tapi untung ada Bi Ehah yang memergokiku. Sekarang aku tinggal berdua dengannya, dia lah yang telaten merawatku hingga aku menjadi seperti sekarang ini.

Aku muak dengan kehidupanku. Aku muak dengan semua hal mengerikan yang terjadi padaku setiap hari. Aku sama sekali tidak berharga. Tidak akan ada yang merasa kehilangan kalau aku tiba-tiba saja ‘menghilang’ dari dunia ini. Tanpa sadar air mataku kembali mengalir. Aku akhirnya ingat kenapa ada tabung kecil dan pil-pil aneh ketika aku ‘terbangun’ dari Kastil. Pil-pil itu tidak lain adalah obat tidur yang sengaja kuminum sebanyak-banyaknya, dengan harapan aku tidak perlu bangun lagi dan menghadapi hidup yang mengerikan ini.

Aku mendongak menatap langit. Kali ini aku ingat perkataan Losta, orang yang menyambutku ketika aku muncul di depan gerbang Kastil. ”Ini adalah Kastil. Tempat dimana anda bisa merasakan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat tujuan akhir dari pengembaraan yang anda lakukan seumur hidup anda.”

Mungkin Losta memang benar. Kastil mungkin adalah tempat dimana aku seharusnya berada. Disana aku tidak pernah dianggap sebagai beban. Disana aku tidak pernah dianggap sebagai sosok yang tidak berharga. Malah disana lah aku menemukan gairah dan nikmat yang luar biasa. Mungkin... itulah tempat yang selama ini aku cari. Tempat dimana aku bisa hidup dengan tenang dan damai.

Aku sudah tidak punya keraguan lagi sekarang. Aku ingin kembali ke Kastil.

Masih sambil memandangi langit, aku melangkah maju melewati tepian gedung dengan mantap. Hal terakhir yang kurasakan adalah sebuah benturan keras dan tubuhku kembali ditelan oleh kegelapan.

***
Ketika aku membuka mata lagi, aku tahu-tahu sudah berdiri di depan sebuah gerbang kayu besar dan tebal. Seorang wanita tampak berdiri di depan gerbang itu sambil tersenyum. Aku hanya bisa berdiri terdiam dan memandangi gerbang besar itu.

“Apa? Dimana ini?” tanyaku kebingungan.

Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi padaku hingga aku sampai di tempat ini. Tapi aku tidak bisa mengingat apapun. Ingatanku nyaris putih bersih. Kalaupun ada yang bisa kuingat, itu hanyalah namaku sendiri.

Melihatku yang tampak kebingungan, si wanita misterius langsung tersenyum lebar. Sambil membungkuk, dia berkata dengan nada riang. “Selamat datang di Kastil kami, wahai pengembara yang tersesat. Silahkan masuk. Kami sudah menunggu kedatangan anda.”

0 comments:

Post a Comment

 

©2011Pojokan Dewasa | by TNB