Monday 18 February 2013
Attack Cuisine
Ahh, mood Nami hari ini sedikit buruk. Dan itu bertambah buruk
apabila ia mengingat bagaimana Luffy, Usopp, Chopper, dan Brook memasuki
ruang kerjanya dan mengacak-acak isinya. Ya, Nami meninggalkan mereka
berempat tak sadarkan diri di ruang kerja pribadinya. Semua tahu
dengan baik, tak ada yang lebih menakutkan di atas kapal ini selain
wanita berambut jingga yang sedang kusut mood-nya.
Nami
lalu berjalan di balkon atas menuju dek tengah, berniat mendapat sedikit
cemilan dari Sanji si koki. Senjakala sudah mulai menggelap, ia menilik
arlojinya dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tadi, Nami
melewatkan makan malamnya karena ingin cepat-cepat menyelesaikan bagan
denah Pulau Merman.
Sudah beberapa kali—dari Sanji, Robin, sampai suara
cempreng Luffy memanggil dirinya dari bawah, namun wanita navigator itu
tetap tidak turun. Alih-alih niatnya sebenarnya yaitu, ingin cepat
bersantai dan menikmati hari-hari barunya bersama rekan-rekan yang lain.
Untuk poin yang satu ini, Nami termasuk yang paling sibuk, lebih di
atas Sanji dan Franky yang cukup dibuat sibuk oleh profesi mereka
masing-masing. Dan Zoro-lah yang paling memiliki banyak 'waktu luang',
kalau kau bertanya. Luffy? Bermain. Memang apa lagi?
Nami membuka pintu ruang makan dan menemui si koki yang tengah mencuci piring-piring berlemak dan penuh akan noda makanan.
"Sanji-kun." Nami menyapanya dengan nada berayun dan menyenangkan. Faktanya, ia hanya berusaha mengangkat mood
dirinya sedikit. Lebih dari itu, tidak ada gunanya menyesali yang sudah
lewat. Sebelum meninggalkan 'Kuartet biang ribut' di kamar studi-nya,
Nami memerintahkan mereka untuk membereskan bilik tersebut. Senangnya,
tidak perlu repot-repot lagi untuk membereskan, batin wanita berambut
gelombang itu.
"Malam, Nami-san," balas Sanji, masih terus
menggerakkan tangannya membilas piring dengan air dari keran. "Sudikah
engkau mendapatkan makan malammu, sekarang?" lanjutnya, dengan sedikit
nada iseng.
"Ah, apaan 'sih. Formal banget?" respon si gadis,
tertawa kecil. Nami lalu berjalan ke meja dengan desain bar yang
dibelakangi oleh Sanji. Dibanding duduk di meja makan, si wanita lebih
memilih duduk di sana. Ini sudah menjadi kebiasaannya, ketika hanya
berdua dengan si koki andal yang sudah ganti poni itu. Selain Nami, yang
senang duduk di bangku tersebut adalah Franky, dan sambil menenggak
cola tentunya.
"Apa menunya, tuan koki?"
"Kami menyediakan Pasta Madellini 0.2 milimeter dengan saus spicy beef tomato."
Sanji kemudian membalikkan tubuhnya, dan mengelap tangannya dengan
celemek yang saat ini sedang digunakannya. "Atau, anda mungkin ingin…"
"Mm," Nami menggeleng. "Sepertinya ini spaghetti yang sangat halus ya, Tuan Koki?"
"Yup."
"Aku pesan satu."
"With pleasure, Mademoiselle,"
ujar si pria, memposisikan tangan kanannya di depan dada lalu
membungkukkan tubuhnya sedikit ke depan. Sanji sudah berniat melangkah
untuk memasakkan pesanan Nami, namun berhenti. "Ah, anda ingin
mencobanya dengan resep saus jeruk terbaru kami, Mademoiselle?"
"Wah, resep baru? Aku akan sangat senang mencobanya."
"Segera."
"Dan, Sanji-kun,"
"Ya?"
"Hentikan gayamu yang seperti itu. Kutendang nanti," ujar Nami, tersenyum angker.
Mendengar
itu, Sanji tiba-tiba meledakkan tawa khas yang jarang diperlihatkannya
di muka rekan yang lain. Tawa yang tidak terlalu kencang, namun terkesan
begitu hangat dan ramah. "Maaf, maaf, Nami-san. Aku tidak bisa menahan
diriku, ketika mendengarmu memanggilku dengan begitu sopan."
"Oh,
bagus. Penyakit baru," sahutnya, menghela napas dan menggerakkan bola
matanya ke atas, namun tersenyum seolah menggambarkan ekspresi: tipikal
Sanji-kun.
"Ahhahahaha..."
Mereka pun tertawa dan berinteraksi
secara akrab bersama, sampai menu makan malam Nami tiba dan si
navigator langsung menikmatinya.
***
Diluar dugaan, hidangan full-course
Sanji berhasil disantap habis oleh Nami. Tidak seperti biasanya. Seenak
apapun itu, kerap kali hidangan utama Sanji tidak sampai habis disantap
oleh Nami. Tentu saja bukan karena masakan si koki yang tidak enak atau
kurang berkenan dengan nafsu Nami, tapi memang karena ukuran lambungnya
yang kecil, membuatnya cepat kenyang. Dia wanita. Kita tidak berbicara
Luffy di sini.
"Aku senang sekali kau menghabiskannya, Nami-san,"
ujar si koki, nampak begitu terpuaskan, perut dan hati. "Bagaimana
kualitasnya, Nami-san?"
"Aku menikmatinya, Sanji-kun. Dan terutama
saus jeruk ini. Bagaimana kau bisa membuat jeruk menjadi rasa yang
cukup pedas dan masuk dengan hidangan spaghetti?" tanya Nami, murni
penasaran. Matanya bersinar dengan semangat.
Sanji juga tersenyum
dan memicingkan matanya. "Aku mendapatkan sesuatu dalam dua tahun ini.
Terima kasih atas pujianmu, Nami-san."
"Oh, dan terima kasih
kembali kau tidak merokok selagi aku makan tadi," ujar Nami, memangkukan
pipi kiri pada telapak tangannya di atas meja. Ia memandang wajah Sanji
lurus untuk sekitar satu-dua detik. "Kau semakin mengerti wanita
sekarang."
Blush! Semburat merah tidak diragukan lagi
menampakkan diri di kedua pipi Sanji. "Kau selalu membuatku bahagia
dengan segala pujianmu, Nami-san."
"Itu serius." jawab Nami. "Oh, ya ngomong-ngomong apa resepnya, Sanji-kun? Kenapa tubuhku seperti serasa lebih bersemangat dan mood-ku seolah terangkat seperti ini, ya?" Nami mengayun-ayunkan lengan putih meronanya dan menatapinya.
"Namanya Attack Cuisine. Memang diramu untuk membangkitkan perasaan dan energi, Nami-sa…"
DEG!
Tubuh Sanji menegang. Dia membalikkan tubuhnya dan mengambil sebuah
buku catatan kecil dari saku kemejanya. K-kalau tidak salah… batinnya
ragu-ragu.
"Ada apa, Sanji-kun, ada masalah?"
Buku itu
ditulis langsung oleh sang 'Manusia Pencipta Keajaiban', Emporio
Ivankov—khusus untuk Sanji, karena tidak mungkin ia membawa
gulungan-gulungan menu rahasia kemana-mana. Itu bodoh sekali. Si koki
mengarahkan jari telunjuknya ke menu nomor 69: 'Saus Jeruk pedas'.
#69: Tangerine Hot Sauce. Effects: Doping your Hormone Testosterone twice to thrice a time for the duration of 4 hours.
Iva-chan's Note: Beware in using it, Swirly-boy… or you will be in a 'grave danger' #wink. I mean it.
Ingredients: …
Buku
catatan itu terjatuh ke lantai kayu kapal, meninggalkan Sanji yang
terkejut setengah mati dengan keseluruhan rambutnya (termasuk poni)
terangkat ke atas. Dia segera tersadar, dan memungut buku itu—langsung
memasukkanya ke saku kemeja kembali.
"Err, Nami-san, tidakkah sebaiknya
kau pergi tidur sekarang?"
Mendapat kejutan yang lebih besar,
Sanji hampir saja kehilangan detak jantungnya. Nami memagutnya erat dari
belakang dan berbisik ke telinga kiri Sanji. Saking eratnya, buah dada
Nami menempel dengan begitu kencang ke punggung tegap Sanji.
"Sanji-kun…"
desah suara manja Nami di telinga si koki. Naik-turun, napas berat Nami
sangat membuat si koki bergairah dengan serta merta. Belum lagi, tangan
Nami yang mengelus pipi dan dagu berjanggut Sanji. Si koki semakin salah
tingkah.
"N-Nami-san, a-ayo kuantarkan ke kamar…"
"Ke kamar?" tanya Nami. "Ah, aku tahu. Kau mau di sana, ya?"
"Bu-bukan
begitu!" Sanji melepaskan pagutan Nami, dan memegang si wanita berambut
gelombang pada kedua lengan. "I-ini kesalahanku. Aku lupa mengecek
resepnya."
Di hadapan si koki, sosok Nami benar-benar seperti
orang mabuk. Tapi bedanya, ia mabuk akan birahi. Mata Nami nampak sayu
akan nafsu bercumbu, selagi kedua pipinya merona membara. "Sanji-kun, apa yang aku lihat?"
Sanji tidak bisa menolak dirinya sendiri
ketika menjalankan pandangannya pada tubuh Nami yang hanya mengenakan
bra pantai, dan sepasang celana jeans biru. Seksi sekali. Hanya itu yang
bisa terpikir di dalam kepala Sanji.
"Sanji-kun bodoh, apalagi yang kau tunggu?"
"Eh?"
Si
navigator mengarahkan tangannya ke belakang tubuhnya. Ia menanggalkan
ikatan bra pada leher dan punggung, lalu voila, nampaklah gunung impian
setiap lelaki di hadapan kedua mata Sanji. Kalau saja si koki masih
seperti sebelum datang ke pulau merman, dia pasti sudah mati bahagia
sekarang, tapi kini, setelah mendapat transfusi darah waria, dia sedikit
banyak bisa mengkontrol dirinya.
Puting yang seksi itu sangat
mengundang nafsu Sanji untuk menghampiri, meremas, dan menjilatnya.
Tapi, tapi… semua ini tidak benar dalam berbagai konteks.
"N-Nami-san, kumohon, kenakan lagi pakaianmu. Ini tidak bisa…"
"Apa?
Kenapa kau jadi lemah seperti ini, Sanji-kun?" tanya Nami, dengan suara
berat setengah siuman. "Ah, aku tahu. Kau pikir aku tidak sadar, 'kan?
Kau pikir aku mengigau, dan kau berpikir kalau kau menyetubuhiku saat
ini kau akan kena tuduhan pemerkosaan?"
Sanji melepas kedua pegangannya, dan memungut bra Nami. "Nami-san, ini. Tolong kenakan."
"Kau
tidak seru, Sanji-kun. Sejak kapan kau menjadi sestatis ini?" tanya
Nami, berdiri sempurna dan menyilangkan lengannya. Matanya sedikit
terbuka dan nampak normal, namun kedua pipinya tetap membara. "Aku
sadar. Aku sepenuhnya sadar. Hanya saja, aku tidak bisa menahan ini, Sanji-kun."
Si navigator meraba dan menyentuh bagian selangkangan
berbalut celana jeans-nya, dan sedikit meremasnya. Ia kemudian kembali
menatap si koki, mengundang. "Sanji-kun, kalau kau mengerti, tolong
aku… di sini!!"
Sanji semakin pusing dan bingung. Uap panas
seperti memuai dari atas kepalanya, dan tatapannya mulai mengabut.
"N-Nami-san, tolonglah…"
Nami mencebilkan bibirnya. "Baik, akan
kutolong…" ujarnya, masih nampak setengah sadar. Ia mengambil bra-nya,
dan melemparnya jauh-jauh dengan gaya bermain-main.
"Woa! Kok dibuang, Nami-san?"
"Aku
membantumu. Aku membantumu terlepas dari 'beban'mu, 'loh, San-ji-kun."
ujar Nami, tersenyum nakal dan lebar, selagi kedua matanya masih nampak
setengah mabuk dan teler. Ia menggenggam kerah jas Sanji, dan menariknya
mendekat. Terdengar suara gusar si koki, namun Nami tidak
memedulikannya. Si navigator lantas langsung melepaskan kancing-kancing
jas Sanji, juga memaksa si koki melepaskannya secara paksa.
"Woa, t-tunggu, Nami-san…"
Tidak
puas hanya menanggalkan jas, Nami langsung mengupas kancing-kancing
kemeja oranye Sanji. Kali ini Sanji protes semakin kuat, dan melawan
tangan-tangan jahil Nami. "Hentikan, Nami-san!" tanpa sengaja Sanji
menepuk punggung tangan kanan Nami.
Nami terdiam dan mengelus
tangannya itu. Wajahnya memelas, dan air mata seperti terbendung di
kedua kelopaknya. "Sakit," bisik pelan Nami.
"Ah, err... m-maaf, Nami-san. Itu… aku…"
Nami
memperlihatkan wajah menangisnya, tapi… tangannya itu masih belum
berhenti bergerak. Semua kancing kemeja Sanji sudah terlepas,
memperlihatkan bentuk tubuh abdomen Sanji yang semakin sempurna. Melihat
tubuh indah Sanji, Nami yang memang masih dalam kesadaran penuhnya
teringat akan patung Adam pada sebuah buku yang pernah dibacanya dulu.
Tubuh berotot secara natural, tanpa paksaan alat-alat berat
'binaragawan' yang terlalu memberikan efek pada tubuh secara berlebihan.
Nami tidak suka itu; muak malahan. Tapi otot pria pirang ini begitu
berisi, yang namun masih terkesan ramping, tegap, dan padat. Dan sekali
lagi, Nami berpikir, Sanji-kun memiliki tubuh Adam yang sempurna.
Dengan
pikiran itu, Nami mengikat rambut gelombangnya ke atas dengan sigap, dan
langsung memeluk tubuh Sanji dengan erat, kulit ketemu kulit. Sanji
mengangkat pandangannya ke atas—kejang-kejang tak karuan; dia akan mati
dalam kebahagiaan sebentar lagi. Kepala Nami bersandar pada dada kekar Sanji dengan mesra, selagi tersenyum penuh kebahagiaan.
"Sanji-kun,"
Si koki tersadar—kira-kira 5 sentimeter lagi dari pintu akhirat. "Y-ya, Nami-san…?"
"Sudah sedari dulu… aku ingiiiin sekali memeluk tubuhmu,"
"O-o-oh ya? S-sungguh?"
Nami
semakin mengeratkan pagutannya. "Iya, dari dulu. Tapi…" semakin erat,
seolah Nami tidak ingin kelepasan sosok si pria dari depannya. Nampak
seperti: apabila Nami melepaskan Sanji sekarang, pria ini bisa saja
terbang kemanapun dia mau. Karena, lelaki itu, batin Nami, lelaki itu
adalah makhluk yang sangat bebas—jauh lebih bebas daripada kami, wanita.
"Tapi?"
"Tapi
aku ingin keadaan kita seperti ini; kulit ke kulit dan badan ke badan."
Nami membuka matanya sedikit, selagi sisi pipi dan tubuhnya masih
memeluk mesra dada Sanji.
"K-kenapa begitu?"
Nami terdiam.
Dia memandangi apa yang dapat dilihat matanya jauh ke sana—jauh ke
kedalaman yang hanya dapat dilihat olehnya seorang. Ia terdiam.
"Nami-san?"
"Sanji-kun,
aku rasa kau tahu bahwa… aku adalah wanita yang penuh akan segala
kepalsuan. Mulutku yang selalu berbohong, otakku yang hanya memikirkan
keuntunganku sendiri, dan sifatku terhadap pria lain apabila ada yang
kuinginkan. Semuanya itu memang diriku—tidak lebih, tidak kurang; aku
mengakuinya—semuanya."
"Jadi?"
"Jadi, malam ini—hanya kita berdua, aku ingin kau melihat diriku apa adanya—tanpa kedok dan tanpa kepalsuan."
Sanji
terdiam. Dia lalu membuka mulutnya, tapi kemudian tertutup lagi—nampak
ragu-ragu. Tak lama, dia kembali membuka mulutnya dan mulai berbicara.
"Nami-san, aku tidak pernah melihatmu sebelah mata. Lagipula, kenapa
tiba-tiba seperti ini?" Sanji menyentuhkan kedua telapak tangannya pada
punggung bawah si wanita.
"Aku tidak peduli, kalau KAU tidak suka
padaku lagi. Tapi, terima kasih atas 'hidangan terus terang'mu ini, aku
akhirnya dapat jujur pada dirimu."
"Jujur?"
Nami
mengangkat kepalanya, dan menatap wajah Sanji lurus—mengeksplorasinya
dan kemudian ia berkedip beberapa kali selagi pipinya semakin merah dari
sebelumnya. Wajahnya semakin jantan dari sebelumnya. Kumis tipis itu,
dan juga janggut yang begitu menggoda wanita itu. Nami menjinjitkan
kakinya, dan mengecup bibir Sanji sekilas, sebelum kemudian menarik
bibirnya kembali.
Sanji ternganga, membatu penuh akan keterkejutan. "Ini yang keberapa kalinya, Sanji-kun… perempuan merasakan bibirmu?"
"Eh? Err…"
"Jujur."
"Tujuh… delapan… s-sembilan dengan Roxy, err, seingatku."
Mata Nami sedikit melebar. "Hahaha," tawa Nami kecil, setengah niat. "Mau bagaimana lagi, kau memang seorang Ladies-man 'sih. Dan kupikir, di Baratie dulu kau pasti populer."
"Tidak begitu juga, Nami-san. Paling tidak… itu semua sebelum kita bertemu, 'kan?"
Nami
memandang wajah Sanji dengan tatapan kosong. Ia memikirkan perkataan
Sanji barusan, dengan nada datar begitu—apakah maksudnya ia merasa tidak
enak mencari pacar selagi berlayar atau ia malah menyukaiku, batin
Nami. Apapun itu, Nami kembali menyandarkan pipinya pada dada bidang
Sanji.
"Itu yang pertama buatku, Sanji-kun."
"A-apa?"
"Itu ciuman pertamaku pada bibir seseorang,"
"S-serius, Nami-san?"
"Dan kau berpikir aku bercanda sekarang?"
"Tidak. Sama sekali tidak."
Nami
melepas pagutannya, dan menarik Sanji mengikutinya. Nami melompati
bangku, dan duduk di atas meja bar dekat dapur. Ia menarik tubuh Sanji
semakin dekat, dan mulai menanggalkan sisa kemeja Sanji yang tadi
kancing-kancingnya telah dilepaskan Nami. Tanpa perlawanan, kini Sanji
dan Nami sudah benar-benar tidak mengenakan atasan lagi. Si navigator
melempar kemeja jingga itu jauh-jauh, ke arah ia melamparkan bikini-nya.
Nami
melebarkan kakinya sehingga memungkinkan tubuh Sanji berada di
tengahnya. Nami meletakkan kedua lengannya pada bahu bidang Sanji, dan
kembali menatap mata si koki lurus. Tidak ketinggalan, kedua kaki
jenjangnya yang mulus memeluk pinggul serta bokong Sanji dengan erat
pula.
"Ternyata aku tidak hanya mengagumi masakanmu. Tapi, aku
juga begitu tergila-gila padamu, Sanji-kun;—itu kenyataannya." ujarnya,
begitu jujur pada perasaanya. Efek dari Attack Cuisine tadi masih sangat
berasa, dan rasanya Nami seperti sudah tidak kuat lagi menahan
birahinya. Tapi sekuat tenaga, dia berusaha bertahan—demi mereka berdua
juga.
Sanji sebaliknya, menggenggam pinggang tanpa busana Nami
dengan begitu lembut dan hangat—juga membalas tatapan si navigator
dengan penuh perasaan. Dia tersenyum. "Kalau kau mau tahu, Nami-san…
sudah sangat kunantikan saat-saat seperti ini—sedari dulu." ujar Sanji.
"Tapi, kenapa baru sekarang, Nami-san?"
"Oh, ya. Dan kau meminta
seorang gadis yang bahkan belum pernah berciuman selama 20 tahun ia
hidup; untuk berterus terang menyatakan cintanya dua tahun yang lalu?
Pintar, Sanji-kun."
"Ahahaha." Sanji tidak bisa menahan tawa ramah
nan hangatnya. "Tidak, maksudku, paling tidak 'kan bisa aku yang
mengatakannya." Sanji menghembuskan napasnya dengan lambat, menelan
gumpalan di tenggorokannya. "Aku takut, kau tidak menyukaiku dengan
semua pelayananku. Dan, aku berpikir kau juga sedikit menjaga jarak
denganku sedari dulu."
"Kau pria yang begitu sensitif, Sanji-kun.
Aku menyukainya," balas Nami, mengedipkan matanya. "Aku memang begitu
dekat dengan mereka bertiga; Luffy, Zoro, dan Usopp. Dan, aku juga tidak
menyalahkanmu, apabila 'cemburu' melihatku berdekatan dengan mereka,"
lanjut Nami dengan memberikan gesture 'tanda kutip' dengan kedua
tangannya. Sanji pun tertawa kecil, bahwa kenyataannya dia memang
cemburu—sangat malahan.
Nami memajukan wajahnya dan kembali
mengecup bibir beraroma samar-samar tembakau khas North Blue, King
Ground. Cukup lama, namun mereka tidak memberikan gerak yang terlalu
mencolok.
"Cuma kau yang selalu kupikirkan, Sanji-kun—yang selalu
kucintai," ujar Nami, setelah melepas bibir si koki.
"Aku juga,
Nami-san." Sanji memajukan bibirnya, dan kali ini gilirannya yang
menyelami bibir Nami. Tanpa perlawanan, Nami menerimanya. Dimulailah
pergulatan yang cukup aktif bila dibandingkan dari yang
sebelum-sebelumnya. Sanji terus memajukan bibirnya, selagi Nami tanpa
niat kalah membalasnya. Merekapun mulai memajukan lidah, dan terjadilah
pertarungan di dalam rongga mulut masing-maisng. Saling tarik dan isap,
juga saling dorong tanpa niat mengalah.
Dag Dig Dug. Jantung
keduanya berdebar-debar tak menentu. Satu dua hentakan seolah dapat
membuat jantung mereka melompat keluar. Dan namun satu dua detakan yang
lain seolah siap meledakkan jantung masing-masing. Bagi Nami ini
perasaan dan sensasi yang sangat luar biasa tak tergantikan. Namun bagi
Sanji yang sudah berkali-kali melakukan hal ini tak ubah bedanya dengan
Nami saat ini. Karena bagaimanapun juga perasaan yang teramat mendalam
si koki terhadap navigator ini sudah tertahan selama 3 tahun. Dan dalam
tahun-tahun itu, Sanji tidak pernah mendapatkan 'hal' lebih, kecuali
okama-okama 'berlebihan' dari suatu 'neraka'.
Nami menjalankan
kedua telapak tangannya ke belakang kepala Sanji. Ia meremas rambutnya
dengan lembut, dan membantu si koki mendorongkan kepalanya. Nami
meneteskan air mata tipis dari kedua matanya yang memicing penuh
kebahagiaan.
Sanji menidurkan tubuh Nami di atas meja bar dengan
perlahan dan selembut mungkin. Dia melepaskan bibirnya, dan langsung
mengecupi dagu Nami yang begitu pucat merona. Begitu hangat—sentuhan
ini, batin Nami, tak kuasa. Sanji menjalarkan kecupannya pada pipi kanan
Nami, terus ke arah telinganya. Sanji sedikit menggigit pelan daun
telinga Nami dengan bibirnya, dan tidak lupa juga ia meniupnya dengan
lembut—memberikan si navigator sebuah getaran kesenangan dan mendebarkan
ke seluruh penjuru tubuh. Dari sana, Sanji sedikit mengangkat badannya
dan mengecupi ujung hidung Nami yang mancung.
"Tidak apa-apa, Nami-san?" ujar Sanji, pelan dan berat—namun begitu halus di telinga Nami yang tengah mabuk kepayang.
Wanita
itu mengangguk, menatap balik mata si koki. Air matanya kembali
menetes, dan ia tersenyum. "Kau sudah pengalaman ya, Sanji-kun?"
Mendengar
tawa kecil dari Sanji, Nami merasakan satu kecupan lembut nan hangat di
mata kanannya yang meneteskan air mata barusan. "Aku harap kau mau
percaya padaku, Nami-san. Walau kau tahu aku sudah berkali-ka…"
Kalimat
Sanji terhenti, merasakan jari telunjuk si navigator berada di
bibirnya. Nami mengangguk, dan menarik kening Sanji menuju bibrnya.
"Masih lebih baik menggunakan kulit serigala lapar, namun memiliki hati
seindah angsa putih. Kau, Sanji-kun," ujar Nami perlahan, mengatur
napasnya yang terus memburu sedaritadi. "Aku percaya, kalau kau bisa
terus membuatku tersenyum dan bahagia."
Seperti ada sebuah ketukan
di hati Sanji. Seperti ada yang meletakkan sesuatu di sana, agar Sanji
dapat lebih membatasi dirinya dari melirik wanita lain. Kata-kata itulah
yang ingin didengarnya sangat dari sosok Nami—sosok Nami yang selalu
menawan bak Dewi dari khayangan pada pandangannya.
Si koki
menurunkan kepalanya dan mulai mencumbu garis sisi leher Nami—menyebaban
pekikan pelan si navigator yang terkejut. Dingin sekali—tiba-tiba
seperti itu, pikir Nami, berbeda seperti sebelumnya. Apa… Sanji-kun juga
merasakan kecemasan akan pernyataannya barusan?
Sanji
memain-mainkan mulut dan lidahnya di sekitar leher Nami, dan kemudian
menuju pangkal leher dan tulang bahu Nami. Tidak puas di sana saja untuk
beberapa saat, Sanji kini menuju buah dada milik Nami. Satu tangannya
sudah meremas yang sebelah kiri, namun masih menyisakan satu lagi
terbebas. Sanji menjilat puting susu Nami, yang tanpa jeda sedikitpun
semakin mengeras terkena rangsangan si koki.
"Uuhhhhhhh, S-Sanji-kun, itu…
ahhhhhhh…" desah Nami, semakin tak kuasa. Nami kegilaan, meremas rambut Sanji
dengan sangat keras. Nami begitu nampak kerenjangan, mengangkat
kepalanya jauh ke atas, dan mengangkat tulang punggungnya sedikit ke
atas. Ia memekik sekali lagi, dan melihat sosok Sanji yang begitu
menikmati buah dadanya.
Nami tersenyum. Ia tersenyum penuh dengan
perasaan, 'Apakah... apakah ini artinya aku sudah dapat memberikan
kebahagiaan, dan berbagi perasaan dengan seseorang?', batinnya bertanya
tak menentu akan rangsangan, '...dengan Sanji-kun.'
'Aku yakin,'
lanjut batin Nami, penuh akan harapan. 'Aku yakin, pria inilah—pria yang
baik dan jantan inilah orang yang akan membahagiakanku, Bellemere.'
"Oi,
koki! Aku minta rum yang biasa!" sorak suara dari arah pintu ruang
makan yang terbuka dengan cara didobrak. Dari sana, nampak sosok
pendekar berambut hijau yang masih memegang gagang pintu, ternganga
lebar melihat pemandangan di depannya.
Sanji dan Nami menatap ke
arahnya. Bibir Sanji masih menghisap puting kanan Nami, dan si navigator
pun masih menampakkan ekspresi yang tak dapat terbendungkan lagi.
Mereka bertiga terdiam.
"O-oh, sial. Aku salah kamar, rupanya," ujarnya, sebelum menutup pintu kembali.
"Apa itu, Sanji-kun?" tanya Nami, dengan suara berat.
"Bukan apa-apa. Hanya iklan?" ujar Sanji, melepaskan kemutannya sebentar dan tersenyum bodoh.
"Ahahaha, begitu rupanya."
Sanji menatap mata Nami lurus, penuh akan determinasi. "Kau memiliki hati dan cintaku, Nami-san. Selalu. Selamanya."
Air
mata Nami menetes kembali mendengar itu; ia yakin, pria ini pasti
'bisa'. Nami tersenyum menutup mulut dengan tangannya dan ia mengangguk.
"..Kau selalu di hatiku, Sanji-kun bodoh."
Sanji menjalankan
telunjuk ke bawah mata Nami, dan menghapus jejak air mata gadis itu.
"Jangan menangis. Aku berjanji, ini adalah air mata terakhirmu,
Nami-san."
Nami mengalungkan lengannya kembali, dan menarik bibir
Sanji ke bibirnya. Begitu kecupan singkat itu terpisah, Nami tersenyum
penuh keyakinan. "Kita lanjutkan, koki cinta?"
"Ah, mellorine-ku."
***
Di luar...
"Sial, apa-apaan itu?" sahut Zoro kesal.
"Ada apa, tidak jadi mengambil bir-mu?"
"Ah, Robin… err, tidak. Aku sudah tidak minat," jawab si pendekar, pendek dan ingin memotong topik sampai di sini.
"Aku
jadi penasaran, apa memangnya yang terjadi di dalam." Robin menutup
matanya, dan sekelopak bunga sakura terbang melintas di depan wajahnya.
"Ah, begitu rupanya." ujarnya, membuka mata. "Sudah cukup lama Nami
menginginkan hati Sanji," wanita dewasa itu tertawa pelan. "Selamat,
Nami."
Robin menyadari si pendekar yang sedari tadi nampak gusar itu. "Ada apa, kau nampak gusar?"
"T-tidak ada yang khusus."
Robin melangkah mendekat, dan menyadari muka si pendekar sedikit memerah. "Ah, jangan bilang kau…"
"K-kau...
wanita!" berang Zoro. "Jangan mengatakan hal yang bukan-bukan!"
semburat merah nampak tipis di pipi si pendekar. Ia kemudian dengan
serta merta berjalan menjauh.
"Fufufu, tapi tadi bukankah ada hal yang ingin kau sampaikan padaku, Zoro?" tanya Robin, memangkukan lengan satu sama lain.
Zoro terhenti, dan menggaruk belakang kepalanya—nampak jengkel. Dia kemudian berjalan balik ke arah Robin berdiri…
0 comments:
Post a Comment