Monday 18 February 2013
Kursus Memasak Tengah Malam
Hari-hari pada awal bulan September masih terasa dingin, terutama pada malam
hari. Angin dingin berembus di sekeliling kamar, membelai rambut hitam Nurul yang
berkilau lembut. Ia menyibakkan helaian rambutnya ke belakang telinga agar tidak mengganggu
konsentrasinya. Dengan tersenyum lebar, Nurul segera bergegas pergi menuju
dapur, berharap tidak ada siapa pun di sana. Ia memiliki sebuah rencana yang
terpatri di otaknya, yaitu memasak kue. Nurul ingin sekali memasak kue jeruk
yang sempurna. Kali ini ia tidak bisa membiarkan dirinya mendapatkan hasil yang
berantakan lagi. Pada kesempatan terakhir ini, ia memiliki senjata rahasia.
Sebenarnya Nurul telah mencoba
untuk memasak kue jeruk selama berjam-jam belakangan ini, tetapi hasilnya masih
terus saja tidak berkembang ke arah yang lebih baik. Ia terus saja mengulang
kegagalan yang semakin lama semakin membuat dirinya frustasi. Selalu ada saja
yang salah. Kadang ia lupa menambah gula, jadi rasanya hambar. Pernah juga ia
malah menggunakan krim cukur sebagai penghias kue sehingga… ehm,
memprihatinkan. Kebanyakan, ia selalu memanggang kuenya pada temperatur yang
salah. Hasilnya tentu saja berantakan. Warna kue-nya gosong dan rasanya tidak
perlu dipertanyakan. Pokoknya, selalu saja ada yang salah dengan kue buatannya.
Eh, rasa-rasanya memang Nurul lah masalahnya. Bukannya dia tidak bisa memasak,
tetapi kue kali ini memang sulit untuk dibuat oleh pemasak sekaliber dirinya.
Dengan menghela napas
dalam-dalam, Nurul mengingatkan dirinya sendiri untuk kembali membuat kue lagi,
kali ini yang terakhir. Dia sama sekali tidak peduli meski memasak selama
berjam-jam kali ini karena ia sangat ingin membuat kue terbaik untuk seseorang
yang teristimewa.
Ponselnya berdering dua kali. Nurul
cepat-cepat mengangkatnya, menjawabnya sepelan dan sehalus mungkin.
"Kenapa telat menelepon, hah? Oh, tolong pelan-pelan memberi instruksinya,
ya. Satu persatu, begitu. Eh? Tolong jangan berbicara terlalu pelan… ya,
begitu… kau tahu saja hal-hal yang kusukai."
Dengan gerakan yang cepat, Nurul
segera memanaskan oven hingga 350 derajat. Dia berbisik pelan-pelan.
"Sudah kulakukan, apalagi selanjutnya? Oh? Baiklah."
Nurul melicinkan panci bulat
khusus yang diperlukan untuk memasak kue setebal 9 inci dan membatasi bagian
bawahnya dengan kertas lilin yang digunting sebesar panci. Bagian itu memang
mudah. Ia melanjutkan ke tahap selanjutnya. "Sudah kulakukan bagian yang
itu… hei, aku bisa mendengar dengkuranmu! Jangan coba-coba tidur!"
Nurul begitu sibuk berkutat
dengan kuenya hingga ia sama sekali tidak sadar bahwa seseorang sedang
mengawasinya dengan pandangan yang begitu membara. Perlahan ia melangkah maju
tanpa suara ke arah Nurul.
Nurul berusaha keras untuk
meredam suaranya. "Berhenti berpura-pura, beritahu aku tahap selanjutnya
atau aku akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada… ahhhh, benar begitu… uhhh,
itu jauh lebih baik, kan?"
Nurul masih mendengarkan suara
di ujung sana ketika hubungan ponselnya terputus. Seseorang telah menekan
tombol di ponselnya dengan sengaja. Dengan cepat Nurul memutar kepalanya dan
melihat siapa yang telah berani-berani berbuat hal itu. Pria itu menatapnya
dengan ekspresi datar. Nurul seketika menjadi gugup, seperti maling yang
tertangkap basah.
"Apa yang sedang kau
lakukan tengah malam begini, Mbak Nurul?" tanya pria itu, galak.
Wajah Nurul langsung memerah.
"Hmm, oh, aku hanya…"
Chef Juna menyandarkan tubuhnya
ke arah wanita berkaca mata itu. Dipeluknya pinggang Nurul dengan erat, seakan
tidak mau melepaskan gadis itu dari dirinya. Bisa dirasakannya payudara Nurul
yang empuk dan kenyal mengganjal di dada bidangnya. Ia lalu berbisik pelan di
telinga Nurul, "Apa aku mengganggu... phone sex yang sedang kau
lakukan dengan seseorang di seberang sana?"
Nurul tersinggung dengan
komentar yang sembarangan itu. "I-ini bukan phone sex… lagipula apa
hak chef datang ke sini? Chef Juna tidak ada sangkut-pautnya dengan apa yang
akan kulakukan malam ini, Chef…"
"Chef?" pria itu
mengerutkan keningnya, tampak tidak suka dengan panggilan itu.
Tak lama ia melanjutkan
pembicaraan mereka. "Baiklah, apa yang kau punya di sini? Jus jeruk, serutan kulit jeruk, tepung terigu, dan
telur… apakah ini… Orange Sunshine Cake?"
SIAL!
SEKALI TEBAK DAN TEPAT! CHEF JUNA SIALAN DAN INTUISI MEMASAKNYA YANG JUGA
SIALAN!!!
"Begini, kuulangi, chef sama
sekali tidak punya hak untuk mencampuri urusanku di dapur ini. Dan kumohon
dengan sangat, bisa tolong lepaskan kedua tangan gurita chef dari
tubuhku?" pinta Nurul, merasa kalau kemari chef Juna mulai nakal meraba
bongkahan pantatnya.
Alih-alih melepas, chef Juna
malah memeluknya semakin erat, mengabaikan permohonan Nurul. Bahkan pria bertato
itu membisikkan kata-kata mesra di telinga Nurul sekali lagi. "Entah bagaimana,
tapi aku merasa kamu begitu menggoda malam ini." Sambil tangannya meremas
pantat Nurul semakin keras.
"Dengar, bagaimana kalau
ada yang masuk ke sini dan menemukan kita…"
Chef Juna memotong kata-kata Nurul
dengan tidak sabaran. "Aku tidak peduli,"
”Ughh,” Nurul mendesah ketika
lidah basah pria itu menyapu lehernya dengan lembut. Lidah chef Juna terasa
hangat, membuatnya tersihir oleh kenikmatan yang muncul secara tiba-tiba di
kulitnya. Nurul bahkan nyaris menjatuhkan mangkuk yang berada di tangannya
ketika dia menikmati belaian lidah chef Juna yang memabukkan, tetapi chef Juna entah
bagaimana sempat menangkap mangkuk itu.
Dia tersenyum dengan sangat
menggoda. "Hati-hati, kau harus memegang mangkuk ini dengan erat…"
bisiknya.
Sambil meraba dan meremas-remas
payudara bulat milik Nurul, tangan bertato sang Chef dengan lincah mengambil
terigu dan mencampurkannya dengan tepung soda dan garam. ”Eghh... shhh...”
mulai mendesah, Nurul mengawasi setiap gerakan chef Juna yang cepat dengan
kagum. Dia benar-benar koki yang sangat handal, lihat saja gerakan tangannya
yang terlatih itu! Sambil terus merangsang dan membelai tubuh mulus Nurul, chef
Juna meraih mangkuk biru besar di atas
mereka dan membuka lemari di samping kanan tanpa membiarkan Nurul meloloskan
diri dari dekapannya. Ia menahan Nurul agar terus berada di hadapannya,
mengurung wanita itu dengan kedua lengannya yang kekar. Nurul tidak bisa
berbuat banyak. Ia hanya bisa melihat dan menikmati apa yang dikerjakan oleh pria
itu.
"Siapkan mangkuk lain
dengan mixer… aduk secangkir mentega dengan dua sendok gula pasir dengan
kecepatan sedang sampai berbuih. Terus pertahankan kecepatan ini…"
"I-iya, b-baiklah."
Nami menuruti instruksi sang Chef dengan suara bergetar. Chef Juna menyerahkan
mixer dan mangkuk ke tangannya, sementara laki-laki itu mulai mempreteli baju
yang dipakai Nurul satu per satu.
Dalam beberapa menit, adonan
cair itu sudah berubah menjadi kaku, sekaku badan Nurul yang kini sudah
setengah telanjang. Wanita kelahiran Jakarta, 20 Desember 1987 itu tinggal
mengenakan bra dan CD saja. Badannya yang agak gemuk karena sedang hamil tampak
begitu montok dan menggiurkan. Terutama bulatan payudaranya. Dengan kulit putih
dan ukuran yang besarnya di atas rata-rata, benda itu sanggup membuat chef Juna
melotot tak berkedip. Bra putih gading yang membalutnya tampak kekecilan.
"A-apa ini cukup?"
tanya Nurul penasaran melihat sang Chef yang cuma diam memelototi tubuh
sintalnya.
"Ah, iya. Gadis pintar.”
chef Juna mengecup mesra pipi Nurul. ”Sekarang tambahkan telurnya satu persatu,”
sambil berkata ’satu per satu’, tangan pria itu juga memenceti payudara Nurul
satu per satu. ”Aduk rata setiap kali kau menambahkan telurnya…” dan dia
mengaduk bulatan payudara Nurul dengan kedua tangannya.
"Ahhh...” membuat Nurul
bergidik dan mendesah kegelian. ”B-baiklah…" Sangatlah sulit untuk terus
berkonsentrasi dengan mangkuk di hadapanmu saat seseorang yang berada tepat di
belakangmu, bukan, saat seseorang yang tepat menempel di belakangmu terus
membelai tubuhmu dengan lembut dan hangat. Setiap sentuhannya terasa sangat
menggairahkan dan panas.
”Oh, Tuhan! Mana bisa begini…”
Nurul meratap dalam hati.
Chef Juna tersenyum dan mencium bibir
Nurul dengan kecepatan yang luar biasa saat gadis itu tidak sengaja berbalik ke
arahnya. Ia melumat dan menghisapnya penuh nafsu, membuat Nurul jadi sedikit
gelagapan dibuatnya. "Inilah yang disebut berbuih dengan sempurna,
gadisku. Kau punya bakat dalam memasak rupanya…" bisik pria itu mesra
sambil tangannya menjepit dan memilin-milin puting Nurul yang kini sudah
menyembul keluar dari cup BH-nya.
"Eghhh... chef," Nurul
memohon dengan putus asa. Dia tidak mau chef Juna terus merangsangnya seperti
ini. Pria itu adalah orang terakhir yang paling tidak boleh menemaninya, atau
semua akan hancur berantakan seperti sekarang.
”Apa yang harus aku lakukan?
Akankah dia mendengarkanku? Persetan! Kontolnya sekarang mendesak
tepat di belahan pantatku, ughh!” batin Nurul dalam hati.
Chef
Juna yang kesetanan merasakan tubuh hangat Nurul makin mempererat pelukannya. Sambil terus
meremas, ia berusaha untuk melepas celananya agar batang besarnya bisa menempel
langsung di kulit bokong Nurul yang licin dan empuk.
"Ehm, Chef, bisakah chef tinggalkan
aku? Aku
bisa memasak kue ini sendirian, percayalah…" Nurul mencoba membujuk untuk
terakhir kali meski tahu akan percuma.
Dan chef Juna benar-benar
mengabaikan permohonannya, laki-laki kelahiran Manado, 20 Juli 1975 itu malah meneruskan
instruksinya. "Panggang dalam 350 derajat selama 25 sampai 30 menit atau
sampai kue yang ada di bagian tengah terlihat jernih. Angkat panci dari oven dan ambil
kue dari bagian pinggirnya dengan…"
Dapur pada malam itu seharusnya
terasa sangat dingin. Dengan jendela yang terbuka lebar, temperatur di ruangan
itu paling tidak di bawah 10 derajat. Meskipun demikian, Nurul tidak merasa
dingin. Sebaliknya, ia benar-benar merasa kepanasan. Chef Juna menyelipkan
jari-jari di belakang punggungnya dan perlahan tapi pasti, membuka tautan bra yang
masih menempel. Begitu benda itu terlepas, pria itu segera menangkup bulatan payudara
Nurul yang mengkal dan padat dengan kedua tangannya, menyentuh dan meremasnya dengan
gerakan yang begitu menggairahkan.
Nurul menggigit bibirnya sekuat
tenaga, terlalu takut untuk mengeluarkan suara. Dia tidak mau disentuh pada saat
seperti ini dan dengan cara demikian. Tapi rasanya mustahil untuk menolak keinginan dan
hasrat pria itu. Dan masalahnya lagi, ia ternyata juga menginginkannya!!!
"Ah, Chef…" suara
desahan yang menggairahkan akhirnya keluar dari bibir tipisnya. Nurul mendorong
mangkuk-mangkuk kecil yang berada di hadapannya, lalu menutup kedua matanya,
pasrah pada apapun yang akan dilakukan oleh kekasih Aline Adita itu. Ia kembali
mendesah saat Chef Juna melepaskan celana
dalamnya dengan sangat perlahan, sementara bibir pria itu masih sibuk mencium
dan melumat lehernya. Ia sepenuhnya telanjang sekarang, bugil total seperti
bayi yang baru lahir.
Nurul ingin sekali menyentuh sang
Chef dengan cara yang sama, membalas semua kekejian dan kemanisan godaan yang
diberikan oleh si master koki. Sayangnya, Chef Juna tidak membiarkan dirinya
melakukan itu. Dia terus memaksa Nurul agar menghadap ke arah masakan dan
peralatan dapur yang berada di depan mereka.
Nurul dapat mendengar suara sang
Chef yang bergetar di telinganya. "Campur sepertiga gelas gula dan
gelatin.” bisa ia rasakan kontol besar laki-laki itu menempel ketat di belahan
bokongnya. ”Tambahkan jus jeruk,” menggesek liar disana. ”Jangan lupa, aduk
terus dengan panas yang sedang sampai gelatinnya tercampur rata.” menusuk-nusuk
lubang memeknya yang kini sudah mulai basah. ”Pegang erat pancinya, sayang.”
berusaha untuk masuk. ”Tambahkan mentega, aduk terus sampai menteganya
mencair…" dan menyetubuhinya.
”Aghhh...” tubuh Nurul bergetar.
Chef Juna semakin merapat dan semakin erat merangkul tubuhnya. Geli di dada dan
selangkangannya membuat Nurul sulit sekali berkonsentrasi dengan kuenya.
Tangannya bergetar hebat saat ia mengaduk adonan kuning di dalam mangkuk.
Chef Juna yang mengerti hal itu segera
menolongnya. Ia melepas bulatan payudara Nurul dan membantu wanita yang sudah
bersuami itu untuk mengaduk adonannya. ”Ehmm... eghh!” Nurul mendesah pelan
saat sambil mengaduk, tangan sang chef masih sempat beberapa kali menyentuh ringan
ujung putingnya yang terbebas. Benda itu memang terlihat cukup tegak dan
mengacung. Meski terlihat tidak disengaja, tapi itu sudah lebih dari cukup
untuk membakar gairah wanita berusia 25 tahun itu. Nurul bisa merasakan kontol
chef Juna semakin mengeras dan menegang di belakang tubuhnya. Benda itu juga
bergerak semakin liar dan brutal, menggesek cepat bulatan bokongnya dan
beberapa kali hampir memasuki lubang senggamanya.
”Ahh... ayo, Chef!” Nurul ingin chef
Juna segera menyetubuhinya. Ia benar-benar sudah tak tahan. Godaan pria bernama
asli Junior Rorimpandey itu begitu menggodanya, membuatnya tak sabar untuk segera menyatukan tubuh
mereka, saling bertaut kelamin, dan saling genjot satu sama lain.
Tapi bukannya memenuhi, chef
Juna masih terus saja memberinya instruksi dan instruksi. "Ambil mangkuk
kecil di seberang sana…" sambil tak henti-henti menggesek dan membelai
tubuh mulusnya.
"Chef, tolonglah…" Nurul
meratap, meminta pria berumur 37 tahun itu agar segera mengajaknya bercinta.
Akan tetapi chef Juna malah menatapnya
dingin. "Dengarkan dan lakukan instruksi yang kuberikan. Kau ingin memasak
kue kan? Aku akan membantumu untuk memasak apa saja yang kau inginkan."
ucapnya sadis.
Nurul mengutuk pria itu dengan
sejuta kekesalan yang membuncah di dadanya. ”Apanya yang membantu? Kamu hanya
terus menyentuhku, dan mengganggu konsentrasiku. Apa sih maumu? Ughh, dasar
koki bajingan!” rutuknya dalam
hati.
"Dalam mangkuk kecil, kocok
kuning telur, lalu aduk dengan adonan kuning tadi. Ya, kemudian taruh kembali
adonan dalam panci saus. Masak dengan api kecil 3 sampai 5 menit, aduk sampai
kental." perintah Chef Juna, tangannya masih tetap bermain-main di atas
bongkahan payudara Nurul yang sekarang terlihat lebih besar dan padat karena
gairah.
"Baiklah…" dan sekali
lagi Nurul mematuhinya.
Saat itulah, pria berzodiac
Cancer itu berbisik. "Dan sekarang, kita punya waktu sekitar 5 menit, mbak."
Sehabis berkata begitu, Chef
Juna segera mencium bibis tipis Nurul, kali ini dengan nafsu yang membakar. Nurul
bisa merasakan tubuhnya melemah saat sang Chef menyentuhnya. Ia tidak tahan
saat chef Juna menurunkan kepala dan mulai menyentuh payudaranya, menghisapnya
satu persatu. Putingnya yang mungil menggiurkan dijilat dan dihisap kuat-kuat,
chef Juna menyusu kepadanya seperti layaknya bayi besar yang kehausan, begitu
cepat dan kasar. Nurul yang kegelian, kedua tangannya tidak lagi mengaduk
adonan, tetapi terbenam di dalam helaian rambut hitam sang Chef, menekannya
lebih dalam agar menghisap payudaranya semakin kuat. Ugh, ia menyukainya!
Tapi tiba-tiba pria itu berhenti
mencium dan menghisap payudaranya. Chef Juna membalikkan kepala Nurul, dan menatapnya
tajam. "Mbak, teruskan mengaduk adonannya atau aku akan berhenti
menyentuhmu!" ancamnya sungguh-sungguh.
Sang Chef tidak pernah sekejam
itu. Chef
Juna selalu romantis. Akan tetapi kali ini mereka berada di dapur dan memasak
sesuatu. Nurul tidak pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Ia
menaikkan sebelah alisnya dengan setengah putus asa. "Chef tidak tahu betapa
sulitnya… kalau chef tidak mau…"
Nurul berhenti bicara. Dia
sepenuhnya sadar bahwa ia membutuhkan kue yang sempurna untuk babak eliminasi
minggu depan, dan sedikit permainan yang menyenangkan tentunya. Ia rela
melakukan apa saja untuk mendapatkan keduanya. Jadi dengan tangan yang masih
bergetar, ia kembali mengaduk adonan yang berada di atas kompor. Ditatapnya
pria yang berdiri di sampingnya dengan kedua mata yang kian mengkilat nakal,
"Chef tidak akan mengeluh kan kali ini? Aku akan terus memasak dan
memasak, apapun yang chef lakukan nanti…"
Chef Juna melemparkan senyum
puas. Ia bergerak ke bawah, menuju kaki jenjang Nurul. Tak berkedip, matanya
memperhatikan pemandangan menarik diantara kedua kaki yang indah itu. Dengan
cepat tubuhnya memanas. Nurul adalah peserta paling cantik yang pernah ia temui
selama acara MCI, dan juga paling susah ditaklukkan. Dibutuhkan waktu
berminggu-minggu baginya untuk bisa membawa wanita penyuka warna biru itu ke
tempat tidur. Jadi tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, ia pun
melakukannya.
"Dinginkan sampai sesuai
dengan suhu ruangan," perintahnya sambil menyiapkan penis hitamnya.
"Kali ini kau harus sabar menunggu sampai adonan ini siap disatukan dengan
yang lain." Ia gesek-gesekkan ujungnya yang sudah membengkak merah ke
belahan memek Nurul yang sudah merekah basah. Pertama kali merasakannya 2
minggu yang lalu, benda itu terasa sangat sempit dan menggigit. Apakah sekarang
dengan usia kandungan Nurul yang semakin bertambah, memek itu akan semakin
terasa nikmat? Entahlah, harus dibuktikan lebih lanjut.
Nurul kembali menggigit bibirnya,
menggoda sang Chef lebih lama lagi. Ia tahu, Chef Juna sudah kehilangan
konsentrasinya. "Bukankah seharusnya kita membuat bagian frosting?"
ia bertanya sambil mendorong pinggulnya ke belakang agar ujung penis pria itu
mulai merangsek memasuki lubang vaginanya.
"Kenapa bagian itu disebut frosting,
mbak?” tanya Chef Juna, tangannya memilin-milin dan memelintir puting
Nurul kesana-kemari. Benda itu terlihat semakin membesar dan menghitam karena
usia kandungan Nurul yang sekarang memasuki bulan kelima. ”Karena adonannya
dingin, membeku dan bisa menunggu lama sebelum dibuat… sementara kita berdua tidak
bisa." Ia menjelaskan tanpa menunggu jawaban dari sang peserta.
Chef Juna menempatkan tubuh
bugil Nurul di dekat meja, bersiap untuk menyetubuhinya, menyatukan kelaminnya
dari belakang. Ia sedikit bergetar saat menyadari Nurul telah siap untuknya. Wanita
penyuka komik detektif Conan itu kini telah membuka kakinya yang jenjang
sedikit lebih lebar, membuatnya memeknya yang sudah sangat basah jadi tambah
merekah indah. Chef Juna kembali memeluknya dan berbisik mesra, menyatakan
seberapa besar ia terangsang oleh tubuh mulus wanita cantik itu. "Tubuhmu
selalu bisa memancing gairahku, cantik…" sambil tangannya menggapai dan
menangkup bongkahan payudara Nurul yang menggelantung indah.
Nurul tersenyum singkat. "Aku tahu. Bukan
hanya Chef yang berkata seperti itu…" dia terkesigap kaget saat tanpa
berkata-kata, chef Juna memasuki tubuhnya dengan kasar, dan penuh nafsu. Nurul menahan
nafasnya dengan susah payah, memegang meja di hadapannya dengan sekuat tenaga
saat sang Chef menusukkan batang penisnya sekuat tenaga.
Chef Juna sendiri terlihat
begitu menikmati dengan apa yang ia perbuat. Memek Nurul yang sudah begitu
basah terasa hangat membungkus batang penisnya, wanita itu begitu pasrah dengan
setiap sentuhannya. Diciumnya pundak Nurul yang polos sambil ia terus memasukkan
penisnya semakin dalam. Nurul membalikkan kepalanya dan sang Chef dengan sigap segera
melumat bibir tipis wanita berkaca mata itu, merampas sisa-sisa kehangatan dan
rasa manis yang tersimpan di mulut manisnya.
"Chef begitu nakal, a-aku
tidak tahu memasak b-bisa menjadi begini menyenangkan…" rintih Nurul
pelan, menikmati saat Chef Juna mulai menggerakkan pinggulnya, menggenjotnya,
menyetubuhinya, saling menggesekkan kelamin mereka agar tercipta rasa nikmat
yang teramat sangat menggiurkan.
"Kalau begitu, lebih baik
kita terus menyisihkan waktu untuk memasak, bukan?" Chef Juna terus
mendorong dan menarik tubuhnya dari jepitan memek Nurul dengan ritme tertentu,
ritme yang semakin lama semakin bertambah liar dan cepat.
Nurul menutup matanya, menikmati
setiap sentuhan yang kian membiusnya. Ia terus mendesah, memanggil nama pria
itu terus-menerus. "Chef Juna… oh, Chef! Oughh..."
"Tahan sebentar, kita tidak
mau ini semua berakhir dengan cepat bukan." bisik sang master Chef sambil
memompa tubuh montok Nurul sekuat tenaga. Tangannya memegangi buah dada wanita
berambut panjang itu agar tidak bergerak kesana-kemari.
"Chef, kumohon…" Nurul
merintih pelan, berharap kenikmatan ini berlangsung selamanya.
Pria bertato itu tersenyum, ia memasukkan
kontolnya semakin dalam, juga menggerakkannya semakin cepat hingga beberapa
kali mentok menabrak mulut rahim Nurul. "Seperti ini? Kamu suka yang
begini, mbak Nurul?"
bisik Chef Juna menggoda.
"Ah, Chef…" Nurul
merintih semakin keras.
"Kuanggap kamu suka,"
katanya dengan suara parau. Yah, kau pasti sangat menikmatinya.
Persetubuhan itu berlangsung
selama beberapa menit hingga akhirnya keduanya sama-sama mencapai klimaks secara
bersamaan. Nurul menggigit bibirnya dengan keras untuk menahan jeritannya,
begitu juga dengan Chef Juna, ia juga melakukan hal yang sama. Rupanya mereka
tidak ingin membangunkan siapapun di malam yang sunyi itu. Untuk pertama kalinya
mereka bercinta tanpa banyak suara, pikir Nurul. Siapa yang peduli, semuanya
terasa begitu indah.
Cairan mereka yang saling
menyembur, bercampur menjadi satu, memenuhi lubang memek Nurul, menjadikannya
kian basah dan lengket. Saat Chef Juna mencabut kontolnya, sebagian cairan itu
meleleh keluar membasahi paha dan bokong bulat Nurul. Chef Juna menampungnya
dengan tangan dan mengoleskannya ke bulatan payudara Nurul, menjadikan benda
bulat padat itu basah dan mengkilat. Chef Juna menciuminya sebentar sebelum
bersandar di meja saat Nurul mulai menjilat dan mengulum penisnya sampai
bersih.
Pada menit berikutnya, keduanya
sudah mengenakan pakaian mereka seperti semula, seolah-olah kehangatan dan
kemesraan barusan tidak pernah terjadi. Chef Juna menunjukkan bagaimana caranya
membuat adonan terakhir, yaitu bagian frosting. Nurul mengangguk pelan,
melakukan apa saja yang diperintah tanpa banyak mengeluh.
"Pada saat menggabungkan
lapisan kuenya, tempatkan lapisan pertama di atas piring datar, berikan
setengah adonan isi di atasnya. Lapisi dengan lapisan kue kedua, berikan bagian frosting-nya,
benar begitu. Tumpuk dengan lapisan kue lagi dan jangan lupa untuk memberikan
sisa adonan isi lagi. Lapisi semua bagian samping dengan sisa frosting
yang ada."
Pada akhirnya, mereka berdua
memandang kue jeruk yang besar, dikelilingi dengan krim putih di semua bagian
bagaikan lautan salju. Nurul begitu bangga dengan hasilnya. Wajahnya
berseri-seri setiap kali ia memandang kue itu. "Kelihatannya bagus."
gumamnya.
"Hiasi dengan kulit jeruk
yang sudah dipotong kecil-kecil kalau kau suka. Nilai keindahannya akan
bertambah." sahut Chef Juna.
"Akankah chef memberiku
tambahan nilai atas kue ini?" Nurul bertanya, kedua matanya bersinar
nakal.
"Tidak untuk kuenya. Tapi
untuk tubuhmu, ’YES’!” chef Juna mengacungkan 2 jempolnya.
Nurul tersenyum dan memeluknya,
memberi pria itu kecupan penuh rasa terima kasih.
1 comments:
Yi
5 November 2017 at 14:28Post a Comment