Sunday 17 February 2013
My Heart
"Tidak apa-apakah bila aku
menjadi kru-mu?" ujar Brook.
"Yeah, tidak apa-apa,"
jawab Luffy sambil mengeluarkan senyumannya.
Seluruh kru Topi Jerami terbelalak dengan kejadian itu karena serasa begitu
mudahnya Brook bergabung bersama mereka. Tapi, sebuah impian memang seolah
telah menjadi pengikat mereka semua dan Brook juga memilikinya. Kru topi jerami
kini bertambah satu dan mereka merayakan bergabungnya Brook, seorang pemusik dan
juga jago anggar. Mimpi buruk dan pertarungan di Thriller Bark telah berakhir
dengan tumbangnya Gecko Moria dan kembalinya semua bayangan yang dirampas.
"Aku Humming Brook, bekas wakil kapten bajak laut Rumbar, bounty 33
juta Berry, mulai sekarang akan mengabdikan diriku pada kaptenku yang baru,
Luffy sang Topi Jerami."
"Oke, sekarang KANPAI!"
seru Luffy.
Pesta terus berlanjut untuk
merayakan kemenangan tersebut, alunan nada indah yang keluar dari gerakan indah
jari jemari Brook yang memainkan lagu Binks Sake dengan piano, menghiasi
Thriller Bark. Nami tersenyum melihat kegembiraan yang mereka luapkan namun dia
juga merasa cukup sedih karena saat itu Zoro tidak bisa ikut berpesta, ia tidak
tahu apa yang terjadi. Tapi Bartholomew Kuma yang telah pergi saat ia sadar
sungguh melegakan hatinya. Sesaat Nami termenung dan dia mulai menyadari bahwa
Sanji sudah tidak berada di dalam ruangan. Perlahan tapi pasti dia mulai
melangkahkan kakinya.
“Jika kau mencari Tuan Koki, dia
berada di luar di pinggir tempat ini yang menghadap ke laut," ujar Robin
kepada Nami merasa tahu kegundahan Nami.
"Ah, aku hanya tidak ingin dia melewatkan pesta ini," jawab Nami
sambil memaksakan senyumnya dan kemudian dia bergegas menuju tempat di mana
Sanji berada.
Robin memandang Nami yang mulai menghilang dari pandangannya.
"Sepertinya untuk saat ini sebaiknya aku tidak perlu tahu apa yang akan
dia lakukan," guman Robin sembari tersenyum penuh arti dan beranjak
mendekati Zoro yang sedang terbaring. Dasar, kau lelaki yang bisa membuat
resah juga ternyata...
Nami sampai di ujung Thriller Bark, dilihatnya Sanji sedang duduk memandang
bulan sambil menghisap rokoknya. Dia menyapa Sanji dan duduk di sebelahnya.
"Kenapa kau berada di sini?" tanya Sanji yang keheranan melihat
Nami.
"Seharusnya aku yang bertanya itu, kenapa kau ada di sini?"
Sanji menatap Nami dengan tatapan
bingung dan mulai kembali menatap bulan. "Aku tidak tahu, tadi aku keluar
sebentar untuk merokok dan aku melihat langit malam ini begitu indah, tanpa
sadar aku sudah berada di sini menatap bulan. Kau sendiri?"
"Aku... Aku mencarimu,
Sanji-kun."
Mata Sanji lantas berbentuk hati.
"Kau mencariku, Nami-swaaaan?"
"Iya," kata Nami.
"Saat Chopper memeriksa kita semua, dia menemukan bekas tikaman benda
tajam, dilihat dari lebarnya luka, kau diserang dari belakang, tembus dari
punggung ke dada di dekat jantung. Apa sebelum melawan Oz kau melawan pendekar
pedang, Sanji-kun? Setahuku ada satu, tapi ia samurai sejati dan pasti sudah
dilawan Zoro."
Mata hatinya menghilang.
"Tidak. Tak usah dipikirkan," jawabnya tersenyum sinis.
"Aku takut ada hal-hal buruk
yang kau dan Zoro sembunyikan. Kalian sungguh membuat khawatir
tahu?"
"Oh, Nami-swaaan mengkhawatirkanku?"
"Jawab dengan serius, Sanji-kun." Nami kesal Sanji seenaknya
mengubah mood pembicaraan. "Mungkin kita semua tak tahu apa yang menimpa
Zoro, kurasa ia tak akan menjawabnya meski dugaan terbesar luka-lukanya berasal
dari serangan Kuma saat kita semua pingsan. Tapi aku ingin tahu asal lukamu. Itu
jelas bukan dari pertarungan melawan Oz, Moria, atau Kuma. Dan kau pasti akan menjawab pertanyaanku."
Sesungguhnya Nami ingin
memastikan sesuatu. Ya, ia merasa bangun dan berjuang sendirian saat
ditawan Absalom. Tak ada yang menyelamatkannya. Ussop yang lebih tahu keadannya
maupun Luffy sang kapten. Oke, Nami pikir semua menghadapi musuh masing-masing.
Hanya Lola yang bersamanya, itu pun tak berdaya. Namun, ia menemukan kondisi kapel
yang porak poranda bekas pertarungan dengan gaunnya yang masih suci dari noda.
Apalagi Absalom yang mudah ia taklukkan dengan sekali serangan Clima-Tact.
Awalnya, ia pikir ini hanya keberuntungan semata dan tidak terlalu
memperhatikan keganjilan itu. Setidaknya sampai Chopper merawat semua luka.
Ya, itu luka saat ia tengah mengangkat tubuh Nami sembil dihujani pukulan
dan tendangan dari segala arah. Sanji tak ingin bilang bahwa ia terpaksa
menjatuhkan Nami saat pisau belati itu terbang dan menghantamnya dari belakang.
Untung saja meleset dari jantungnya karena ia sempat mengantisipasi meski tak
bisa menghindar sepenuhnya. Rasa sakitnya jelas tak tertahankan. Namun, ia
tetap melawan rasa sakit itu dan berbalik mengerahkan batas tenaganya untuk
membalas Absalom.
"Ini luka karena aku melawan musuh yang licik,"
jawab Sanji seadanya.
Licik? Seingat Nami, dr. Hogback bukan tipe yang seperti itu, ia hanya
senang berkeksperimen aneh. Satu lagi adalah wanita yang bisa melayang dengan
aksen ketawa yang aneh, Sanji tak mungkin melawan wanita. Minus Moria, berarti
hanya tinggal satu... Apa yang dimaksud dengan licik adalah bahwa ia bisa
menghilangkan diri? Apa yang
dimaksud dengan licik adalah ia bertarung sambil membawa sandera?
Nami lantas menatap Sanji lekat, dia melihat sosok Sanji yang yang tidak
pernah dia lihat sebelumnya. Wajah Sanji yang tertepa sinar rembulan terlihat
sangat menawan. Nami memalingkan wajahnya karena dia merasa pipinya mulai
memerah. Perlahan dia mulai mengingat saat-saat ketika Sanji bertarung dengan
Absalom untuk menolongnya. Entah, sepertinya kini ia bisa merasakannya seolah
saat itu ia berada dalam kondisi setengah sadar dan samar-samar bisa mendengar
suara pertarungan Sanji saat itu. Nami mencoba membayangkan kira-kira apa yang
bisa membuat Sanji mungkin lengah sehingga tertikam (dari belakang pula). Apa
ia tengah berusaha membawaku kabur? Dengan gaun yang sama sekali tak tercela
noda sedikitpun, bagaimana ia membawaku? Tidak, ia tidak bisa membawaku.
Mungkin saat tertikam, Absalom merebutku kembali.
Dan saat dibayangkan, rasanya
luka Sanji bisa ikut Nami rasakan kesakitannya.
"Emh, terima kasih yah" ucap Nami kemudian memandang bulan.
"Hmm, buat apa?" tanya Sanji masih pura-pura.
Nami benar, Sanji tidak pernah bermaksud membohonginya meski kadang tidak
ingin sepenuhnya jujur. Tapi itu sudah bisa membuatnya tahu. "Kau sudah
menolongku dari Absalom."
"Seharusnya aku minta maaf padamu karena Muka Singa Keparat itu
berhasil merebutmu kembali." Sanji tidak menutup-nutupinya lagi. Gara-gara
luka, mungkin saja tenaga untuk menghajarnya menjadi berkurang.
"Tidak apa-apa," ujar
Nami sambil tersenyum. "Akulah yang harusnya minta maaf karena tak bisa
segera sadarkan diri untuk membantumu, Sanji-kun. Pasti berat bertarung saat
kau tengah menjagaku. Rasanya aku selalu merepotkanmu dan membawamu dalam
masalah. Saat di Pulau Drum dan Skypea juga demikian, aku selalu membuatmu
terluka."
"Ti-tidak, Nami-san,"
sambung Sanji cepat. "Aku tak pernah merasa terbebani. Aku tulus
melakukannya. Aku..."
"Iya-iya," potong Nami
mengalah. Kalau Sanji sudah bicara seperti itu, entah siapa yang akan paling
keras kepala di sini jika ia mendebatnya. Begitulah, Kishido-nya. "Aku
mengerti. Sekali lagi, terima kasih ya?"
Sanji terperangah melihat Nami
hingga rokok yang dihisapnya jatuh ke tanah. Rembulan malam itu menyinari
mereka berdua. Nami terlihat sangat anggun dengan senyum yang menghiasi
wajahnya. Jantung Sanji mulai berdegup kencang dan dia langsung memalingkan
wajahnya dari Nami. "Kau terlihat sangat cantik dengan gaun itu,"
ujar Sanji pelan.
"Hm, aku sudah tahu kau
akan mengatakan itu kepada semua wanita." kata Nami sambil tertawa kecil.
"Tidak, kau memang terlihat
sangat cantik saat itu," ujar Sanji mengingat betapa ia seolah melihat
bidadari –sudah dua kali ia seperti salah lihat. "Malam itu, kau
benar-benar terlihat ribuan kali lebih cantik dari wanita manapun yang pernah
aku temui," lanjut Sanji dengan nada ditegaskan ke arah Nami.
Nami tertegun. Sanji yang
biasanya memperlihatkan wajah mesumnya ketika memuji kecantikannya kini
memasang wajah serius, wajah seorang pria. Nami tertunduk dan tubuhnya
bergetar, jantungnya berdegup begitu kencang dan pipinya mulai memerah.
"Hei, kau tidak
apa-apa?" tanya Sanji, namun tiba-tiba Nami merangkul tubuh Sanji dan
menyembunyikan wajahnya di dada seorang koki terbaik yang pernah dia temui. "Na-Nami-san..." ujar
Sanji kebingungan.
"Kurasa ucapan terima kasih saja tidak cukup," kata Nami lirih
sambil mengencangkan rangkulannya. "Izinkan aku bersamamu malam ini."
Sanji memegang bahu Nami dan mulai melepaskan pelukan itu. Perlahan Sanji
menengadahkan wajah Nami. Mereka berdua saling pandang sejenak. Sanji meletakan
telapak tangan kanannya di pipi Nami dan kemudian dia mengecupnya lembut. Nami
membalas kecupan Sanji dan ia pun mulai melingkarkan tangannya pada leher pria
berambut pirang tersebut. Semilir
angin laut dan dentuman ombak mewarnai saat-saat itu. Bulan seakan menjadi lilin penghias hati dan
bintang-bintang berkelip menciptakan suasana yang sangat indah.
Sanji mulai memainkan lidahnya di
dalam mulut Nami dan akhirnya lidah merekapun beradu. Sesekali Sanji mengeluarkan
lidahnya dan mengecup bibir Nami dengan pelan. Ciuman Sanji perlahan-lahan
bergerak dari pipi menuju dagu dan kemudian ke leher. Nami mengusap rambut
Sanji dan menengadahkan kepalanya saat Sanji menjilat lehernya dengan lembut. Sesekali
Nami mencium kepala pria tersebut dan juga sesekali menggigit bibirnya.
"Ahhh…" Nami mengerang perlahan saat kecupan yang dilontarkan Sanji
sampai pada payudaranya. Nami hanya bisa mengerang dan menatap Sanji yang
sedang menciumi salah satu bagian vital tubuhnya secara bergantian, kiri dan
kanan. Remasan lembut dirasakan oleh Nami pada payudara sebelah kirinya. Ciuman
itu kembali beralih ke bibir dan Sanji mulai membuka kaos yang dikenakan Nami.
Perlahan Nami pun membuka jemper biru tua yang dikenakan oleh pasangannya
tersebut. Sanji menatap Nami seakan bertanya apakah tidak apa-apa mereka
melakukan ini. Nami tersenyum dan menganggukan kepalanya pelan seakan
mengetahui arti dari pandangan itu. Kini tubuh bagian atas mereka berdua tidak
ditutupi sehelai benangpun. Kedua insan tersebut berpelukan erat dan saling
berciuman.
Sanji menjilati leher Nami hingga sampai pada payudaranya. Sanji meremas dan juga menciumi
payudara Nami dengan pelan. Nami menggigit bibir bawahnya saat dia merasakan
kehangatan luar biasa pada putingnya. Sanji menghisap dan menjilati puting
payudara Nami secara bergantian. Sesekali Nami meremas rambut pirang yang
dimiliki Sanji dan Sanji meremas payudara Nami.
"Seeshhhh... Aaahhhhhh..."
erang Nami.
Sanji merebahkan tubuh
Nami di atas rerumputan yang beralaskan jemper-nya. Sembari menindihnya, Sanji
terus menciumi tubuh Nami dengan sangat lembut dan dia mulai membelai bagian
paling sensitif dari tubuh Nami. Perlahan Sanji menyusupkan tangannya ke dalam
celana yang dikenakan Nami.
"Arghhhhhhhhh…" Nami melenguh
saat merasakan jari jemari Sanji bermain di tempat itu. Sesekali membelai dan
sesekali meremas pelan. Sanji mengeluarkan tangannya dan mulai membuka celana
Nami. Pasrah dan diam, Nami hanya bisa menatap langit. Kini tidak ada selembar
kain pun yang menutupi tubuh Nami dan juga Sanji. Nami bergetar saat Sanji
membelai sekujur tubuhnya.
"Aaagghhhhhhh…" Nami terpekik
saat dia merasakan sesuatu yang basah dan juga hangat menyentuh bagian kewanitaannya.
Sanji mulai mengecup dan juga menjilati bagian itu. Sesekali lidahnya menyeruak
masuk dan menjilati seisinya. Nami mencoba menutupkan kakinya namun itu malah
membuat bibir Sanji makin menekan bibir kemaluannya dan terdengar beberapa kali
suara dari mulut Sanji yang sedang menghisap daging kecil di dalam kemaluan
Nami.
Nami meremas keras rambut Sanji
dan dia berkali kali menggeliatkan tubuhnya. Nami merasakan geli yang teramat
sangat pada tubuhnya namun sensasi yang dirasakan olehnya tidak bisa membuatnya
tertawa. Sanji masih terus menjilat dan satu tangannya meremas payudara Nami.
Merasa tidak tahan, Nami memaksa bangun dan membuat Sanji terkejut dan
terduduk. Nami mencium bibir Sanji dan tangannya mulai membelai kemaluan Sanji
yang tengan berdiri. Nami berlutut dan mengecup benda itu, benda yang tidak
pernah dia lihat sebelumnya.
"Errghhhhhhhhh…"Sanji mengerang
ketika merasakan kehangatan yang mulai menjalar pada kemaluannya tersebut. Nami
menjilati dan mengulum kemaluan Sanji dengan lembut. Walau awalnya merasa
canggung tapi kini dia sudah mulai menyukai mainan barunya itu. Nami sesekali
mengocoknya perlahan dan membuat tubuh Sanji menggelinjang. Melihat tingkah
Sanji yang baru pertama dilihatnya itu membuat Nami tertawa kecil.
Sosok Sanji yang biasanya tegar
dan juga menjaga image-nya kini terlihat seperti anak kecil yang lucu dan juga
menggemaskan. Nami kembali pada kegiatannya mengulum sambil melirik Sanji. Mata
mereka saling bertemu dan saling pandang. Sanji seakan tak percaya bahwa Nami,
wanita yang sering digodanya kini sedang bermain-main dengan kemaluannya. Kalaupun
ini mimpi maka dia rela bila tidak dapat terbangun selamanya.
Nami melepaskan kecupan pada
kemaluan Sanji dan dia mulai merebahkan dirinya kembali. Seakan tahu apa yang
diinginkan wanita cantik itu, Sanji merenggangkan kaki Nami dan mulai
mengarahkan senjatanya. The Black Leg, Sanji, salah seorang kru dari
bajak laut topi jerami dan juga koki handal yang tak pernah takut menghadapi
siapapun dengan serangan-serangannya yang tajam kini seakan tidak berdaya di
hadapan seorang wanita.
Berkali-kali Sanji gagal
melakukan penetrasi kepada Nami dan jelas membuat Nami tertawa kecil.
"Melihat gayamu selama ini,
aku tak menyangka bahwa kamu ternyata tak punya pengalaman soal hal ini,"
ujar Nami.
"Mungkin aku memang tampak menggilai semua wanita, memanggil mereka
semua dengan sebutan –chan hanya untuk berasa dekat dan akrab, tapi aku hanya
ingin melakukan hal ini dengan wanita yang benar-benar kucintai," jawab
Sanji yang masih kerepotan.
"Oh ya? Kau kira aku lupa kau pernah menawarkan pada Vivi untuk tidur
dengannya saat kita semua bermalam di Yuba?"
"Itu tidak serius, Nami-san. Kau tahu? Aku hanya akan melakukannya
dengan wanita yang juga bersedia menyerahkan tubuhnya padaku bahwa ia
menginginkannya juga. Aku tak pernah memaksa siapa pun, memaksa keras menikahi
wanita yang tidak ingin menikah denganku pun aku tak tega jika itu bisa
menyakiti hatinya. Aku hanya senang menggoda mereka, merasa bangga dan besar
kepala jika seluruh wanita di dunia bisa menggilaiku. Bahkan, aku tak mau
terang-terangan melakukan pelecehan seksual pada wanita seperti yang Brook
lakukan."
Nami tertegun mendengar kata-kata
itu. Sanji begitu gentleman meski tak bisa dipungkiri bahwa cowok itu sangat
genit dan cukup mesum. "Sok dekat? Lalu kenapa kau memanggilku –san seolah
itu memberi jarak kita?"
"Aku memuja sekaligus
menghormatimu, Nami-san. Hanya kau yang berbeda."
Wajah Nami pun memerah dan
hatinya mulai berdegup tak karuan. Nami menggapai wajah Sanji dan mengecup
bibirnya. "Kau tahu? Hanya kau pula lelaki yang boleh sok dekat denganku. Karena itu aku memanggilmu –kun."
"Kau menyukai segala
rayuanku, Nami-san?"
"Tanpa itu rasanya ada yang
kurang. Aku sudah menerima segala sindiran negatif dari yang lain. Entahlah,
mungkin tanpa sadar akulah yang sebenarnya ingin dekat denganmu."
Kemudian Nami memegang kemaluan
Sanji dan mengarahkannya ke arah yang tepat. Nami mengerang saat dia merasakan
ada benda yang menyeruak masuk ke dalam liang kewanitaanya.
"Ahhhhhhhhh…" Sanji melenguh
merasakan kehangatan yang luar biasa di kemaluannya. Sanji langsung
menindis Nami dan mengecup sekujur tubuh wanita itu meremas payudaranya,
menjilat dan mencium putingnya dan juga mengecup lehernya. Sanji mulai mengeluar masukkan batang kemaluannya
dalam kemaluan Nami perlahan namun pasti.
Rasa sakit yang dirasakan Nami
kini perlahan-lahan berubah menjadi kenikmatan yang luar biasa. Rintihan
pedihnya kini berubah menjadi erangan. Suara gesekan tubuh mereka terdengar
berirama dan dihiasi dengan erangan-erangan perlahan. Sanji mengangkat kedua
kaki Nami dan meletakannya di bahunya untuk kemudian dia mulai kembali
menghujamkan kemaluannya. Nami
menahan payudaranya yang bergoncang karena gerakan yang dilakukan Sanji.
Sanji menurukan kaki Nami dari
bahunya dan mulai bercinta dengan gaya konvensional. Mereka berpelukan erat dan
Nami mencakar punggung Sanji yang masih terus menggoyangkan pinggulnya dan
mengeluar masukkan kemaluannya ke dalam kemaluan Nami.
"Arghhhhhhhhhhhhhhh…"
Nami menengadahkan kepalanya dan tubuhnya bergetar dengan hebat kemudian
tubuhnya melemas tanda orgasme. Sanji yang masih terus melakukan penetrasi juga
mulai merasakan kemaluannya mulai berdenyut-denyut.
"Ah…Nami-san,
Nami-san…" seru Sanji dengan suara yang bergetar karena aktifitasnya. Sanji
menghujamkan kemaluannya dalam-dalam. Ia lalu melenguh dan menyemburkan cairan
cintanya di dalam kemaluan Nami.
Nami merasakan ada sesuatu yang
hangat membanjiri rahimnya dan memberikan sensasi luar biasa. Merekapun saling
berpelukan dengan tubuh penuh dengan keringat. Sanji mengeluarkan kemaluannya
dari liang kewanitaan Nami dan mulai berbaring terlentang menatap langit. Nami
meletakan kepalanya di dada Sanji.
"Nami-san, aku
mencintaimu," ujar Sanji sambil mengelus rambut Nami.
"Kau tidak perlu mengatakannya." jawab Nami.
"Aku akan selalu berada di sampingmu, dan aku akan selalu menjagamu.
Tak akan kubiarkan ada pria lain seperti Muka Singa itu yang ingin
merebutmu."
"Ah, aku udah bilang, kau tidak pelu mengatakannya, aku tahu semua
itu."
"Apa itu tandanya kau bersedia menjadi pengantinku, Nami-san?"
"Ya, Sanji-kun, tapi bukan sekarang. Aku akan mengenakan gaun indah itu
lagi untukmu tapi itu setelah perjalanan ini berakhir dan kita bisa meraih
impian masing-masing. Sampai saat itu tiba, kita masih nakama."
"Maaf aku belum bisa mengikatmu secara simbolis dengan cincin."
"Bodoh!" sentak Nami.
"Lalu, barusan kita melakukan apa kalau itu bukan salah satu bentuk
pengikat?"
"Hmmm, bagaimana kalau
dengan ini dulu?" Sanji mengangkat tangan kanannya, dan seolah mengambil
sesuatu dari balik celananya, lalu menyelipkannya di jari manis Nami. Cincin
imajiner. Nami tertegun memandangi jari manis tangan kirinya. Ia mengangkatnya
ke langit, berpura-pura seolah ada sebuah cincin di sana.
"Ini sepertinya akan menjadi
perjanjian yang sulit, Sanji-kun," ungkap Nami.
"Hehehe, jaga-jaga
saja," lanjut Sanji.
Nami mengangguk paham dan
tersenyum. Malam masih
terlalu indah untuk dilewatkan. Kedua insan tersebut pun tersenyum dan mulai memejamkan mata mereka.
Keesokan harinya Kru bajak laut
topi jerami bersiap untuk meninggalkan Thriller Bark. Zoro sudah siuman
dan dibantu kru bajak laut Lola, harta dan juga makanan diangkut ke dalam
Thousand Sunny.
"ROOBBBBINNN-CHWANN..." teriak Sanji dengan wajah mesumnya ketika
melihat Robin yang mengenakan pakaian santai.
Tiba-tiba kepalan tangan menghampiri
kepala Sanji. Pemilik tangan
itu adalah Nami. Tak ada yang berubah, pikir Robin. Robin tahu bahwa semalam
mereka tak pulang entah bermalam di sudut pulau yang mana. Ia pun hanya
membalas sapaan Sanji dengan senyuman yang biasanya.
"Jangan menggoda terus,
segera kemasi barang-barang yang tersisa!" bentak Nami.
Begitu pula dengan Nami yang
tetap "ringan tangan", pikir Robin.
"Baik, Nami-swaaan,"
Sanji pun mengangkut bahan makanan dan tersenyum memandang ke arah Nami.
Saat itu, Robin bisa melihat sekilas bahwa senyum Nami terlihat beda. Yang
jelas, pastinya usaha Merusak Acara Pernikahan itu harusnya mendapat imbalan
yang sepantasnya, Robin tidak bisa lupa betapa berapi-apinya Sanji saat itu.
Ya, yang tidak melihatnya hanya Nami. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu
perasaan cinta Sanji yang begitu membara. Tak ada yang menghalangi dan semuanya
mendukung, termasuk sang Kapten yang pengertian dan tanpa pikir panjang
langsung menyerahkan tugas menyelamatkan Nami pada Sanji.
Setelah semuanya selesai Thousand Sunny siap untuk berangkat. Meski kemudian
mereka bertemu Camie dan Sanji masih sibuk menggoda dengan nada biasanya, meski
mereka bertemu duyung-duyung lain di Pulau Merman dan Sanji hampir tewas
kegirangan karena serasa berada di surga, meski mereka bertemu Boa Hancock yang
kecantikannya sempurna dan Sanji berkali-kali menjadi batu karena bermaksud
mendekatinya; Nami tahu siapa wanita yang sudah ada di hati Sanji. Ia tak
terlalu peduli. Ia pintar menyembunyikan perasaannya. Begitu pula dengan Sanji
yang seklias tetap tak ada perubahan di mata semuanya, selain Nami mungkin saja
tak ada yang menyadari isi hatinya yang sesungguhnya. Selama Sanji masih
memanggil Nami dengan sebutan –san dan memanggil semua wanita dengan –chan, itu
sudah pertanda yang paling jelas. Nami percaya padanya selama ia masih
memanggilnya –kun. Cukup hanya mereka berdua saja yang tahu tentang dalamnya
ikatan di antara mereka karena... My heart had been yours
0 comments:
Post a Comment