Monday 18 February 2013
The Night
Malam itu datang terlalu cepat.
Saking cepatnya, sampai-sampai tidak ada yang sadar bahwa matahari sudah
tergelincir dari ufuk untuk kembali tidur ke peraduannya yang abadi. Langit
mulai kelam dan segera saja sang bulan bertukar peran dengan sang surya, menerangi
jagad raya ditemani oleh ribuan bintang-bintang kecil sebagai dayang-dayangnya.
Gadis berambut merah itu sudah
masuk ke dalam kamarnya sejak senja bertukar malam. Rambutnya yang siang tadi
disanggul, sekarang sudah tergerai dengan rapi mencapai tengkuknya. Wajahnya
yang saat upacara tadi tertutup bedak tipis, kini sudah bersih tanpa make up.
Yang tertinggal hanyalah wajahnya yang polos dan alami.
Mary Jane menatap bayangan wajahnya di cermin. Ia mencoba menyunggingkan
senyuman tipis di ujung bibirnya, akan tetapi ia malah terlihat seperti sedang
menyeringai. Gadis itu menghela nafas dalam-dalam. Ia meneliti jauh ke dalam
matanya dan mendapati ada keraguan di sana. Ada ketakutan yang berpendar di
kedua bola matanya yang biru. Ia pun tak mampu menutupi kecemasan yang membuat
wajahnya pucat.
Ia sungguh tidak siap akan
datangnya malam.
Malam ini adalah malam
pertamanya sebagai istri dari Peter Parker, sang Spiderman.
Mary lagi-lagi mencoba tersenyum
kepada refleksi wajahnya di cermin. Sekali ini ia tidak terlihat seperti sedang
tersenyum atau pun menyeringai. Ia kelihatan seperti seseorang yang sedang
meringis. Duh, apa mungkin ia setakut itu sampai-sampai tersenyum normal saja
ia tak mampu?
Gadis itu memutar bola matanya.
Mengatur detak jantungnya yang sudah sejak tadi berdetak tak beraturan.
Kepalanya pun terasa berat dan seakan ingin pecah karena sebuah pemikiran terus
saja menggelayuti otaknya sejak ia masuk ke kamar pengantinnya sore tadi.
Ia akan kehilangan sesuatu yang
berharga yang sudah ia miliki dan ia jaga selama lebih dari dua puluh tahun.
Ia akan kehilangan… keperawanannya.
Lagi-lagi wajah pucat itu
meringis di cermin. Ia semakin galau saat hatinya menyebut kata keperawanan. Mary mengepalkan
kedua tangannya di depan dadanya dan menelan ludahnya. Ia tahu cepat atau
lambat hal ini akan terjadi. Ia yang tadinya lajang, telah menjadi istri
seorang laki-laki. Ia harus siap akan kehilangan mahkotanya sebagai seorang
gadis.
Mary Jane melempar pandangannya
dari cermin dan beralih ke ranjangnya. Ranjang pengantinnya. Ranjang itu adalah salah satu ranjang termahal di kota New York.
Harry Osborn, teman sekaligus rival Peter yang memesannya untuk dibuat secara
khusus. Ranjang yang dibuat dari kayu Jati itu berukuran besar, dengan pahatan gambar
bunga teratai di bagian kepalanya. Kasurnya adalah kasur bulu angsa yang hanya
dapat dipesan oleh beberapa orang jutawan di seluruh dunia. Dengan melihatnya
saja, Mary sudah tahu betapa nyamannya tidur di atas kasur itu. Bukan itu saja
yang dilakukan Harry untuk Peter, ia sengaja memesan seprai sutra terbaik dari
Jepang. Seprai yang halusnya minta ampun itu sewarna dengan bola mata Mary, warna
nila yang sangat indah.
Mary Jane mendesah setengah
hati. Ranjang indah itu sepertinya akan menjadi ranjang pembantaian baginya.
Gadis itu masih sibuk dengan
pemikiran-pemikirannya yang menakutkan saat ia mendengar sebuah ketukan lembut
di pintu kamar. Mary tersentak dan tanpa sadar memegang erat kepala tempat
tidur, seakan takut kedua lututnya tak mampu menopang berat tubuhnya yang
dijalari dengan rasa ketakutan yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata.
"Mary, boleh aku
masuk?" sebuah suara perempuan terdengar dari balik pintu.
Mary Jane mengenali suara itu
dan ia menghela nafas lagi. Setengah berlari ia membuka pintu dan mendapati Saphire
berdiri di depan pintu dengan senyuman manis. Saphire tidak sendirian, ada Jessie
berdiri di sampingnya dengan wajah menggoda.
"Mary, kami ingin melihat
keadaanmu sebentar saja, sebelum…" Jessie terkikik sebentar dan melirik ke
arah Saphire dengan tatapan nakal.
Mary Jane menggeser langkahnya,
mempersilakan keduanya masuk. Kedua wanita yang masih berpakaian putih itu
masuk dengan langkah pendek-pendek.
Jessie memandang ke sekeliling
kamar dengan takjub. Sebuah ranjang yang sangat mewah ditempatkan di
tengah-tengah kamar. Di sisi kanannya terdapat sebuah meja rias dengan cermin
yang sangat besar. Di sisi kanannya terdapat sebuah sofa yang sangat nyaman. Di
sebuah meja kecil di samping kepala tempat tidur terdapat sebotol champagne
dingin dan dua gelas bersih. Sepiring buah-buahan segar juga disiapkan di atas
meja itu.
Singkat kata, kamar pengantin
itu sempurna.
"Mary, ini indah sekali! Harry
memang tidak main-main menyiapkan semuanya ini untukmu," seru Jessie.
Saphire mengangguk setuju.
Wanita muda berambut orange itu menyentuh bahu Mary Jane membimbingnya untuk
duduk di atas sofa. Kedua sahabat itu lalu duduk berdampingan.
"Mary, kami berdua datang
untuk menemanimu sebelum perayaan pesta pernikahanmu berakhir dan para tamu
pulang," ujar Saphire pelan.
Jessie mengangguk dan bergegas
duduk di samping Mary. "Kami tahu, kau pasti waswas," bisiknya di
telinga Mary.
Mary menatap Jessie dengan
tatapan mengiyakan, "Heh?"
Saphire dan Jessie bertukar
pandang dan keduanya lalu tersenyum penuh arti.
"Ini kali pertamamu kan, Mary?"
tanya Jessie.
Dengan enggan Mary Jane mengangguk.
Saphire menepuk bahu gadis yang
sekarang ini menatap lantai dengan pandangan setengah kosong itu.
"Mary, malam pertama memang
kelihatannya menakutkan. Aku juga begitu saat akan melalui malam pertamaku
dengan Hansi. Tapi percayalah, tidak akan seburuk yang kau perkirakan
sebelumnya," kata Saphire dengan lirih.
Mary mendongak dan menatap Saphire
dengan seksama. Ia melihat kejujuran di wajah sahabatnya itu. Saphire dan Hansi
sudah menikah hampir setahun yang lalu. Tidak pernah sekali pun ia mendengar Saphire
mengeluh apapun tentang pernikahannya dengan laki-laki itu. Apalagi soal malam
pertamanya. Saphire sangat tertutup untuk hal yang satu itu.
"Apa tidak… menyakitkan?"
tanya Mary Jane dengan suara serak yang sedikit banyak menggambarkan ketakutan
hatinya.
Saphire mendehem, "Well, aku
bohong kalau aku bilang tidak sakit sama sekali, tapi…"
Mary Jane langsung mendecak, "Tuh
kan sakit," katanya putus asa.
Jessie terkikik geli, "Ya
ampun, Mary. Kau sudah beberapa kali hampir mati karena diserang monster, masa
kau takut sakit di malam pertamamu? Benar-benar gadis polos."
Mary Jane mendelik sebal ke arah
Jessie yang makin terlihat senang melihat wajah Mary yang memerah karena kesal.
Komentar Jessie barusan sama sekali tidak membuatnya merasa lebih baik.
Saphire buru-buru menepuk bahu Jessie,
mengingatkannya akan tujuan utama mereka berdua ke kamar Mary Jane malam ini. Jessie
cepat-cepat menutup mulutnya sendiri, menahan tawanya yang setiap saat siap
lepas.
Saphire menyentuh tangan Mary
Jane lalu menggenggamnya dengan lembut. Matanya menatap dengan penuh
pengertian.
"Mary, kenapa kau
memutuskan menerima lamaran Peter? Karena kau mencintainya kan?" tanya Saphire.
Mary Jane mengangguk tanpa pikir
panjang. Cintanya pada Peter Parker yang notabene manusia yang memiliki
kekuatan laba-laba tak perlu diragukan lagi.
"Saat kau memutuskan
menerima Peter sebagai suamimu, maka saat itu juga kau sudah memutuskan bahwa
kau akan menerimanya apa adanya dengan semua kekurangan dan kelebihannya. Kau
akan mendampinginya melewati saat-saat baik dan buruk dalam hidupnya,
merawatnya saat ia sakit dan menjaga harta bendanya sebagai istrinya."
Mary Jane mendengarkan perkataan
Saphire dengan penuh perhatian.
"Itu adalah bentuk tanggung
jawabanmu sebagai istri. Akan tetapi cinta juga membutuhkan pembuktian dalam
bentuk lain. Bentuk yang hanya dapat kalian lakukan berdua. Sebuah bentuk
hubungan yang akan mempererat hubungan kalian sebagai sepasang suami istri.
Sebuah hubungan yang akan membawa kalian berdua ke dalam tahapan lain dalam
hubungan kalian yang sebelumnya. Dan pastinya, kau harus berkorban sedikit
untuknya. Kau mengerti kan maksudku?" tanya Saphire mengakhiri penjelasannya.
Mary Jane mengangguk lemah.
"Percayalah, pengorbananmu
akan setimpal dengan apa yang kau dapat. Ingatlah selalu, kau melakukannya
karena kau mencintai suamimu. Kau melakukannya karena kau sudah menaruh semua
kepercayaanmu padanya, pada suamimu."
Kedua mata biru Mary Jane
menatap Saphire dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Sahabat adalah
teman-teman yang selalu mampu meredakan rasa cemas, bahkan tanpa kau memintanya
sekalipun. Saphire dan Jessie adalah dua orang sahabatnya.
"Terima kasih, Saphire. Aku
tak tahu apa yang akan aku lakukan tanpamu dan juga kau, Jessie," kata Mary
Jane seraya memeluk kedua sahabatnya itu.
"Ingat ya, Mary…"
bisik Jessie di telinga Mary Jane, "Jangan teriak terlalu keras. Masih
banyak tamu di luar," ia lalu tertawa tergelak-gelak.
Mary Jane mendelik ke arah Jessie
lagi, akan tetapi kemudian memeluk gadis yang lebih tua darinya itu dengan
erat.
***
Malam sudah menelan semuanya ke
dalam kegelapan. Suara tamu yang sedari siang terdengar riuh rendah berangsur
menghilang. Yang tertinggal hanyalah gumaman kecil yang sesekali terdengar.
Juga kedua sejoli yang duduk berdampingan di atas sebuah sofa di kamar
pengantin mereka.
Peter Parker duduk dengan tegang
sambil menatap lurus ke depan. Ia sudah mengganti jasnya dengan sebuah kaos
tipis berwarna gelap. Dahinya berkerut seperti biasa. Wajahnya menunjukkan
kalau ia berada dalam pemikiran yang berat. Rasanya semua orang tahu apa isi
pemikirannya saat ini.
Ia tidak tahu bagaimana harus
memulai.
Mary Jane duduk di sampingnya dengan
tatapan terpekur ke lantai. Baju tidur putihnya membalut manis tubuhnya yang sintal.
Wajahnya masih sepucat tadi dan detak jantungnya pun sudah lebih cepat daripada
saat sebelum Peter masuk kamar.
Ia hanya menunggu.
Peter mendehem. Membasahi kerongkongannya
yang kering. Ia tak mau membuat suasana jadi aneh di antara dirinya dan Mary
Jane. Ini bukan pertama kalinya mereka tidur di dalam ruangan yang sama. Dulu
saat Mary melarikan diri dari siksaan ayahnya, ia tidur di sofa di kamar Peter.
Apa bedanya
dengan saat ini?
Bedanya, saat ini Mary Jane
adalah istri sahnya. Langit dan bumi saksinya.
Peter menarik nafas dalam-dalam.
Ia adalah laki-laki
sejati. Manusia super yang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Mary
Jane dari serangan Green Goblin, Dr. Octopus, Sandman, maupun Venom.
Masa berhadapan dengan Mary Jane
saja, ia sudah panas dingin tak tahu harus bagaimana, seperti sekarang ini?
Peter menggeser duduknya
mendekati Mary Jane dan dengan canggung melingkarkan tangan kirinya ke bahu
gadis itu. Spontan saja Mary Jane terlonjak dari sofa dan bergegas menuju meja
kecil untuk menuang champagne.
"Aku ambilkan minum ya,
Peter…" kata Mary Jane berusaha mengalihkan perhatian dengan menuang isi
botol champagne ke dalam gelas yang tersedia. Mary Jane tidak tahu apa isi
botol itu, akan tetapi ia segera menyodorkan gelas yang satu ke tangan Peter
dan gelas yang kedua ia seruput isinya sendiri.
Rasa champagne yang khas hampir
membuat Mary Jane terlonjak dari tempatnya berdiri. Ia belum pernah minum sesuatu
seperti itu sebelumnya dan ia kaget karena dengan cepat rasa panas menjalar ke
seluruh tubuhnya.
Peter merasakan reaksi yang
sama. Ajaibnya, champagne itu membuat dirinya merasa lebih percaya diri. Lebih
berani. Dengan segera, pemuda berambut coklat itu menenggak habis isi gelasnya.
Mary Jane masih mengira-ngira
apa kandungan minuman bernama champagne itu saat ia merasa sepasang tangan yang
kekar melingkari pinggangnya yang ramping.
DEG!
Jantung gadis itu serasa
berhenti detik itu juga, saat ia merasakan tubuh tegap Peter menempel di
punggungnya. Ia melihat ke cermin dan dapat melihat pantulan dari dirinya dan Peter
Parker yang sedang memeluknya dari belakang. Suaminya itu meletakkan dagunya di
atas kepalanya. Ia lalu tersenyum ke arah bayangan Mary Jane di cermin.
"Rambutmu wangi sekali, MJ,"
puji Peter seraya mengusap wajahnya ke balik helaian-helaian rambut merah gadis
yang belum satu hari menjadi istrinya itu.
Mary Jane tersenyum tipis
mendengarnya. Ia menatap bayangan Peter di cermin.
"Apa kau takut, MJ?"
tanya Peter.
Mary Jane mengangguk lemah.
Peter tersenyum dan mengeratkan
pelukannya. Tangan kanannya lalu bergerak perlahan menuju wajah gadis itu. Tangan itu
berhenti di pipi Mary Jane dan perlahan mengusapnya dengan lembut. Sementara tangan
kirinya berlabuh di tangan kiri Mary Jane dan menggenggamnya dengan perlahan,
meyakinkan bahwa gadis itu sudah berada di dalam genggaman tangan yang paling
aman.
"Aku juga takut…"
bisik Peter.
Mata Mary Jane membulat, seakan
tak percaya akan apa yang ia dengar barusan.
"Kenapa?" tanyanya.
Peter lagi-lagi tersenyum.
Berusaha menenangkan perasaan istrinya yang galau. Juga perasaannya sendiri.
"Seperti juga halnya
dirimu, ini kali pertama untukku. Aku takut, aku tak mampu menyenangkanmu. Aku takut aku tak
mampu memenuhi semua harapanmu terhadap malam pertama yang indah, yang
menakjubkan, seperti halnya idaman semua gadis."
Mary Jane dengan cepat membalik
badannya, lalu membenamkan kepalanya ke dalam dada bidang Peter. Aroma jeruk
yang segar menguar dari tubuh suaminya itu, menimbulkan perasaan nyaman bagi dirinya.
"Jangan berkata
begitu," ujar Mary Jane dengan mantap, "Apapun dirimu, akan kuterima
dengan segenap hati."
Peter melepaskan dekapannya pada
tubuh Mary Jane, lalu menangkup wajah gadis yang sudah ia cintai sejak kecil
itu. Matanya menatap mata indah Mary Jane, mata yang selalu ia kagumi. Mereka berdua
berpandangan untuk beberapa saat.
"Kau tahu, MJ, betapa lama
aku memimpikan saat-saat seperti ini denganmu? Saat di mana kau menjadi milikku
dan aku hanya akan menjadi milikmu seorang," Peter tersenyum.
Mary Jane merasa wajahnya
memerah mendengar pernyataan Peter. Ataukah efek dari champagne yang ia minum?
Peter mendekatkan wajahnya ke
wajah istrinya, lalu menempelkan bibirnya pada bibir mungil gadis yang pernah
membuatnya remuk redam karena hampir kehilangan dirinya akibat diculik Green
Goblin. Perlahan tapi pasti bibirnya melumat bibir tipis sang istri, merasakan kelembutan
dan rasa manisnya, menjelajahi setiap sudut bibir itu, mencari tahu di mana
titik-titik sensitif di bibir itu yang akan membuatnya mendengar Mary Jane
menyebut namanya.
Mary Jane membalas ciuman itu,
membuka bibirnya dan memberi akses seluas-luasnya agar Peter bisa
mengeksplorasi tempat-tempat terdalam bibirnya dengan bebas. Kedua lidah mereka
saling menyentuh, menjelajah dan saling membelit, menandai bagian mana saja
yang terasa nikmat dan akhirnya saling menghisap untuk memberikan sensasi
terhebat dari pertarungan kecil itu.
Peter menghentikan ciumannya,
lalu menatap wajah Mary Jane sekali lagi. Mary Jane membuka matanya yang
sedari tadi tertutup, terheran-heran karena Peter berhenti. Matanya yang kebiruan
bertanya tanpa kata.
"Aku hanya ingin menatap
wajahmu sebentar saja, sebelum aku menjadikanmu milikku yang sebenar-benarnya,"
bisik Peter di telinga Mary Jane.
Lagi-lagi Mary Jane merasakan
wajahnya memerah.
Peter lalu menggelitik cuping
telinga istrinya dengan ujung lidah. Terdengar desahan dari Mary Jane yang
hanya bisa mengalungkan kedua tangannya di leher sang suami, seakan mencari kekuatan
untuk bertahan. Perlahan Peter menyesap belakang telinga Mary Jane, memberi
sentuhan khusus di salah satu titik sensitif bagi seluruh wanita itu. Mary Jane
mengerang lirih dan lalu menarik wajah Peter ke dalam dadanya, seakan memohon
pemuda itu untuk berhenti menggodanya.
"Pe-Peter…" bisiknya.
"Ya, Sayangku…"
"Kau tak tahu bagaimana
rasanya," kata Mary Jane singkat.
Peter menyeringai, lalu dengan
sigap menyelipkan salah satu tangannya ke pinggang Mary Jane dan tangan yang
satunya lagi disusupkan ke balik punggung gadis itu. Peter membopong gadis montok
itu dan membawanya ke tempat tidur. Diletakkannya Mary Jane ke atas ranjang. Mary
Jane tak berkata apa-apa lagi, hanya matanya yang menatap Peter dengan penuh
arti. Peter menyusul dengan membaringkan tubuhnya di samping tubuh Mary Jane lalu
mengecup pipi gadis itu dengan lembut.
Mary Jane memutar tubuhnya ke
samping dan wajahnya langsung berhadapan dengan wajah Peter. Jemarinya bergerak
menyusuri dahi Peter yang berkerut, merasakan kulit pemuda itu yang terasa
menghangat di ujung jemari mungilnya.
"Terima kasih atas
segalanya, Pet."
"Segalanya?"
"Ya," jemari Mary
Jane perlahan menyusuri rahang Peter yang keras, mengagumi tegasnya tulang pipi
pemuda itu, "Jika malam itu kau tidak menolongku, aku tak akan pernah berada
disini. Jika itu terjadi, mana mungkin aku bisa mengalami petualangan
bersamamu, dan jatuh cinta kepadamu."
Peter menyeringai nakal,
lalu dengan cepat meraih tubuh montok Mary Jane ke dalam pelukannya. Mary Jane
merasakan hangat tubuh pemuda itu merasuk ke pori-pori kulitnya. Nyaman, itulah
yang ia rasakan.
Peter lalu mencium Mary Jane
dengan segenap hatinya. Gadis itu membalasnya. Ciuman Peter yang semula
hanya mendarat di bibir, kemudian bergerak dengan pasti menuju leher Mary Jane,
memberikan bekas memerah di lehernya. Mary Jane mendesah pelan. bibir Peter
bergerak lagi menuju ujung buah dada sang istri, membuat Mary Jane mendesah
lebih hebat lagi. Bibir itu menyentuh, menghisap, meremas dan mengeksplorasi
seluruh bagian tubuh Mary Jane yang sedikit demi sedikit mulai tersingkap.
Peter berhenti sebentar. Ia
melihat wajah Mary Jane yang memerah karena gelora dari dalam tubuhnya yang
menyeruak keluar tanpa mampu ia tutupi. Ada tatapan puas di mata sipit Peter saat melihat Mary
Jane bereaksi atas apa yang ia lakukan. Peter merasa memiliki kekuatan sebagai
seorang laki-laki yang ingin memberikan kebahagiaan terhadap wanita miliknya.
Akan tetapi, ia menangkap sebersit rasa cemas di mata Mary Jane.
"Kau takut, MJ?"
Mary Jane mengangguk.
Peter membelai pipi istrinya
dengan lembut. "Jangan takut, Sayangku. Aku tidak akan menyakitimu."
Mary Jane mengerjapkan matanya
berkali-kali.
"Aku tahu, Pet."
Peter tersenyum dan menenggelamkan
wajahnya ke dalam lekuk-lekuk tubuh Mary Jane yang menggoda, lalu melanjutkan
perjalanannya dengan menciumi setiap
inci dari tubuh mulus gadis itu. Meresapi setiap sentuhan yang ia buat di atas ladang
miliknya itu. Menandai setiap inci tubuh itu sebagai hak miliknya seorang.
Hanya milik Peter Parker seorang.
Pengembaraan Peter berujung pada
vagina Mary Jane yang terpapar indah. Dia menatap keindahan yang selalu
tersembunyi dan dijaga baik-baik oleh Mary Jane seumur hidupnya itu dengan
penuh nafsu. Peter merasakan gairahnya memuncak. Penisnya yang sudah menegak
terasa semakin membesar dan menegang. Dia sudah tak sabar untuk menyelami tubuh
gadis itu dan merasakan kebanggaannya sebagai seorang laki-laki. Peter menghela
nafas dalam-dalam. Mencoba menahan dirinya yang menggebu-gebu ingin memiliki Mary
Jane seutuhnya.
Perlahan tapi pasti, Peter
menempatkan penisnya di bagian bawah tubuh Mary Jane. Ujung penisnya tepat berada di
depan selangkan gadis itu. Ada sesuatu yang basah dan memanas disana. Sesuatu
yang mengundang Peter untuk masuk lebih dalam lagi. Dia ingin merasakan bagaimana
nikmatnya penyatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Akan tetapi
Peter tidak mau terburu-buru. Ia tidak mau menyakiti Mary Jane. Oleh sebab itu, ia
mendaratkan ciuman lembut di bibir gadis itu. Ciuman yang penuh bujukan. Ciuman
yang penuh dengan perhatian. Ciuman yang akan membuat Mary Jane merasa tenang.
"Kau siap, MJ?" bisik
Peter sambil meremas-remas payudara Mary Jane dengan lembut.
Mary Jane menarik nafas panjang,
lalu dengan lemah mengangguk.
"Kau percaya
padaku?" tanya Peter lagi. Kini jari-jarinya menjepit dan memilin-milin
puting Mary Jane yang menegak mungil kemerahan.
Mary Jane menutup matanya, isyarat
bahwa ia sudah siap memberikan mahkota terindahnya sebagai seorang perempuan
kepada pria yang sudah memperoleh janji dan sumpah setianya sebagai seorang
istri.
Peter mendorong perlahan, mencoba
menembus selubung tipis yang merupakan hadiah Mary Jane kepadanya. Pelan. Pelan sekali.
Matanya tetap menatap mata Mary Jane saat ia melakukannya. Peter ingin
meyakinkan Mary Jane bahwa ia tidak akan menyakitinya, akan menjaga kepercayaan
gadis itu pada dirinya. Berpegangan pada payudara sang istri, Peter menusuk
lebih dalam lagi dan spontan tersentak saat dirinya mampu menerobos pertahanan
itu.
Selaput dara Mary Jane robek!
”Aaahhhhh!” Mary Jane menjerit tertahan. Air matanya mengalir turun tanpa sanggup ia tahan. Jemarinya memeluk kedua lengan Peter dengan erat, berharap kedua lengan yang kokoh itu dapat mengurangi rasa sakit yang terpusat di selangkangannya.
Peter berhenti sesaat. Ia tak
tega menyaksikan Mary Jane meringis kesakitan. Sebersit penyesalan menyelusup
dari dalam hatinya. Ia sungguh tak ingin menyakiti Mary Jane.
"MJ, apa kau mau aku
berhenti?"
'Cinta juga membutuhkan
pembuktian dalam bentuk lain. Bentuk yang hanya dapat kalian lakukan berdua.
Sebuah bentuk hubungan yang akan mempererat hubungan kalian sebagai sepasang
suami istri. Sebuah hubungan yang akan membawa kalian berdua ke dalam tahapan
lain dalam hubungan kalian yang sebelumnya. Dan pastinya, kau harus berkorban
sedikit untuknya.'
Perkataan Saphire
terngiang-ngiang di telinga Mary Jane. Ya, Saphire benar. Selalu ada
pengorbanan dalam cinta, Mary Jane membatin.
"Lanjutkan, Pet. Aku tak
apa-apa," jawab Mary Jane pada akhirnya.
Peter tersenyum. Ia lalu
melanjutkan tusukannya lebih mendalam. Tiap sentuhan di vagina sempit Mary Jane
adalah bahasa cinta yang dikumandangkan Peter dengan segenap jiwa raganya. Tiap
dorongannya adalah perwujudan cinta antara keduanya, yang akan mengantarkan
mereka berdua menuju kenikmatan jiwa yang tidak dapat mereka definisikan dengan
kata-kata. Tiap goyangan pinggulnya adalah cara Peter menyatakan 'betapa aku
menginginkanmu'. Sentuhan-sentuhan itu adalah penjabaran cinta yang terkadang
sulit Peter ucapkan dengan bahasa verbal.
Semakin lama, Mary Jane tak lagi
merasa nyeri. Seiring goyangan Peter yang semakin cepat, dia merasa ada sesuatu
dalam tubuhnya yang perlahan menyeruak, membuatnya mulai menikmati tiap
sentuhan Peter pada tubuhnya. Sesuatu dalam dirinya menginginkan Peter untuk
bergerak lebih cepat lagi dan menusuk lebih dalam lagi. Mary Jane ingin agar
Peter memberinya sensasi nikmat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Tubuh mereka makin menyatu.
Dengan pinggul saling mendorong dan menolak. Mereka berdua seperti menari.
Seiya sekata dalam satu irama yang sama. Irama yang membius. Irama yang
memabukkan. Irama yang menghantarkan mereka berdua ke suatu dimensi baru yang
hanya mereka berdua yang dapat menjabarkan indah dan syahdunya perjalanan mereka
itu.
Akan tetapi setiap perjalanan
pasti akan ada akhirnya.
Peter merasa sesuatu di dalam
tubuhnya ingin meledak. Mary Jane merasa ada sesuatu yang akan berdentum di
bagian terdalam dirinya. Mereka kedua bertatapan dan sama-sama dapat membaca
bahasa tubuh satu sama lain. Perjalanan mereka berdua akan segera sampai pada
akhir tujuan.
Peter mempercepat genjotannya. Mary
Jane mengalungkan kedua tangannya di leher sang suami, berusaha untuk tidak
lepas saat semuanya mencapai puncaknya. Nafas Peter memberat dan mendadak
tubuhnya mengejang.
Dia melepas. Menyemburkan
spermanya.
Di bawah, Mary Jane menyambut. Menyemprotkan cairan kewanitaannya.
“AARRGGHHHHHHHSSSSSS…” Mereka menjerit tertahan. Berbarengan. Cairan
mereka yang menyatu perlahan meleleh keluar saat Peter mencabut senjatanya.
Sedetik kemudian, tubuh Peter ambruk di atas tubuh mulus Mary Jane.
Nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya dibanjiri keringat. Butuh beberapa menit sebelum
akhirnya Peter bisa bernafas dengan lebih teratur. Ia berguling ke sisi
ranjang, menempatkan dirinya ke sebelah Mary Jane. Dilihatnya Mary Jane masih
sibuk mengatur nafasnya yang juga memburu. Wajahnya memerah dan tubuhnya
menghangat.
Mereka saling bertatapan. Keduanya
saling melempar senyuman.
Peter merentangkan salah satu
lengannya ke payudara Mary Jane dan meremasnya dengan lembut. Rukia
menyambutnya dengan mengusap-usap penis Peter yang meringkuk dengan ujung
basah. Mereka berbaring sangat dekat. Mereka tidak lagi berdua. mereka sudah
menyatu. Mereka adalah satu.
"Aku mencintaimu, MJ."
"Aku juga mencintaimu, Pet."
"Kau adalah milikku
seorang."
"Kau juga milikku."
Keduanya lalu menutup mata
dengan senyuman tersimpul di bibir. Lelap kelelahan akibat perjalanan pertama
mereka sebagai sepasang suami istri.
Malam beranjak lebih dalam.
Menempatkan semua insan untuk tenggelam ke dalam tidur yang menenangkan.
Menempatkan semua makhluk untuk berlindung ke dalam pangkuan malam untuk
beristirahat, mempersiapkan hari esok yang lebih baik dari hari yang kemarin.
0 comments:
Post a Comment