Monday 18 February 2013
Love And Passion
“Ded, kamu tidur di kamar sebelah saja sana!” seru Stevie tanpa mengalihkan
pandangannya dari iPad yang sedang ia genggam.
“Hei, cuma ada satu tempat tidur
disana. Lagi
pula, aku tidak mau tidur dengan Andra. Aku bisa habis jadi bahan keisengannya!”
Dedi menolak dengan tegas. Tidur dengan Andra selalu menjadi malapetaka
baginya.
“Ayolah! Aku akan membelikanmu
BB yang baru.” Stevie terus membujuk.
“Benarkah?” Dedi tiba-tiba saja
tertarik. Hanya pindah ke kamar Andra kan? Setidaknya ia tidak akan mati di
tangan laki-laki itu. “Tapi hanya pindah kamar kan?” tanyanya untuk meyakinkan.
“Kau mau aku suruh apa lagi?”
tanya Stevie, mulai hilang kesabaran.
“Baiklah, baiklah!” seru Dedi buru-buru.
Hanya pindah kamar dan mendapatkan BB baru? Hal yang mudah. “Sekarang?”
tanyanya lagi.
“Nanti, kalau kiamat datang!”
seru Stevie ketus.
“Oh, oke! Tapi tumben kamu mau
tidur sendiri?” ini memang bukan kebiasaan normal Stevie.
“Aku mau mengacak-acak kamarku!
Kamu tidak suka kamar yang berantakan, kan? Pergi saja sana!” sengit Stevie.
Spontan Dedi menggaruk-garuk
kepalanya. Ada apa dengan Stevie hari ini? Aneh.
Dedi pun bergegas menuju kamar Andra
yang terletak persis di sebelah kamar itu. Tepat sebelum dia menekan gagang
pintu, tiba-tiba Stevie memanggilnya.
“Eh, Ded!”
Yang dipanggil pun berbalik. “Ada
apa?”
“Benar kamar Cherry Belle ada di
lantai ini?” tanya Stevie.
“Tadi dua jam yang lalu aku
melihat gerombolan mereka lewat sini. Pacarmu bilang, mereka baru dari kamar
dan berniat pergi mencari makan.” jawab Dedi.
“Oh, ya sudah, sana pergi!” Stevie kembali menekuri
iPad-nya.
Kembali Dedi menggaruk
kepalanya, mengangkat kedua bahunya dan bersikap masa bodoh dengan gelagat Stevie
yang terbilang aneh.
***
Hampir setengah jam Stevie berdiri
di dekat pintu. Sesekali ia menengok keadaan di luar melalui lubang kecil di
pintu, namun sosok yang ditunggu sama sekali tidak muncul. Ia kembali menengok
ponselnya, tidak ada balasan sms. Haruskah gadis itu mematikan ponselnya selama
di luar?
“Kalau sampai aku tahu kamarnya
bukan di lantai ini, akan kucincang si Dedi!” geram Stevie pelan.
Tapi sepertinya ia tidak perlu
melakukan hal tersebut karena sekarang ia mendengar cekikikan suara perempuan
yang semakin lama semakin terdengar lebih keras. Stevie pun segera mengintip.
Benar saja, Kezia, Stefi dan Angel
sedang tertawa saat melewati kamarnya. Kemudian ia melihat Christy yang
berjalan sambil membaca sebuah buku, Felly dan Cherly yang tengah berdansa ria,
Auryn yang sedang bergelayut manja pada Gigi.
Sungguh Tuhan tahu apa yang Stevie
mau. Anisa sedang
berjalan sendirian di posisi paling belakang rombongan sambil mendengarkan
music melalui iPod-nya.
Stevie pun membuka pintu
kamarnya dengan cepat tanpa menimbulkan suara dan menarik gadis itu masuk dengan
tak kalah cepat. Ia bungkam mulut Anisa agar tidak berteriak. Auryn menyadari
perbuatannya, tapi tidak mencegah. Gadis itu hanya tersenyum penuh arti dan
kembali merajuk manja pada Gigi seolah ia tidak melihat apa-apa. Stevie berterima
kasih untuk itu.
Gitaris Andra and The BackBone
itu pun menutup pintu pelan-pelan. Anisa sedikit meringis kesakitan saat
merasakan kepalanya terbentur kerasnya dinding kamar. Gadis itu terkejut. Tapi
rasa takut dan rasa sakitnya hilang seketika begitu melihat siapa yang ada di
depannya.
“Stevie!” Spontan tangan rampingnya
memeluk erat leher sang kekasih.
Stevie juga mengalungkan
tangannya di pinggang ramping Anisa. “Kamu rindu padaku, sayang?” tanyanya
sambil memandang lekat wajah cantik gadis itu.
“Sangat!” sahut Anisa penuh
cinta.
“Lalu kenapa ponselmu tidak
aktif selama dua hari ini?” tanya Stevie dengan wajah makin mendekat ke arah gadis
yang bernama lengkap Anisa Rahma itu.
“Manajer menahan ponsel kami.”
jawab Anisa jujur, tidak menolak saat bibir Stevie mulai menempel di bibirnya.
Tanpa menunggu lama, bibir
mereka pun menyatu, saling melumat dengan lembut untuk meluapkan segala rasa rindu
mereka melalui ciuman yang hangat dan basah.
“Aku sangat merindukanmu!” bisik
Stevie mesra, tangannya melingkar di bulatan pantat Anisa dan meremasnya pelan.
Benda itu terasa begitu empuk dan kenyal.
“Kau pikir aku tidak?” balas Anisa
tak kalah mesra, ia menekan gundukan payudaranya ke dada Stevie yang bidang
agar kekasihnya itu bisa merasakan betapa padat dan kerasnya benda itu sekarang.
“Penampilanmu keren sekali hari
ini, sayang!” Stevie berkata mengagumi, remasannya di pantat bulat Anisa semakin
menjadi-jadi.
“Aghhh...” membuat Anisa sedikit
merintih lirih karenanya. ”K-kau melihatku?” wajah gadis berumur 22 tahun itu merona.
“Dari belakang panggung.” Stevie
mengakui.
“Aku minta maaf karena aku tidak
melihat penampilanmu.” Anisa membelai pelan rambut panjang sang kekasih yang
tergerai hingga ke punggung.
“Tidak masalah! Sekarang kau
sudah melihat pangeranmu yang tampan ini, kan?” sambil berkata, Stevie menyatukan
kembali bibir mereka. Rekahan bibir basah Anisa terlihat begitu menggoda, sukar untuk dibiarkan
menganggur lama-lama.
”Ehmph...” melenguh keenakan,
Anisa menarik tengkuk Stevie dan menekannya kuat-kuat, membuat ciuman mereka
menjadi semakin panas dan dalam. Stevie terus melumat bibir tipis Anisa, atas
dan bawah, sambil sesekali berusaha memasukkan lidahnya ke dalam mulut gadis
itu. Anisa dengan senang hati menerimanya. Lidah mereka pun menyatu untuk saling
bertaut dan bertukar air liur. Tanpa sadar mereka melenguh pelan di sela-sela
ciuman itu.
”Ahh... hpmh!”
Stevie semakin merapatkan
tubuhnya pada tubuh mulus Anisa sehingga personil Cherry Belle itu pun
terhimpit tak bisa bergerak diantara dinding dan tubuh sang pacar. Stevie menarik
lidahnya untuk melumat bibir bawah Anisa. Tangannya telah masuk ke dalam kaus
besar gadis itu dan mengusap pelan pinggang Anisa yang ramping. Lalu tangannya perlahan
semakin naik dan dengan berani Stevie meremas lembut payudara Anisa yang masih
terbungkus bra nilon tipis.
“Ahhh… hmmpp...” Anisa mendesah.
Ia remas rambut panjang milik sang kekasih dan menekannya, lalu mencium Stevie dengan
begitu gencar.
Anisa mengangkat sebelah kakinya
dan melingkarkannya di kaki Stevie. Tangan Stevie yang tadinya sibuk
beraktivitas di dadanya, kini turun untuk kembali bekerja di tempat yang lain. Dia
yang hanya mengenakan hot pans super pendek, merasakan sensasi
yang begitu nikmat saat tangan nakal gitaris Deadsquad itu mulai mengusap belahan
pahanya.
Anisa memejamkan matanya saat
ciuman Stevie turun menuju lehernya. Sengaja ia menjenjangkan lehernya agar laki-laki
itu bisa lebih leluasa melakukannya. “Ssshh…” desah Anisa sembari menggigit
bibir bawahnya sendiri.
“Jangan ditahan, sayang! Tidak akan ada yang
mendengar kecuali kita berdua,” bisik Stevie dengan nafas sudah mulai berat.
Anisa pun mendesah lebih keras
saat Stevie kembali menjilat dan melumat lehernya. Ditariknya rambut panjang laki-laki
itu dan ditatapnya mata Stevie yang penuh nafsu dengan manja. “Jangan di situ, Stev!
Aku takut ketahuan!” ia melarang.
“Di tempat lain?” tanya Stevie sambil
meremas lembut payudara kanan Anisa.
“Terserah, asal jangan leherku.”
jawab Anisa pasrah. Remasan Stevie kini sudah berpindah ke payudaranya yang
sebelah kiri. ”Aku ada jadwal besok di Inbox.” jelasnya.
Stevie mengangkat tubuh mungil
Anisa dan dengan cepat Anisa mengalungkan kakinya di pinggang laki-laki itu.
Bibir mereka kembali beradu saat Stevie berjalan menggendongnya menuju tempat
tidur. Stevie merebahkan tubuh mulus Anisa dengan perlahan di atas ranjang tanpa
melepas pagutan bibir mereka. Stevie mengunci tubuh Anisa dengan menindih tubuh
gadis itu.
“Sudah bangun, ya?” goda Anisa sambil
meremas penis milik Stevie yang masih terbungkus celana jeans.
“Sejak tadi!” jawab Stevie
sambil semakin mencium Anisa penuh nafsu begitu merasakan sentuhan di batang miliknya.
Dengan cepat Stevie melepas kaus
yang dipakainya, dan Anisa pun melakukan hal yang sama. Stevie menarik tubuh ramping
Anisa untuk kembali menyatukan tubuh mereka yang kini sudah sama-sama
telanjang. Bibir mereka kembali menyatu dan saling melumat satu sama lain.
Tangan Stevie mengusap bulatan payudara Anisa yang meski tidak begitu besar
tapi terasa mengganjal di dadanya, tetap mampu membuatnya merinding dan menelan
ludah.
Stevie mendorong bahu Anisa
hingga gadis itu semakin telentang, sedangkan ia menaikkan tubuhnya sedikit
sehingga apa yang ia lihat kini di depannya adalah dua gundukan indah yang sangat
bulat dan mempesona. Tidak terlihat kendor ataupun turun karena Anisa memang
belum pernah menyusui. Benda itu masih tampak masih utuh dan sangat sempurna.
Dengan gemas, Stevie segera memegang dan meremas-remasnya, membuat Anisa kembali
mendesah dibuatnya.
”Ahh... Stev, ughh.. ughh..
ahhh..” tubuhnya mengejang dan menggeliat-liat kesana kemari saat Stevie mulai
melumat dan menjilat putingnya. “Ohhh.. Stev, ahhh…” racaunya sembari menekan
kepala Stevie semakin dalam, menuntut agar laki-laki itu menghisap dan mencucup
semakin kuat.
Sambil melakukannya, tangan Stevie
juga tidak tinggal diam. Ia bekerja di bawah, meraba vagina Anisa yang terasa
sudah begitu licin dan basah. Dengan telaten, Stevie mengusap-usap dan
menggelitiknya, membuatnya menjadi semakin lengket dan lembab.
“Ngghh… sshhh…” Anisa menggelinjang
hebat. Ia meremas sprei hotel dengan
kencang. Rasa geli dan nikmat bersatu padu memenuhi tubuhnya. Apalagi saat Stevie
tak henti-hentinya menciumi payudaranya sambil di saat yang bersamaan tangannya
bergerak untuk mengusap dan memijit-mijit klitorisnya. Ia serasa terbang di
awang-awang.
Ciuman Stevie kini turun. Dia
membuka kaki Anisa lebar-lebar dan menempatkan mukanya tepat di depan
selangkangan gadis itu. Diperhatikannya kemaluan Anisa yang sempit dan basah,
benda itu tampak begitu lengket dan penuh cairan. Stevie menarik nafas panjang
untuk menghirup aromanya yang khas. Ia melakukannya beberapa saat sebelum
akhirnya ia benamkan mukanya untuk mulai mencium dan menjilati benda itu.
Perbuatannya membuat Anisa
merintih kegelian. “Stev, ahhh... jangan menggodaku! Aku sudah tidak tahan!” ia
pegangi kepala Stevie agar lidah laki-laki itu tidak mencucuk semakin dalam ke
lubang kemaluannya.
Tapi Stevie yang kesetanan, tidak
mengindahkan keinginan Anisa. Lidahnya masih terus bergerak menelusuri belahan
vagina sang kekasih. Sengaja ia ingin memancing birahi sang pacar terlebih
dahulu.
“Stev! Hentikan!” Anisa kembali
merengek. Apalagi saat sambil menjilat, Stevie juga kembali meremas-remas
bongkahan payudaranya, membuat ia semakin tak tahan.
“Diamlah, sayang, sebentar lagi!”
tanpa membuang waktu, lidah Stevie terus bergerak menelusuri garis tengah diantara
paha sang kekasih. Ia cucup lipatan bibir vagina Anisa, juga dinding-dindingnya
yang hangat dan basah, dan terutama menggigiti klitorisnya yang tampak merah
menggemaskan. Anisa semakin dibuat merintih karenanya. Pinggulnya yang bulat bergerak
kesana kemari saat Stevie menjilat semakin cepat. Mau tidak mau Stevie harus memeganginya
kalau tidak mau lidahnya kehilangan sasaran.
“Ahhhhh… Stev! Ssssshhh…” racau Anisa
penuh kenikmatan. Tubuhnya bergerak makin liar begitu merasakan dua jari Stevie
masuk ke dalam lubang kenikmatannya. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan
sensasi saat Stevie sambil terus menjilat klitorisnya, mulai memaju-mundurkan
jarinya untuk mengocok. Anisa merasa kewalahan. Ia begitu tersiksa oleh
kenikmatan yang diberikan oleh sang kekasih.
“Ohhh.. S-Stev.. akuuu… ahhhhhhhhhhh…”
terdengar desah nafas lega dari Anisa bersamaan dengan cairan bening yang menyemprot
keluar dari liang vaginanya. Stevie menjilatnya sebagian. Sebagian lagi ia biarkan
meleleh membasahi sprei dan ranjang hotel. Terengah-engah, Anisa meremas-remas
payudaranya sendiri sambil menatap sang kekasih. Ia sengaja menggoda Stevie
agar segera menyetubuhinya.
Dengan buru-buru, sebelum cairan
orgasme Anisa mengering, Stevie mengambil posisi untuk memasukkan penisnya ke
lubang kenikmatan milik sang kekasih. Tapi Anisa justru mencegahnya. ”Tunggu!”
teriak gadis itu.
“Kenapa?” tanya Stevie tak
mengerti. Ujung penisnya kini sudah tenggelam sebagian di vagina Anisa yang
sempit. Terasa begitu basah dan hangat disana.
“Kamu tidak mau dihisap dulu?”
goda Anisa sambil mengusap pangkal penis sang kekasih.
“Kapan-kapan saja! Aku sudah
tidak tahan melihat tubuhmu yang begitu menggoda.” sehabis berkata begitu,
Stevie segera meneruskan tusukannya. Penisnya melesat masuk begitu mulus.
Mereka berdua mendesah pelan secara bersamaan. Setelah dirasa vagina Anisa
sudah mulai bisa menerima kehadiran penisnya, ia pun segera memaju-mundurkan pinggulnya
dengan pelan. Anisa melakukan hal yang sama dengan ikut menggoyangkan
bokongnya, tapi berlawanan arah dengan genjotan Stevie yang semakin lama terasa
semakin cepat.
“Ssshh… kira-kira sudah berapa
lama kita tidak bertemu? Ouhh…” tanya Stevie di sela-sela desahannya. Sambil
menggoyang, tangannya asyik mempermainkan puting payudara Anisa yang terlihat
lucu dan menggemaskan.
“Dua bulan. Rasanya aku mau gila
tidak bertemu dengamu selama itu. Hhmm…” balas Anisa.
“benarkah?” Stevie menunduk dan
menjilati benda mungil itu.
“Ahhh...” Anisa mendesah pelan
sebelum menjawab. ”Kau meragukanku?” tanyanya balik.
“Aku tidak merasa ragu pada
gadis yang tengah kupacari.” Stevie menghisap dan mencucupnya pelan sambil tetap
menjaga irama hentakannya.
Pipi Anisa merona. Ia tarik
tengkuk leher Stevie dan melumat bibir tipis laki-laki itu dengan lembut dan
penuh kasih sayang. “Aku mencintaimu, Stev!” bisiknya mesra di telinga sang
kekasih.
“Dan kau tahu bagaimana
perasaanku padamu, Anisa Chibi!” balas Stevie sambil mulai mempercepat
genjotannya. Ia sudah merasa di ambang batas. Begitu juga dengan Anisa. Gesekan
antar kelamin mereka terasa begitu nikmat, sukar untuk ditahan lebih lama lagi.
”Aghhh... ahh... uhh.. uhh..
oughhh...” mereka berdua meracau hebat. Jika saja ruangan itu tidak kedap
suara, mungkin akan memancing perhatian orang dari luar atau kamar sebelah.
“Ahhh… terus, Stev! Rasanya aku
sudah hampir sampai!!” jerit Anisa. Tempat tidur pun bergoyang karena gerakan mereka.
Stevie kembali mempercepat genjotannya. Mereka berdua mendesah begitu keras
sebagai bentuk ekspresi kenikmatan yang mereka rasakan.
“Nghhh… aku juga tidak tahan,
sayang! Ahhhh…” teriak Stevie begitu merasakan miliknya juga hampir klimaks.
“Stev, goyang lebih cepat! Tusuk
aku lebih dalam! Ngghhhh… agghhhh...” racau Anisa tak karuan.
Stevie segera membungkam mulut
gadis itu dengan bibirnya. Mereka saling melumat kasar agar teriakan Anisa
sedikit teredam. Hingga akhirnya Anisa merasakan sesuatu berkedut di dalam kemaluannya
dan Stevie merasakan miliknya terjepit nikmat. Mereka mencapai klimaks di saat
yang bersamaan.
”Ahhh.. hah.. hahh.. hahh..”
terengah-engah, Stevie ambruk di sebelah sang kekasih setelah ia mencabut penisnya.
Rasa lelah menerjang tubuhnya. Diperhatikannya Anisa yang memutar tubuhnya untuk
memeluk dan menutup tubuh mereka dengan selimut. Dari kemaluan gadis itu tampak
meleleh cairan putih kental yang amat banyak. Cairan sperma Stevie.
“Kapan sih kantung matamu
hilang?” tanya Anisa memecah keheningan. Ia sibak rambut panjang Stevie yang
menutupi kening pria itu.
“Tidak tahu. Kau tidak suka?”
tanya Stevie.
“Kapan aku bilang aku tidak
suka?” Anisa mengecup pipi Stevie sebagai perwujudan rasa sayang.
“Kata-katamu tadi seolah bilang
kau tidak suka.” Stevie melingkarkan tangannya di dada Anisa agar ia bisa
kembali memegang bulatan payudara gadis itu. Entah kenapa, meski tidak begitu
besar, tapi ia menyukainya.
“Susah memang menyembunyikan
sesuatu darimu. Aku bukan tidak suka, hanya saja kantung matamu membuatku
khawatir. Aku dengar, selama konser tourmu di 30 kota, kamu hanya tidur 4 jam.”
Anisa meraba penis Stevie yang kini mulai mengkerut dan melembek.
“Ah, jangan percaya gosip!”
dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, Stevie menjepit dan memilin-milin kedua
puting Anisa, kiri dan kanan.
“Ahh,” membuat Anisa
menggelinjang kegelian. ”Jangan terlalu memforsir tenagamu. Aku tidak mau kamu
masuk rumah sakit lagi seperti setahun yang lalu.”
Anisa menangkupkan tangannya di penis
sang kekasih. Dan Stevie meletakkan tangan miliknya di atas tangan Anisa yang kini
mulai mengusap batangnya dengan lembut. Mereka tersenyum. Betapa bahagianya Stevie
mendapat perhatian lebih dari sang pacar.
“Aku tidak mau membuatmu
khawatir!” Stevie mencium mesra bibir gadis itu.
“Makanya turuti permintaanku!”
sahut Anisa sambil membalas pagutan sang pacar.
“Yes, ma’am!” Stevie menutup matanya untuk meresapi belaian Anisa
pada batang penisnya yang begitu menggairahkan. Sebentar saja, benda itu sudah
bangkit berdiri, mengeras kembali. Anisa tersenyum memandanginya.
”Siap untuk ronde kedua?” tanya
Stevie menggoda.
”Kenapa tidak?” Anisa melebarkan pahanya
saat melihat laki-laki itu mulai naik ke atas tubuhnya.
0 comments:
Post a Comment