Monday 18 February 2013
Fresh Blood
Hanya butuh satu sentakan pelan.
Ya. Satu sentakan pelan dariku untuk membuat tubuh Dean terhempas kuat. Punggungnya membentur
dinding besi dengan suara debum keras memecah keheningan malam. Tak lama kemudian
tubuhnya merosot lemas ke lantai.
Kupandangi ekspresi kesakitan di
wajahnya dengan tatapan hampa. Entah kenapa aku tak percaya dengan apa yang
baru saja aku lakukan. Aku baru saja menyakiti Dean Winchester, pria yang
pernah singgah di hatiku. Tidak. Bukan hanya pernah singgah. Sampai sekarang
pun dia masih tetap ada di dalam hatiku. Aku masih mencintainya. Sangat
mencintainya.
"Kenapa kau lakukan
ini?" tanyaku lirih. Tenggorokanku seakan tercekat saat berusaha
meneruskan perkataanku dan hatiku serasa teriris sembilu. "Kenapa kau
begitu ingin membunuhku, Dean?"
Kami sempat berpandangan dalam
diam selama beberapa saat. Selama itu pula aku mendengarnya dengan jelas
sekali. Aku mendengarnya seolah suara itu dikeraskan berkali-kali lipat tepat
di gendang telingaku. Aku mendengar detak jantung Dean. Oh, aku juga bisa
mendengar suara darah dipompa. Sangat jelas. Seakan-akan irama aliran darah
menuju jantung Dean telah dihubungkan ke sebuah stereo set.
"Aku harus melakukannya,
Jo…" kata Dean mantap. "…karena kau bukan lagi manusia."
Di dalam penerangan remang aku
bisa menatap langsung ke matanya yang hijau jamrud. Sepasang mata indah itu
tampak berkaca-kaca, namun tanpa airmata tumpah di pelupuknya. Terlihat Dean
berusaha tetap tegar dan dingin. Kedua sikap itu sangat dibutuhkannya supaya dia
sanggup mengeksekusiku. Sepasang mata indah itu tetap saja kukagumi. Begitu
cemerlang namun teduh. Bahkan sampai sekarang pun masih saja terlihat begitu.
Oh, tentu saja aku tidak akan bisa mengamati sinar mata Dean dalam kegelapan
kalau saja aku masih berwujud manusia…
***
Sebulan yang lalu
"Jadi begitu?!"
sentakku kesal. "Kau meninggalkanku tanpa pesan selama berbulan-bulan
lamanya. Aku tak bisa menghubungimu dan kau juga tak mau menghubungiku. Kau
biarkan hubungan kita mengambang tanpa status jelas. Dan sekarang kau berniat
memutuskanku!!"
Aku benar-benar tak percaya apa
yang baru saja aku dengar. Apalagi saat Dean memintaku untuk melupakannya. Dengan
nada enteng dia berkata, "Carilah pria yang lebih baik dariku, Jo.
Karena aku bukanlah orang yang tepat untukmu. Kau layak mendapatkan pria yang
lebih baik dariku."
"A…aku tidak mau pria yang
lebih baik darimu. Aku menginginkanmu, Dean. Aku sungguh-sungguh hanya menginginkanmu…"
balasku getir. Perih sekali saat aku mengatakan hal ini. Sepertinya Dean baru
saja mengguyurku dengan segalon larutan air keras. Sekujur tubuhku terasa
begitu perih. Jauh di dalam hatiku aku merasa sangat tersakiti.
Jadi ini balasan yang kudapat
demi mencintai seorang Dean Winchester. Dicampakkan tanpa alasan yang jelas.
Padahal selama ini aku tidak pernah menyerah menghadapinya. Menghadapi semua
rahasia yang selalu ditutupnya rapat-rapat. Menghadapi masa-masa dimana dia
pergi jauh entah kemana tanpa berpamitan. Menghadapi saat dimana naluri
wanitaku merasakan ada hal buruk yang sedang menimpanya ketika dia tidak sedang
bersamaku. Menghadapi masa-masa kelam tanpa kehadirannya di saat aku sangat
membutuhkannya. Semua itu membuat kami seolah dipisahkan oleh dua dunia yang
jauh berbeda.
Aku mencintai Dean Winchester.
Seorang pria humoris yang hangat dan sangat romantis. Dengan suara tawa
berderainya yang merdu serta keriangan yang tak pernah lepas dari hari-harinya.
Dengan
sorot mata syahdu yang mampu melarutkan segala rasa dan membuaiku. Dengan
senyum karismatiknya yang selalu bisa meluluhkan hatiku. Dan juga dengan
dekapan mesra dan belaian lembutnya yang selalu kurindukan. Oh, Dean, I love you so much!
Aku membenci Dean Winchester. Seorang pria dengan latar belakang yang selalu
disembunyikan rapat-rapat dariku. Dengan segala kepura-puraannya tentang jati
dirinya. Dengan kebiasaan buruknya yang sering menghilang tanpa pesan. Dan
dengan segala perlindungan berlebihan kepada adiknya, Sam Winchester.
Oh, come on, Dean! Adikmu sudah
dewasa! Dia sudah akhil balig dan kau tetap memperlakukannya seperti anak umur
lima tahun! Bukankah Sam bisa berjalan dengan kedua kakinya sendiri? Bukankah
Sam tidak ber-IQ payah? Lalu kenapa kau selalu merasa wajib bersamanya setiap
detik? Kenapa kau harus terus menerus mengkhawatirkannya? Memangnya apa hal
buruk yang bisa menimpanya tanpa kehadiranmu di sampingnya sedetik saja?
Idiot!!
Inilah hal yang masih belum bisa
kumengerti. Aku sadar kalau Dean lebih mengutamakan Sam daripada aku. Sam
adalah satu-satunya keluarga Dean yang masih tersisa. Aku juga tahu itu. Tapi
mengapa? Mengapa Sam seolah jauh lebih penting dariku? Bahkan sepertinya Dean
lebih menghargai adiknya daripada nyawanya sendiri. Dasar cowok brengsek!!
"Tunggu, Dean!"
pintaku memelas. Oh, aku sungguh benci mendengar nada bicaraku ini. Terdengar
sangat menyedihkan, tak berdaya dan begitu memilukan. Sementara itu sebilah
pisau tak kasat mata sudah menancap tepat di dadaku. Aku patah hati!
Dean memunggungiku dan aku nekat
memeluknya dari belakang. Tanpa sadar aku terisak. Suaraku teredam oleh isakan
dan punggungnya yang kokoh. Saat ini tak ada lagi hal yang lebih penting bagiku
kecuali Dean. Aku benar-benar tak ingin berpisah darinya. Tidak setelah aku
yakin ingin mengisi sisa hidupku bersamanya. He's all that I want. I guess so.
"Aku selalu merindukanmu, Dean. Apa kau tahu itu?"
Dean menghela nafas panjang,
bungkam.
"Aku selalu membayangkan
kau berada di dekatku selama kita berjauhan. Apa kau menyadarinya?"
Sekali lagi Dean menghela nafas.
Isakanku sudah berubah menjadi tangis
lirih.
"Dan aku selalu mencintaimu walaupun terkadang aku merasa sedang
mencintai sesosok bayangan. Apa kau juga merasakan apa yang kurasakan?"
Dengan nada berat, dia menjawab, "Ya. Tentu saja, Jo…"
"Jadi kenapa…?" sambungku, mendekapnya lebih kuat lagi. "Kenapa kau harus
memutuskan aku?"
Perlahan Dean melepaskan
dekapanku dan berbalik untuk memelukku erat-erat. Sambil membelai punggungku dan mencium rambutku, dia
berkata, "I have no choice. Forgive me, please."
Kedua mataku sudah penuh airmata. Pasti semua orang sedang menganggapku
sentimentil. Tapi mereka tak akan mau bertukar posisi denganku. Aku jamin
mereka tak akan sudi! Tak akan ada seorang pun yang mau mencintai seseorang
yang seolah tak pernah eksis di dunia. Seseorang yang selalu pergi tanpa jejak dan
kabar. Seseorang yang hanya mampu mengucapkan "I love you" tanpa
pernah punya kesempatan untuk membuktikannya. Dan seseorang yang tak pernah mau
berbagi kepercayaan denganmu seolah kau ini hanyalah orang asing di matanya.
"So tell me, Dean. Am i so stupid for loving you?" tanyaku
tercekat.
"You're so stupid, baby," desah Dean. Nada suaranya terdengar sangat
berat. Kedua tangannya masih tetap memelukku erat. Ya. Dia akan melepasku
setelah ini. Karena itulah bisa kukatakan kalau ini adalah pelukan terakhir
kami dan Dean tampak berusaha menguatkan diri untuk berkata, "Aku terpaksa
melakukan ini demi kebaikan kita."
"Kebaikan yang mana?"
kataku, tertawa sinis dengan kedua mata basah.
"Karena aku tak ingin
terlalu jauh menyakiti orang yang sangat aku cintai. Kau tak tahu kalau aku
sudah membahayakan dirimu dengan jatuh cinta padamu, Jo. Kau menyiksa
dirimu dengan terus mencintaiku dan memikirkanku setiap waktu. Kau akan
menyesal sudah berhubungan denganku karena sebentar lagi aku akan… pergi jauh.
Jauh sekali dan kita tak mungkin bisa bertemu lagi, selamanya."
Jantungku seolah berhenti
berdetak. Apa ini artinya?
"Umurku hanya tinggal
setahun lagi…" suara Dean terdengar jauh mengambang. Isi kepalaku seakan
terbang melayang jauh dan dunia yang kupijak bergoncang. Oh, gosh! It is a
joke, rite? Kumohon katakan ini tidak benar!
"Oh, Dean, kenapa kau tidak
berterus terang saja? Kenapa kau tidak pernah bercerita kalau kau sedang sakit
parah?" ujarku sambil mengusap kedua pipinya yang dihiasi cambang halus
bekas cukuran. Setelah mendengar pengakuan ini aku jadi ingin terus menerus
mengusap pipinya itu. Kurasa ini karena aku tak tahu sampai kapan lagi jemariku
bisa bersentuhan dengan tulang pipi yang terpahat kokoh dan juga kulit wajah
berwarna peach cerah ini.
"Ini bahkan lebih buruk
lagi daripada sekedar sakit parah, sayang," balas Dean dengan senyum
misterius. "Karena itulah, aku ingin kau menjauhiku. Supaya hanya aku saja
yang menanggung ini semua."
"Tapi ini tidak adil!
Maksudku, aku ini pacarmu, kan? Jadi sudah seharusnya aku terus
mendampingimu…" sambil mengatakan itu, di mataku terbayang tubuh Dean
tergolek lemah di atas ranjang rumah sakit dengan berbagai selang menancap di
tubuhnya. Menghitung hari demi hari sebelum ajalnya menjemput. Demi Tuhan! Jika
itu terjadi, aku bersumpah tidak akan pernah meninggalkannya sedetik pun. Aku
rela!.
"Tidak lagi, Jo… Tidak
lagi… " sahut Dean lirih. "Kau sudah bukan lagi pacarku sekarang…
Dengan begini kau tidak perlu bersusah payah lagi untukku. Kau juga tidak perlu
bersedih karena aku. Kau bisa hidup lebih baik tanpaku. Aku yakin itu.
Percayalah, ini akan jauh lebih baik daripada kau harus terus menderita di
dekatku."
Bibirku terkunci rapat.
Perkataan ini sungguh memukulku telak. Apa ini perkataan seorang loser? Ataukah
perkataan dari seorang pahlawan yang hendak pergi menyelamatkan dunia? Kenapa
aku merasa dia terlalu keras kepada dirinya sendiri? Mungkin dia sedang
berpikir kalau apa yang dilakukannya sekarang adalah sebuah pengorbanan. Ya. Tentu saja. Dean
sudah berkorban. Dan akulah yang dikorbankannya.
Dean melepaskan pelukan kami
dengan gerakan halus dan meninggalkan aku yang masih diam terpaku di ambang
pintu. Dia pergi begitu saja. Tanpa menoleh lagi ke arahku atau sekedar
melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Kami putus. Itu saja. Meninggalkan
rasa sakit begitu dalam dan menusuk jauh ke relung hatiku. Satu kalimat yang
sempat terucap dari bibirku ketika Impalanya mulai tak terlihat lagi di
jalanan. "I lost without you,
Dean…"
***
Kembali ke malam ini
"Jadi… sekarang aku
monster, begitu?" kataku lirih. Sekujur tubuhku gemetar hebat. Aku
mengigil kedinginan sekaligus ketakutan. Tentu saja aku sangat takut! Aku
terbangun di malam ini dan tiba-tiba merasakan sesuatu yang lain sedang terjadi
di dalam diriku. Sesuatu yang sangat mengerikan dan tak pernah terbayang
sebelumnya olehku.
Dean mencoba bangkit walau agak terhuyung. Matanya menatap lurus ke
arahku dan segera mendapati ekspresi ketakutan yang sangat jelas di wajahku.
Kugigit bibirku kuat-kuat. Belum pernah aku merasakan sensasi kengerian yang
begitu hebat, sekaligus juga insting pembunuh liar yang semakin menggila. Saat
aku kembali bertatapan dengan Dean, aku melihat ada secercah sinar di matanya
itu. Pancaran rasa belas kasihan kurasa. Namun dari gaya berdirinya yang mantap dan juga caranya
menggenggam pasak berujung runcing, jelas terlihat dia sama sekali tak ragu
untuk menghabisiku dengan benda itu.
"Sekarang ini kau adalah vampire, Jo…" ujar Dean tegas.
"…vampire sialan itu telah mengubahmu menjadi seperti ini. Dia telah
menyuntikkan darah kotornya ke tubuhmu. Aku tahu kau tidak bersalah dan kau
juga tidak terlibat dalam hal ini. Tapi menjelang tengah malam, efek dari darah
itu akan semakin hebat. Kau tak akan ingat apa-apa lagi selain membunuh orang
dan meminum darah mereka. Jadi tak ada jalan lain untuk menghentikannya kecuali
aku harus membunuhmu sebelum kau membunuh orang lain termasuk juga aku."
"Tidak… " Aku menggeleng lemah, tak percaya. "…kau tahu aku
tidak akan bisa membunuh orang, Dean! Aku tidak akan bisa membunuhmu! Tidak,
karena aku masih sangat mencintaimu. Kau harus tahu itu!!"
Kali ini Dean menarik nafas
panjang dan memeriksa arloji di tangan kirinya. Lima menit menjelang tengah
malam. Sementara pandanganku semakin berkunang-kunang, sesuatu di dalam otakku
serasa berpusar-pusar dengan suara gemuruh hebat dan tubuhku mendadak seolah
nyaris beku. Ada keanehan yang mengaliri setiap pembuluh nadiku dan mampu
membuat setiap inti sel bergolak. Seolah ada ribuan jarum yang tengah sibuk
merobek-robek seluruh organku. Rasanya sangat perih tak terkira!
"Ini semua tidak akan
terjadi kalau saja kau tidak pernah mencintaiku, Jo… Seandainya saja kita
tidak pernah saling kenal, pasti kau tidak akan sampai menderita seperti ini.
Kuharap kau mulai mengerti apa alasanku memutuskanmu. Tapi semua sudah terlambat.
Sekarang karena aku, kau jadi ikut terseret ke dalam masalah ini. Aku
benar-benar sangat menyesal…"
"Tapi aku tidak!"
potongku. Sekarang aku jatuh berlutut menahan sakit yang menyerbu ke semua
bagian tubuhku. Aku merasakan dorongan dari organ dalamku yang sedang
bergejolak seolah akan segera meledak. Panas sekali! Sepertinya badanku ini
sedang dilalap kobaran api saja. Sementara mataku sakit sekali saat terkena
cahaya lampu seakan-akan cahaya lampu itu telah menusuk langsung ke mataku. Dan
gusi tempat dimana empat gigi taringku berada terasa begitu sakit. Sesuatu
sedang berusaha mendesak muncul di sana.
"Aku tak pernah menyesal
pernah mengenalmu. Bahkan aku juga tidak menyesali kenapa aku sangat
mencintaimu…" kataku dengan nafas tersengal-sengal. "…kau sudah
memberiku hari-hari terbaik. Memang hanya sebentar, tapi itu berarti banyak
bagiku. .. Aku tak tahu apa itu cinta… sampai aku bertemu denganmu…"
Dean terpaku di tempatnya
berdiri. Ekspresi
dingin di wajahnya berubah drastis. Sorot tajam di matanya melunak. Begitu juga
dengan bibirnya yang setengah terbuka. Dean telah kembali, pikirku. Ya. Deanku
telah kembali…
"Kau tahu, aku juga masih
sangat mencintaimu, Jo," gumam Dean. Sayang aku tak sempat
mendengarkan kalimat apa lagi yang keluar dari bibirnya karena pandanganku
semakin gelap dan kepalaku terasa begitu berat.
***
Dua jam sebelumnya
"Kau siapa? Kenapa kau membawaku ke
sini?!" teriakku histeris ketika seorang pemuda berkulit gelap berdiri
tepat di hadapanku dengan seringai di wajahnya. Penerangan remang di ruangan
itu membuat wajahnya tampak semakin seram saja. Aku tidak mengenalnya, bahkan
tidak pernah bertemu sekali pun dengannya. Apalagi sepertinya dia tidak
terlihat seperti orang baik-baik.
Aku ingat dia secara mendadak
menyerangku di sebuah lorong sepi dalam perjalananku menuju rumah. Dengan
saputangan dibubuhi obat bius, dia membuatku tak sadarkan diri. Dan ketika aku
terbangun, entah bagaimana aku sudah berada di sebuah tempat asing mirip gudang
yang sudah tak terpakai lagi, dalam keadaan tangan terikat rapat di sebuah
kursi reyot dan kepala masih pusing bukan main akibat sisa pengaruh obat bius.
"A.. apa yang kau inginkan
dariku?" tanyaku lirih.
"Sam Winchester,"
desisnya. "Aku ingin dia mati."
"Kau jelas salah orang. Aku
tak punya hubungan apapun dengan Sam Winchester…"
"Memang tidak. Tapi kau
punya hubungan dengan kakaknya, bukan? Kau mantan pacar Dean Winchester dan
Dean Winchester tak pernah berjauhan dengan adiknya. Jadi cara satu-satunya
untuk memancing mereka agar datang kemari adalah dengan memanfaatkanmu."
Seringai pemuda itu bertambah
lebar ketika melihatku bergidik ngeri. Tak lama kemudian dia mengambil telepon
selularnya dan menghubungi seseorang.
"Hai, Dean… Ya, kau benar,
ini aku. Aku ingin kau dan Sam datang kemari. Aku punya urusan yang belum
selesai dengan kalian…"
Telepon selular itu sengaja
disetel loudspeaker sehingga aku bisa mendengar jelas suara Dean dari ujung
telepon sana.
"Kami tidak akan pergi
kemanapun! Kau dengar itu?!" sentak Dean. Nada gusarnya terdengar jelas.
"Oh, tidak, Dean. Kau pasti
akan datang kemari secepatnya," balas pemuda itu sambil tertawa ringan dan
mendekatkan telepon selularnya ke mulutku. Dengan tatapan mengancam, dia
memintaku berbicara dengan Dean.
"Dean…" kataku
perlahan. Jantungku mulai berdebar kencang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya padaku jika Dean tidak datang kemari demi memenuhi permintaan
pemuda itu. Tapi apakah Dean bersedia datang demi aku? Apakah dia masih sudi
menolongku? "… this is me… please…
help me…"
Sunyi sejenak, sebelum terdengar
suara makian Dean. "You're son of a
!! Damm!! Jangan sentuh dia! Kalau kau berani menyentuhnya dengan ujung jarimu
saja, akan kupastikan lehermu kugorok!"
"51th Palm Spring," ujar pemuda itu santai sebelum menutup
teleponnya. "Sucker!"
Aku menatap pemuda di depanku itu dengan tatapan jijik. Dia sungguh
licik. Jika saja kedua tanganku tidak terikat, pasti sudah kutampar wajahnya.
Sebaliknya pemuda itu justru mencermatiku dari bawah ke atas dengan ekspresi
bergairah. Mendadak perasaanku jadi sangat tidak enak.
"Apa yang akan kau
lakukan?" tanyaku gugup. Pemuda itu
semakin mendekat. Matanya berbinar liar menatap kearah tubuhku yang terikat,
telentang dan telanjang.
"Just relax, sweetheart.
Ini hanya akan terasa sedikit sakit," katanya sambil melepas pakaiannya
sendiri.
"Jangan! Kumohon
jangan!" pintaku memelas.
Tubuh pemuda itu terlihat sangat atletis di usianya yang masih belasan
tahun, dengan bidang dada dan otot perut kotak-kotak menandakan tenaga yang
kuat, apalagi kulitnya yang agak hitam membuat kesan kuat jelas terlihat.
Dia kini tinggal memakai CD saja, dan perlahan bergerak ke arahku yang
terlentang di ranjang. Aku tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi, dia akan
menyetubuhiku, memperkosaku, dan yang paling menakutkan, menularkan darah
kotornya kepadaku.
"Eemphh.. mmffhh," aku berusaha bergerak berontak ketika pemuda
itu mulai menyentuh tubuhku. Tapi percuma, ikatan tali tambang pada kaki dan
tanganku sangat kuat, dia akhirnya leluasa meraba-raba tubuhku.
"Wah, mulus sekali tubuhmu, dasar Dean goblok telah menyia-nyiakan barang
sebagus ini." pemuda itu terus meraba-raba dan mempermainkan jari kasarnya
di sekujur tubuhku.
Aku hanya bisa pasrah ketika bajingan itu mulai berani menciumi puting
susuku dan menghisap-hisapnya. Bibir tebal dan mulut monyongnya seperti hendak
melahap habis susu kembar milikku. Aku pun tak kuasa berontak ketika
jeri-jari kasarnya menyentuh bibir-bibir vaginaku, dan kurasakan gelora
birahiku mulai menjalar ketika jari-jari itu mulai menelusup pada celah bibir
vaginaku dan memainkan, menekan-nekan klitorisku.
"Mmffhh..," meski aku mulai menikmati sentuhan nakalnya, tetapi
aku harus tunjukkan kalau aku tak suka diperlakukan begini, setidaknya untuk
mempertahankan martabatku sebagai wanita terhormat.
Aku mulai berontak lagi, tapi percuma. Kini pemuda itu bukan hanya bermain
jari, bibirnya juga mulai turun ke arah perut dan terus keselangkanganku yang
sudah basah. Oh... tidak, mulutnya mulai menyentuh bibir vaginaku. Bibirnya
yang tebal sengaja digesek pada klotorisku, membuat aku menggelinjang. Setiap
gerakan perlawananku membuatnya semakin bernafsu menjilati vaginaku, dan hal
itu membuat kenikmatan yang tercipta semakin tak bisa kuelakkan. Akhirnya
gerakan pinggulku semakin seirama dengan jilatan lidah kasar dan bibirnya
tebalnya.
"Gimana, Non? Enak nggak?" tanya pemuda itu sambil menatapku.
Aku tentu saja melotot kepadanya. Tetapi dia nampaknya sudah mengerti ciri
wanita dilanda birahi, sebab meski mataku melotot marah, vaginaku yang sudah
basah tak bisa menyembunyikan desah nafsuku. Pemuda itu segera melanjutkan
aktifitasnya menjilati vaginaku. Desakan-desakan bibirnya di bagian vital
milikku membuat rasa nikmat tersendiri menjalar dan mengumpul di bagian vagina,
pinggul, pantat, hingga ujung kaki dan ujung rambutku. Mamang semakin teratur dia
menjilati klitorisku, sampai akhirnya aku tak bisa membendung desakan dari
dalam vaginaku.
"Mmmffhhpp..." kali ini aku jebol, aku orgasme oleh perlakuannya
itu.
Si pemuda menghentikan jilatannya, dan menatap wajahku, ia tahu aku sudah
sampai puncak pertama. Dia berdiri lagi dan menanggalkan CD kusam miliknya.
Kini dihadapanku berdiri seorang pemuda tanggung dengan penis normal yang ereksi
total, hal yang sudah sebulan lebih tak pernah kulihat, sejak aku putus dengan
Dean. Penis milik pemuda itu siap menghujani vaginaku dengan kepuasan.
"Nona, sudah kepalang basah. Saya tahu Nona juga senang kok, buktinya
sampai keluar airnya. Jangan berteriak ya," ujarnya sambil meremas pelan
bulatan payudaraku.
Aku tak sanggup berkata-kata, apalagi berteriak. Tubuhku terasa lemas dan
tiap jengkalnya merasa rindu sentuhannya seperti tadi.
"Ohh.. uhh.. adduuhh.." hanya itu yang keluar dari mulutku ketika
dia kembali menjilati vaginaku.
Tangannya yang cekatan memilin-milin puting susuku, juga pinggul dan
belahan pantatku diremas-remasnya gemas. Terus terang saat itu aku sudah tak
sabar menunggu hujaman penisnya yang tegar ke vaginaku, aku rindu disetubuhi
lelaki, bukan sekedar vibrator sialan yang biasa aku pakai.
Pemuda itu beralih posisi mengambil posisi berlutut tepat di
selangkanganku. Dipegangnya penisnya dan diarahkan ke vaginaku yang sudah benar-benar
kuyup. Dia
menggesek-gesekkan penisnya di permukaan vaginaku, oh.. aku benar-benar tak
sabar menunggu tusukannya.
"Uhhh.. ampun.. aku nyerah.. mmffhh," aku akhirnya mengucapkan
itu dengan mata terpejam.
Kupikir mau menolak pun percuma karena posisiku sulit, lagipula aku ingin
agar siksaan ini segera berlalu dan selesai. Ucapanku membuat angin segar baginya.
Sebelum menyetubuhiku penuh, pemuda itu membuka ikatan tali di kaki dan
tanganku.
"Ayo, sayang, sekarang aku puaskan kamu," celotehnya sambil
kembali menindih tubuh mulusku.
Dalam posisi itu, dia masih terus memancing nafsuku yang sudah sangat memuncak,
penisnya hanya digesek-gesekkan saja pada bibir vaginaku, membuat aku yang terangsang
berat, mengejarnya dengan pinggul naik turun. Setelah tak mampu menahan nafsu
yang sama, dia akhirnya menghujamkan utuh penisnya ke dalam vaginaku.
"Ouhhggff.. Aahhhhh.." bibirku mulai menceracau saat pemuda itu
memompakan penisnya maju mundur dalam vaginaku.
Tangan dan kakiku yang sudah lepas dari ikatan bukannya mendorong tubuhnya
menjauh dariku, tetapi justru memeluk dan meremas remas dada kekarnya. Penis pemuda
itu terasa memenuhi liang senggamaku dan menciptakan rasa nikmat yang selama
ini tak lagi kurasakan dari Dean.
"Ohh, Nona, enak sekali vaginamu. Oohhh." dia terus menggenjot
tubuhku dengan irama yang cepat dan tetap, dan aku mengimbangi gerakannya
dengan mantab. Kini aku total melayani kebutuhan seksnya sekaligus meraih kebutuhan
seksku.
Sampai menit kedua puluh permainan kami, aku merasakan seluruh sarafku
mengumpul di satu titik antara bibir vagina dengan klitorisku. Lalu beberapa detik kemudian seluruh otot dibagian
itu terasa mengejang.
"Auuhhff.. mmffhh..
enghh.. ohhhh.."
aku menjerit saat kurasakan kontraksi yang sangat sensasional pada vaginaku.
"Aghhhh… aku juga keluar, Non... oughhh, nikmatnya.” pemuda itu menggeram hebat dengan tubuh kejang di atas tubuhku, kurasakan semburan spermanya masuk hingga ke dinding rahimku.
Dengan nafas tersengal dia rebah diatas tubuhku. Keringat kami bercampur
baur dan kedutan-kedutan lembut kelamin kami masih terasa sesekali, sampai
akhirnya laki-laki itu membuka mulutnya dan menancapkan taring-taringnya yang
tajam ke batang leherku.
Bisa kurasakan saat ujung runcing
taringnya menelusup masuk menembus dagingku dan menusuk menuju pembuluh
darahku, yang bisa kudengar hanyalah suara jerit kesakitanku sendiri. Jeritan
melengking mendirikan bulu kuduk yang mengisi ruang kosong di tempat sempit
itu.
***
Kembali lagi ke masa sekarang
"Jo?"
Aku tak bisa mendengar apa pun
lagi. Seisi kepalaku bergema dan semua yang kulihat berubah warna menjadi
lembayung. Suara gemuruh itu, suara detak jantung dan suara darah sedang
dipompa sangat menggodaku. Sekujur tubuhku diliputi hawa dingin menusuk hingga
jauh ke setiap pori-pori. Kerongkonganku kering sekali. Aku kehausan. Sangat haus.
Aku ingin darah!
"Kau masih ingat aku,
Jo?"
Aku menelengkan kepalaku. Terasa desir aneh dalam
diriku. Semua
organku sudah lepas kendali. Kedua tanganku seolah bergerak sendiri dan secara
mendadak kecepatanku bertambah berkali-kali lipat. Dengan langkah kaki ringan
seringan angin, aku berlari menyongsong seseorang di hadapanku. Aku tak bisa melihat
siapa orang itu. Bahkan aku sama sekali tak peduli siapa dia. Aku hanya ingin
minum. Aku ingin darahnya!
Dikendalikan kekuatan aneh,
tanganku bergerak mencengkram lehernya dan hendak menancapkan taring-taringku
di lehernya. Namun seseorang itu meninju perutku kuat-kuat dan menendangku
tepat di wajah. Aku jatuh terjengkang. Punggungku menghantam lantai yang dingin dan keras.
Dengan cepat aku bangkit lagi. Aku tak punya rasa sakit. Tubuhku sudah kebas.
Sekali lagi aku berusaha
menerkamnya. Kau tahu aku bisa mati kehausan jika tidak segera meminum darah
dan orang itu ada di saat yang sangat tepat. Aku membutuhkan darahnya sekarang
juga. Kerongkonganku sudah membara.
Calon mangsaku tampak hendak
menusukku dengan sesuatu. Seperti sebilah pasak panjang berujung runcing. Namun
aku tidak membiarkan itu terjadi. Kedua tanganku masih sempat menangkapnya dan
bahkan merebutnya. Kubuang jauh-jauh pasak itu sebelum menghadiahi pemiliknya
dua kali tendangan berputar yang membuat tubuhnya terpelanting. Aku tak tahu
sejak kapan aku punya kekuatan sedashyat ini. Tapi aku harus membela diriku.
Aku harus minum! Aku ingin darahnya!
Kuku-kuku jariku sudah bertambah
panjang dengan kekuatan luar biasa dan tanpa ragu lagi aku mencakar wajah calon
mangsaku ini berulang kali. Dia tampak tak berdaya. Tidak. Dia lebih terlihat
seperti tidak ingin melawan. Aku menghujani tubuh kekarnya dengan beberapa
tinjuku dan berkali-kali dia jatuh terpental menyusur lantai. Dia bangkit dan
jatuh lagi saat aku menghajarnya dengan tendangan bertubi-tubi. Kembali dia
berdiri sempoyongan. Kugunakan kesempatan ini untuk mencengkram kedua lengannya
kuat-kuat. Aku menggeram. Taringku sudah siap dan leher orang ini terlihat
sangat lezat.
"Jo…" panggilnya. "… I love you, baby."
Serasa ada pukulan keras menerjang kepalaku. Selama beberapa detik aku
terdiam dan merasa keanehan demi keanehan masih terus meliputi diriku. Suara
ini. Entah mengapa aku marasa sangat mengenalnya. Selama sekian kalinya suara
bas merdu ini menyeruak ke dalam rongga telingaku dan membuat isi kepalaku
lebih ringan. Sementara taringku sudah siap menghujam ke lehernya. Namun calon
mangsaku tetap saja diam tak berkutik.
"Dean…" perlahan
pandangan mataku kembali seperti semula. Kukira aku masih punya sedikit
kesadaran. Ya. Aku mengenali siapa pria di hadapanku ini. Dean Winchester. Pria
yang sangat kucintai sekaligus kubenci. Pria yang hanya kuinginkan jadi milikku
seorang di dunia ini.
"Semenit sebelum tengah
malam," sahut Dean lirih. Salah satu tangannya mengeluarkan sebilah pasak
kayu dari balik overcoat coklatnya. "Semenit sebelum kita berpisah."
"Just do it, Dean. Please.
Kill me!" pintaku sambil kembali berjuang mengatasi serangan napsu
membunuh liar dalam otakku. "Before
I kill you."
"I don't think that I can made it."
"Fifty second before midnight…" sergahku. Nafasku mulai
tersengal lagi. "Do it!"
Mendadak Dean memelukku erat-erat dan membelai punggungku. Dia memelukku
dengan begitu hangat seolah dia belum pernah memelukku sebelumnya. Dia juga
menciumi dahiku dan rambutku dengan antusiasme berlebihan. Kupikir dia sedang
menumpahkan kerinduannya dan juga semua frustrasinya malam ini. Sangat miris mengingat
ini akan menjadi malam terakhir kami. Juga malam terakhirku, karena aku akan
mati malam ini.
"Dean, thirty second… " ucapanku terputus. Dean merenggut
bibirku dan menekannya seolah dia ingin melahapnya. Kulit wajah kami
bersentuhan. Begitu pula dengan nafas kami yang bercampur menjadi satu, yang
saling menerpa dengan kehangatan mengisi hawa malam. Tubuh kami menempel begitu
dekat, begitu rapat seakan terpatri ke dalam suatu kesatuan yang solid. Tapi
cepat atau lambat, ini harus dihentikan.
"Dean!" sentakku, menjauhkan
wajahku dari wajahnya.
"No!" kata Dean sambil menciumku sekali lagi. Bahkan kali ini
ciumannya lebih kuat lagi. Salah satu lengannya mendekap kepalaku dan meremas
rambutku. Sementara
tangan satunya menggenggam tongkat pasak. Aku sampai kesulitan bernafas.
Padahal napsu liar itu kembali datang. Sesuatu dalam diriku terasa menggelegak
mencari-cari darah segar.
"Kill me!!" bentakku
sambil mendorongnya menjauh. Dean menatapku dengan ekspresi tak percaya di
wajahnya. "Sepuluh detik lagi, Dean…"
Dean masih saja membeku tak
bergerak. Kedua matanya menelusuri wajahku yang sudah bersimbah airmata. Aku
takut tidak ada waktu lagi untuk menghentikan kebuasanku. Aku tidak ingin
membunuh orang yang sangat kucintai. Aku tidak ingin membunuh Dean. Keinginan
ini sama kuatnya dengan ketidakmampuan Dean untuk membunuhku. Detik-detik
menuju kematian semakin dekat. Aku atau Dean yang akan mati. Kuharap itu aku! Aku saja! Jangan Dean!
"Dean… please…!" pintaku. Dean tetap belum bergerak dari
tempatnya berpijak. Lima
detik… empat detik… tiga detik…
Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah hujaman kuat dari arah belakang yang langsung menembus dadaku. Rasa sakitnya luar biasa tak terbayangkan. Mula-mula terasa di jantung, namun berbondong-bondong bergerak menuju ke seluruh bagian tubuhku. Kurasakan cairan pekat anyir bergolak di kerongkonganku. Dan saat kusadari, ternyata aku sudah memuntahkan darah segar. Darahku sendiri. Rasa sakit luar biasa kembali menyerbuku ketika pasak itu dicabut paksa dari tubuhku.
Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah hujaman kuat dari arah belakang yang langsung menembus dadaku. Rasa sakitnya luar biasa tak terbayangkan. Mula-mula terasa di jantung, namun berbondong-bondong bergerak menuju ke seluruh bagian tubuhku. Kurasakan cairan pekat anyir bergolak di kerongkonganku. Dan saat kusadari, ternyata aku sudah memuntahkan darah segar. Darahku sendiri. Rasa sakit luar biasa kembali menyerbuku ketika pasak itu dicabut paksa dari tubuhku.
"Thanks, Sam," ucapku lirih. Belum pernah aku merasa begitu
berterima kasih kepada Sam sebelumnya. Dean tidak akan mampu menghabisiku. Tapi
Sam bisa. Aku tak tahu sejak kapan dia ada di ruangan ini karena kukira vampire
yang meracuniku sudah membunuhnya di suatu tempat tadi. Vampire itu hanya
menyasar Sam dan karena itulah dia sengaja menjebak Sam di suatu tempat
sekaligus meninggalkanku bersama Dean di sini.Tapi vampire itu juga tahu betul
kalau aku dan Dean akan saling bunuh pada tengah malam ini.
"Jo!"
Dean buru-buru menangkapku
sebelum aku roboh. Dia mendudukkanku di lantai dan menyandarkan punggungku di dadanya. Aku hanya bisa
menggenggam erat-erat tangannya yang hangat sambil tersenyum bahagia.
Setidaknya aku telah mendapatkan Deanku kembali sebelum sang maut datang
menjemputku. Aku mulai merasakan kantuk berat dan mataku ingin sekali terpejam. Di saat
yang bersamaan aku merasakan hembusan angin sejuk menerpa sekujur tubuhku dan
membuatku serasa melayang-layang ke udara.
Samar-samar aku mendengar suara
isak tangis tertahan di bawah sana. Tubuhku sedikit terguncang-guncang. Kurasa
Dean sedang memelukku erat-erat sambil menangis. Tapi kupikir Dean tidak
mungkin menangisiku. Dia pria yang kuat. Aku yakin dia mampu melepas
kepergianku. Lagipula kurasa ini memang yang terbaik untuk kami berdua. Aku tak
tahu apakah nanti aku akan pergi ke surga atau ke neraka, namun kemanapun aku
pergi, aku harap aku akan menemui Dean lagi suatu saat nanti.
0 comments:
Post a Comment