Monday 18 February 2013

Stradivari



Surabaya, 2006
Senja mulai menuntun matahari untuk segera terlelap, warna oranye yang berkilau disertai belaian lembut hembusan angin melengkapi sore terakhir yang bisa mereka singgahi bersama. Vani Lauw dan Revivo Alexandr Chandra berdiri di tengah taman kecil itu, yang satu asik memperhatikan perubahan warna langit, yang satunya lagi berdiri di belakangnya, bersandar pada punggung sang lawan jenis. Sambil asik memainkan alat musik yang paling dia sukai, bukan gitar, bukan pula seruling atau malah harmonika. Kesamaan dari keduanya saat ini hanya satu. Mereka masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu yang penuh coretan, seragam yang setia dikenakan oleh mereka selama 3 tahun menempuh jenjang pendidikan SMA. Hari ini hari kelulusan, hari yang akan memisahkan mereka berdua.

"Judulnya apa, Van?" tanya Vivo -panggilan akrab dari Revivo Alexandr Chandra- spontan setelah Vani menyelesaikan rangkaian gesekan lembut pada biola kesayangannya, sebuah biola pemberian ayahnya 5 tahun silam.

"Romance for Violin and Orchestra, nomor 2 yah, bukan yang nomor 1, F mayor… hihihi, gimana?" Vani dengan semangat segera menjawab pertanyaan sahabatnya sejak masih kecil itu.

"Yah, beneran masih jago kok, tapi gak dapet…" jawab Vivo, masih sambil memperhatikan proses perubahan sore menjadi malam.

"Eh, gak dapet apanya, Vo?" kali ini Vani menghentikan sandarannya pada punggung Vivo, bergerak berbalik badan dan menghadap ke arah yang sama dengannya.

"Jiwanya!
Cara kamu mainin biola udah beneran beda, gak kayak dulu lagi. Mungkin udah hampir punah ya perasaan yang dulu, kemakan sama semua mimpi kamu yang sekarang ini." Vivo mengalihkan tatapannya ke arah Vani yang baru saja bergerak mensejajari posisinya. Cewek itu sedikit lebih pendek darinya, mungkin selisih 5 cm dari tinggi badannya yang mencapai 175 cm. Terlihat begitu cantik, dengan kulit yang putih mulus, atau rambut lurus panjangnya yang hitam murni. Tubuhnya seksi, dengan toket dan bokong yang extra sekel menyempurnakannya.

"Mau gimana lagi, Vo, aku gak akan pernah bisa jadi violinist yang besar, dunia itu gak cocok sama jaman sekarang ini, dan coba meniti jalan dari modeling lah pilihan yang lebih realistis, buat aku." Vani menunduk, sedikit cemberut.

"Umm, bener. Mimpi kamu kan jadi artis dengan banyak fans, sering nongol di tipi juga, hehe... dan violinist sekeren apapun di Indonesia pasti sulit dapet apresiasi yang semegah itu."
 
"Nah, ngerti kan."

"Hey, let's make a promise." ujar Vivo dengan sangat antusias.

"Apaan?" Vani mendongak, menatap lekat-lekat wajah Vivo yang sebentar lagi harus meninggalkan dirinya dan tanah air mereka untuk meneruskan studynya ke Jepang.

"Inget gak apa benda yang paling kamu pinginin dari dulu sampe sekarang dan sama sekali belum bisa kamu dapetin?"

"Umm, tentu. Cuman biola itu, biola Stradivarius."

"Yap, nanti di hari ulang tahun kamu yang ke 23, aku bakal bawa kamu ke tempat dimana kamu dapet kesempatan buat bisa milikin biola itu, secara gratis." mendadak Vivo nyengir, membuat wajahnya jadi terlihat sedikit konyol.

"Hah? Yang bener ah, Vo?" Vani tercengang seketika mendengar pernyataan Vivo barusan.

"Janji deh, Van. Dan as a feedback, kamu gak boleh buang biola dari hidupmu, apapun yang terjadi, deal?" Vivo mengangkat kelingkingnya, menempatkan tepat di depan hidung Vani.

"Oke, deal. Awas aja yah kalo boong. Aku malah gak yakin ama kamunya, jangan janji palsu lho, hihihi." senyum manis Vani melengkapi gerakan kelingking mungil tangan kanannya yang mengait kelingking Vivo.

"Dan janji 1 lagi, jaga baik-baik diri kamu selama aku gak ada."

"iya, iya. I promise, Vo."

***
Setagaya, 1 September 2012
Revivo Alexandr Chandra masih disibukkan oleh bingkisan berwarna pink yang disiapkannya sejak kemarin. Memasukkan boneka Tom Bear berukuran sedang, 2 lembar tiket berwarna merah, dan bagian terpenting dari bingkisan itu, secarik kertas yang dengan telaten diisinya dengan beberapa patah kata tadi malam. Sementara di belakangnya, seorang remaja cewek belasan tahun tengah serius memperhatikan video yang diputar melalui Notebook Vaionya.
 
Video itu menampilkan tayangan ulangan 1 segmen acara musik yang rutin mengudara setiap hari di salah satu stasiun televisi swasta asal Indonesia, sebuah negara dimana Vivo berasal. 7 orang cewek berpakaian kompak yang terdominasi oleh warna abu-abu dipermanis beberapa warna pastel sebagai penghias sedang asik ’bernyanyi’ di atas panggung kecil berlatar belakang rangkaian 5 huruf kapital, INBOX.

Hatiku cuma ada satu...
Sudah untuk mencintaimu...
Tolong jangan sakiti lagi...
Nanti aku bisa mati...

Cintaku cuma sama kamu...
Sayangku cuma untuk kamu...
Tolong jangan hancurkan lagi...
Nanti aku bisa mati...

"Oniisan (panggilan yang ditujukan untuk kakak laki-laki di Jepang), they are not good." sang remaja yang saat ini masih mengenakan seifuku (sebutan seragam sekolah di Jepang) itu memberikan penilaian terhadap apa yang dilihatnya sejak tadi sambil berbaring telungkup di atas tatami, tikar tradisional asal Jepang.
Dia ini adalah Haruna Misaki, bungsu dari 4 bersaudara Misaki, anak perempuan satu-satunya dari keluarga Misaki. Ayahnya, Kojiro Misaki adalah teman baik dari Ruslan Alexandr Chandra, ayah Vivo. Hubungan pertemanan mereka yang bahkan lebih erat dari layaknya seorang kakak-adik lah menjadi alasan kenapa keluarga Misaki memberi tumpangan tempat tinggal untuk Vivo selama dia berada di Setagaya. Hanya ada Vivo, Haruna dan kakak pertama haruna, Hajime Misaki yang tinggal di rumah tradisional itu setelah nenek Haruna, Iwa Misaki meninggal dunia tahun lalu.

"Yah, kamu benar, Haruchan, mereka emang payah kalo nyanyi." jawab Vivo sambil melekatkan potongan selotip terakhir yang menjadi tanda selesai kegiatannya membungkus hari ini.

"Dia yang mana, niisan?" tanya Haruna.

"Umm, coba playback, tepat pada anggota kedua yang dapet giliran nyanyi sendirian. Nah, dia itu si Vani." tips jitu Vivo langsung dituruti oleh Haruna yang mengulangi lagi video tadi dari awal. Tepat pada detik ke 16 dia makin serius memperhatikannya. Saat sesosok cewek berparas cantik tengah disorot kamera, cantik, sangat cantik. Dengan bentuk tubuh yang tinggi menjulang. Dia memakai blus yang paling terlihat berbeda dari mereka bertujuh, dengan warna abu-abunya jauh lebih mendominasi dibanding milik yang lainnya. Menyanyikan bagian pendek itu sendirian, mengambil posisi di tengah formasi yang mereka bentuk, suaranya halus, meski tidak terlalu istimewa.

Telah aku terima...
Sakitnya dikhianati...

Sedalam cintaku ini...
Selama hidupku ini...

"Kawaii, hihihi..." Haruna mendadak cekikikan.

"Eh, kenapa, Haruchan?" Vivo terheran-heran.

"Dia cantik, niisan, pantes aja ya niisan begitu semangat. Hihihi..."

"Hahaha, dasar!"

"Cantik, lebih cantik dari cewek yang lagi ngedeketin niisan sekarang ini.
Umm, siapa namanya yah?" Haruna menggaruk-garuk kepalanya.
"Aki Takazawa ya? Emang Vani lebih cantik sih." Vivo ikut menggaruk-garuk kepalanya.

"Tapi tetep aja, mereka kurang bagus, mereka lipsync sih. Koreografinya juga ancur abis." ejek Haruna.

"Kamu bener, Haruchan.
Vani seharusnya lebih memilih jadi Violinist aja." Vivo beranjak dari tempatnya semula menuju ke kamar Hajime membawa kotak yang baru saja selesai digarapnya.

Hajime Misaki akan terbang ke Jakarta sore ini, sebuah kebetulan yang menguntungkan tentunya bagi Vivo, dia bisa menitipkannya pada Hajime, menitipkan segala sesuatu yang penting dari hidupnya, tentang seorang yang selalu berkesan dalam hatinya. Dan dengan demikian dia bisa berfokus untuk libur dari segala kesibukannya di kantor saat Vani telah datang ke Jepang nanti.

Vivo bergegas ke kamarnya sendiri setelah itu, dengan tersenyum dia memperhatikan seonggok biola tua di ranjangnya, biola yang diberi oleh ayahya. Didapat melalui proses pelelangan di pasar gelap, sebuah biola artistik yang sempat hilang karena dicuri, membuat hati para pecinta biola di Jepang hancur karenanya. Vivo harus merengek-rengek dulu kepada sang ayah yang memiliki koneksi cukup luas di Jepang untuk mau membelikannya biola tua itu 6 tahun silam, sebelum janjinya untuk Vani terucap. Sebagai ganti dari hadiah besar yang diberikannya, Ruslan meminta Vivo untuk mendapat nilai sempurna selama berkuliah di Nihon University, Setagaya, Jepang.
***
Jakarta, 7 September

Vani Lauw beranjak keluar dari kamar mandinya yang masih terasa hangat, dengan hanya mengenakan selembar handuk tebal berwarna pink sebagai satu-satunya alat penutup tubuhnya. Aroma harum dapat tercium dari sekujur tubuh dara manis pemilik rupa oriental ini, menggantikan bau manis kue tart yang tadi mengerjainya.

Hari ini tanggal 7 September, berarti tepat pada hari ini dia resmi berusia 23 tahun. Seharusnya dia makin dewasa, makin mandiri, dan makin matang. Seharusnya memang seperti itu kan?

Beberapa potong pikiran bersemayam di dalam kepalanya menemani malam ini saat dia merasa kesepian. Sambil terduduk di tepi ranjang serba pinknya, dia mulai membuka handuk pembungkus dirinya, perlahan-lahan mulai mengusap beberapa bagian tubuhnya yang masih sedikit basah. Payudaranya cukup besar, beberapa kali bergoyang mengikuti irama gerakan dirinya. Pandangannya kini menjelajahi setumpuk bingkisan birthday gift dari para Vanillatte, sebutan bagi fans yang mendukung dirinya, yang menyukai dirinya. Semuanya tergeletak di dekat kaki jenjang Vani. Ada puluhan, dan semuanya belum dibuka.

Vani masih merasa lelah setelah harus bekerja seharian bersama dengan enam rekan 1 team nya. Jelajah mata sayunya baru berhenti pada sebuah kotak bingkisan yang terbungkus oleh kertas kado warna pink di ujung kiri atas tumpukan birthday giftnya. Ada sticker putih melekat di salah satu sisinya, dengan tinta keemasan bertuliskan, To : Vani Lauw Stradivari.

Ingatannya kemudian sedikit melakukan sebuah penjelajahan ke masa lalu.
Sebuah momen dimana dia yang masih berusia 7 tahun bermain biola sendirian di taman kecil itu. Taman yang berada tidak jauh dari rumah megahnya. Biola pertamanya saat itu hanyalah sebuah biola plastik mainan. Kombinasi yang pas antara biola dengan sang pengguna yang menghasilkan bunyi-bunyian kacau pencekik telinga.

"Hei! Benar-benar berisik tau! Kamu mengganggu tidur saya." seorang anak laki-laki seumurannya mendadak muncul dari balik pohon beringin besar di salah satu sudut taman. Kemunculan yang cukup megagetkan Vani, karena dari arahnya berdiri dia tidak akan bisa melihat apa atau siapapun yang ada di balik pohon raksasa itu.

"Iya, maaf, hiks-hiks..." vani sesenggukan saat mendapati dirinya dimarahi oleh anak seumurannya.

Dialah Revivo Alexandr Chandra, putra kedua dari keluarga Chandra yang merupakan tetangga baru bagi Vani. Pertemuan awal ini terjadi dengan kesan yang buruk, meski kemudian dari kejadian itulah mereka justru bisa menjadi kian dekat. Vani sering bercerita pada Vivo tentang kekagumannya atas biola, kekaguman yang baru muncul saat sang ayah banyak mendongeng tentang luthier idolanya, Antonio Stradivari.

Dialah pendengar sekaligus pengkritik setia permainan biola Vani, bahkan dari awal saat Vani hanya bisa memainkan biola mainannya. Dia juga lah pendengar setia setiap Vani membeberkan segala impiannya tentang biola, menjadi violinist hebat yang bermain dengan instrumen dari Antonio Stradivari. Impiannya yang telah menjadi samar saat ini. Dan hanya Vivo yang selalu menambahkan nama Stradivari dibelakang nama Vani Lauw saat menuliskan namanya.

"Siapa nama kamu?"
 
"Vani, Vani Lauw."

"Maaf ya, Vani, tadi aku udah marahin kamu."

Vani perlahan membuka bingkisan itu, mengambil semua isi yang ada di dalamnya, sebuah boneka Tom Bear, 2 lembar tiket, yang satu untuk penerbangan dari Jakarta ke Narita, Jepang, yang satu lagi dari arah sebaliknya dan secarik kertas.
Dear Vani,
Ciyeee, udah beneran jadi artis nih ya? Udah 6 tahun lewat sejak pertemuan terakhir kita. 5 kali aku balik ke Surabaya, 5 kali juga aku gagal untuk bisa ketemu sama kamu. Kamu juga nggak bisa dihubungi dari 3 tahun terakhir Sibuk banget kah miss lollypop? Huhhh..
Hey, ini udah 6 tahun kan, tau artinya? Bentar lagi umur kamu 23, dan aku  akan menepati janjiku yang dulu. Masih inget gak? Kalo kamu udah terima kotak ini, berarti kamu udah dapetin tiket buat kesini, ke tempatku : Jepang!
Semua udah aku rencanain, kamu tinggal bawa badan doang. Biola Stradivarius-nya juga udah nungguin kamu lho.

- Vivo -

Vani menjawab surat itu dengan senyum manisnya, memeluk dengan erat boneka Tom Bear yang baru diambilnya dari dalam gift box pertama yang dia buka hari ini meski dalam kondisi masih bertelanjang bulat di kamarnya yang nyaman itu.
***
Narita, 10 September

Vani harus merencanakan segala sesuatunya serapi mungkin sebelum keberangkatannya ke Jepang beberapa hari lalu. Bekerja sama dengan sang ibunda, Vani merangkai sebuah konspirasi kecil, alasan yang terpaksa harus dia utarakan kepada manajemen dan rekan-rekannya untuk bisa mendapat beberapa hari libur.

Setelah bekerja keras untuk (terpaksa) berbohong, pada akhirnya dia bisa berdiri disini sekarang, Narita International Airport, Jepang. Vani dan beberapa orang yang senasib dengannya terus celingukan mencari sang penjemput. Hingga dia mendapati seseorang cowok berjalan mendekatinya.

Vivo kah?

Memang seharusnya cuma Vivo yang berada di posisi itu kan, karena faktanya Vani tidak memiliki teman lain di Jepang selain Vivo. Wajah cowok itu memang tidak asing bagi Vani, meskipun jauh berbeda dari Vivo yang dulu pernah dia kenal.

Vivo yang dulu berbadan sedikit gendut, berambut cepak rapi dan bertinggi badan sekitar 175 cm. Sedangkan cowok yang baru saja sampai tepat dihadapannya ini berbeda. Dia lebih tinggi, mungkin sekitar 178 - 180 cm, rambutnya gondrong meski tetap rapi karena dikuncir olehnya, dan badannya sudah tidak lagi gendut, atletis sekali dengan perut yang rata.

"Vani? Vani Lauw Stradivari kan?" tanyanya kepada Vani.
Tidak ada orang lain yang memanggil Vani dengan tambahan Stradivari di akhir namanya, hanya Vivo. Hanya sahabat sejak kecilnya itu, senyum yang mengembang di bibir tebal cowok itu semakin meyakinkan Vani bahwa dialah Vivo, cowok yang memberinya jalan untuk bisa sampai ke Jepang.

Vani tersenyum, dia segera merangkul Vivo, memberi 2 kecupan manis untuk kedua sisi pipi Vivo. Membuat rona wajah sang pemilik pipi itu menjadi merah padam.

"Long time..." bisik Vani.

"Iya, beneran 6 tahun itu berasa kayak 6 abad deh."
 
"Kamu beda banget, Vo. Nyaris aku gak bisa ngenalin kamu." kata Vani selepas memeluk Vivo. Membuat Vivo sedikit kecewa karena berharap lebih lama lagi mendapat pelukan hangat dari Vani.

"Hihihi, iya dong, cakepan sekarang kan?"
 
"Ih, pede amat."

"Kita ke Kyoto, Van, jadi perlu sedikit perjalanan lagi. Kalo kamu lapar, kita mending makan dulu."

"Hu-um, Vo. Yuk!" mata Vani berputar, mencoba mencari gerai makanan yang ada di sekitarnya. "Beli snack disana aja, Vo." tambahnya sambil menunjuk ke arah gerai kecil yang menyediakan beberapa makanan ringan khas Jepang.

Vani menggandeng dengan erat tangan Vivo saat keduanya bergegas menuju kesana. Tampak sekali dia begitu senang pada akhirnya bisa bertemu lagi dengan cowok Scorpio yang usianya hanya terpaut 1 bulan lebih sedikit darinya itu.

"Hei, Vo, lihat ini deh." Vani menunjukkan sebuah jajanan bernama Golden Chocolate, kemasannya yang berwarna hitam berpadu dengan beberapa ornamen keemasan memang hanya terlihat biasa, seperti layaknya kemasan cokelat merk lain-lainnya. Tapi ada sesuatu yang akan menarik perhatian setiap calon konsumennya, sesuatu yang berbeda, stiker bertuliskan GET A CHANCE TO MEET YOUR FAVOURITE AV IDOL, PERIOD 1 UNTIL 11 SEPTEMBER 2012 yang tertempel di sisi kiri kemasan itulah alasannya.
"Hahaha... ada juga ya yang seperti itu, pasti cuman boongan deh, biasa lah promosi ngawur." cibir Vivo.
Karena penasaran dengan apa yang baru saja dilihatnya, Vani memutuskan untuk membeli 2 batang Golden Chocolate tadi, disamping 2 kaleng softdrink berwarna biru dan sebungkus Pocky rasa Stroberi.

"Nih, kamu satu, aku satu." Vani menyodorkan sebungkus Golden Chocolatenya kepada Vivo, sementara dia sendiri mencoba membuka kemasan Golden Chocolate bagiannya sendiri.
Aroma cokelat begitu harum, ditambah warnanya yang sedikit berpadu dengan warna keemasan dari 4 sisi cokelat berbentuk bar persegi panjang memiliki beberapa guratan garis membentuk 6 bagian yang siap dipatahkan. Di dalam kemasan tadi ada sebuah lembar kertas putih, Vani mengambilnya. "Try again." bacanya.
"Yah, kayaknya emang boong deh." Vani melengos.

Vivo sendiri mengikuti langkah Vani, mulai membuka dan mengambil selembar kertas putih yang sama dari dalam kemasan miliknya. "Bener kan, pasti punyaku juga..." ucapan Vivo terputus setelah dia mengetahui tulisan apa yang ada di selembar kertas penunjuk hadiah yang baru saja ditariknya keluar.

"Eh, kenapa, Vo?" Vani penasaran, namun yang ditanyainya malah diam saja.

Setelah beberapa detik berlalu, Vivo menunjukkannya kepada Vani, membuat Vani sedikit terkejut, juga sedikit ingin tertawa. Tulisan di lembar yang dipegang Vivo berbeda dengan miliknya.
CONGRATULATIONS!!!
YOU GET A CHANCE TO MEET MINAMI KOJIMA!! CLAIM YOUR REWARD AT OUR OFFICE 11 SEPTEMBER 2012, 08:00 JST

***

Kyoto

Inilah dia Kyoto, salah satu daerah di Jepang yang paling kental dengan peninggalan sejarahnya. Kyoto sangat historikal, sangat klasik. Musim gugur pada bulan September kian menjadikannya surga bagi para pelancong. Cuacanya masih terasa sejuk bersahabat, dihiasi oleh dedaunan dari Momiji (maple Jepang) yang warnanya mulai berubah menjadi oranye hingga kemerahan.

Saat ini Vani dan Vivo berada di meja resepsionis sebuah penginapan dengan pemandian air panas yang cukup terkenal di Kyoto, Kurama Onsen. Letaknya yang cukup dekat dengan JR (Japanese Railway) Station Kyoto menjadi alasan utama kenapa Vivo memilih menggunakan Kurama Onsen sebagai persinggahan mereka selama disana, meskipun biaya yang harus dikeluarkannya cukup menguras kantong. Vivo disambut oleh seorang resepsionis cantik, Haruka Oshima (nama yang tercetak pada tag name di bagian dada kanan sang resepsionis).

"Irasshaimasu. Chekku in desu ka?
(selamat datang, apakah anda akan check in)" kata Haruka membuka pembicaraan.

"Hai, sou desu. Watashi wa Revivo Alexandr Chandra desu (iya, saya Revivo Alexandr Chandra)." jawab Vivo sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. "Kore ga yoyaku no kakuninsho desu (ini bukti pemesanan kamar saya)." lanjutnya.

"Aarigato gozaimasu. Sukoshi omachi kudasai (terima kasih, tolong tunggu sebentar)."

"Vo, dua kamar kan?" tanya Vani mengisi kekosongan yang ada saat Haruka memeriksa slip pemesanan kamar dari Vivo.

"Nggak, Van, satu kamar."

"Hah?" Vani melongo mendengar jawaban Vivo. "Tapi dua bed kan?" tanyanya lagi.

"Disini semua kamarnya cuman satu bed, Van."

"Aduh, bisa kejadian yang diinginkan sama kamu, ntar bisa-bisa..."

"Hahaha... emang mukaku semesum itu?"

"Absolutely! Hihihi..."

"Kita kan jadi bisa lebih ngirit kalo pake satu bed, gak akan saya perkosa kok kamu, wekkk..."
 
Sepanjang perjalanan menuju kamar, keduanya terus beradu argumen tentang kamar yang dipesan oleh Vivo. Segala teori yang dilepaskan oleh Vivo tentang ngirit bisa dihempaskan oleh kecerewetan Vani. Hingga akhirnya Vivo pun mengalah, berkata bahwa dirinya akan tidur di luar kalau Vani tidak mau memberi lampu hijau.

"Huaah, capek!" Vani langsung merebahkan tubuh sintalnya ke atas ranjang empuk di salah satu kamar milik Kurama Onsen. Sebuah kamar dengan aksen tradisional yang begitu kental, sangat bersih, dan sangat nyaman.

"Ya udah, tidur dulu gih, nanti malam aku akan ajak kamu menemuinya." mata Vivo kini memperhatikan posisi rebahan Vani, membuat kaos putih ketat yang dipakai gadis itu sedikit tersingkap, memperlihatkan perut putih mulusnya.

"Eh, menemui siapa, Vo?" tanya Vani.

"Seorang teman, juga salah satu biola Stradivariusnya." jawab Vivo.
***

Alunan musik biola terdengar begitu merdu saat Vani dan Vivo baru tiba di gedung pertunjukan itu, seakan terus mengayun menarik siapapun yang mendengarnya. Vani bergegas masuk menuju gedung pertunjukan dengan arsitektur klasik dan sederhana itu sesaat setelah Vivo membuka pintunya.

Gedung itu kosong, hanya ada seorang violinist cantik berdiri di panggung, mengenakan gaun berwarna putih yang membuatnya terlihat begitu mempesona, sedang memainkan sebuah lagu klasik dari Robert Miles, Children. Dengan irama yang lebih lambat, sang violinist mampu memainkan tempo dengan baik.

"Luar biasa." Vani terlihat terkagum-kagum. "Eh, dia ini Diana Yukawa kan, Vo?" tanyanya setelah lebih memperhatikan cewek cantik berwajah khas Jepang pemain biola itu.

"Iya, Van, bener." jawab Vivo.

"Hah! Berarti kamu kenal dia?"
 
"Diana pernah jadi guest di kampus, saat itu aku ditunjuk untuk bermain piano mendampinginya. Musisi kenal sama musisi, wajar kan?"

"Keren gilak!
Sejak kapan kamu makin jago main piano?"

"Sejak bayi dong. Hahaha..."

Ketika permainan cantik dari violinist keturunan Jepang - Inggris itu selesai, Vani dan Vivo sudah ikut naik di atas panggung. Vivo membuka perkenalan antara Vani dengan Diana, sementara mata Vani terus melekat pada biola yang dikenakan oleh Diana, sebuah biola dengan leher yang melengkung, biola itu terlihat sudah usang.

"Apakah ini biola Stradivariusnya, Vo?"
Vani bertanya pada Vivo setelah proses perkenalannya dengan Diana selesai.

"Yup! Dolphin Stradivarius, atau Delfino." Diana Yukawa menjawab lebih cepat sebelum Vivo sempat membuka mulutnya.

Vivo bertugas sebagai penerjemah disitu saat Vani tidak banyak mengerti apa yang diucapkan oleh Diana dalam bahasa Jepang.
Hingga akhirnya dia meminta kepada sang violinist untuk menggunakan bahasa Inggris saja. Sejak saat itu pembicaraan mereka bertiga kian mencair. Vivo beranjak keluar dari dalam gedung pertunjukan yang malam ini sepenuhnya disewa olehnya untuk Vani, meninggalkan Vani berdua dengan Diana saja sesaat setelah Diana meminta untuk berbicara 4 mata dengan Vani.

"Dia tidak mendapatkan biola ini dengan mudah." kata Diana terlihat serius kali ini. Dan kamu juga tidak akan mendapatkannya dengan mudah dari saya. Saya akan menilai seberapa pantas kamu menjadi pewaris dari Delfino, coba mainkan sebuah lagu yang kamu suka dengan biola ini." Diana menutup penjelasan singkatnya dengan menyerahkan Delfino kepada Vani.

Terlihat sekali bahwa Vani sangat nervous, dia memang menepati janjinya kepada Vivo untuk tidak membuang biola dari hidupnya. Dia masih sering mendengarkan lagu-lagu insrumental violin, juga masih beberapa kali memainkan biola pemberian ayahnya. Tapi intensitas untuk hal itu benar-benar telah berkurang, termakan oleh kesibukannya sebagai salah seorang personil girlband di negara asalnya. Biola ini juga bukan sembarang biola, inilah salah satu maha karya dari Antonio Stradivari, luthier legendaris asal Italia. Biola inilah yang sangat ingin dimiliki olehnya sejak dulu. Perlahan Vani mulai mengayunkan busur biola ke arah deretan senar sang Delfino, memainkan iramanya yang terlihat sangat kaku. Baru beberapa detik bermain tiba-tiba...

"Stop!!!" Diana berkata dengan tegas pada Vani. "Kamu tidak bisa memainkan biola dengan cara seperti itu!"

Berkali-kali Vani mencoba, berkali-kali dia gagal, berkali-kali pula Vivo ditolak oleh Diana untuk masuk kembali ke dalam gedung itu. "Harus dengan perasaan." Diana coba menjelaskan.

"Perasaan seperti apa? Aku sudah coba bermain sepenuh hati." Vani berusaha membela diri.

"Sebentar," Diana mengambil telepon selularnya, menghubungi Vivo yang sejak tadi harus puas menunggu di luar gedung. Dia meminta Vivo untuk kembali masuk ke dalam gedung tepat 1 jam berikutnya. Diana berbicara dengan Vivo melalui bahasa Jepang, membuat Vani kesal karena tidak bisa mengetahui apa isi percakapan mereka. Berarti jika ditambah 30 menitan yang sudah berlalu, total Vivo harus menunggu selama 90 menit di luar, sangat lama.

Vivo dan Diana berteman cukup baik setelah perkenalan pertama mereka.
Berhubung Diana akan stay di Jepang selama beberapa bulan, maka Vivo harus memelas untuk meminta violinist tingkat dunia ini mau menerima tawarannya, tawaran untuk membantu Vani. Sebagai ganti, Diana meminta Vivo memberikan Delfino kepadanya jika Vani tidak bisa memainkan biola tua itu dengan baik. Oke, good deal.

"Bermainlah dengan tanpa beban, bebaskan dirimu, segala pikiranmu, mirip seperti orang yang sedang menikmati rasanya bercinta." kata-kata yang baru saja terlontar dari Diana membuat Vani terkejut. "Pernah bercinta sebelumnya?" tanyanya kemudian.

"Ehh, pe-pernah kok." Vani tergugup menjawab pertanyaan vulgar dari Diana.

"Oke, kalo gitu coba mainkan lagi, tutup mata kamu, mungkin bisa sedikit membantu."

"I-iya." Vani menurutinya, mencoba menutup kedua matanya dan kembali memainkan Delfino. Mencoba membebaskan dirinya dari segala kepenatan yang mengumpul di dalam isi kepalanya. Entah mengapa saat itu juga ingatannya menuju ke masa-masa saat dia bermain biola dengan Vivo sebagai satu-satunya pendengar setianya. Vivo memang sangat berarti buatnya, sebuah keputusan yang sulit harus dia ambil saat dia memutus kontak dengan Vivo beberapa tahun lalu, saat dia meniti awal karirnya bersama dengan 6 temannya yang lain.

Permainan Vani masih belum terlalu membaik meski sudah sedikit mengalami peningkatan. Ingatannya terus menjelajahi saat-saat bersama dengan Vivo sampai kemudian dia merasa aneh, sepasang tangan kini mendarat tepat di kedua bongkahan payudaranya yang masih tertutup rapat oleh kaos putih semodel kembennya. Meremas-remas dengan lembut dan perlahan, hingga...

"Eh, ngapain?" Vani terkejut, menghentikan permainan biolanya lalu menyingkirkan sepasang tangan tadi jauh-jauh dari toket kebanggaannya.

"Terusin, Van, mainin biolanya terus, terbangkan tinggi segala angan dan pikiran kamu, coba bebaskan semuanya. Mainkan Delfino dengan enjoy seperti saat kamu nikmatin enaknya bercinta." bisik Diana.

Vani menuruti perkataan Diana, dia jadi sedikit mengerti kenapa Diana berkata : "Bermainlah dengan tanpa beban, bebaskan dirimu, segala pikiranmu, mirip seperti orang yang sedang menikmati rasanya bercinta!" beberapa saat yang lalu. Gesekan halus busur biola ke arah senar-senar Delfino kembali memunculkan irama lagu Danse Russe, salah satu lagu instrumental violin favorit Vani.

Seketika setelah Danse Russe mulai mengudara, Diana kembali ’membantu’ Vani. Dari belakang tubuh gadis itu, kedua tangan Diana kini mulai meremas dan mengusap lembut toket Vani yang begitu kenyal. Dilanjutkan oleh gerilya telapak tangannya untuk mencoba menerobos masuk ke dalam pakaian Vani, terus menyelinap hingga akhirnya bersentuhan bebas dengan puting kecil yang mulai menegang. Vani membiarkan semuanya terjadi begitu saja, dia terus berkonsentrasi pada Delfino.

"Enak?" Diana kembali berbisik.

"E-enak." Vani masih memejamkan kedua matanya sambil masih terus memainkan Delfino, sedangkan dirinya sendiri terus mulai diburu nafsu akibat permainan Diana.

"Kuncinya cuma satu, coba kamu nikmati tapi tetep kontrol diri kamu sendiri, jangan sampai nafsu kamu mengambil alih, nikmati setiap detiknya, begitu juga saat kamu mulai memainkan Delfino." kata Diana.
Permainan biola Vani perlahan mulai membaik saat dia mulai bisa mengendalikan segala situasi yang tengah dihadapinya saat ini.
***

"Dan ini batas wilayah kita, hihihi..." Vani membagi ranjang ukuran besar itu menjadi dua bagian, 2/3 bagian untuknya, sisanya untuk Vivo, menjadikan sebuah guling sebagai alat pembatasnya. "Awas kalo macem-macem waktu aku tidur ya!" lanjut Vani, sambil mengepalkan tangannya tepat di depan mata Vivo.

Malam pertama di Kyoto, malam pertama Vani harus tidur satu ranjang dengan Vivo. Pelajaran tentang menikmati saat-saat bermain biola yang diberikan Diana tadi masih membekas dalam tubuhnya.
Dia masih diburu nafsu, tapi dia harus menahannya. Dia ingin bercinta saat ini, bercinta dengan Vivo, tapi dia harus membuang sejauh mungkin niatan itu jauh-jauh. Bagaimana kalau sampai Vivo menolaknya?

"Van, besok pagi aku harus ke Shinjuku. Aku mau klaim reward yang dari Golden Chocolate kemarin." kata Vivo.
 
"Iya, Vo, besok aku juga harus ujian sama ibu guru Diana, hihihi... jangan lama-lama kamu disana, aku pingin jalan-jalan sama kamu, besok kan malam terakhir aku disini."
***
Shinjuku, 11 September

Vivo bertolak ke Shinjuku saat Vani harus menghabiskan sebagian waktunya bersama dengan Diana Yukawa, hari yang menentukan apakah dia akan bisa memiliki biola Stradivarius yang begitu diidamkannya. Dalam kondisi normal, Vivo tentu tidak akan mau repot-repot melakukan perjalanan jauh dadakan seperti ini, tapi kali ini berbeda, karena bersangkutan dengan sesuatu yang dia sukai sejak lama, AV Idol Jepang.

Entah mulai kapan Vivo mulai menyukai hal-hal berbau porno seperti itu, mungkin sejak seorang teman sekelas saat dia masih SMP memperlihatkan sebuah video dari bintang AV legendaris, Maria Ozawa kepadanya. Vivo benar-benar menyukai rupa para AV Idol, baginya merekalah bintang porno yang sesungguhnya, benar-benar cantik dan menggairahkan jika dibanding bintang dari Eropa atau Amerika. 100 % koleksi Vivo berasal dari bintang porno asal negeri Sakura.

Seorang pria botak menyambut kedatangannya dengan ramah, dialah Mr. Sano. Owner dari perusahaan penghasil Golden Chocolate yang membawa Vivo sampai ke Shinjuku hari ini untuk ‘mengambil’ reward miliknya.

"Jadi... saudara yang menjadi pemenangnya?" tanya MR. Sano setelah perkenalan singkatnya dengan Vivo.

"Benar, pak, seperti yang bisa bapak lihat disini." jawab Vivo enteng sambil menyerahkan selembar kertas yang sudah sedikit lusuh itu.

"Hahaha... sebenernya promo hadiah itu bohong lho." Mr. Sano berkata lepas, seakan kata-katanya barusanlah yang dinanti oleh Vivo.

"Hah! Yang bener, pak?" Vivo benar-benar kecewa.

"Nggak, hahaha... oke, sekarang kamu pergi ke ruangan di samping saya, kamu bisa klaim reward hadiahnya disana, waktu yang saya berikan untuk kamu cuma 1 jam. Ingat ya, cuma 1 jam, jangan lupa!"

Vivo yang masih terbengong-bengong mendengar jawaban ’tidak jelas’ dari Mr. Sano barusan segera menuju ke dalam ruangan yang telah diberitahu oleh pria botak itu sebelumnya. Perasaannya campur aduk antara bingung, takut, senang, tegang, dan lain-lainnya. Ruangan dengan pintu berwarna merah itu berukuran sama dengan ruangan milik Mr. Sano. Pintunya terbuka sehingga Vivo tidak perlu mengetuk pintu. Terdapat sebuah meja dengan kursi berukuran besar yang kali ini menghadap ke belakang, membuat Vivo sama sekali tidak bisa melihat siapapun yang berada disana.

"Tolong tutup pintunya." ucap seseorang yang berada di balik kursi jumbo tadi. Suara seorang wanita. Vivo menurutinya, kemudian dia memperhatikan sekitarnya, semua jendela disitu telah tertutup rapat. Membuat Vivo merasa benar-benar seperti seseorang yang akan diintrogasi habis-habisan sekarang ini.

Saat kursi tadi berbalik menghadap ke arahnya, barulah Vivo bisa melihat dengan jelas siapa yang berada disana, seorang wanita cantik bernama Minami Kojima, salah satu dari sekian banyak AV idol Jepang yang begitu disukainya. Vivo langsung terbengong-bengong melihatnya, sambil terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini semua bukanlah mimpi.

Bertemu dengan Kojimina (panggilan Minami Kojima) membuat Vivo gugup setengah mati. Reaksi yang selama ini hampir tidak pernah terjadi saat dia berhadapan dengan wanita manapun. Kojimina memakai tanktop longgar berwarna putih, di dalamnya terdapat bra berwarna kuning yang beberapa kali mengintip, sedangkan di bawahnya, dia mengenakan hot pants yang panjangnya setara dengan kelima jari Vivo saat dibentangkan lebar-lebar. Sangat sexy.

Menit demi menit terus berlalu namun kegugupan yang dialami Vivo agak sulit mencair karena Kojimina pun kurang bisa mencairkan suasana, beberapa bahasan yang mereka coba berkali-kali gagal menemui sasaran. Dengan masih tergugup, Vivo memberanikan membuka keran bahasan yang cukup vulgar, tentang sex, juga tentang kehidupan pribadi Kojimina.

Berbagai pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan oleh Vivo kepada Kojimina, mulai dari hal sepele macam gimana rasanya ciuman, sampai hal yang cukup berat seperti alasan Kojimina mau terjun ke dunia AV. Jawaban yang diberikan Kojimina cukup memuaskan Vivo yang mulai merasa dirinya benar-benar mirip seorang jurnalis. Kojimina menjawab semuanya dengan lepas, dengan jujur. Sedikit demi sedikit Vivo mulai mengerti, mulai memahami bahwa profesi sebagai AV tidaklah melulu harus dibilang sebagai profesi yang kotor, Kojimina memiliki banyak alasan yang membuatnya harus mau menerima profesi ini.

Vivo juga kian memahami bahwa apa yang dilihatnya tidak selalu benar-benar seperti apa yang terlihat. Apa yang dirasakan Kojimina saat harus ’terpaksa’ bercinta dengan orang yang baru dia kenal di depan beberapa sorot kamera dan kru yang mengawasinya.
Dunia ini sangat mengerikan, dan parahnya selama ini Vivo selalu menikmati pertunjukan itu. Membuatnya malah merasa bersalah sendiri. Membuatnya malah merasa semakin berdosa.

Sesi ’claim reward’ ala Golden Chocolate yang merupakan hasil pemikiran cemerlang Mr. Sano kali ini malah lebih mirip dengan acara reality show tentang curhatan hati. Kojimina merasa nyaman saat bercerita dengan Vivo, beberapa kali Vivo memberikan jawaban yang membuatnya puas, membuatnya mengembangkan senyum manis disela air matanya yang sedikit menetes. Ditambah lagi beberapa banyolan dari Vivo yang jauh lebih segar dari banyolan kebanyakan pelawak Jepang.

Waktu tersisa 5 menit, 1 jam terasa sungguh singkat, bisa berlalu dengan cepat karena suasana diantara mereka berdua yang makin mencair. Kojimina beranjak dari tempat duduknya, melangkah mendekati Vivo hingga tanpa tendeng aling-aling dia menunduk, mendekatkan kepalanya ke kepala Vivo kemudian melumat bibir Vivo. Vivo tidak banyak protes, juga tidak banyak bertanya. Dia terus menikmati bibir Kojimina, membalas ciuman itu dengan ciuman lembut darinya.

Vivo bangkit dari duduknya, memberikan pelukan hangat pada Kojimina dalam posisi berdiri, keduanya masih terus berciuman, tangan Vivo bergerak menjelajahi bagian depan Kojimina. Toket kenyal itu terus diremasnya, Vivo membawa telapak tangannya masuk ke dalam baju yang dikenakan Kojimina, melesat jauh hingga ke dalam bra kuning nya, terus meremas-remasnya dengan begitu bernafsu. Sementara Kojimina juga menyusupkan tangan halusnya ke dalam celana Vivo, menerobos masuk terus untuk meraih kontol Vivo yang sudah menegang sejak tadi.

Vivo merasakan kenikmatan yang luar biasa, nafsu birahinya semakin tinggi, tinggi dan terus meninggi, Vivo bersiap menyingkapkan kaos yang dikenakan Kojimina saat tiba-tiba...
"Waktu selesai!" seorang pria botak bernama Mr. Sano dengan ekspresi senyumnya yang super lebar membuka pintu tanpa pertanda terlebih dahulu, membuat kedua orang yang berada di dalamnya benar-benar terkejut setengah mati, membuat mereka benar-benar merasakan kentang sejati. Damn!!!

***

 

Kyoto

Malam ini terakhir mereka bisa bersama seperti ini. Keduanya sama-sama terlentang di atas ranjang ukuran besar itu, tetap masih dibatasi oleh guling sebagai tanda wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Lelah, ya mereka berdua sama lelahnya, Vani dengan bersusah payah mampu menaklukkan hati Diana Yukawa hari ini, biola itu, Dolphin Stradivarius, akhirnya menjadi miliknya. Sedangkan Vivo benar-benar mendapat kencan istimewa dengan salah satu bintang AV favoritnya, Minami Kojima. Membuat hati mereka begitu lega, begitu puas, begitu senang.

Lega? Puas? Senang?

Terlihat seperti itu memang, meski sebenarnya baik Vani maupun Vivo masih memendam sebuah hasrat dalam diri mereka masing-masing. Perlakuan Diana yang mengajarkan tentang kebebasan saat bermain biola kemarin malam membangkitkan sisi liar darinya. Yah, Vani saat ini benar-benar dipenuhi oleh hasrat ingin bercinta, meninggalkan sebuah kenangan liar disini, di Jepang. Vivo pun demikian, 1 jam bersama Minami Kojima masih dirasa kurang baginya, dia telah mendapat sentuhan bibir itu, sentuhan halus tangan itu, tapi dia belum mendapatkan semuanya.
Dia ingin bercinta saat ini. Situasi malam ini terasa lebih canggung karena mereka menahan semua perasaan itu.

"Jadi akhirnya sukses kan?" tanya Vivo memecah keheningan diantara mereka, sambil duduk dia memandangi biola Stradivarius yang diletakkan oleh Vani di atas satu-satunya meja di dalam kamar itu.

"Iya, thanks, Vo. Boleh aku minta satu hal lagi dari kamu?" Vani berbalik menanyai Vivo, beranjak dari posisi tidurnya untuk menyamai Vivo yang sedang duduk bersila di sampingnya, di dalam wilayah teritorialnya sendiri.

"Apa, Van?" Vivo menjawab tanya Vani dengan pertanyaan selanjutnya.

Vani tidak menjawab, dia menyingkirkan guling yang menjadi pembatas wilayah mereka untuk mendekatkan tubuhnya ke arah Vivo, membuat kedua bongkahan payudara miliknya yang dibalut oleh kimono pinjaman dari Kurama Onsen menempel ke lengan Vivo. Rasa aneh langsung menjalar disekujur tubuh Vivo, hasrat ini, hasrat yang sama saat dia berciuman dengan Minami Kojima.

"Aku pingin ngesex sama kamu, aku pingin punya kenangan ini dari kamu, disini, di Jepang." bisik Vani dengan jarak bibir yang hampir mencapai titik nol dari telinga Vivo. Vivo tidak menjawab, dia sedikit terkejut mendengar pernyataan barusan dari Vani yang makin membangkitkan nafsu dalam dirinya.

Entah siapa yang memulai, kedua bibir anak adam itu mulai saling berpagutan. Sedikit kaku karena mereka tentu tidak pernah membayangkan untuk melakukan ini sebelumnya, mereka adalah sahabat sejak kecil. Perlahan tapi pasti keduanya mulai bisa menikmati setiap sentuhan dari bibir lawan berciumannya. Vani mencoba memainkan lidahnya di dalam mulut Vivo, terus bermain dan menari dirongga-rongga mulut Vivo.

Segala rasa canggung diantara keduanya kini benar-benar telah hilang, mereka bisa saling mengimbangi satu sama lainnya. Frenchkiss yang luar biasa, membawa mereka berdua terus masuk terhanyut ke dalam kenikmatan dunia.

Vivo melepas ikatan tali yang membuat kimono Vani menjadi sedikit lebih terbuka di bagian tengah. Vani tidak mengenakan bra, terlihat sekali kulit putih Vani sangat menawan. Bagian tengah tubuh Vani yang mengintip kian mengerek naik birahi Vivo. Keduanya masih terus berciuman, dengan sebuah gerakan perlahan Vivo menyingkap kimono Vani, membuatnya terjatuh di belakang tubuh seksi Vani. Pemandangan yang sangat luar biasa. Tubuh Vani benar-benar sempurna, toketnya berukuran besar, sekitar 34B dengan puting yang berwarna pink kemerahan.

Mata Vivo terus menjelajahi tiap jengkal kemolekan tubuh Vani bersamaan dengan kedua telapak tangannya yang kini mulai meremas-remas toket Vani.
Saat ini Vani tinggal mengenakan celana dalam pinknya, seksi, seksi, seksi. Dengan tubuh ekstra sekl seperti ini, tentu banyak sekali cowok yang berharap untuk bisa mencicipinya, dan Vivo jelas sangat beruntung. Mungkin dia harus berterima kasih kepada Diana Yukawa yang sukses membangkitkan sisi liar dari dalam diri Vani.

"Emhhh.. enak, Vo." kata Vani, kali ini kedua tangannya memegang telapak tangan Vivo, memberi arahan kepadanya untuk menuju ke daerah yang lebih spesifik, putingnya.

Vani memejamkan kedua bola mata indahnya, mencoba menikmati setiap momen jelajah tangan Vivo diputingnya, bagian paling sensitif yang dia miliki. Belaian lembut tangan Vivo jauh lebih nikmat daripada yang dia dapat dari Diana kemarin. Jika kemarin dia harus menahan semua nafsunya, kali ini Vani bisa melepaskan semuanya, mengijinkan sang nafsu mengambil alih kesadarannya.

Kali ini Vani berinisiatif melepas kaos longgar yang dikenakan Vivo, meloloskannya ke atas hingga dada Vivo yang begitu lapang terlihat dengan jelas. Vivo yang sekarang jelas bukan Vivo yang dulu, kali ini dia benar-benar lebih seksi, semua kegendutannya dulu telah hilang. Vivo juga lebih tampan, lebih menggairahkan. Vani menggelayutkan kedua tangannya untuk memeluk leher Vivo. Menariknya untuk terus terjatuh bersama dengan tubuhnya. Vani membawa Vivo menindih dirinya yang baru saja merebahkan tubuhnya diatas ranjang nyaman dari Kurama Onsen.

Sepasang bibir mereka masih terus saling beradu.
Vivo mulai mencoba lebih agresif saat berciuman dengan Vani, begitu pula dengan kedua tangannya yang telaten memberi sensasi kenikmatan pada toket Vani. Vivo mulai bergerak turun saat merasa telah cukup menikmati bibir Vani, dia melanjutkan perjalanan menuju toket Vani, jika tadi dia hanya sibuk meremas ataupun memilin-milin puting itu, kini Vivo menghisap dan terus memainkan puting Vani dengan mulutnya. Mengulum perlahan, sesekali memberi gigitan ringan disana.

Vivo berpindah dari toket kanan ke toket kiri Vani, terus menikmatinya. Dia beberapa kali menikmati toket cewek, tapi toket Vani berasa benar-benar berbeda, mungkin sensasi yang datang karena sebenarnya Vani sama sekali tidak ada di daftar ’cewek yang harus saya entot’ ala Vivo. Sementara Vivo sibuk dengan toketnya, Vani memelorotkan celana dalam pink yang sejak beberapa menit yang lalu menjadi satu-satunya kain penutup di tubuhnya. Kini dia benar-benar telah telanjang, setiap centi dari tubuhnya tampak dengan jelas, membuat Vivo makin diburu nafsu.

Dia kembali turun ke bawah, kali ini sasarannya jelas adalah memek Vani. Vivo memandangi lekat-lekat gundukan memek Vani yang mulus tanpa bulu, dia mulai menyisipkan jari tengah tangan kanannya ke dalam celah yang terlihat mulai membasah dan masih sangat sempit itu. Sementara tangan kirinya kembali meremas-remas bongkahan toket seksi Vani.

"Emhhh... ahh... ahh..." Vani kelonjotan tidak karuan ketika jemari Vivo menemukan tonjolan daging kecil di area memeknya, sang klitoris terus dimainkan, memberi kenikmatan yang makin berlipat untuk Vani. Vivo tidak bosannya mengobel-ngobel memek Vani yang sangat bersih itu, tidak ada sedikitpun ada bagian yang menghitam disana, semua putih, semua mulus, semua bersih. Vani itu sempurna.

Vivo mendekatkan kepalanya ke arah memek Vani sekarang, aroma memek Vani cukup harum, dia pasti merawatnya dengan baik. Yah, secara dia kan udah jadi artis. Merawat seluruh bagian tubuh, termasuk titik vitalnya merupakan satu kewajiban. Vivo sedikit ragu saat memulai untuk menjilat dan menghisapi memek Vani. Ini adalah pertama kalinya dia berani berlaku seperti itu dengan seorang cewek, karena menurutnya menjilat dan menghisap memek cewek sebenarnya cukup menjijikkan, dan segala opininya itu sirna saat ini.

“Umhhh... iya disitu, Vo, uhhh... enak banget!" Vani makin gak karuan saat jilatan dan hisapan Vivo tepat pada area klitorisnya.

Lidah Vivo terus bergerak liar di liang senggama milik Vani. Sesaat kemudian dia melepaskan boxer merah yang dikenakannya, juga celana dalam yang dipakainya sejak tadi pagi saat mendapat servis kecil dari Kojimina. Vani berbalik mengambil alih kendali, dia kini menindih tubuh Vivo, membuat toket sekelnya menempel rapat tepat di atas dada bidang Vivo. Vani menciuminya dari leher hingga ke kontol Vivo yang kini sudah tidak terbungkus apapun.
 
Vani memegang erat-erat kontol Vivo yang sudah berdiri dengan tegak sempurna, kemudian memberikan sedikit kocokan. Jemari tangan Vani yang lentik terus mengusap dan mengocoknya. Tidak hanya berhenti sampai situ, Vani juga mengulum kontol Vivo, menjilatinya dengan rakus, dengan penuh nafsu. Ukuran kontol Vivo memang tidak terlalu ekstra, tapi bagi Vani, ukuran segitu sudah lebih besar dari beberapa kontol yang pernah dia rasakan.
Vivo menelan ludah berkali-kali, dia menahan desahan yang mungkin keluar dari mulutnya. Sesuai dengan prinsipnya, bikin cewek mendesah, tapi jangan sampai kamu sendiri ngeluarin desahan-desahan konyol saat sedang bercinta.

Vani benar-benar melahap kontol Vivo, membuat Vivo kali ini berganti kelojotan. Permainan lidah Vani juga patut diberi nilai sempurna, sangat nikmat servis yang diberikan oleh pemilik baru Dolphin Stradivarius itu. Tidak tertinggal sedikit usapan lembut di kedua buah zakar Vivo kian menambah kenikmatan disana, di titik paling sensitif pemuda itu.

Vani menghentikan aktifitasnya, dia tidak mau semprotan pertama sperma Vivo keluar karena servis tangannya. Vani menegakkan tubuhnya, mengarahkan memeknya tepat sejajar dengan kontol Vivo yang terus mengacung tegak. Perlahan dia menurunkan tubuhnya, bibir memeknya kini bersentuhan dengan ujung kepala kontol Vivo. Tangan kanan Vani memegangi kontol Vivo, mengarahkannya untuk bisa tepat sasaran. Semakin Vani menurunkan tubuhnya, semakin terbenam kontol Vivo ke dalam memeknya, semakin besar pula gelombang kenikmatan yang menerjang mereka berdua.

Hangat dan basah, memberi sensasi tersendiri saat kontol Vivo terbenam dalam memek Vani, memek itu terasa sangat peret meski Vivo yakin Vani sudah tidak perawan. Vani bergerak sedikit menggoyangkan pinggulnya, membuat kontol Vivo terus didesak dinding-dinding memek Vani.

"Ahhh... enak, Van." akhirnya Vani membuat Vivo memecahkan rekornya yang selama ini tidak pernah mengeluarkan suara desahan saat bercinta dengan cewek manapun. “Uhhh... memek kamu enak banget, Van!” pekik Vivo setelah merasakan kontolnya makin terhimpit oleh dinding memek Vani yang begitu rapat.

Vani terus menggoyangnya, bergerak maju mundur secara perlahan, sesekali menaik-turunkan pinggulnya yang cantik serupa lekungan biola Stradivarius. Nafas Vivo makin memburu, dia diburu kejaran nafsu yang sangat hebat. Kenikmatan seperti ini jauh diatas kenikmatan yang pernah dia rasakan sebelumnya dari beberapa mantan kekasihnya. Vani mengangkat kedua tangan Vivo, mengarahkannya tepat ke kedua bongkahan payudara miliknya yang sempat menganggur.

"Umhhh... ahhh... ahhh..." Vani mendesah keenakan, dia terus dilanda terpaan gelombang kenikmatan yang kian memuncak.

"Emhhh... uhh... aduh, Van, enak bener... kamu sempurna!" Vivo berkata jujur, Vani memang memberi rasa sempurna baginya, sangat nikmat bercinta dengan sahabatnya itu.

Vani bergerak naik turun, payudaranya bergoyang hebat dengan kedua tangan Vivo yang masih berada disana.
Mereka berdua mulai berkeringat meski kamar yang mereka sewa sebenarnya cukup dingin. 15 menit berlalu, Vani masih berada diatas tubuh Vivo, terus bergoyang liar disana, semakin cepat, semakin nikmat.

Merasa bosan, Vani menarik kedua tangan Vivo, membuat cowok gondrong ini terduduk. Vivo segera menyusu di toket Vani, sementara batang kemaluannya masih menancap di dalam liang senggama gadis itu. Keduanya saling menggoyang, bibir Vivo terus berganti posisi, toket, kemudian bibir, balik lagi ke toket, lalu ke bibir lagi.

Kali ini keduanya saling bergoyang masih dengan posisi yang sama, mengayun perlahan, sekali-kali mempercepat gerakan pinggul mereka. Tangan Vivo mengelus punggung Vani yang begitu mulus, terasa makin menggairahkan saat mulai basah akibat keringatnya. Keduanya terus bergoyang diatas puncak kenikmatan birahi mereka hingga akhirnya Vani dan Vivo sama-sama merasakan nikmat orgasme secara bebarengan.
Sperma dari kontol Vivo yang hangat meluncur deras di dalam memek Vani.

Vani langsung merobohkan tubuhnya setelah itu, kembali dalam posisi rebahan dengan posisi Vivo terkulai lemas di atasnya, sementara kontol Vivo masih menancap tepat di dalam memeknya.

"Van, makasih, enak banget." bisik Vivo.

"Aku yang makasih, Vo. Makasih buat semuanya." balas Vani.

Hari itu belum berakhir bagi mereka berdua, Vani dan Vivo berjalan-jalan di pusat perbelanjaan Kyoto setelahnya. Tentu saja yang namanya cewek tidak akan pernah melupakan apa yang biasa mereka sebut dengan ’shopping’ saat berada di negeri orang seperti Vani sekarang ini. Hubungan cinta yang cukup unik antara Vani dan Vivo, keduanya tidak melanjutkan kegilaan kali ini di malam harinya. Mereka kembali ke posisi semula, saat Vani berkuasa atas 2/3 wilayah ranjang sedangkan Vivo harus puas untuk memperoleh teritorial yang lebih sempit.
***
Narita, 12 September

Keduanya berdiri saling berhadapan, disekitar mereka begitu banyak orang-orang yang berlalu lalang, beberapa dari mereka punya tujuan yang sama dengan Vani untuk bersiap meninggalkan Jepang, sisanya memiliki tujuan yang sama dengan Vivo untuk sekedar mengantar dan mengatakan sedikit salam perpisahan.

"Jaa, itte rasshai. Ki o tsukete kudasai..." ucap Vivo, raut wajahnya tampak tidak begitu senang.

"Apa artinya, Vo? Kamu tuh ya, sudah aku bilang kan kalo aku gak bisa bahasa Jepang." jawab Vani yang hari ini tampak berbeda dari biasanya, meninggalkan riasan make-upnya untuk lebih memilih berdandan senatural mungkin. Membuatnya terlihat makin cantik, rambutnya dibiarkan tergerai dengan poni menyamping yang kadang sedikit mengusik matanya.

"Artinya, aku sayang sama kamu, aku ingin kamu tinggal.” jawab Vivo.
”Beneran?”
”Hehehe... boong, artinya selamat jalan, hati-hati di jalan ya." Vivo tertawa getir.

"Hihihi, dasar!" Vani manyun sambil langsung mencubit pinggang Vivo dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih memegang gagang koper ukuran tanggung miliknya yang berwarna pink. Serasi dengan tanktop pink yang dikenakannya hari ini (meski ditutup oleh jaket tebal bergambar Keroppi, tokoh kartun favoritnya) ataupun dengan high heels pink yang menopang kaki jenjangnya.

Vivo tertarik dengan Vani, bahkan sejak pertama, sejak pertama dia melihatnya bermain biola mainannya di taman itu. Bukan hanya sekedar tertarik sebagai seorang teman, ataupun sahabat, tapi dia menginginkan sesuatu yang lebih. Perasaan Vivo terus tumbuh semakin besar saat dia dekat dengan Vani. Vivo ingin Vani selalu bersamanya, Vivo ingin memiliki Vani seutuhnya. Meskipun kemarin dia benar-benar telah mendapatkan setiap inchi tubuh Vani, tapi tidak dengan hatinya. Hati vani telah dimiliki seseorang yang bernama Hadi, kekasihnya. Dia menyadari bahwa Vani tidak akan bisa dia miliki selamanya, dan karena itulah dia merencanakan dengan detail hari-hari vani selama di Jepang, hari yang dia yakin pasti akan selalu diingat oleh Vani. Hari ini, esok, maupun seterusnya. Rencana yang sukses, meski harus menunggu 6 tahun dari saat dia nekat mengikrarkan janji besarnya pada Vani di hari kelulusan sekolah, hari perpisahan itu, hari yang sama dengan saat ini.

Selalu ada pertemuan, selalu ada juga perpisahan. Segala sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia dimanapun dia berada. Revivo Alexandr Chandra masih akan tetap tinggal di Jepang, karirnya sebagai salah satu karyawan dari perusahaan tingkat giga disana kian meroket. Dia akan berusaha mencari tambatan hati baru, sesuatu yang urung dilakukannya selama ini. Sambil menanti saat yang tepat untuk kembali ke Indonesia. Dan Vani Lauw akan kembali menjadi Vanilla 7 Icons dengan dukungan para Vanillatte di belakangnya, mencoba menjadi seorang yang sukses di dunia hiburan Indonesia.

Vani berjalan menjauhi Vivo setelah prosesi saling berpamitan mereka selesai, membawa sebuah koper dan sebuah peti kecil berisikan karya besar dari seorang luthier dunia, sebuah biola yang biasa disebut dengan Dolphin Stradivarius. Kali ini dia benar-benar telah menggapainya, memiliki salah satu dari beberapa Stradivarius yang masih tersisa. Meski impian dari masa kecilnya untuk menjadi violinist besar tidak akan mungkin bisa dia capai, Vani tetap puas.
Terima kasih Vivo, terima kasih Jepang, terima kasih Antonio Stradivari. Dongeng sang ayah tentang Stradivari lah yang membawanya untuk bisa menyukai biola dan bisa lebih mengenal Vivo, perkenalan dengan Vivo lah yang membawanya ke Jepang, tempat dimana hari-hari luar biasa itu terjadi.
Cause you are my friend, nempel di hati…
Walau jalannya indah dan sedih…
Merangkai hari kenangan hati…
Saling ingatkan semangat peduli...

You’ll always be my friend, always nempel di hati…
Karena hanya kamu yang warnai hariku…
Cause you are my friend...
Daaahh, Vivo. Aku sayang sama kamu!
END
Author : Reditya
A LITTLE BIT ABOUT ANTONIO STRADIVARI

Antonio Stradivari lahir dan besar di kota Cremona, Italia, pada tahun 1644. Terlahir dari keluarga pembuat biola yang paling disegani di Italia, bahkan dunia. Istrinya bernama Francesca Feraboschi, mereka menikah pada tahun 1667. Masa keemasan sang luthier datang pada 1700 - 1720, dimana instrumen buatannya dinilai lebih ‘berkualitas’ dari instrumen-instrumen yang pernah dibuat sebelumnya. Banyak sekali instrumen Stradivarius (sebutan untuk instrumen karyanya) yang digunakan oleh violinist kelas atas dunia. Beberapa instrumen Stradivarius yang pernah ada di Jepang adalah Lady Blunt- 1721 yang pernah laku sebesar US $ 15.9 million (disumbangkan untuk pengumpulan dana saat Tsunami Jepang 2011 silam) dan Dolphin (Delfino) - 1714 yang pernah digunakan oleh violinist klasik Jepang, Akiko Suwanai, cerita bahwa instrumen ini pernah dicuri (dalam cerita yang baru anda baca) dan dibawa oleh Vani Lauw ke Indonesia itu murni fiktif lho ya. Lord Newlands, Dragonetti, Huggins, Engleman, Duc de Camposelice, dan beberapa instrumen Stradivarius lainnya saat ini juga dimiliki oleh Nippon Music Foundation, Jepang.

0 comments:

Post a Comment

 

©2011Pojokan Dewasa | by TNB