Monday 18 February 2013
Karakura Side Story
Ruang kelas setelah jam pelajaran usai memang selalu begini, sepi.
Sesekali dari balik tirai yang melambai oleh tiupan angin, sinar
matahari senja mencoba menerobos masuk. Dari bawah, terdengar suara
langkah kaki dan canda tawa. Hampir seluruh siswa memilih meninggalkan
gedung sekolah dan kembali ke rumah mereka. Tapi tidak begitu dengan
sepasang insan manusia yang masih berdiam di dalam kelas.
"Apa yang kamu tunggu Hinamori?" tanya laki-laki berambut seterang sinar matahari senja.
Cewek
bertubuh mungil dan berambut sehitam langit malam yang menjadi lawan
bicaranya tidak menggubris, sepasang mata bulatnya masih mentap lurus ke
bawah memperhatikan kelompok manusia yang sibuk berlari menuju
kebebasan mereka.
"Hinamori, jangan buat aku menunggu!" tegurnya lagi.
"Hinamori, jangan buat aku menunggu!" tegurnya lagi.
Siswi
Karakura High School yang bernama Momo Hinamori menoleh, sorot matanya
menatap kesal pada siswa yang sedang duduk santai di barisan kursi
paling depan.
"Baiklah, tapi jangan buat aku menunggu," dia
berjalan mendekati siswa tersebut, "Aku juga menunggu bayaranku! Kamu
tahu perinsipku bukan, bayar di muka, full!"
Laki-laki tadi
berdecak kesal, tapi dia tetap menuruti permintaan Hinamori, buru-buru
dia mengeluarkan beberapa lembaran uang dari saku celananya dan
meletakkannya di meja, "Segini cukup?"
Hinamori tersenyum puas,
dia memungut uang tersebut dan menghitungnya, "Cukup!" lalu tanpa banyak
bicara dia langsung menjalankan pekerjaannya. Dia berlutut tepat di
depan cowok tadi, dengan lembut membuka pengait celana panjang seragam
sekolah mereka, memasukan jarinya, sampai menemukan alat kelamin milik
cowok tersebut dan mengeluarkannya.
"Baru disentuh sedikit saja sudah terangsang?" ledeknya melihat alat kelamin yang mulai berubah bentuk dalam genggamannya.
"Service-mu selalu yang terbaik, Sayang," balasnya.
"Gombal!"
dan itu adalah kata-kata terakhir yang keluar dari mulut mungil
Hinamori, selanjutnya mereka sibuk dengan diri mereka sendiri-sendiri,
Hinamori tidak henti-hentinya meremas-remas alat kelamin tersebut sambil
sesekali menjilat benda panjang yang mulai menegang seperti sedang
menjilat sebuah permen lollypop. Sedangkan yang sedang di-service
memilih menikmati surga duniawi-nya dalam diam.
Kemahiran Hinamori
dalam melakukan blow job sudah tidak diragukan lagi. Namanya terkenal
di kalangan para siswa-siswa cowok berduit di sekolah ini. Asal ada
uang, Hinamori tanpa sungkan-sungkan memuaskan siapapun. Dia tidak
pandang bulu. Tapi hanya sebatas itu service yang dia janjikan. Jangan
meminta lebih!
"Ahh... Ohh..." teriak siswa tersebut ketika mencapai klimaks. "Kamu memang yang terbaik, Hinamori," pujinya lagi.
"Tentu,"
Hinamori tersenyum sambil membersihkan sisa-sisa sperma yang terciprat
di wajahnya dengan punggung tangan. "Panggil aku lagi," Hinamori
berdiri, merapikan seragamnya, melambai pada kliennya sebelum pergi
meninggalkan ruangan kelas.
***
"Momo Hinamori!"
Yang merasa punya nama menoleh pada sumber suara yang memanggilnya.
Sosok laki-laki dewasa berkacamata berjalan mendekatinya. Hinamori
membuang nafas panjang. Bertemu dengan laki-laki satu itu sama saja
dengan bertemu dengan dewa kemalangan.
"Aizen-sensei, belum pulang?" tanyanya sekedar basa-basi. Tidak lupa dia menyunggingkan senyum terbaik yang dia bisa.
"Aku menunggu seseorang," jawab laki-laki yang biasa dipanggil Aizen, wali kelas Hinamori.
"Siapa?"
"Kamu!" mata Aizen melotot kesal.
"Ah,
Sensei ini, saya ini sudah besar, Sensei tidak perlu menunggu saya
segala, sekolah ini juga tidak terlalu luas, saya tidak mungkin
tersesat."
"Usiamu baru lima belas tahun!"
Sorot mata Hinamori seolah menjawab dengan kalimat memangnya kenapa kalau umurnya segitu.
"Ikut aku!" tanpa babibu, Aizen langsung menarik lengan Hinamori dan menyeretnya.
Hinamori
tentu tidak tinggal diam. Dia mati-matian meronta. Memang banyak yang
bilang Sosuke Aizen itu guru killer, tapi tiba-tiba menyeret seorang
murid tanpa penjelasan apapun itu bukan tindakan yang bisa diterimanya.
"Lepaskan aku, Aizen-sensei!"
"Sudah jangan banyak melawan! Aku harus menghukummu!"
"Aku tidak melakukan kesalahan apapun!"
"Karena itu sensei akan membuatmu menyadari apa kesalahanmu!"
"Lepaskan!"
Dan
perdebatan itu terus berlangsung dari lorong kelas hingga ke ruang guru
yang sunyi senyap. Masih dengan tenaga seorang pria, Aizen mendudukkan
Hinamori pada salah satu kursi kosong dekat meja kerjanya dengan sekuat
tenaga.
"Apa-apaan ini, Sensei! Saya tidak melanggar peraturan apapun! Kenapa saya dibawa kemari!"
Aizen
tersenyum kesal sambil mengeluarkan sesuatu dari tumpukan buku di
mejanya, "Tunggu, biar kutunjukkan apa kesalahanmu!" Sesaat, Aizen
terlihat sibuk dengan PC tablet bergambar apel di genggamannya, setelah
menemukan apa yang dia cari dia meletakkan benda tipis tersebut di
pangkuan Hinamori. "Masih tanya apa salahmu?"
Hinamori tercengang melihat gambar pada layar di pangkuannya. Foto dirinya dengan salah seorang siswa.
"Geser saja kalau penasaran!"
Hinamori
menggerakkan jarinya di atas layar dari kanan ke kiri, lagi-lagi dia
menemukan foto dirinya dengan seorang siswa, dia menggeser lagi, dan
lagi-lagi dia menemukan fotonya dengan siswa lain, semuanya adalah
mantan pengguna jasanya. Semua foto itu menunjukkan pose saat dia sedang
memberikan service blow job-nya.
Jantungnya berdetak cepat,
rahasia tentang pekerjaan sampingannya selama ini hanya diketahui di
kalangan para siswa. Hinamori cukup yakin mereka mengunci mulut mereka
rapat-rapat. Tentu saja kalau pihak sekolah mengetahui tindakan
asusilanya ini, dia terancam dikeluarkan.
"Sudah tahu apa kesalahanmu?"
Hinamori
hanya diam, perlahan kepalanya yang tertunduk dia angkat. Sekarang
sepasang mata itu saling menatap, sama-sama saling mengukur kekuatan
lawannya.
"Semua bukti-bukti ini cukup untuk menyeretmu ke ruangan
kepala sekolah. Aku yakin dia dengan senang hati mengeluarkanmu dari
sini," ancam Aizen.
"Kalau Sensei mau melaporkanku, laporkan saja! Kenapa harus menunggu?" Hinamori balik mengancam.
Aizen tersenyum penuh arti, "Hanya itu kah pertahanan terbaikmu?"
Hinamori
menelan ludah mendengar balasan dari mulut Aizen. Sikap Aizen memang
aneh. Apa untungnya dia menunjukkan bukti-bukti itu padanya terlebih
dahulu sebelum menyerahkan pada Kepala sekolah. Kalau mau dia bisa
langsung menunjukkan foto-foto itu pada kepala sekolah.
Yang
terlintas di kepala Hinamori hanya satu, Aizen mengharapkan timbal balik
yang sepadan dengan bukti yang dia miliki. Dia menginginkan Hinamori
melakukan blow job untuknya! Hanya itu yang terlintas dibenaknya.
"Sudahlah, Sensei. Kalau Sensei memang menginginkan layanan gratis, saya tidak keberatan."
Aizen lagi-lagi tersenyum, "Kamu memang murid yang pintar, Hinamori!" puji Aizen.
Tanpa
babibu, Hinamori langsung meraba resleting celana kerja gurunya. Aizen
buru-buru menahan tangan Hinamori. Dia membungkuk supaya bibirnya bisa
berada tepat di sebelah daun telinga Hinamori dalam posisi duduk.
"Maaf
bocah, aku bukan a-be-ge labil seperti pelanggan setiamu selama ini. Aku
menginginkan lebih," bisiknya.
Hinamori berdecak kesal, "Ya sudah, cepat katakan! Sensei ingin aku gimana? Waktuku tidak banyak, aku harus cepat pulang."
"Duduklah di sini!" Aizen menepuk meja kerjanya.
Hinamori melakukan apa yang diperintahkan Gurunya. "Tapi kalau posisinya setinggi ini, saya tidak bisa melakukannya."
"Apa aku bilang memintamu melakukan blow job?"
"Lalu, apa yang Sensei inginkan?" Hinamori mulai terlihat cemas.
"Tadi
sudah kukatakan dengan jelas bukan, Hinamori? Aku bukan bocah remaja,
aku laki-laki dewasa, Hinamori. Aku menginginkan lebih dari sekedar blow
job. Bagaimana? Sanggup? Kalau mau mundur sekarang masih sempat,"
ancamnya.
"Oke, katakan apa yang sensei inginkan!" Hinamori
membentak, mati-matian dia menahan suaranya agar tidak terdengar takut
dan putus asa.
"Tanggalkan bajumu!"
Hinamori terdiam. Dia mulai paham apa yang diinginkan gurunya.
"Kenapa, Hinamori? Apa itu terlalu susah? Bukankah selama ini kamu juga melakukannya di depan cowok-cowok itu?"
Hinamori
tidak menjawab. Dia memang tidak pernah mempertontonkan tubuhnya pada
siapapun. Dia hanya memberi service sebatas blow job. Tidak pernah lebih.
"Kenapa? Apa kamu malu? Karena yang melihat tubuhmu adalah gurumu bukan temanmu?" Aizen semakin gencar menyudutkan Hinamori.
Tidak
ada pilihan lain, Hinamori mulai melepas jas seragamnya pelan-pelan, lalu
dilanjutkan dengan melepas dasi yang dibentuk pita warna merah.
Kemudian ketika tangannya menyentuh biji kancing paling atas, Hinamori
tidak dapat meneruskan. Aksinya berhenti sampai di situ. Aizen
yang sibuk mengamatinya mulai mendekat, tanpa mengucapkan kalimat
intimidasi, dia menyentuh biji kancing seragam Hinamori. Tanpa
peringatan apapun, dia mulai melepasnya.
"Kalau memang susah, biar aku
yang melepaskan seragammu, pejamkan saja matamu kalau mau, Hinamori. Itu
bisa mengurangi sedikit rasa malumu."
Pejamkan mata? Mana bisa
dia melakukan itu. Matanya justru menegang, mengawasi setiap gerak gerik
jari-jari yang terasa begitu besar dan menakutkan yang bergerak dengan
cepat dan pasti menelanjanginya. Dalam hitungan detik Aizen
berhasil membuat Hinamori bertelanjang dada. Hanya meninggalkan sebuah
bra warna putih polos tanpa renda yang masih melindungi sepasang buah dada
miliknya.
"Kenapa, Hinamori? Tubuhmu menegang seperti seorang anak
alim saja," Aizen berbisik di telinganya. Satu tangannya dia gunakan
untuk menopang tubuhnya, satunya lagi dia gunakan untuk menelusuri
rambut hitam Hinamori yang tergerai.
Bibir Aizen mulai menyentuh
leher Hinamori dengan lembut. Memberinya sebuah kecupan sambil sesekali
menghirup arowa wangi shampo yang samar-samar tercium. Lalu perlahan
kecupan lembut itu mulai berubah menjadi jilatan. Bergerak naik turun
seperti seekor kucing yang sedang menjilat tubuhnya. Seketika itu juga
tubuh Hinamori merinding, sensasi aneh menjalari di setiap bagian
tubuhnya, membuat bulu kuduknya berdiri.
Aizen
menarik diri untuk melihat reaksi Hinamori yang terduduk kaku. "Kalau
seperti ini, kamu jadi terlihat manis," rayunya. "Sudah siap ke tahap
selanjutnya, Hinamori?"
Aizen menunggu rekasi yang diberikan Hinamori,
tapi murid didiknya itu terlalu tegang. Dan sikap tegang Hinamori
semakin membuat Aizen ingin menggodanya lebih dan lebih, "Tenang saja
manis, aku sangat berpengalaman memuaskan wanita. Meski kamu yang
termuda diantara para wanita pernah kutiduri."
Aizen mendekatkan
wajahnya ke wajah Hinamori, lalu sebuah kecupan mendarat di bibir
Hinamori. Satu tangan Aizen menarik pinggul Hinamori dalam dekapannya,
sementara tangan yang satunya mencengkram lengan Hinamori.
Selama
beberapa saat mencium bibir Hinamori tanpa mendapat balasan, Aizen
sedikit menarik wajahnya, "Kamu tegang? Aku juga tegang." Aizen tidak
menunggu sampai Hinamori membuka mulutnya. Dia menarik paksa dagu
Hinamori hingga bibir bawahnya tertarik. Setelahnya, dia kembali mencium
bibir mungil itu.
Tanpa sadar Hinamori mencengkram salah satu
lengan Aizen ketika lidah gurunya itu memaksa masuk ke dalam rongga
mulutnya. Dia ingin menarik wajahnya sejauh mungkin dari Aizen, tapi
semua sudah terlambat. Tangan kekar Aizen mencengkram erat bagain
belakang kepalanya. Satu tangan itu cukup untuk megendalikan Hinamori
seperti yang dia inginkan.
Aizen menghentikan aksinya sesaat. Dia
menarik dirinya hingga jarak diantara mereka cukup untuk memberinya
pandangan pada tubuh mungil Hinamori. "Melakukan hubungan seksual dengan
teman sebayamu pasti sudah biasa bukan, Hinamori?" katanya sementara
sepasang matanya sibuk merencanakan apa yang akan diperbuatnya dengan
buah dada muridnya.
Aizen melepas kaca mata yang membingkai matanya.
Dengan jarak sedekat ini dia bisa melihat dengan jelas tanpa bantuan
benda tersebut. "Tenanglah, Hinamori," tangan yang tadi mencengkram
kepala Hinamori perlahan turun menuju bagian tengah dada Hinamori. Aizen
kembali mendekatkan wajah mereka. "Meski ini pertama kalinya bagimu
diperkosa oleh gurumu sendiri, Hinamori,"
Aizen melayangkan sebuah
kecupan ke dahi Hinamori, "Aku akan memperlakukanmu dengan lembut."
meski Aizen berkata demikian, tapi tangannya tidak melakukan hal yang
sama. Dengan cepat dan kasar dia menarik bra milik Hinamori ke atas.
Tarikan itu memberi tekanan pada tonjolan dadanya hingga sepasang
payudara itu mengencang.
"Hentikan!" pekik Hinamori, pertahananya mulai runtuh, dia sudah tidak sanggup berpura-pura berani.
Tapi Aizen tidak peduli. Dia justru menurunkan tangannya. Mencengkram salah satu payudara terdekat.
"Hentikan Sensei!" pinta Hinamori memelas.
"Kenapa
Hinamori? Bukankah sudah kukatakan, kalau kamu merasa malu, karena
laki-laki yang menyentuh tubuhmu ini adalah gurumu, pejamkan saja
matamu. Aku tidak keberatan kamu membayangkan si Kurosaki, atau si
Abarai, atau siapapun." Aizen semakin keras meremas payudara Hinamori
membuat muridnya itu menahan sakit sambil mencengkram kedua lengan Aizen
semakin erat.
Lalu sesuatu sensasi aneh kembali mendatanginya.
Sesuatu yang membuat semua yang ada dalam dirinya ingin memberontak
keluar. Membuat tubuhnya ingin menggeliat. "Ah...," desahnya diluar kendali.
Apa yang salah dengan dirinya. Kenapa tubuhnya tidak
merespon sesuai keinginannya. Hinamori menunduk. Matanya tertuju pada
tangan kanan Aizen yang memegang puncak dadanya. "Sensei, ahhh...ahhh..."
tanpa disadari tubuhnya mendekatkan diri ke tubuh Aizen dan bergerak
liar.
"Apa yang... Eh..." Hinamori mencoba mengendalikan erangannya,
"...Sensei la-lakukan?!" sangkin bingung dengan dirinya, Hinamori
sampai mengigit bibir bawahnya agar desahan-desahan itu tidak meluncur
keluar seenaknya.
"Jangan di tahan Hinamori! Teriakkan saja. Kalau
kamu mati-mati menahan desahanmu, aku semakin ingin membuatmu mendesah
lebih keras lagi."
Aizen membuktikan kata-katanya. Sekarang tidak hanya
satu tangan yang bermain di puting Hinamori, tapi keduanya! Membuat
Hinamori semakin kalang kabut mengendalikan dirinya. Dengan lihai
jari-jari panjang Aizen memainkan tonjolan kecil tersebut. Menggeseknya
dengan jembol dan jari teluncuk, berganti menariknya ke atas, melepaskan
lalu menariknya lagi atau diplintir ke kanan dan ke kiri.
Hinamori
benar-benar tidak berdaya, ini pengalaman pertamanya dan ternyata semua
di luar dugaan. Selama ini dia hanya membayangkan apa yang dirasakan si
tokoh wanita dari film bokep atau manga porno yang di bacanya. Dia
tidak tahu kalau ternyata rasanya sehebat ini. Dia sadar laki-laki
di depannya sedang mengambil keuntungan atas tubuhnya. Tapi di sisi
lain bagimana cara sang guru memperlakukannya membuatnya lemah dan
memilih menyerah. Belum lagi ketika serangan yang dilancarkan Aizen
semakin hebat. Sambil memainkan kedua puting Hinamori, sesekali dia
mencumbu wanita itu dengan kasar. Anehnya Hinamori tidak mampu melawan
perlakuan kasar dan tidak beradab yang tidak seharusnya dilakukan
seorang guru kepada muridnya.
Setelah berlangsung cukup lama,
Aizen kembali berbisik di telinga Hinamori. "Katakan, kamu ingin
melakukannya dengan posisi telanjang bulat, atau hanya menanggalkan
celana dalammu dan membiarkan jari-jariku meraba, mencari letak
vaginamu?"
Hinamori hanya mampu menggeleng, jangankan menjawab,
berpikir saja dia tidak sanggup. Yang membuatnya heran, ketika dirinya
mati-matian menahan sensasi nikmat penuh dosa, laki-laki dewasa di
depannya masih sempat berbicara, menawarkan imajinasinya, masih sanggup
berpikir.
"Jangan menggeleng, Hinamori, aku tidak paham maksud
gelengan kepalamu!" lagi-lagi Aizen berbisik, tapi bisikan kali ini
lebih memaksa dan lebih tidak sabar.
"Ja-jangan!" hanya satu kata itu yang sanggup terucap dari mulutnya.
"Jangan?" Aizen pura-pura bertanya bingung sementara tangannya sudah turun ke paha Hinamori. "Apanya yang jangan, Hinamori?"
"Jangan lakukan..."
Belum
selesai Hinamori menyelesaikan kalimatnya yang dia ucapkan setengah
mati, Aizen sudah memotongnya. "Jawab pertanyaanku dengan jelas,
Hinamori? Atau aku harus menghukummu!" Aizen tidak menunggu juga tidak
memberi kesempatan Hinamori menjawab karen tangan kanannya telah meraba
belahan vagina milik Hinamori yang masih terlindung oleh celana dalam.
"Celanamu
basah, Hinamori," Aizen semakin keras menggesekan jari telunjuknya di
celana dalam Hinamori. Jarinya terus bermain di area licin tersebut.
Tubuh
Hinamori sudah lupa bagaimana caranya merasa tegang. Dia benar-benar
pasrah, satu tangan Aizen yang terus mempermainkan putingnya sementara
tangan lainnya sibuk menguasai daerah intimnya, dia benar-benar tidak
tahu harus berbuat apa, berkata apa atau bereaksi bagaimana. Beginikah
jadinya jika dia berhadapan dengan laki-laki dewasa, bukan cowok
sebayanya? Dia tidak akan sesabar teman-temannya yang biasa memakai
jasanya. Biasanya Hinamori bisa dengan mudah menolak ajakan mereka
melakukan hubungan intim. Di depan gurnya dia tidak berdaya. Semua
ditentukan oleh Aizen. Dia memegang kendali atas permainan ini dan
tubuhnya. Hinamori telah benar-benar takluk. Menolak sekalipun, tubuhnya
tetap tidak mendengar apa yang diperintah otaknya. Bahkan ketika Aizen
menyentuh bagian paling pribadinya, Hinamori tidak sanggup menolak.
"Kenapa, Hinamori? Kamu sudah tidak sabar merasakan penisku masuk ke dalam vaginamu?"
"Tidak!" katanya. Satu kata itu bermaksud penolakan tapi Aizen memilih mengambil pengertian yang lain.
"Tidak sabar? Aku juga sudah tidak sabar, Hinamori."
"Tidak! Ini harus dihentikan. Aku tidak ingin kehilangan keperawananku dengan cara seperti ini," batinnya mencoba memperingatkan.
"Ayo kita mulai!" kata Aizen sambil menarik turun celana dalamnya.
"Hentikan!"
seketika itu juga Hinamori mendorong tubuh laki-laki di depannya.
Dorongannya tidak banyak berpengaruh hanya membuat tubuh tegap dan besar
itu sedikit bergoyang tanpa bergeser sedikitpun dari tempatnya. Tapi
setidaknya satu hentakan tadi cukup membuat Aizen tersentak kaget dan
menghentikan semua tidakannya atas tubuh Hinamori.
"Hentikan,
Sensei!" kali ini Hinamori mulai merengek. Nafasnya menggebu naik turun.
Air mata yang sedari tadi ditahannya pecah. "Aku mohon, Sensei, tolong
hentikan. Aku takut, Sensei," katanya di tengah tangisan yang tak
terbendung.
Aizen menarik diri. Wajahnya melembut. Semua senyum
licik dan tatapan mesumnya menghilang seperti tertiup angin. Bukan hanya
itu, dia bahkan menutup tubuh Hinamori yang tadi dipermainkannya sesuka
hati dengan baju seragam milik Hinamori. "Rapikan dirimu!" perintahnya.
Hinamori
melakukan apa yang dilakukan Aizen. Mengenakan kembali satu persatu
pelindung tubuhnya. Aizen menunggu sampai Hinamori berpakaian lengkap dan
rapi. Dia memberi waktu untuk Hinamori menyeka air matanya lalu dengan
lembut membelai kepala Hinamori.
"Sekarang kita impas."
"Impas?" tanya Hinamori bingung, matanya masih merah dan berair. Tapi hatinya sudah mulai tenang.
"Anggap saja begitu. Aku tidak akan melaporkanmu atas sikapmu itu, tapi jangan laporkan aku ya," candanya.
"Tapi apa keuntungannya buat Sensei?"
Aizen
malah tersenyum bukannya menjawab. "Aku hanya ingin memberimu sedikit
pelajaran, Hinamori. Menegurmu tidak akan membuatmu jera bukan. Anggap
saja itu hukuman atas perbuatanmu yang tidak terpuji."
Hinamori semakin bingung, "Untuk apa Sensei melakukan itu? Kenapa Sensei sebaik itu?" lagi-lagi tangisnya kembali pecah.
Aizen
yang merasa iba memeluk Hinamori sambil membelai pungungnya.
"Menakutkan bukan? Itulah yang akan terjadi padamu suatu saat nanti,
Hinamori, kalau kamu tidak menghentikan kerja sampinganmu itu!"
Hinamori hanya sanggup mengangguk-angguk dalam dekapan aman Aizen.
"Suatu
saat akan datang laki-laki hidung belang yang meminta lebih dari sekedar
blow job yang kamu tawarkan. Kita tidak pernah tahu dia senekad apa,
Hinamori. Meski kamu bisa menjeratnya lewat hukum, tapi yang paling
dirugikan adalah dirimu. Karena setelah semua itu berakhir, trauma yang
kamu dapatkan tidak akan berakhir semudah itu. Kamu paham?"
Hinamori
lagi-lagi kembali mengangguk. Aizen melepaskan pelukannya dan
mengangkat wajah Hinamori yang tertunduk hingga wajah mereka segaris.
"You only loose your virgin once, Hinamori."
"Sensei tahu aku masih perawan?" katanya takjub, "Darimana Sensei tahu?"
Aizen
terkekeh geli. "Dari rekasimu tadi. Seorang yang sudah berpengalaman
tidak akan bersikap setegang itu, Hinamori!" Aizen menempelkan dahinya di
dahi Hinamori, "Maaf, aku jadi orang pertama yang menyentuh tubuhmu dan
membuatmu ketakutan."
Hinamori benar-benar bingung. Gurunya yang
tadi terlihat begitu menakutkan sekarang berubah begitu dewasa,
melindungi dan bijaksana.
"Pulanglah!"
Hinamori membereskan barang-barangnya sebelum pamit, "Saya pulang dulu, Sensei," sebelum Aizen berubah pikiran.
Aizen melambai menghantarkan kepergian Hinamori, "Aku selalu mengawasimu, Hinamori!"
Hinamori
membalas dengan senyum kecut sebelum berbalik memunggungi Aizen.
Sepertinya selama dia berada di sini, kerja sambilan idamannya terpaksa
dihentikan.
"Jangan lupa kata-kataku tadi!" Aizen kembali memperingatkan ketika Hinamori sudah berada di ambang pintu.
"Yang mana?" Hinamori menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Keperawananmu hanya hilang sekali seumur hidupmu!"
"Oh, akan aku ingat."
"Lakukan dengan laki-laki yang kamu cintai!"
"Pasti!" Hinamori mengacungkan jembolnya sebelum menghilang di balik pintu.
***
"Shiro-kun," teriaknya begitu memasukan kepala dari sela pintu yang terbuka.
"Nee-chan, sudah pulang?" sahut suara di dalam.
Hinamori
menarik nafas lega. Dia buru-buru menghambur masuk dan melepas
sepatunya sembarangan. Baginya bisa mendengar suara adiknya, Toushiro
ketika dia pulang ke rumah adalah anugrah tersendiri.
Sejak lahir
Toushiro memiliki kelainan pada jantungnya. Segala upaya sudah dilakukan
untuk mempertahankan hidup bocah laki-laki umur tiga belas tahun
tesebut. Biaya operasi yang tidak murah membuat Hinamori harus bekerja
ekstra keras demi menjaga adiknya. Terutama sejak dua tahun lalu ketika
kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan. Mereka bertahan hidup dari
uang asuransi kematian yang tidak banyak dan Hinamori harus bekerja
keras untuk menjaga adiknya. Kalau bisa memilih Hinamori juga tidak
ingin melakukan pekerjaan blow job-nya. Tapi hanya itu satu-satunya
pilihan, karena itu satu-satunya pekerjaan yang menghasilkan uang paling
banyak.
"Shiro-kun, hari ini mau makan apa?" tawar Hinamori yang langsung melesat ke dapur.
"Sup Miso sepertinya enak," sahut Toushiro
"Ok,
kita masak sup miso. Untung aku masih punya persediaan tofu." Hinamori
sibuk mengacak-acak isi kulkas, mengeluarkan beberapa bahan dari
dalamnya tanpa menoleh ke belakang. Dia tidak menyadari adiknya yang
meremas dadanya, menahan sakit. Hinamori terlalu fokus mempersiapkan
makan malam. Hingga masakan yang dibuatnya hampir matang.
"Shiro-kun,
tolong ambilkan mangkuk saji di atas meja," pintanya. Hinamori
menunggu. Kadang Shiro memang tidak menjawab panggilannya. Semenit dua
menit, Hinamori yang masih sibuk mengaduk panci berisi sup menyadari
adanya keanehan.
"Shiro-kun!" panggilnya lagi. Tapi tetap tidak
ada jawaban. Hinamori buru-buru berbalik dan terpekik kaget melihat
Shiro yang tergeletak di lantai, "Shiro-kun!" panggilnya sambil
mengguncang tubuh adiknya. Toushiro tidak menjawab, dia hanya
menunjukkan ekspresi wajah kesakitan sambil meremas dadanya.
0 comments:
Post a Comment