Monday 18 February 2013
I'm Home
Angin
kuat disertai partikel debu radioaktif mendera tubuhku, membuatku sulit
berjalan maju ke depan. Meskipun sudah mengenakan Exoskeleton Suit, tapi tetap saja kekuatan baju canggih itu tidak
sanggup melawan kekuatan alam.
“George!! Berapa lama lagi kita harus berjalan?! Aku
sudah tidak sanggup bergerak lagi!” aku berseru ke arah rekanku yang berjalan
di depan. Terlihat jelas kalau dia juga kesulitan untuk bergerak menembus badai
pasir ganas ini. Langkahnya yang tadi begitu tegap, kini terlihat limbung
karena hempasan angin yang begitu kuat.
“Tinggal sedikit lagi!! Kalau kita bisa berjalan melewati badai ini, kita akan
sampai di checkpoint
selanjutnya!!” George membalas
perkataanku melalui jaringan komunikasi di pakaian canggihnya.
“Bertahanlah! Aku tahu kau bisa bertahan! Jangan menyerah!” George berseru lagi padaku. Aku langsung berusaha
melangkah maju dan memaksa mesin di sendi-sendi exoskeleton suit-ku bekerja lebih keras. Suara dengung generator
dan derak samar roda gigi di pakaian canggihku itu langsung memenuhi telingaku.
Ayolah! Jangan sampai ada part
yang rusak!!
Aku berdoa semoga pakaianku tidak memutuskan untuk rusak
sekarang. Kalau itu terjadi, bisa dipastikan nyawaku akan melayang dalam
hitungan menit. Tidak ada manusia yang bisa bertahan dalam badai yang tercemar
debu radioaktif seperti ini. Kalau tidak
karena exoskeleton suit yang
kukenakan, aku tidak akan bisa berjalan di luar seperti ini.
Sejak
perang nuklir 40 tahun yang lalu, udara dan tanah
di bumi sudah tercemar berat oleh berbagai jenis radioaktif dan
bahan-bahan
berbahaya lainnya. Akibatnya manusia sekarang dipaksa untuk tinggal di
shelter-shelter di bawah tanah, serta hanya bisa keluar kalau mengenakan
exoskeleton suit seperti ini.
Langkahku semakin berat, meski sudah ditopang dan dibantu
oleh sendi-sendi mekanik exoskeleton
suit-ku. Kami terus berjalan dan akhirnya tiba di sebuah gunung karang
raksasa, yang memiliki sebuah gua di bawahnya. Aku melihat George masuk ke
dalam gua itu dan segera mengikutinya.
Gua itu tidak luas, tapi setidaknya terlindung dari badai
pasir yang mengamuk diluar. Aku langsung duduk di lantai gua dan menghembuskan
nafas lega. Sudah empat hari kami berjalan kaki seperti ini dan paling tidak
sudah tiga kali kami menghadapi ganasnya kekuatan alam, seperti badai pasir
ini.
“Akhirnya bisa istirahat...” ujar George sambil mengambil
sebuah piramida metalik dari dalam ranselnya. Dia segera meletakkan piramida
itu di tanah, lalu memutar puncaknya. Sebuah selubung mirip jeli langsung
keluar dari piramida metalik itu, kemudian membentuk semacam piramida kenyal
yang melindungi kami berdua. Pada saat yang sama, suara mendesis terdengar
ketika mekanisme air purifier
di piramida itu bekerja.
Setelah menunggu beberapa saat, aku menekan sebuah tombol
di sisi kiri helm exoskeleton suit-ku.
Dengan suara mendesis dan berderak
pelan, helm titanium yang kukenakan akhirnya terbuka. Aku membiarkan rambut
panjangku tergerai keluar, lalu menoleh ke arah George, yang juga sudah membuka
helmnya.
“Badai yang menakutkan,” celetuk George. “Untung kita
bisa bertahan sampai di checkpoint
ini.”
Aku langsung mencibir ke arah George. “Yeah. Tapi kalau
badai ini tidak berhenti besok, aku tidak bisa bergerak,” gerutuku sambil
mengambil bungkusan makanan dari tasku. “Persediaan energi di exoskeleton suit-ku tinggal
seperempat. Kalau kita tidak melihat matahari besok, aku tidak akan bisa
membuat SOL untuk bajuku ini.”
“Kalau begitu berdoa saja semoga besok badai ini sudah
reda,” balas George sambil tersenyum. “Dengan begitu kita bisa melanjutkan
perjalanan lagi dan kau bisa membuat SOL untuk bajumu itu.”
Aku mendengus kesal. Kadang-kadang sikap optimis George
bisa membuatku jengkel. “Berapa jauh lagi kita dari tujuan kita?” tanyaku
sambil membuka bungkusan makanan yang kupegang, lalu mulai memakan isinya. “Dan
yang lebih penting lagi, apa tempat yang kau bicarakan itu benar-benar ada?”
“Kalau dengan berjalan kaki. Kita seharusnya akan sampai
ke tujuan 4 hari lagi,” balas George sambil menekan beberapa tombol di komputer
mini yang ada di pergelangan tangannya. Sebuah peta holografis langsung muncul
di depan pria itu. Dia lalu menunjuk ke arah sebuah titik merah di peta itu.
“Ini tempat yang akan kita tuju, unknown
area no.25. Tempat ini benar-benar ada. Setidaknya di peta...”
Aku memandangi peta holografis itu sejenak. Kalau saja
George tidak menerima sinyal misterius dari area itu, kami tidak akan melakukan
perjalanan yang terkesan konyol ini. Isi sinyal komunikasi yang dia terima itu sangat sederhana.
Kami ada disini...
Hanya satu kalimat singkat itulah isi pesan yang ter-encode dalam sinyal misterius yang
diterima George. Setelah memaksaku melacak asal sinyal itu, kami menemukan
sinyal ini dikirim dari unknown area
no. 25, area yang seharusnya tidak ada apa-apanya itu.
Tadinya kupikir ini hanya ulah iseng seseorang, tapi
setelah mengamati sistem kode sinyal yang digunakan untuk mengirimkan pesan
itu, aku terkejut. Sistem kode dalam sinyal itu terlalu canggih dan rumit untuk
ukuran keisengan yang dilakukan seseorang. Bahkan kalau melihat dari tipe
sinyalnya, sinyal ini hanya bisa ditangkap oleh peralatan penerima sinyal
canggih, seperti yang ada di fasilitas penelitian dalam shelter tempat kami tinggal.
“Irene, tidurlah. Malam ini biar aku yang berjaga. Kau
pasti lelah setelah berjuang menembus badai pasir tadi.”
Ucapan George membuyarkan lamunanku. Aku langsung melotot
ke arah pria itu. “Jangan meremehkanku! Biar aku perempuan, tapi aku tidak lemah!” protesku.
George mengabaikan protesku dan melambaikan tangannya. “Ya-ya,
aku tahu. Sekarang tidur sana! Besok perjalanan kita bisa saja lebih berat dari
hari ini,” balasnya sambil nyengir lebar.
Aku melemparkan bungkus makanan ke arahnya, kemudian
bangkit dan mengambil sebuah silinder hitam dari ranselku. Dengan satu sentuhan
ringan, silinder itu mendesis membuka dan berubah menjadi sebuah kapsul ukuran dua
kali tiga meter yang terbuat dari serat nano-carbon.
“Selamat tidur!” aku berkata dengan nada ketus sambil masuk
ke dalam kapsul itu. Tidak lama kemudian aku sudah tertidur pulas.
***
Sepertinya baru saja aku memejamkan mata saat
kurasakan ada seseorang yang meraba-raba tangan dan pahaku. Aku
terbangun dan menemukan George tersenyum di atas tubuhku. Dia terlihat sangat terangsang.
”Apa yang kau
lakukan disini? Sana pergi jaga!” aku spontan membentaknya.
Tapi George
tidak mempedulikanku. Dia terus meraba dan merangsang tubuhku. Bahkan kini dia
sudah berani memegang payudaraku. Menerima perlakuannya yang terus-menerus, ditambah
suasana malam itu yang begitu dingin dan sunyi, akhirnya aku pun tergoda juga.
Perlahan, kubalas perlakuannya dengan mencium mulutnya yang tebal. Kubiarkan
lidahku beradu dengan lidahnya di dalam mulut kami.
George langsung menindih tubuhku
sambil tetap berciuman. Kami bermain bibir dan lidah cukup lama sampai tak
terasa tangan laki-laki sudah membuka baju exoskeleton-ku. Perlahan dia mengelus payudaraku yang sudah
terburai keluar.
”Ehmm, George, kok nikmat sekali
ya rasanya,” desisku sambil menekan tangannya yang berada di atas payudaraku,
berharap dia akan meremas lebih kuat.
George diam saja, tapi tangannya
terus aktif meremas payudaraku. Dia tampak puas karena sudah mendapat ijinku. Aku
yang juga bergairah, membalasnya dengan meraba punggung George yang kekar, dan terus
ke bawah hingga sampai di daerah pahanya. Disitulah tanganku berhenti saat
kutemukan penisnya yang sudah mengacung tegak di balik celana. Dengan penuh
nafsu aku pun memijit dan mengusap-usapnya.
“Agghh... Hmhh... iya, terus,
sayang. Iya disitu!” George mendesah sambil meremas-remas payudaraku keras-keras.
Begitu nikmatnya rasa yang kuberikan di
selangkangannya hingga dia tak sadar telah memijit payudaraku kuat-kuat hingga
aku sedikit merintih merintih kesakitan.
“Ahhhh... George, jangan keras-keras, sakit!” rintihku setengah merajuk. George langsung minta maaf dengan mencium bibir tipisku sekali lagi. Tanganku kini sudah masuk ke balik celananya yang terbuat dari serat nilon tipis dan langsung kugenggam penis besarnya yang terasa sangat kaku dan keras.
”Augghhhh!” George mendesah keenakan
saat aku mulai mengocoknya. “Lepaskan saja celanaku, Ren, biar nggak ganggu,” bisiknya
sambil menurunkan celana. Aku membantu dengan menarik benda itu hingga
terlepas. Kini George sudah telanjang sepenuhnya di atas tubuhku. Penisnya yang
besar tampak teracung tegak, begitu kaku dan panjang.
”Oh, besar sekali, George!” bisikku
sambil memeganginya. Menurut taksiranku, benda itu hampir 17 cm panjangnya dengan
diameter sekitar 4 cm.
“Ah, dari dulu juga segini,” kata George sambil tersenyum, dia tampak bangga dengan kelelakiannya itu.
”Tidah ah, dulu lebih kecil!”
aku memang pernah tidur dengan George sebelumnya, dan seingatku penisnya tidak
sebesar ini.
”Kenapa, kamu tidak suka ya?”
George bertanya sambil tangannya kembali membelai payudaraku.
”Ah, tidak. Justru aku sangat
menyukainya.” kuberikan senyumanku yang paling manis. ”Dulu saja begitu nikmat,
apalagi sekarang.” bisikku.
George mengangguk mengiyakan. “Akan kubuat kamu puas
malam ini. Tapi sebelumnya, kocok dulu ya, Ren.” dia meminta sambil menggerakkan
tanganku yang berada di atas penisnya naik turun.
Aku yang mengerti, segera mengocok
benda itu dengan kasar. Maklum, sudah beberapa minggu ini aku tidak melihat
penis, jadi rasanya seperti mendapat durian runtuh saat George mengajakku main
saat ini. Dia
merupakan salah satu laki-laki tertampan di shelter yang selalu menjadi pujaan
setiap gadis. Bisa bercinta dengannya merupakan keberuntungan tersendiri bagi gadis yang
tidak begitu populer sepertiku.
“Ren, buka bajumu. Aku ingin melihat seluruh
tubuhmu. Kita telanjang bersama!” bisiknya di sela-sela desahan sambil melepas exoskeleton suit-ku. Senyum maskulinnya
membuatku tidak kuasa untuk menolak. Dalam beberapa detik, aku pun sudah
telanjang. Cuma tersisa celana dalam tipis yang membalut tubuh mulusku.
“Ehm, susumu indah sekali, Ren!”
bisiknya sambil kembali meremas-remas payudaraku. George menggelinjang saat aku
kembali melanjutkan kocokanku pada penisnya. Kami terus saling remas dan
saling usap dengan posisi bertindihan. Kami saling menggesekkan tubuh
masing-masing yang sudah sama-sama telanjang hingga George yang puas meremas
payudaraku, kini turun ke daerah selangkangan untuk mengelusi paha mulusku. Sementara
aku masih tetap setia mengocok penisnya sampai dari lubang kencingnya yang
mungil keluar cairan putih bening yang sedikit kental. Aku segera mengusapnya
dengan ujung jari dan menjilatnya.
”Ehmmm...” George mendesah
keenakan. Dia langsung memelukku hingga badan kami menempel erat. ”Ren, aku
ingin melihat vaginamu!” bisiknya sambil merambat turun menuju ke arah
selangkanganku. Dengan tak berkedip dia memelototi celana dalamku yang berwarna
merah jambu dengan gambar bunga bunga kecil di atasnya. George menarik nafas sebentar untuk menghirup bau
harum vaginaku. Dia tersenyum dan dengan perlahan, menarik turun benda itu. Aku
membantu dengan mengangkat sedikit pinggulku yang besar. Tanpa kesulitan,
celana dalam itu pun lolos. Kini tubuh kami sudah sama-sama telanjang bulat.
Penis George yang menegak kencang terasa menggesek-gesek betisku saat pemuda
itu memandangi vaginaku yang telah terbuka lebar.
”Ehm, indah sekali, Ren.”
bisiknya takjub. ”Boleh aku menciumnya?” dia berkata sambil meraba bibir
vaginaku perlahan.
“Lakukan, George. Miliki aku
seutuhnya! Aku sudah tak tahan!” jawabku cepat.
Lalu dia pun mulai menciumnya
perlahan-lahan. Sambil melumat, tangan George yang kanan naik untuk meremas
payudaraku yang sudah membengkak besar. Lama dia menjilati vaginaku dengan
sedikit melumatnya kasar sehingga membuatku merintih rintih- keenakan.
“Sshhhh.. George, enak sekali. Lebih keras, George! Lebih keras!” jeritku sambil meremas-remas rambut ikalnya dan menekan kepalanya agar semakin dalam menempel ke selangkanganku. Saat aku sedang asyik menikmati jilatannya itu, tiba-tiba George melepaskan kulumannya, aku jadi terengah-engah dibuatnya. Rasanya jadi nanggung sekali.
“Terus, George! Kenapa berhenti?”
aku bertanya dengan muka merah padam menahan gairah.
”Ganti posisi, Ren. Kamu jilati juga
penisku.” balas George sambil memutar tubuhnya. Pinggangnya sekarang tepat
berada di atas mukaku. Penisnya yang besar menempel erat di ujung bibirku.
Sementara mulut George tetap berada di depan vaginaku. Kami berposisi 69.
”T-tapi... batangmu besar
sekali, George.” aku ragu benda itu akan muat di mulutku.
”Jilat saja kalau tidak bisa
dikulum. Yang penting kita sama-sama nikmat.” sahut George sambil kembali
menyantap vaginaku.
“Ihh, George.. geli!” rintihku saat dia mencucup klitorisku. Bokongku yang menggelinjang segera dipegangi olehnya.
”Emut, Ren. Emut penisku!” dia
kembali meminta saat merasakan aku masih menganggurkan batangnya.
Sambil menahan geli di
selangkangan, aku pun melakukannya. Aku tidak mengulumnya karena aku tidak mampu. Benda
itu begitu besar. Baru ujungnya saja aku sudah tersedak. Jadi aku cuma
menjilatinya. Menjilati ujungnya yang tumpul seperti jamur, lalu batangnya yang
terasa kokoh penuh urat. Juga buah pelirnya yang menggantung kembar di pangkal
batangnya. Semuanya kujilati. Tidak ada satupun yang terlewat. George yang
menerima jadi merintih-rintih keenakan.
”Ahh, ya... begitu, Ren. Enak!
Kamu memang pintar!” desisnya sambil mencucup vaginaku semakin keras. aku jadi
semakin menggelinjang.
Jilatannya yang begitu sempurna
dan bertubi-tubi membuatku tak tahan. “Mmhhhh.. Hnghhhh..” aku terus merintih dan
mendesis kegelian hingga akhirnya, ”Aarrgghhhhhhh... George! Aku sampai!” tubuhku
menghentak dan... Crot! Crot! Crot! Crot! Empat kali aku menyembur hingga cairanku
membasahi muka dan mulut George yang tidak mau melepaskan jilatannya. Aku terengah-engah
memandanginya, tapi George tampak menikmati sekali momen itu.
“Sshhhhh... sudah, George.
Vaginaku geli kamu jilati terus!” kataku sambil menarik kepalanya.
”Gantian ya, kamu jilati
penisku,” pemuda itu menyodorkan penisnya yang untuk sesaat tadi sempat tidak
kuhiraukan.
”Sampai keluar?” aku bertanya
sambil mulai menjilati ujungnya.
”Ehm, lihat nanti saja.” bisik
George. Matanya
sudah merem melek keenakan menikmati goyangan lidahku. ”Ahh... enak, Ren! Ya,
begitu!” desahnya saat aku mencoba memasukkan setengah dari batangnya ke dalam
mulutku. George meremas dan memijit-mijit payudaraku yang menggantung indah
untuk memberi semangat.
Aku terus melakukannya hingga tak lama kemudian George mengejang saat dari dalam penisnya terlontar air mani yang sangat banyak. Aku mencoba untuk menampung semuanya tapi tidak bisa. Beberapa ada yang meleleh keluar dari mulutku.
“Ahh.. Ahhh.. nikmat sekali, Ren. Terima kasih!” bisik
George sambil mencium bibirku yang masih basah oleh spermanya.
“Ih, kamu keluar tidak bilang-bilang!”
kuludahkan spermanya dan kuratakan ke atas bulatan payudaraku yang membusung.
”Tapi rasanya enak juga. Gurih seperti santan!”
“Mmhh.. mau yang lebih enak
lagi?” George membantuku meratakan sperma itu. Dia terutama terfokus pada
putingku yang mungil kemerahan.
Aku segera mengangguk
mengiyakan. Aku sudah siap untuk melakukan persetubuhan dengannya. George
membaringkan tubuhku dan melebarkan bukaan pahaku hingga vaginaku yang sempit
dan berbulu halus jadi agak menganga terbuka.
“Tahan ya, aku akan melakukannya
selembut mungkin!” bisiknya sambil mendorong penisnya perlahan-lahan.
Awalnya memang agak sulit,
seperti ada benda empuk yang menghalangi proses penyatuan kelamin itu. Mencoba
dua kali, George masih tetap gagal padahal dia sudah membuka kemaluanku makin
lebar. Aku juga membantu dengan memegangi penisnya dan mengarahkannya ke lubang
yang tepat. Tapi tetap saja tidak berhasil.
”Kok jadi sulit, George? Padahal
dulu tidak seperti ini.” aku mengeluh.
”Hmm, begini saja, Ren.. Pegang penisku
dan aku akan menarik vaginamu. Mungkin dengan begitu akan lebih mudah.” kata
George sambil menarik-narik bibir vaginaku.
Aku pun segera memegangi penisnya
dan mengarahkan benda itu tepat ke lubang memekku yang terlihat masih sempit.
Lalu... Bleesshh! Dengan dorongan yang sedikit menyakitkan, kepala penis George
masuk. Meski cuma kepalanya saja, tapi sudah memberikan sejuta rasa bagi kami
berdua.
Aku dan George menjerit
berbarengan. ”Oouugghhhhhhhh...!!” kami saling berpelukan untuk melepaskan rasa
masing-masing. Saat dia mencium bibirku, aku pun membalasnya dengan mesra.
“Tahan ya, Ren. Akan kuteruskan!” bisik
George sambil kembali mendorong.
Aku mengangguk dan menggigit
bibir. Pelan kurasakan penis pemuda itu terbenam makin dalam ke lubang vaginaku.
Selangkanganku jadi terasa begitu penuh.
”Sakit, Ren?” George bertanya
saat melihat kernyitan di mukaku.
“Tidak apa-apa, George. Teruskan saja!” jawabku
sambil semakin keras menggigit bibir.
Dia pun mendorong lagi. Penisnya
kini masuk semakin dalam, sudah lebih dari setengah. Saat sudah masuk semuanya,
George mendiamkan sebentar untuk menikmati kedutan-kedutan ringan di dinding
vaginaku. Dia tampak sangat menikmatinya.
”Apa ini, Ren?” George bertanya
heran.
”Sst... ini hanya untukmu,
sayang!” aku makin memperkuat kedutan itu. Akan kubuat dia merasakan pijitan
dinding vaginaku yang elastis!
Tapi George rupanya tidak tahan.
Dia memintaku untuk berhenti. ”Simpan itu buat nanti, Ren. Bisa-bisa aku
moncrot lagi tanpa sempat menggoyang tubuhmu. Aku ingin menyetubuhimu, sayang!”
bisiknya sambil melumat bibirku sekali lagi.
Aku pun mengalah. Aku juga ingin
merasakan genjotan George di atas tubuhku. Jadi kubiarkan dia saat mulai
menggerakkan penisnya maju mundur. Rasanya sungguh sangat nikmat, geli, enak, sakit,
gatal dan perih. Semuanya bercampur menjadi satu. Tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata.
“Hmm, Ren. Enak sekali memekmu.
Rasanya seperti punya perawan,” bisik George saat merasakan vaginaku yang
menjepit erat batang penisnya.
Aku tidak sanggup lagi untuk
menjawab karena nafsu birahi sudah menyelubungi tubuh mulusku. Penis George
yang besar seperti mengobrak-abrik vaginaku. Benda itu menjelajah dan menusuk
hingga relung yang paling dalam. Apalagi semakin lama, goyangan George menjadi
semakin cepat. Sudah dua kali kami berganti posisi, dari yang awalnya Ge0rge
berada diatas tubuhku, berganti menjadi aku yang ada di atas. Kugerakkan
tubuhku seperti koboi naik kuda dengan penis george sebagai porosnya.
Tak lama, terasa ada yang mau
keluar lagi dari dalam kemaluanku. “George, aku hampir sampai.” bisikku sambil
mempercepat gerakan pinggulku.
“Tahan, Ren. Aku juga sama! Kita
keluar sama-sama!” balas George dengan sedikit berteriak. Dia mengimbangi
goyangan pinggulku dengan meremasi payudaraku bertubi-tubi. Hingga akhirnya dia
tak sabar dan membalikkan tubuhku. George melepas penisnya sebentar saat dia
memintaku untuk menungging. Selanjutnya dengan kecepatan penuh, dia menggenjot
tubuhku dari belakang.
“Sleep-slepp-sleep..! Cplok-cplokk-cplok..!
Sshh.. ahhh.. sshh.. aagghhhh...” desahanku dan bunyi persetubuhan kami bergema
beriringan di ruangan kapsul yang sempit itu. Dan selanjutnya... Croott-croott-crroott..!
Suurr-suurr-suurr...! kami berbarengan melepaskan cairan masing-masing.
George memeluk erat pinggulku
dan membenamkan penisnya dalam-dalam agar spermanya tidak tumpah. Sepertinya
dia ingin menghamiliku. Lalu kami berguling berpelukan saat orgasme kami
perlahan berlalu dan menghilang, berganti dengan rasa nikmat dan puas yang amat
sangat.
“Mhh... Ren, aku sayang kamu,“ bisik George lembut sambil mencium bibirku.
”Shh... aku juga sayang kamu,
George.” kubalas ciumannya. ”Auw!” aku sedikit berteriak saat dia menarik
keluar penisnya yang sudah mulai mengkerut.
***
Perjalanan kami di hari berikutnya
terasa lebih mudah dan menyenangkan meskipun badai pasir masih sesekali
menghantam. Aku dan george jadi seperti suami istri. Kami selalu bercinta dan
bersetubuh di kala istirahat malam. Untunglah matahari bersinar dengan teriknya
sehingga exoskeleton suit-ku tetap mendapatkan tenaga untuk menolongku yang
kelelahan setiap bangun di pagi hari.
Dataran rendah yang datar dan
beralaskan pasir yang tadi kami jelajahi, kini sudah berganti menjadi
lereng-lereng gunung yang terjal dan curam. Unknown area no.25 memang
adalah daerah pegunungan karang yang belum pernah dijelajahi siapapun sejak 40
tahun yang lalu. Sehingga tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya tersembunyi
di balik pegunungan tinggi ini.
Aku berhenti sejenak sambil
memandangi lereng terjal yang sedang kudaki bersama George. Ini sudah hari ke-empat
sejak kami beristirahat di dalam gua, saat terjebak badai pasir. Kalau
perhitungan dan peta milik George itu benar, maka di balik gunung ini kami akan
mendapatkan jawaban mengenai apa, atau siapa yang mengirimkan sinyal misterius
itu.
“Kau tidak apa-apa??” George
berseru padaku dari atas. Pria itu sedang duduk diatas batu yang cukup besar
sambil memandang ke arahku.
“Tidak! Aku akan segera naik!
Pergilah duluan!!” Perlahan-lahan aku mulai mendaki lagi lereng gunung yang
curam ini. Untungnya dengan kekuatan lengan exoskeleton suit-ku,
kegiatan memanjat gunung seperti ini menjadi sesuatu yang mudah. Hanya saja aku
harus tetap hati-hati. Kalau aku salah pijakan, aku akan segera terjun bebas ke
dasar jurang yang dalamnya lebih dari 600 meter ini.
Setelah berjuang beberapa saat,
akhirnya aku sampai di puncak gunung. Begitu sampai, aku langsung memandang
berkeliling dan melihat George sedang berdiri terpaku di pinggiran tebing.
Karena penasaran, aku langsung menghampiri pria itu dan menepuk pundaknya. “Ada apa? Kenapa kau... Astaga!” Aku berseru
kaget ketika melihat apa yang membuatnya terpaku ditempat.
Jauh di bawah pegunungan tinggi
yang sudah kudaki ini, tampak kerimbunan hutan lebat yang membentang sejauh
mata memandang. Dari atas gunung ini saja, aku bisa melihat beberapa pohon yang
tumbuh terlalu tinggi sampai menembus awan.
“Itu... apa?” tanyaku sambil
melongo.
“Hutan. Memangnya apalagi?”
sahut George spontan.
“Bukan! Maksudku... Kenapa ada hutan disini?”
tanyaku lagi. “Sejak kapan ada hutan yang bisa tumbuh lebat di tanah yang dipenuhi debu radioaktif dan
bahan beracun ini?!”
“Mana kutahu. Tapi itulah tempat
yang kita tuju. Unknown area no. 25. Tempat asal sinyal
misterius yang kuterima waktu itu,” jawab George sambil mengecek lagi peta
holografisnya. “Tidak salah lagi.”
Aku memandangi hutan itu
sejenak. Hutan itu sangat tidak normal sekali dan seperti bukan berasal dari
dunia ini.
“Ayo kita turun kesana.”
ajaknya.
Ucapan George spontan membuatku tersentak
kaget. “Apa
kau gila?! Kita bahkan tidak tahu ada makhluk apa saja di dalam sana?!” seruku
sambil meninju pundak George.
“Yah. Mau bagaimana lagi? Memangnya kalau sudah
sejauh ini, kau mau pulang begitu saja? Tentu tidak kan? Aku tahu kau bukan orang seperti
itu.”
Aku melotot ke arah George
karena ucapannya benar mengenai sifatku. Aku lalu meraih senapan yang
tergantung di sisi tas ranselku dan mengokangnya. “Kalau begitu. Persiapkan
senjatamu. Aku tidak yakin disana aman.”
George langsung meraih
senapannya dan juga mengokang senjata itu. Dia lalu menoleh ke arahku. “Oke.
Ayo kita berangkat.”
Tanpa menunggu jawabanku, George
langsung berjalan menuruni lereng landai yang menjadi jalan setapak menunju ke
hutan dibawah sana. Aku langsung mengikuti pria itu sambil berharap siapapun,
atau apapun yang mengirim sinyal misterius itu, tidak akan berusaha membunuh
kami.
***
“Ini menakjubkan...”
Aku mendengar George bergumam
sambil berjalan. Harus kuakui dia benar. Hutan ini benar-benar menakjubkan. Aku
sama sekali tidak pernah berpikir akan melihat kerimbunan hutan seperti ini
diluar shelter. Tadinya kupikir tanah diluar sini sudah tidak
cocok untuk ditumbuhi tumbuhan apapun. Tapi hutan ini benar-benar mematahkan
anggapanku.
“Kira-kira siapa yang mengirimkan
sinyal misterius itu?” Aku bertanya pada George.
“Entahlah. Tapi yang jelas
siapapun atau apapun itu, mereka punya teknologi yang sama canggih dengan yang
kita punya,” balas George. Tiba-tiba dia berhenti mendadak dan mengacungkan
senapannya ke arah kerimbunan semak. “Siapa itu!!”
Aku langsung berbalik dan
mengarahkan senapanku ke arah George mengacungkan senapannya. Aku menelan
ludah. Suara gemerisik dedaunan di semak-semak itu membuatku semakin tegang.
Jariku sudah melingkar di pelatuk senapan, siap menarik picunya kapanpun
diperlukan.
“Siapa disana?! Tunjukkan
wujudmu!” Aku berseru sambil berjalan mendekati George. Aku melihat kalau dia sama
tegangnya denganku. Tapi kemudian ketegangan kami berubah menjadi keterkejutan
ketika melihat sosok manusia berjalan keluar dari kerimbunan semak hutan. Yang
membuatku sangat terkejut adalah kenyataan bahwa dia tidak mengenakan helm,
masker, ataupun pakaian pelindung lainnya. Dia hanya mengenakan pakaian tipis
seadanya.
Mustahil! Bagaimana dia bisa bertahan di udara yang tercemar seperti
ini?!
Sekilas aku melihat ke arah
hologram yang tampak di helm exoskeleton suit yang kukenakan.
Kadar debu radioaktif di udara sangat tinggi, sehingga harusnya manusia tidak
bisa bertahan dalam kondisi seperti ini. Tapi gadis itu bisa.
“Akhirnya kalian datang!” Gadis
itu berseru riang sambil berjalan cepat mendekati kami, tapi langkahnya
kemudian terhenti ketika melihat senjata di tanganku dan George. Anehnya dia tidak takut
dan justru tersenyum lebar. “Selamat datang. Kami sudah menunggu kalian
berdua.” katanya.
Aku dan George saling pandang
sejenak, lalu kembali mengarahkan pandangan kami ke gadis misterius itu.
“Siapa kau? Apa kau yang
mengirimkan sinyal radio berisi pesan singkat kepada kami?” tanyaku.
Gadis misterius itu mengangguk. “Benar.
Ikutlah denganku. Kami sudah menunggu kalian sejak lama.”
Tanpa menunggu jawaban dariku
atau dari George, gadis itu berbalik dan mulai berjalan menembus kerimbunan
hutan. Aku dan George saling pandang lagi, tapi akhirnya kuputuskan untuk
mengikuti gadis itu. Begitu pula dengan George. Dia segera berjalan mengikutiku
dan si gadis misterius.
Kami bertiga berjalan menyusuri
kerimbunan hutan, hingga akhirnya sampai di sebuah lapangan luas yang tampaknya
berada tepat di tengah hutan lebat ini. Ketika sampai di lapangan terbuka itu,
si gadis misterius langsung berhenti dan berbalik ke arah kami.
“Kita sampai.”
Aku dan George langsung
memandang ke segala arah. Tapi selain sebuah lapangan berumput yang luas dan
dikelilingi hutan, kami tidak melihat apapun.
“Apa maksudmu? Siapa sebenarnya
kau ini?” Aku
bertanya pada si gadis misterius sambil mengacungkan senapanku.
“Aku adalah utusan dari ras Ignantia.
Ras berakal yang lebih maju daripada manusia di bumi. Wujudku ini kuambil dari
wujud kalian, agar kalian tidak takut padaku. Sudah lama kami menunggu ada yang
datang karena panggilan kami.”
Ucapan gadis itu langsung membuatku melongo.
Alien? Itu tidak mungkin!
“Oke... jadi kau ini alien? Lalu
kenapa kau mengirimkan sinyal komunikasi itu? Apa tujuanmu?” George bertanya
sambil berjalan mendekati gadis itu. Dia sama sekali tidak takut pada
kemungkinan bahwa si gadis alien itu akan menyerangnya.
“Kami ingin membawa sebanyak
mungkin manusia dari bumi. Kami ingin menyelamatkan kalian. Bumi sudah tidak
lagi bisa dihuni oleh manusia karena kesalahan ras kalian sendiri. Jadi sebelum
kalian punah, kami sudah menyiapkan planet baru untuk kalian tinggali.”
Ucapan gadis alien itu membuatku
curiga. Untuk apa alien sepertinya repot-repot datang ke bumi, apalagi sampai
repot-repot menyiapkan planet untuk tempat tinggal manusia selanjutnya. Rasanya
tidak masuk akal.
“Hah? Apa? Kenapa kau mau
repot-repot berbuat seperti itu? Apa istimewanya manusia bagi kalian?” tanyaku.
“Manusia adalah satu-satunya ras
berakal yang berhasil mengembangkan peradabannya tanpa banyak campur tangan
dari ras-ras berakal lainnya. Kalian istimewa. Kalau dibiarkan berkembang
beberapa ratus tahun lagi, kalian akan mampu berada sejajar dengan ras-ras
berteknologi tinggi seperti kami,” ujar si gadis alien. “Sayangnya kalian sudah
merusak dunia kalian sendiri. Kalau kalian dibiarkan saja, dalam beberapa ratus
tahun berikutnya, kalian akan sepenuhnya punah dari bumi. Sebagai ras yang
bertugas menjaga ras-ras berakal yang sedang berkembang, kami ras Ignantia
berkewajiban untuk menyelamatkan kalian.”
Aku terdiam karena memikirkan
ucapan si gadis yang mengaku alien itu. Ucapannya memang masuk akal. Shelter
tempatku dan George tinggal pun tidak akan bertahan terlalu lama. Persediaan
makanan yang ada nyaris tidak mencukupi, sementara jumlah manusia yang tinggal
di shelter itu semakin banyak.
“Lalu seandainya kami menerima
tawaranmu, apa yang harus kami lakukan?”
Ucapan George membuatku
tersentak kaget. Aku langsung berbalik dan mengguncang bahu pria itu. “George!?
Apa kau gila?! Apa yang membuatmu percaya pada gadis aneh ini?” seruku marah. Aku lalu beralih
memandangi si alien dan mengacungkan senapanku ke arah kepalanya. “Jangan-jangan ini semua
hanya usahanya untuk memanen manusia, lalu entah akan dia gunakan untuk apa!
Jangan percaya kata-katanya!”
“Kalau kau tidak percaya. Itu
wajar saja. Kami tidak akan memaksa kalian untuk mempercayai kami. Tapi yang
pasti. Niat kami untuk menyelamatkan ras kalian itu tulus,” ujar si gadis lagi.
Dia lalu mengangkat sebelah tangannya.
Sebuah kilatan cahaya membuatku
terpaksa menutup mata dan ketika aku membuka mata lagi, aku melihat sesuatu
yang luar biasa menakjubkan.
Sebuah UFO yang berbentuk
seperti sebuah cakram tampak melayang rendah di angkasa. Ukuran benda itu sama besar
dengan lapangan luas tempat kami berada sekarang. Benda raksasa itu
mengeluarkan suara dengungan rendah, yang anehnya tidak kudengar tadi.
“Luar biasa...” gumam George
lirih.
“Ini adalah kendaraan yang akan
kami gunakan untuk memindahkan manusia secara bertahap. Mungkin akan butuh
waktu lama sampai seluruh manusia bisa kami pindahkan dari bumi. Tapi kami tidak peduli.
Sebisa mungkin kami ingin menyelamatkan kalian dari kepunahan.”
Aku memandangi sosok si alien
dengan terkejut. Wujudnya kini sudah tidak lagi serupa manusia, melainkan lebih
mirip seekor monster bertanduk yang berdiri dengan dua kaki. Ekor panjang dan
tebal tampak melingkar di sekitar kakinya. Meskipun wujudnya mengerikan, tapi
tatapan mata alien itu tetap tampak lembut. Aku sama sekali tidak melihat
niatan buruk di mata alien dari ras Ignatia itu.
“Bagaimana keputusan kalian?” Si
alien itu kembali bertanya pada kami berdua.
Aku menoleh ke arah George. Pria
itu tiba-tiba saja melangkah maju ke arah si alien. Aku hendak berseru
memperingatkannya, tapi tatapan mata George membuatku terdiam. George lalu memandangi
alien berwujud mengerika di depannya itu.
“Alien. Apa kau benar-benar akan
membawa manusia ke dunia baru, ke dunia dimana kami bisa hidup tanpa takut terkontaminasi
debu radioaktif atau bahan beracun lainnya?”
“Ya. Itulah maksud kami datang
ke bumi.”
“Kalau begitu. Tunjukkan padaku
dimana planet itu berada. Kemudian bawa aku kembali ke bumi, agar aku bisa
memberitahu semua orang kalau kau tidak berbohong.”
“Tentu saja. Tapi perjalanan ke
planet itu dan kembali ke bumi, setidaknya akan memakan waktu 5 tahun, bahkan
dengan teknologi yang kami miliki.”
“Aku tidak peduli. Aku harus
memastikan semuanya aman dan kau tidak berbohong.”
Si alien terdiam sejenak, lalu
menganggukkan kepalanya. “Aku paham. Kalau begitu ikutlah dengan kami.”
Setelah mengatakan itu, sebuah
lubang tiba-tiba terbuka dari bawah UFO yang melayang di udara. Dari lubang
itu, sebuah sinar tampak jatuh mengenai tubuh George dan si alien. Kemudian
keduanya terangkat ke udara secara perlahan-lahan.
“George!!! Tunggu!! Apa yang mau kau
lakukan?!! George!!” Aku berseru sekuat tenaga dan berjalan ke arah sinar itu,
berharap sinar aneh itu akan menarikku juga ke atas. Tapi ternyata tidak. Kakiku
tetap menapak tanah.
“Irene! Aku akan pergi sebentar!
Tunggulah
di shelter. Aku pasti akan kembali!!” seru George sambil
nyengir dibalik helm titanium yang dia kenakan. “Aku akan memastikan alien ini
tidak berbohong, lalu aku akan kembali untuk menjemputmu dan semua orang di shelter!”
“George! Berhenti! Kau tidak
tahu apakah ucapannya benar atau hanya sebuah tipuan! Kembali kesini!!” Aku
kembali berseru sekuat tenaga.
Tapi sepertinya keputusan George sudah bulat. Dia sama sekali
mengabaikan seruanku dan malah melambaikan tangannya. ”Irene!! Aku pasti
kembali! Aku janji!!”
Itulah ucapan terakhir yang
kudengar dari George, sebelum tubuhnya menghilang ke dalam piring terbang yang
melayang di udara. Kemudian dengan diiringi suara dengung nyaring, UFO raksasa
itu melesat cepat ke udara dan menghilang dibalik awan debu radioaktif yang
menggantung rendah di langit.
Aku tidak bisa mengatakan
apa-apa selain terduduk pasrah dan mulai menitikkan air mata.
***
Aku memasuki kamarku dan
langsung kukunci dari dalam, kulepas t-shirt tanpa lengan yang kupakai dan
kulemparkan begitu saja di tempat tidur. Payudaraku yang ranum berwarna sedikit
merah muda di puting dan sekitarnya, tampak menggairahkan. Aku memang sejak
kecil tidak suka memakai bra hingga kini aku jadi tidak memiliki BH barang
satupun, hingga begitu T Shirt kutanggalkan maka payudaraku pun langsung
mencuat, bentuknya memang agak turun tapi tetap terlihat padat dan
menggairahkan hingga dapat membuat setiap lelaki menelan ludah bila melihatnya,
apa lagi ditunjang postur tubuhku yang tinggi dan seksi hingga siapapun yang
memandangnya pasti akan tergoda.
Kulorotkan dan kulepas hot
pantsku yang mini model longgar di bagian bawah, hingga tampak jelas CD model G-String
warna merah yang saat ini kupakai. Bentuknya sangat mini dengan seutas tali
nylon yang melilit di pinggangku dan ada ikatan di kiri dan kanan pinggangku
yang ramping. Bulu-bulu halus kemaluanku tampak menyibak keluar dari sela-selanya.
Dengan sekali tarik ikatan di
kanan kiri pinggangku, maka tak sehelai benang pun kini menutupi tubuh sintalku.
CD-ku kubiarkan tergeletak di lantai saat aku masuk ke dalam kamar mandi.
Kunyalakan air hangat untuk mengisi bathtub. Sore ini aku ingin berendam
sejenak sambil menghilangkan pegal-pegal yang ada di tubuhku. Kutorehkan bath
foam secukupnya dalam air hingga berbusa, lalu masuk ke dalamnya.
Kunikmati kehangatan air itu
dengan mulai meremas-remas payudaraku perlahan. Benda itu terasa mulai
mengeras. Putingnya yang mungil terlihat mendongak ke atas. Aku mulai menjilatinya
sendiri bergantian kiri dan kanan. Bisa kurasakan ada aliran cairan kewanitaan dari
liang senggamaku, pertanda aku sudah mengalami rangsangan hebat.
Sementara tangan kiriku tetap meremas-remas payudara, tangan kananku mulai turun ke bawah meraba perutku, mengelus-elus sebentar pusarku, sebelum turun ke bawah lagi ke arah vaginaku. Kuangkat kedua belah kakiku dan meletakkannya ke samping bathtub hingga posisiku sekarang mengangkang lebar hingga memudahkan tangan kananku bekerja di atas selangkangan. Kuelus bagian luar vaginaku yang sekitarnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Jari-jariku turun sedikit mengusap-usap lubangnya yang mungil sambil menggesek-gesek klitorisku. Aku mulai melenguh menikmati fantasiku, gesekannya kubuat seirama mungkin sesuai dengan keinginanku.
Aku menjadi semakin terangsang.
Jari tengah dan jari manis tangan kananku mulai kumasukkan ke dalam liang
vaginaku yang sudah semakin berlendir, sementara jari telunjuk kupakai
menggesek-gesek klitorisku. Rasanya benar-benar membuat darahku mengalir deras ke
atas kepalaku. Kumainkan jari-jariku di dalam vagina, kuputar-putar di dalam
hingga menyentuh dinding-dinding bagian dalam vaginaku, rasanya tidak kalah
dengan batang kemaluan yang pernah masuk dan bersarang dalam liang vaginaku, bahkan
lebih hidup rasanya karena bisa kukontrol sesuai dengan keinginanku.
Kugaruk-garukkan lembut dinding dalam vaginaku, ada kalanya kusentuh tonjolan
sebesar ibu jari yang ada dan tersembul di dalam vaginaku, nikmat sekali
rasanya.
Aku sepertinya akan segera mencapai puncak kenikmatan. Sekarang tiga jariku yaitu jari telunjuk, jari tengah dan jari manis kumasukkan seluruhnya ke dalam liang vaginaku,. Kutarik keluar masuk. Kukocok-kocokkan makin cepat, sementara tangan kiriku juga mulai ikut aktif membantu, jari manis dan jari telunjuk kupakai menyibakkan bibir vaginaku, sementara jari tengahnya mengorek-ngorek klitorisku. Kocokan jari-jari tangan kananku semakin cepat. Aku terus melenguh.
Aku sepertinya akan segera mencapai puncak kenikmatan. Sekarang tiga jariku yaitu jari telunjuk, jari tengah dan jari manis kumasukkan seluruhnya ke dalam liang vaginaku,. Kutarik keluar masuk. Kukocok-kocokkan makin cepat, sementara tangan kiriku juga mulai ikut aktif membantu, jari manis dan jari telunjuk kupakai menyibakkan bibir vaginaku, sementara jari tengahnya mengorek-ngorek klitorisku. Kocokan jari-jari tangan kananku semakin cepat. Aku terus melenguh.
“Ooh... Oogghhhh! Aahhh.. Aahhhhh!” badanku berguncang keras sehingga air dalam bathtub banyak yang tumpah keluar membasahi lantai kamar mandi.
Badanku menggigil hebat, sekali lagi aku melenguh panjang, dan aku pun mencapai orgasme. Badanku kini lemas tersandar di punggung bathtub.
Saat itulah, dari luar kudengar
suara Jeanne, putri kecilku, memanggil. ”Ma.. Mama, Kau ada dimana?”
Aku tersentak bangun dan menoleh
ke arah pintu kamar mandi yang kubiarkan terbuka. Sambil menyambar handuk dan merapikan
rambutku, aku langsung berjalan keluar ruangan. Jeanne tampak berjalan menyusuri lorong
sambil memanggil namaku.
“Aku disini, Jeanne. Ada apa?”
Begitu mendengar namanya
dipanggil, Jeanne langsung menoleh dan berlari ke arahku. Gadis kecil itu lalu
memelukku dengan erat. Dia lalu memandangi wajahku yang terlihat kusut karena kelelahan.
“Mama capek ya?” tanyanya.
Aku mengelus kepala Jeanne dan
menggendongnya, lalu kembali berjalan ke arah kamarku. Setelah menurunkan
Jeanne di atas kursi yang ada di sisi ranjang, aku memandangi peralatan canggih
yang ada di sebelah meja riasku.
Sudah 5 tahun berlalu sejak
George pergi bersama alien yang mengaku berasal dari ras Ignatia
dan mengaku berniat menyelamatkan manusia dari kepunahan. Selama 5 tahun ini aku selalu
menunggu sinyal kepulangan dari George dan alien itu. Tapi sinyal itu tidak
pernah datang, hingga aku mulai merasa kalau sebenarnya George ditipu oleh
ucapan manis si alien.
“Apa Mama sedang menunggu pesan
dari seseorang?” tanya Jeanne.
Aku terdiam dan kembali mengelus
kepalanya dengan lembut. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menangkap perhatianku.
Sebuah sinyal asing tampak baru saja diterima oleh mesin pemindai sinyal yang
ada di sudut ruangan.
Tanpa pikir panjang aku langsung
berlari ke arah mesin itu dan mulai melakukan decoding.
Jantungku berdebar tidak karuan ketika jemariku menari diatas keyboard.
Tiba-tiba aku berhenti mengetik dan tanpa sadar mulai menangis.
“Mama kenapa?” tanya Jeanne
sambil mengelus tanganku.
Aku menoleh ke arah gadis kecil
itu dan memeluknya dengan erat, hingga membuat Jeanne kebingungan. Aku terus
memeluknya sementara layar komputer disampingku masih menampilkan satu kalimat,
yang merupakan hasil decoding sinyal asing yang kuterima.
Irene,
i’m home...
“Ayahmu
pulang, Jeanne!” aku berbisik di telinga putri kecilku.
0 comments:
Post a Comment