Monday 18 February 2013

The Ballad of Friendship

"Don! Donyy! Buruan sini, Don!" terdengar teriakan memanggilku dari ruang tengah. Dari suaranya yang cempreng ini aku tahu pasti suara Reza.

"Ada apaan sih?" teriakku tak mau kalah.

"Ada artis kesayangan lo tuh di TV!" t
eriak Reza lagi.

Tanpa perlu bertanya lagi, aku tau siapa yang dimaksud Reza dengan artis kesayanganku.
Reza dan anak-anak kost lain tau aku adalah fans berat artis yang baru mulai terkenal itu. Mereka tau karena banyaknya foto artis itu di laptopku, banyaknya artikel-artikel majalah tentang dia yang aku kumpulkan, banyaknya bookmark di web browserku yang berisi berita tentang dia. Sebenarnya hanya Reza yang tahu, tapi menitipkan rahasia kepada Reza sama saja dengan menempelkan rahasia itu di mading karang taruna.

"Gila, elo segitu terobsesinya sama dia?" tanya Reza saat dia pertama kali tau soal koleksiku, yang hanya kujawab dengan senyuman pahit. Sebatas obsesi dan seorang fans, hanya itu yang mereka tau atau lebih tepatnya, hanya sebatas itu lah yang aku izinkan untuk mereka ketahui.

Aku bergerak menuju ruang tengah tempat untuk menonton TV bersama. Kostku yang hanya ada lima kamar ini memang sebenarnya adalah rumah tinggal biasa, bukan bangunan yang sengaja disiapkan untuk dijadikan tempat kost, jadi tidak terlalu besar dan hanya ada satu lantai. Reza sedang duduk santai di sofa di depan TV, aku langsung mengambil posisi di sebelahnya.

"Widih, giliran dipanggil buat nonton doi aja, cepet banget lo geraknya." kata Reza.

"Iya lah, artis favorit gitu." ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari layar kaca yang tengah menampilkan sebuah sinetron.

"Lo kenapa sih demen banget sama dia? Gak cantik-cantik banget ah kayaknya." tanya Reza.

"Bawel lo. Nanya gitu mulu ga ada bosennya." jawabku asal. Pertanyaan itu memang selalu keluar setiap aku menunjukan antusiasmeku terhadap artis yang sedang berakting di TV itu.

"Ya abis elo yang anti banget sama sinetron dan boyband sampe bela-belain nonton sinetron yang tokoh-tokoh utamanya itu boyband cuma buat ngeliat dia." kata Reza.
 
Aku tak menjawab perkataan Reza karena aku tak mungkin memberitahu alasan sebenarnya kenapa aku begitu menyukai si artis sampai-sampai aku rela menyaksikan dua hal yang kubenci dijadikan satu hanya untuk melihatnya. Reza kembali memalingkan wajahnya ke TV menyadari aku tak berniat membalas perkataannya. Kami berdua asyik menonton sinetron yang jualan utamanya adalah para anggota boyband, seandainya ada orang yang melihat kami pasti orang itu akan bertanya-tanya 'dua orang cowo nonton sinetron boyband?' Lalu akan mengambil kesimpulan 'pasti homo'. Untungnya semua penghuni kost sudah tahu kecintaanku kepada salah satu aktris yang ada di sinetron ini dan memaklumi jika pada jam-jam seperti ini aku berada di depan TV menonton sinetron tadi. Ah! Akhirnya dia muncul juga, memang di sinetron ini dia hanyalah peran pembantu jadi kemunculannya sangat sedikit.
Saat sedang serius menikmati penampilannya, tiba-tiba saluran TV berganti. Aku langsung menengok ke arah Reza yang memasang wajah tenang sok suci tanpa melihatku. "Bangkee, maen ganti-ganti aje lo, udeh lama gue tungguin tuh!" seruku sambil menjitak kepala Reza. Aku bergerak untuk mengambil remote yang ada di tangannya, tapi Reza lebih cepat, dia menghindar dan meloncat ke sofa di sebelahnya

"Lagian lu serius banget, hahaha..." tawanya tergelak.

Bunyi handphoneku menghentikan aku yang hendak mengejar Reza yang masih tertawa. Layar Blackberry-ku menunjukkan bahwa ada bbm yang masuk, aku langsung tersenyum begitu melihat siapa yang mengirimnya dan isi pesannya, "Lagi di mana ?"

"Di kostan. Kenapa?"

"Gw di Bandung nih, ke hotel xxx dong sini."

"Oke."
"Woy, kenape lo senyam-senyum? Pasti bbm dari cewek nih." ledek Reza.

"Iye lah, emangnya elo, senyum-senyum kalo dapet bbm dari om-om." aku balas meledeknya.
 
"Iiih... emang akika cowo apaan, cyiiin!" kata Reza dengan nada yang dibuat seperti banci.

"Sarap!" ujarku sambil berlalu menuju kamarku.

Aku segera berganti baju dan menyemprot habis parfum yang tinggal sedikit. Kehidupan anak kost yang kere membuatku hanya mampu membeli parfum sebulan sekali, tapi kali ini merupakan momen khusus, jadi tak apalah berboros-boros ria. Aku langsung keluar kamar dan berjalan ke ruang tengah lagi untuk menemui Reza.

"Za, pinjem motor dong." pintaku dengan wajah memelas.

"Mau kemana lo?" tanya Reza dengan pandangan menyelidik.

"Ketemu temen gue. Pinjem ya? Ntar gue kasih cium deh." ujarku sambil memasang wajah manis.

"Najiiisss! Mending gak gue kasih kalo dicium sama lo." kata Reza yang langsung mengundang gelak tawaku. "Nih," lanjut Reza sambil melemparkan kunci dan STNK kepadaku.

"Thank you, bro." aku menangkapnya lalu berjalan menuju parkiran motor yang ada di depan rumah.

"Balik bawa makanan, Don!" teriak Reza saat aku sudah duduk di atas motor.

"Ntar gue bawain semur bekicot." jawabku asal, tentu saja dengan berteriak juga.

***

Sesampainya di hotel yang biaya menginap semalamnya bisa langsung membuatku jatuh miskin ini, aku langsung menuju ke kamar no. 717 seperti yang diberitahunya tadi. Saat di dalam lift, aku mendadak gugup, sudah tiga bulan semenjak pertemuan terakhir kami. Bagaimana bila nanti dia jijik melihat potongan rambutku yang baru ini? Melihat wajahku yang semakin kusam? Melihat penampilanku yang makin hari terlihat makin seperti gembel?

Ting! Bunyi lift yang menandakan kalau aku sudah berada di lantai yang kuinginkan menyadarkanku dari lamunan ketakutan tadi. Aku segera menghapus pikiran-pikiran negatif itu dari otakku dan menyiapkan senyuman paling manis ketika aku sudah berada di depan pintu yang bernomor 717. Aku mengumpulkan segenap keberanian lalu mengetuk pintu itu... yang langsung dibukakan oleh penghuni kamarnya.

"Haiii!" si penghuni kamar itu langsung memelukku erat. "Sini masuk!" dia langsung menarikku masuk ke dalam kamarnya.

Aku melihat kamarnya yang begitu luas. Terdapat satu kasur ukuran king size, mini bar, TV 32 inch, sebuah sofa besar, lalu ada sebuah pintu yang kutebak merupakan pintu kamar mandi.

"Mau minum apaan?" tawar orang yang mengundangku, dia mengenakan tank top hijau ketat dan hot pant yang memamerkan kulit putihnya.

"Bir aja." aku mendudukkan diriku di kasur dan menyalakan TV, mencari channel yang menayangkan sinetron yang tadi sedang kutonton di kostan.

"Ih, ngapain sih nonton itu?
Kan udah ada orangnya langsung di sini." kata orang di sebelahku sambil menyodorkan bir.

"Oh iya, hahaha..." ujarku setelah menenggak bir yang diberikannya.

Sinetron yang judulnya disingkat menjadi CCC yang sedang kutonton ini memang sinetron yang ada dia dalamnya, malah dia lah satu-satunya alasanku menonton sinetron ini. Ya, orang yang mengundangku ke kamar hotelnya dan baru saja memberikan bir kepadaku adalah artis favoritku, Aelke Mariska. Temanku sejak SMA, teman dekat. Sangat dekat. Setidaknya begitulah menurut dia.

"Apa kabar lo?" tanya Aelke yang sudah berada di mini bar lagi, menuangkan orange juice untuk dirinya sendiri.

"Sehat. Kalo gak sehat, mana mau gue datang ke sini?" jawabku seraya menggeser posisiku ke ujung kasur satunya supaya bisa bersandar ke tembok. Haaah, enak sekali rasanya bisa duduk di kasur empuk setelah selama perjalanan tadi aku duduk di jok motor Reza yang keras.

"Kalo gak sehat juga, tetep aja kan elo dateng." ledek Aelke sambil naik ke kasur lalu duduk di sebelahku. Wangi parfumnya tercium samar, kuat tapi tak menusuk hidung. Ciri khas parfum mahal.

"Jangankan cuma dateng ke sini, loncat ke jurang demi lo pun gue rela biarpun lagi gak sehat juga." ujarku dengan nada bercanda meskipun sebenarnya ingin kuucapkan dengan serius.

"Hahaha... lo tuh emang temen gue yang paling jago kalo soal gombal-gombalan." tawa Aelke sambil mencubit lenganku.
Temen. Kata itu membuat dadaku sesak seakan ada beban besar yang dijatuhkan di atasnya. Sebenarnya aku menyukainya, jauh melebihi apa yang seharusnya dirasakan oleh seorang teman, sejak SMA tapi aku tak berani mengungkapkannya. Ditambah lagi dengan status kami yang terlalu berbeda jauh. Aku si miskin mencintai dia si putri orang kaya? Itu namanya tidak sadar diri. Apalagi sekarang, Aelke merupakan seorang selebritis, publik figur, sementara aku hanyalah anak kost yang untuk makan tiga kali sehari saja harus berpikir keras lebih dahulu. Semua itu membuatku mengubur dalam-dalam semua perasaanku, mengunci keinginan untuk sekedar mengungkapkannya, aku tak mau dia menjauh setelah aku mengatakan yang sebenarnya karena aku yakin dia tak merasakan rasa yang sama terhadapku.
Baginya aku adalah sahabatnya, orang yang selalu ada setiap dia membutuhkan, orang yang selalu menyediakan bahu dikala dia menangis akibat pria-pria yang menyakiti hatinya, orang yang setia mendengarkan keluhnya ketika dia lelah dengan pekerjaannya. Dari dulu seperti itu dan biarlah tetap seperti itu. Bagiku keadaan kami sekarang sudah cukup meskipun terkadang aku masih ingin memilikinya.

"Hei, malah bengong!" kata Aelke sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku, menarikku kembali ke alam nyata.

Aku menatap wajahnya yang dihiasi dengan mata yang kecil, hidung yang bangir dan, yang merupakan kesukaanku, bibirnya yang tebal, semuanya berpadu dengan manis membentuk wajah favoritku. Beberapa helai rambut berwarna coklat menggantung lemas di depan wajahnya, membuat terlihat semakin cantik. Aku tersenyum melihat hasil karya Tuhan yang satu ini, hasil karya yang membuatku jatuh bertekuk lutut rela melakukan apa saja demi dia. Aku mencintainya.

Aelke membalas senyumku dengan senyumnya yang selalu terlihat manis untukku tapi aku melihat ada sebersit kesedihan di matanya. "Lo lagi sedih ya?" tanyaku.

Aelke hanya diam lalu beranjak dari kasur menuju ke sofa tempat tasnya berada, dia mengambil handphonenya lalu sejenak kemudian terdengar lagu first love dari Boyz II Men mengalun di kamar ini. Aelke mematikan TV kemudian menjulurkan tangannya mengundangku untuk berdiri, aku menuruti perintahnya. Kini aku dan Aelke berdiri berhadapan, dia lalu memelukku dengan lembut dan menyandarkan kepalanya di bahuku, aku pun balas memeluknya dengan hangat seakan menyalurkan semua rasa sayangku kepadanya.

"Gue capek, Don." ujar Aelke. Nada suaranya terdengar lelah, berbeda dengan nada ceria yang dia keluarkan sebelumnya

"Capek kenapa, Ke?" tanyaku lembut.

"Gue capek disakitin terus sama Key." Aelke memperat pelukannya padaku.

Rasa perih makin terasa di dadaku mendengar ucapan Aelke barusan. Inilah resiko yang harus kuterima sebagai sahabat yang mencintai sahabatnya, meskipun aku tau akan datang sesuatu yang indah setelah ini tapi tetap saja perih setiap mendengar dia berkeluh kesah tentang pujaan hatinya.

"Gue cape dia gak mau ngertiin gue yang gak bisa tiap hari ketemu karena jadwal gue penuh. Giliran dia yang gak bisa, gue gak pernah marah." cerita Aelke. Isak tangis mulai terdengar di antara kata-katanya.

Aku mempererat pelukanku, mencoba memberi ketenangan padanya. 'Lupain Key! Disini ada gue yang selalu sayang sama lo! Gue janji gak akan pernah nyakitin lo, ga sedikit pun!' Tapi bukan itu yang keluar dari mulutku, yang mampu kuucapkan hanyalah, "Sabar, Ke. Suatu saat dia akan ngertiin kok." sambil mengelus-ngelus punggungnya. Rasa basah yang kurasakan di bahuku makin membuat perih di hatiku.

"Kapan, Don, kapan? Gue udah pacaran 3 tahun, tapi dia masih aja kayak gini. Gue capek!" isakannya makin terdengar. "Apalagi sekarang dia suka cemburu gak jelas gara-gara gue pegangan tangan sama cowok lain padahal itu cuma akting."

Ini bukan pertama kalinya dia mengeluh soal ini dan dia akan selalu menangis setiapnya tapi aku tau, tak peduli berapa banyak air mata yang telah diteteskannya akibat Key , Aelke akan tetap mencintainya, sama seperti aku mencintai Aelke. "Untung dia gak tau soal kita ya. Kalo enggak, pasti gue udah jadi tetelan nih." aku mencoba bercanda untuk menghiburnya sekaligus untuk menutupi sakit hatiku.

"Aah... Donny, orang lagi serius malah dibercandain ih!" kata Aelke, wajahnya yang kini berhadapan denganku tampak imut sekali dengan pipi yang digembungkan.

"Hehehe, lagian udah lama gak ketemu gue, masa ceritanya sedih. Bosen gue, di bbm cerita sedih, pas ketemu ceritanya sedih juga." ujarku sambil tersenyum jahil.

Aelke menunduk, membuat hidungku menempel di atas kepalanya.
"Coba aja ya Key pengertian kayak elo, Don." ucapnya. Aku hanya tersenyum pahit mendengarnya.

"Don?" panggil Aelke.

"Ya?" jawabku.

"Kok diem? Ngerespon apa kek," Aelke mengangkat wajahnya hingga kami kembali bertatapan langsung.

Aku terdiam sebentar, tak tau harus mengucapkan apa. Ingin rasanya aku berkata: 'Kalo lo mau yang pengertian kayak gue, ya pacaran aja sama gue.' tapi nyaliku menciut. Yang keluar dari mulutku malah, "Ini kok lagunya gak ganti ganti ya, ini terus!"

Aelke tertawa mendengar perkataanku. "Emang sengaja gue repeat di lagu ini, Donnyyyy." jawabnya kemudian, lalu kembali menyandarkan wajahnya di bahuku. Isakannya kembali terdengar.

Tubuh kami tanpa sadar bergerak seirama dengan lagu yang aslinya dinyanyikan oleh Utada Hikaru ini.
Dari jendela terlihat pemandangan malam hari kota Bandung yang terang namun temaram, seakan telah sengaja menyisakan kehangatannya demi aku dan Aelke. Kami terus tenggelam di nuansa romantis yang dansa yang lembut ini, meskipun musik telah tiba-tiba menghilang, tubuh kamu tetap bergoyang pelan. Mengikuti kata hati kami yang sedang galau.

"Elke," panggilku.

Aelke mengangkat wajahnya sebagai jawabannya. Aku mencium lembut keningnya, bisa kurasakan pelukannya yang semakin erat. Aelke perlahan memajukan wajahnya, masih sempat kulihat dia menutup matanya sebelum bibir kamu bertemu, saling mencium, saling mengulum. Kami tenggelam dalam luapan emosi dan kegalauan yang berbeda alasan. Kuluapkan semua rasa sayangku dalam ciuman yang semakin dalam ini. Dengan lembut aku mengangkat tubuhnya hingga sekarang aku menggendongnya, perlahan-lahan aku melangkah menuju kasur sambil tetap merengkuhnya dalam dekapan.

Aku meletakkan tubuh Aelke pelan di atas kasur. Ciuman kami telah lepas dan baru kusadari keadaan telah sunyi, yang terdengar hanyalah deru nafas kami yang penuh dengan emosi kesedihan. Wajah Aelke memerah, masih bisa kulihat bekas air mati di pipinya. Aelke menarik lembut kepalaku hingga kami kembali berciuman mesra, dia lalu perlahan mengangkat tubuhnya hingga posisi kami saling berhadapan dengan dia di pangkuanku.

Tangan kananku mengelus punggungnya lalu bergerak pelan ke perutnya kemudian naik ke dadanya, meremasnya lembut membuat Aelke mengerang pelan di dalam ciuman kami.

Aku lalu menarik tank topnya ke atas hingga terbuka.
Aelke tak mau kalah, bajuku juga ditariknya sampai aku bertelanjang dada. Kami kembali berciuman dengan tangan yang tak lagi berpelukan melainkan saling menjamah dan saling membuka pakaian hingga yang tersisa hanyalah celana dalam di tubuh kami. Ciumanku kuturunkan menelurusi leher putihnya membuat Aelke mendesah pelan, tangannya menelusup masuk ke celana dalamku lalu menggenggam kejantananku.. Aah, sensasi pertemuan kulit telapak tangannya yang halus dengan kejantananku tak pernah bosan kurasakan.

Aku mendorongnya pelan hingga kini posisiku berada di atasnya. Aku membuka celana dalamku sebelum akhirnya ciumanku terus turun menuju dadanya, bermain dengan puting coklatnya. Menggigit, menghisap, menjilat.

"Aauuh..." desah Aelke sambil meremas pelan rambutku.

Kutelusuri tubuhnya inci demi inci sampai akhirnya aku tiba di depan celana dalam putihnya. Perlahan-lahan kutarik celana dalam itu hingga terlepas dari tubuhnya diiringi dengan desah nafasnya yang makin menderu. Aku menatap nanar ke arah kemaluannya yang berwarna coklat tanpa sehelai rambut pun, aku mengarahkan wajahku ke sana. Seakan terkejut, nafas Aelke tertahan begitu merasakan belaian lembut lidahku di organ kewanitaannya. Aku menggerakkan lidahku dengan lembut penuh perasaan di liang kewanitaannya, berusaha memberikan kenikmatan oral yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.

"Uhhmm... hhhmmm..." desah Aelke di tengah deru nafasnya yang memburu.

Semua itu kulakukan dengan penuh kasih sayang. Jilatan lembut diselingi dengan gigitan kecil dan hisapan halus yang ditujukan pada organ kewanitaannya membuat Aelke merasakan kenikmatan membanjiri aliran darahnya hingga akhirnya.

"Aaaaahhhhh..." seru Aelke seraya meremas rambutku dan menekan kepalaku ke arah kemaluannya. Orgasme telah menderanya, menenggelamkanya dalam kenikmatan hingga ke dasar. Aku menatap ekspresi Aelke yang tengah larut dalam kepuasan, ekpresinya begitu indah mengalahkan semua panorama yang pernah kulihat.

Ketika nafasnya sudah teratur, aku membuat diriku sejajar lagi dengannya. Menyelimuti tubuhnya dengan tubuhku. "I forgot the rubber." ujarku.

"It's fine. I'm safe today." bisik Aelke seraya menggenggam kejantanku dan mengarahkan ke liang kewanitaannya.

Kurasakan sentuhan lembut tangan Aelke pada pinggulku dan mendorongnya ke depan untuk menghujamkan kejantananku dalam tubuhnya. Terasa suatu sensasi yang sangat menyesakkan dan mendebarkan, ketika kunikmati mili demi mili kejantananku menembus organ kewan
itaan Aelke. Ekspresi wajahnya yang terlihat sangat menikmati penetrasi tersebut makin membuatku serasa terbang dibuai kenikmatan. Hingga pada akhirnya terasa kejantananku terbenam utuh dalam tubuhnya, seutuh seluruh perasaan cintaku padanya yang selama ini kusimpan.

Sayu matanya memandangku, kukecup lembut keningnya sebelum akhirnya kami tenggelam ke dalam suatu persetubuhan yang sangat indah, dimana galau hati dan rasa cinta bercampur aduk menjadi satu di dalamnya. Kini Aelke terbaring di kasur dan diriku dengan posisi setengah terduduk terus memompa kejantananku keluar masuk tubuhnya.

Kaki kirinya terkulai di pundakku, saat kaki kanannya terjulur ke karpet. Kami terus bersetubuh dengan sangat intim, seakan tiada lagi hari esok bagi kami.

"Aaaahh... Hmmppff..." teriak Aelke lirih saat sesekali dirasakannya kejantananku mendesak hebat liang kewanitaannya.

Waktu terus berpacu, seiring berpacunya hasrat kami menyatukan seluruh rasa dan raga kami berdua. Makin kurekatkan persetubuhan ini saat kurasakan Aelke mulai mendekati puncak keduanya. Dan...

"Aaarrggghhh... hhhmmppff..." suara Aelke sungguh terdengar mendebarkan. Puncak kedua telah datang merenggutnya kembali dan menenggelamkannya dalam gulungan nafsu dan kenikmatan yang seperti tiada berujung. Belum selesai Aelke melepaskan seluruh ekspresinya, dengan cepat kucium bibirnya dalam.
Terdengar lirih jeritan-jeritan kecil sisa orgasmenya saat kami berciuman. Dengan tiba-tiba kutarik tubuh Aelke dan mendudukkannya dalam pangkuanku. Kini wajah kami berhadapan dekat, dengan Aelke dalam pangkuan. Kembali kutikamkan kejantananku dalam kewanitaannya, seraya meremas buah pinggulnya dan menaik-turunkan tubuhnya di atas tubuhku.

Kami bersetubuh sambil berciuman teramat dalam. Tubuh Aelke bergoyang-goyang mengikuti setiap hentakan persetubuhan kami. Sesekali disibakkan rambutnya yang mulai basah terurai. Ada suatu momen yang sangat indah setelah sekian waktu berlalu, tatkala Aelke menyibakkan rambutnya dan tetap meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya, seraya terus bergoyang mengikuti alunan persetubuhan. Bagai sebuah tarian kehidupan yang sangat indah dan sakral, mengikuti setiap gerak tubuhnya menyetubuhiku.

"I love you!" bisikku lembut di telinganya, diantara deraan-deraan lembut persetubuhan kami.

"Me too, Key." hanya itu yang mampu diucapkannya sebelum terhentak kembali merasakan sesaknya kejantananku memenuhi organ kewanitaannya. DEG! Dadaku terasa sesak mendengarnya menyebut nama itu tanpa sadar. Pedih.
Tapi aku membuang jauh rasa sakit itu ketika kurasakan vaginanya makin erat menghimpit organ kejantananku...

"Eeennngghhhh... aahhhhh..." teriaknya tertahan ketika orgasme itu kembali menggulungnya, menyeretnya ke dalam lembah kenikmatan hingga ke dasarnya.
Kini ia merebahkan kepalanya di pundakku.

"Lo jangan tinggalin gue ya, Don..." ucapnya lirih di telingaku.
Aku hanya mampu mengusap lembut rambutnya. Ah... Aelke, seandainya lo tahu apa yang gue rasain.

Kugendong Aelke, dia memelukku erat seakan tidak akan pernah ia lepaskan. Kami terus berciuman, semakin dalam sambil perlahan membawanya ke dekat jendela. Kuturunkan Aelke dan membalikkan tubuhnya menghadap ke jendela. Sempat kudengar jeritan lirih terkejutnya ketika aku memposisikan dirinya seperti itu. Kini Aelke setengah berdiri membelakangiku, dengan kedua tangannya bertumpu pada kaca jendela yang menghadap ke pemandangan indah kota Bandung.

Perlahan kusisipkan kembali kejantananku dalam liang kewanitaannya. "Ugh..." terdengar lirih bisik Aelke saat ia mulai merasakan tikaman kejantananku menembusnya dari belakang.

Kembali kami bersetubuh, sangat erat.
Kuterus menikamkan kejantananku ke dalam organ kewanitaannya dari belakang, seraya meremasi kedua buah pinggulnya. Betapa indahnya persetubuhan ini, suatu sensasi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya ketika bercinta seraya memandangi lampu-lampu kota yang masih saja benderang dari jendela tanpa kain penghalang yang terpampang di depan kami berdua. Kami terus bercinta, mencoba merasakan kehangatan pendar-pendar lampu jalanan kota Bandung yang terpampang di depan kami. Galau hati, luapan emosi, kerinduan dan rasa cinta ditambah city view metropolitan berpadu dalam dekapan erat sang dewi nafsu, menghantarkan persetubuhan kami semakin dalam dan dalam. Kami berciuman, mendesah, mengerang, mendekap, coba merasakan semua sensasi yang ditawarkan dalam sebuah persetubuhan. Semakin terhimpit rasanya kejantananku di dalam liang vaginanya, ketika mulai kurasakan sesuatu bergejolak mendesak keluar dari dalam tubuhku.

"I'm almost there..." bisikku lembut.

"Cum inside, honey..." balasnya lirih. Aku tak tahu siapa yang ada dalam pikirannya ketika dia menyebut honey.

Makin terasa desakan orgasme menghimpitku ketika makin kutikamkan kejantananku dalam liang kewanitaan Aelke. Perlahan merambati seluruh urat syarafku.

"Eeenngghhh..." jerit Aelke lirih, seakan memberi tanda kepadaku bahwa ia pun sedang mendekati orgasmenya yang kesekian kali.

Kupacu persetubuhan ini semakin cepat, karena kutahu tidak ada gunanya lagi mempertahankan lebih lama, karena tembok pertahananku akan hancur berantakan dalam hitungan detik.

"Aaahhhh...!!"

"I'm cumming, Elke, I'm cummiiinngg...!!"

Kami berteriak hampir bersamaan kala orgasme menyapa kami dalam waktu yang bersamaan.
Kurasakan derasnya cairan kejantananku menyembur keras, memenuhi liang kewanitaan Aelke dengan suatu sensasi kenikmatan yang tak terbilang. Aelke terus menekan pinggulku ke arahnya, seakan hendak menghabiskan setiap detik orgasme kami di dalam tubuhnya. Entah berapa lama kami terbuai tinggi, terlenakan gelombang hasrat yang terpuaskan di dalam suatu gulungan orgasme yang begitu dahsyat.

Nafas Aelke masih menderu ketika ia kupeluk dari belakang dengan kemaluan kami yang masih menyatu. Kami berdua masih membisu, mencoba menikmati apa yang baru saja kami lakukan. Aku tak tau apakah dia menyadari apa yang kukatakan ataupun yang dia katakan tadi. Biasanya aku akan melontarkan lelucon tentang dirinya sesuai kami melakukannya tapi aku tak berani. Persetubuhan tadi terasa berbeda. Begitu penuh emosi seakan-akan kami berdua adalah sepasang kekasih yang lama tak berjumpa atau malah akan berpisah.

"Makasih ya, Don." bisik Aelke memecah kebisuan sambil merebahkan tubuhnya di tubuhku.

Aku mencium bahunya dan mempererat dekapanku sebagai jawabannya. Entah mengapa, aku merasa ini adalah momen yang tepat untuk mengungkapkan perasaan yang telah lima tahun kupendam. Ini saat yang kutunggu, saat dimana aku memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap hubunganku dan dia.
Aku sudah tak tahan memendam sakit hati mendengar dia bercerita soal Key yang terus menyakitinya. Bila setelah ini dia akan menjauh dariku, itu adalah resiko yang harus aku terima. Aku tidak terus seperti ini meskipun aku yakin banyak pria yang rela menggantikan posisiku, aku sudah tak kuasa lagi. Aku mengumpulkan keberanianku untuk mengucapkannya tapi tiba-tiba lidahku terasa berat. Jantung berdebar keras.

"Elo kenapa deg-degan gitu, Don?" tanya Aelke tiba-tiba. Membuat jantungku semakin berdebar-debar.

Aku mengumpulkan keberanian. "Ke, sebenernya gue..."

Ucapanku terhenti ketika ada suara telpon berdering.
Aelke melepaskan pelukanku lalu berjalan ke arah tasnya dan mengeluarkan hpnya yang satu lagi dari sana. Sebuah senyuman tersungging di wajahnya ketika dia melihat layar hpnya.

"Halo," ujarnya dengan nada galak yang dibuat-buat. "Key." begitu kata gerak bibirnya yang tanpa suara ke arahku.

Aku kembali berpaling ke jendela. Perasaan sesak kembali memenuhi dadaku, gemerlap kota Bandung yang sesaat lalu terlihat romantis kini terasa depresif membuat kesedihan makin membanjiri perasaanku. Aku menyadari betapa lemahnya diriku yang tak mampu mengakui kekalahan dan terus mengejar apa yang tak mungkin kumiliki. Seorang rakyat jelata memang tak mungkin memiliki seorang putri. Air mata terasa menggenang di mataku, seakan berlomba-lomba untuk jatuh dari sana.

"Love you too, honey." terdengar suara di belakang sana. Ugh!

Aku dengan terburu-buru menghapus genangan air mata yang ada saat kudengar Aelke melangkah ke arahku.
Kurasakan sentuhan lembut pada punggungku, Aelke meletakan kedua telapak tangannya pada punggungku dan merebahkan kepalanya di sana. Kenapa harus semesra ini jika cinta kita tak pernah tercipta? Aku berbalik hingga kini kami saling berhadapan.

"Tadi mau ngomong apa, Don?" tanya Aelke sambil tersenyum manis.

Aku menelan ludahku. "Sebenernya gue..." aku menatap lekat wajahnya yang masih merah akibat persetubuhan kami tadi, matanya yang memancarkan kepolosan dan bibirnya yang sensual itu masih membentuk lengkung senyuman indah. Aku menghela nafas dan akhirnya berkata, "Sebenernya gue laper, Ke. Cari makan yuk!"

"Yee, kirain apaan!" Aelke mencubit dadaku kemudian mengecup bibirku lembut. "Gue mandi dulu ya." lanjutnya.

Aelke berjalan menuju kamar mandi meninggalkanku, membiarkan aku menatap bagian tubuh belakangnya yang telanjang. Aku mengambil rokok yang ada di kantong celana jeansku dan membakarnya sambil menikmati gelapnya langit malam ini. Aku menghembuskan asap rokok ke arah pantulan bayanganku yang di kaca jendela ketika suara gemercik air mulai terdengar di kamar mandi diiringi dengan senandung yang dinyanyikan Aelke.
Mungkin ini memang yang terbaik untuk kami

0 comments:

Post a Comment

 

©2011Pojokan Dewasa | by TNB