Sunday 17 February 2013
Drunken Affair
"Bisa berhenti minum,
tidak? Kau sudah mabuk berat." Jiraiya mengingatkan rekannya yang cantik
itu, medic-nin bernama Tsunade yang sejak sore terus menenggak sake
tanpa henti di Kedai Judi Iwagakure. Bukannya ia tidak tahu alasan kenapa Tsunade
tidak bisa berhenti minum-minum, tapi ia tidak ingin Tsunade terus melampiaskan
segala kegundahannya kepada minuman keras.
"Memangnya kau juga bisa
berhenti mengintip di berbagai pemandian dan membuat buku porno?" Tsunade
balas bertanya dengan mata setengah terpejam. "Bisakah kau melakukan itu,
Jiraiya?"
Wajah Jiraiya memerah dengan
cepat, lalu menoleh ke samping. "Kita tidak sedang membicarakan
kelakuanku."
Rekan setimnya itu tidak
menghiraukan perkataan Jiraiya, lalu memainkan botol sake di tangannya. Tsunade
pun sebenarnya tidak ingin minum lagi. Perutnya sudah terasa sangat mual, dan
kepalanya sangat berat. Mendadak wajah ramah kekasihnya, Dan yang baik hati dan
lembut muncul di benaknya. Dan berjanji akan kembali setelah misi. Dan berjanji
akan menjaga seluruh desa sebagai Hokage. Dan berjanji akan menemuinya.
Tsunade menghela napas panjang,
kemudian kembali meneguk segelas bir. Sudah berapa tahun berlalu sejak saat
itu? Sudah berapa tahun lewat ketika ia menemukan tubuh Dan yang tidak
bernyawa?
"Sudahlah, kau sudah minum
terlalu banyak," Jiraiya merebut botol sake sekaligus gelas dari tangannya
dengan paksa. "Kalau kau terus berbuat bodoh seperti ini, kurasa Dan tidak
akan tenang di alam sana…"
PLAKKKKKKK! PRANGGGGG!
Tsunade menampar wajah Jiraiya
dengan sangat keras—lebih tepatnya menampar sekaligus membanting pria berambut
putih panjang itu sekaligus botol dan gelas yang berada di genggaman Jiraiya
sampai roboh. Penyuka kodok itu pun jatuh dengan sangat menggenaskan, dan
menjadi pusat perhatian semua orang dalam kedai judi.
"Ada apa?" pak tua di
pojok sana yang sedari tadi terlelap sampai terbangun mendengar suara heboh
yang ditimbulkan kedua orang itu. "Suara apa itu?"
"Sepertinya pertengkaran
kedua kekasih…"
"Yang wanita kuat sekali,
wah dadanya besar…"
"Ti-tidak ada apa-apa,
temanku ini kalau mabuk memang agak sedikit kasar…" Jiraiya berusaha
menjelaskan sambil membetulkan letak kursi-kursi yang sempat tertimpa oleh
badannya sambil menyengir canggung. "Silahkan lanjutkan kegiatan kalian!"
Jiraiya kembali duduk di sebelah
Tsunade, yang entah kapan sudah kembali mendapatkan botol yang terisi penuh dan
gelas baru. Bukan sekali dua kali ia dibanting seperti ini, dan ia tidak bisa
menyalahkan Tsunade dan temperamennya yang kasar. "Tsunade, sudahlah,
hentikan…"
"Kita taruhan saja,
bagaimana? Kalau menang aku akan memberikan apapun yang kau mau?" wajah
Tsunade yang memerah lantaran pengaruh alkohol terlihat sangat menggairahkan,
tersenyum ke arahnya. "Kenapa terdiam? Ini kesempatan yang jarang sekali
ada kan?"
"Kau selalu kalah taruhan,
buat apa lagi aku bertaru—" Jiraiya berhenti berkata-kata saat Tsunade
yang mabuk mengelap tumpahan sake di dadanya. Belahan dada yang agak menyembul
keluar dan selalu membuatnya terangsang itu terlihat mengkilap terkena sake.
Sungguh erotik. Brengsek. "—ehm, baiklah! Kita taruhan!"
"Berhenti menceramahiku dan
cepat angkat kaki dari sini bila kau kalah." Tsunade mengangkat sebelah
alisnya, menatap Jiraiya lekat-lekat. Ia tidak tahu sudah berapa lama mereka
terus bersama, dan selama itu juga Jiraiya selalu berada bersamanya,
menemaninya…
… bukan hal yang patut
disyukuri, apalagi Jiraiya berkali-kali memegang-megang tubuhnya, mengelus
bokongnya, dan banyak lagi hal mesum yang tidak mau ia ingat.
"Pertaruhan macam apa,
Tsunade?" Jiraiya bertanya, kembali merebut botol sake dari tangan gadis
pirang yang seksi itu. "Katakan…"
***
Kamar hotel yang sedikit
remang-remang dan berbau asap rokok, entah sudah ditiduri oleh berapa banyak
pasangan. Ke tempat inilah Jiraiya membawa Tsunade dengan ekspresi wajah yang
sama sekali tidak bisa terbaca.
Ia menang taruhan.
Tsunade menantangnya untuk
berjudi, yang sama sekali bukan keahliannya. Dan ia menang telak. Tentu saja,
siapapun akan menang melawan Tsunade si pecundang. Tapi memangnya apa yang bisa
ia perbuat? Memperkosa wanita yang tengah mabuk bukanlah sifatnya. Lagipula,
Tsunade pasti langsung membunuhnya saat ia sadar nanti bila ia nekad berbuat
macam-macam.
Meskipun hidupnya penuh dengan
kegagalan dan air mata, Jiraiya masih ingin hidup lebih lama.
"Kau mau pergi?" suara
Tsunade yang parau mengagetkannya, membuatnya terjengkit dari tempatnya
berdiri. Cucu sang Hokage Pertama itu dengan perlahan membuka pakaiannya,
menampilkan kulitnya yang sangat mulus, dan lekuk tubuh yang luar biasa indah.
Sekalipun Tsunade memiliki payudara yang besar, tapi tubuhnya yang lumayan
kekar dan kakinya yang panjang mampu menopang berat dadanya. Bicara soal kaki,
betapa jenjang dan ramping kaki Tsunade…
Jiraiya langsung menghadap
tembok, takut berubah pikiran. "Lebih baik aku pergi, tidurlah Tsunade,
esok pagi Orochimaru dan aku akan—"
Jiraiya tidak mampu berkata-kata
lagi saat Tsunade memeluknya dengan sangat erat, menempelkan dada besarnya ke
punggung sang Sannin. "Yang benar saja, kau masih mau per—"
Dengan cepat Jiraiya membungkam
mulut Tsunade dengan ciumannya yang panas. Ia sudah lama sekali bersabar untuk
tidak menyentuh gadis itu, gadis yang selalu menghiasi mimpinya. Gadis yang namanya
selalu ia teriakan saat memasuki tubuh perempuan lain. Gadis yang selalu ingin
ia rebut hatinya.
Bibir Tsunade terasa seperti
sake, manis dan memabukkan. Dengan ahli Jiraiya menuntun mulut Tsunade agar
lebih membuka lebar, lalu mengulum lidah wanita itu. Dan ya, rasanya sungguh
lebih nikmat ketimbang khayalannya.
"Kalau aku menang, aku
mau tubuhmu malam ini."
"Kau pikir aku
takut?"
Ditariknya Tsunade agar menempel
lebih erat ke dalam pelukannya. Tubuh seksi itu sedikit gemetar kala mulut Jiraiya mulai
pindah menelusuri dagu dan leher, lalu semakin turun dan menyerang kedua
payudaranya. Kedua tangan Jiraiya pun tidak bisa berdiam diri dan mulai meraba
pinggang dan bokong Tsunade, meremas-remas dengan penuh hasrat. Tsunade mendesah dan
terus mendesah, tapi ia sama sekali tidak menghentikan Jiraiya.
"Ughh…" lidah Jiraiya
kembali menenggak kemanisan dari mulut Tsunade, menelusuri rongga mulut wanita
itu kemudian sedikit menggigit bibir bawah pasangannya. Pasangan, betapa
ironisnya kata itu. Yang selalu berada di hati Tsunade bukan dia, melainkan
seniornya, Dan. Tsunade mungkin memperalatnya, mempermainkan perasaannya yang
tulus. Persetan, jika kau mau mempermainkanku atau mau menyiksaku pun tidak
jadi soal.
"Jiraiya…" Tsunade
kembali memanggil namanya saat Jiraiya menekan tubuh mereka ke dinding kamar.
Sebelah tangan Jiraiya mulai beraksi di bawah sana. Ia tahu Tsunade tidak
pernah disentuh siapapun, dan seluruh tubuhnya terus bergetar karena ketakutan.
Perlahan dimasukannya satu jari, dua jari, tiga jari. Tsunade semakin keras
merintih, menempel ke tembok. Gadis itu menitikkan air mata, asing dengan semua
sentuhan Jiraiya. Peduli apa, kau yang memulai semua ini, 'kan?
"Jiraiya… oh,
Jiraiya…"
Jiraiya pun menggendong Tsunade
ke tempat tidur. Ia mulai membuka pakaiannya sendiri, satu demi satu. Tubuh Jiraiya yang
kokoh dan berwarna gelap karena petualangannya selama ini di sela-sela tugas
dari Hokage Ketiga sangatlah menarik. Sannin mesum itu tahu betapa
menarik tubuhnya. Tanpa susah payah banyak wanita yang menawarkan diri mereka
untuk bercinta dengannya.
Ia sadar Tsunade terus menatap
dirinya. Gadis itu menatapnya dengan wajah merah yang cantik, paduan antara
malu dan keinginan untuk menjajaki sesuatu yang lebih dahsyat lagi. Sial,
betapa merangsangnya dia…
Tanpa membuang banyak waktu,
Jiraiya ikut naik ke atas ranjang, menciumi seluruh kaki, paha, perut, terutama
payudara Tsunade dengan sangat perlahan, sengaja memancing gairah wanita itu. Ia tahu Tsunade sudah
mulai basah, dan merespons segala sentuhannya. Pandangan Tsunade sama seperti
para gadis yang telah takluk di tangannya, bernafsu dan bergairah. Terlalu
mudah ditebak. Terlalu mudah dicampakkan.
Tidak mungkin.
Mana mungkin ia mencampakkan
Tsunade. Tsunade,
impiannya—impian yang takkan pernah ia gapai. Jiraiya semakin gencar menciumi
Tsunade, menelusuri seluruh tubuh gadis itu dengan mulut dan jemarinya.
Tubuhnya semakin mengeras melihat respons Tsunade yang pasrah akan semua
sentuhannya. Ia mulai memasukkan jarinya lagi, bergerak semakin dalam dan
semakin cepat. Rasanya begitu basah, dan nikmat. Luar biasa nikmat malah.
"Jiraiya, kumohon…"
Tsunade memegang lengannya, bibirnya merekah. "Aku tidak sanggup
lagi…"
"Tenang saja, kau tidak mau
semua berlangsung begitu cepat, bukan?" tanyanya dengan suara yang jauh
lebih berat ketimbang biasanya, terbakar oleh nafsu. Diciumnya kembali bibir
Tsunade tanpa keraguan, melumatnya habis-habisan. Didengarnya desahan dan
rintihan gadis pirang itu yang semakin membahana ke seluruh kamar. Kau yang meminta semua
ini, Tsunade…
"Aku tidak mau berjudi
denganmu, kita batalkan saja semua ini." Jiraiya menolak kemenangannya.
"Sejak kapan kau jadi
pengecut?" Tsunade menarik kerah yukatanya, menantang Jiraiya.
"Ternyata kau sudah banyak berubah, pengecut, penakut. Kegagalan telah
membuatmu hancur?"
Tsunade mengaduh saat Jiraiya menarik
sebelah kakinya yang jenjang naik ke pundak kokoh rekannya itu. Tubuh telanjang
Tsunade dan celah kakinya yang terbuka lebar membuat Jiraiya tidak tahan lagi.
Gadis itu begitu cantik, dan begitu siap dengan semuanya. "Mu-mungkin ini
akan menyakitkan…"
SETTTT…!
"Uhmm…" Tsunade
menutup kedua matanya saat tubuh mereka menyatu, perlahan-lahan Jiraiya mengisi
tubuhnya. Mendadak ada rasa sakit yang tajam, serasa merobek tubuhnya menjadi
berkeping-keping, menusuk dengan sangat nyeri, membakar dadanya. Debaran di
jantungnya semakin keras, terasa sangat keras, bertalu-talu dengan liar.
"Ji-jiraiya… Jiraiya…"
Jiraiya berhenti sebentar, masih
menyatukan kelamin mereka. Ia berbisik pelan, susah payah menahan dirinya. Sungguh
mati sulit sekali berbuat begitu. "A-apa masih terasa sakit? Kau… kau mau
aku berhenti?"
Tsunade menangis pelan. Air mata
turun perlahan, mengalir dari kedua belah pipinya. "Apa ini salah? A-apa
yang kuperbuat ini salah?"
Bangsat. Bukan itu yang ini
didengar oleh Jiraiya. Bukan itu, Tsunade. Bagaimana mungkin kau sudah menyesali
apa yang kita lakukan sekarang pada saat seperti ini? Begitu hinakah aku
untukmu?
"Apa perbuatanku
sa-salah?"
Dijilatnya air mata Tsunade,
lalu diciumi gadis itu tanpa henti. Dan perlahan, amat perlahan Jiraiya mulai
bergerak lagi menggenjot tubuh montok Tsunade. Awalnya Tsunade terus berteriak,
tapi dengan lihai ditutupnya tangisan itu dengan berbagai ciuman lidah yang
dalam dan panas. Ia sudah tidak tahan.
"Jiraiya, kupikir
se-sebaiknya kita henti—"
Mendadak Jiraiya mempercepat
gerakannya, menusuk semakin dalam dan liar. Tsunade meronta, minta
dilepaskan, menolak perlakuannya. Ia tidak mau diperlakukan begitu. Ia tidak
rela diperlakukan demikian.
"Hentikan! Sakit!
Le-lepas—Ji-jiraiya!" Tsunade terus menjerit, memukul-mukul dadanya. Tubuhnya
terasa panas dan sangat sakit. "Ji—ughh…"
Jiraiya menolak untuk berhenti,
terus bergerak semakin cepat, dan menggebu-gebu. Sama sekali tidak ada rasa lain
selain nyeri dan tersiksa bagi si medic-nin, susah payah ditahannya
semua rasa sakit itu. Setiap gerakan dan pompaan Jiraiya terasa amat menyiksa
tubuhnya.
"Ji-jiraiya—"
Mendadak Tsunade dapat merasakan
semburan luar biasa panas mengalir dalam tubuhnya, membuatnya hilang kendali.
Rasanya begitu aneh sekaligus melegakan, pikirnya lemas. Mendadak semua terasa
hitam, dan pandangannya terus berputar-putar tiada henti. Seluruh tubuhnya
bagai terhisap dalam kegelapan. Ia tidak kuat lagi.
***
Jiraiya memandang wajah Tsunade
yang sedang terlelap. Ia tahu gadis itu takkan pernah jadi miliknya. Ia mengenal Tsunade terlalu
lama sehingga ia tahu apa yang dipikirkan oleh medic-nin satu itu.
Diusapnya kening Tsunade, lantas dikecupnya dengan lembut. Apa yang kita
lakukan ini salah? Apa saling memanfaatkan seperti ini salah?
Malam itu malam peringatan
kematian seniornya, kekasih Tsunade. Ia tahu gadis itu sangat rapuh, dan ia
memanfaatkan hal itu.
Tsunade sedikit bergeser,
memeluk bantal yang berada di samping tubuhnya. Jiraiya tersenyum sendu, lalu
membetulkan selimut, menutupi Tsunade dengan sempurna. Lantas ia kembali
memakai pakaiannya dan berjalan ke arah jendela, memperhatikan langit malam
yang diterangi bintang. Malam yang dingin, berbeda dengan malam di Negara Hi
yang selalu musim semi dan hangat. Kembali ditatapnya sosok Tsunade yang sedang
tertidur. Apapun yang kau mau, tuan putriku, akan kukabulkan. Apapun, akan
kuberikan semuanya, termasuk nyawaku sendiri.
Biarlah malam ini aku bermimpi
untuk memiliki dirimu. Biarkan aku bermimpi untuk menjadi kekasihmu. Esok pagi kala kita
berdua terbangun, maka impian ini akan berakhir. Biarlah malam ini saja…
***
"Bajingan! Dasar kau
pemerkosa mesum!" Tsunade bangun dan menghajar Jiraiya yang tertidur di
sampingnya habis-habisan. "Apa yang kau lakukan di sini? Mana pakaianku?
Kenapa bisa sampai robek begini?"
"Kalau ada apa-apa aku akan
bertanggung jawab, jadi apa sebaiknya kita menikah saja?" Jiraiya menjawab
susah payah, separuh dari rohnya sudah melayang akibat dihajar Tsunade. Sial,
benar 'kan, apapun yang ia perbuat tetap saja ujung-ujungnya dia yang
disalahkan. Memang siapa yang lebih dulu menggoda? Tahu tetap dihajar sampai
mati lebih baik dia perkosa saja Tsunade semalaman suntuk kalau begitu.
"Tolong hentikan pukulanmu,
Tsu—"
"SHANAROOOOOOO!"
0 comments:
Post a Comment