Monday 18 February 2013

Titi Kamal dan Aku



Seperti biasa, kalau ada libur pada hari Jum’at, aku selalu memanfaatkan waktu untuk menyalurkan kegemaranku, naik gunung atau sekedar jalan-jalan ke daerah yang jauh dari perkotaan. Pada liburan kali ini, iseng aku memilih mau jalan kaki dan berkemah di daerah Bandung Selatan sehingga kusiapkan perbekalan untuk tiga hari dua malam.

Kubawa mobilku sampai ke rumah temanku di perkebunan lalu kutitipkan disana, selanjutnya aku lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati jalan-jalan di perkebunan. Udara yang sejuk disertai pemandangan yang indah membuatku bersemangat melewati tanjakan demi tanjakan di tengah kebun teh yang luas ini hingga akhirnya aku tiba di sebuah pos tempat penimbangan. Kulepas ranselku dan sambil menikmati sebatang rokok kretek serta soft drink, kuedarkan pandanganku melihat keindahan alam ciptaan-NYA.

Ketenanganku tiba-tiba terusik mendengar ada langkah kaki di jalan berkerikil lalu ketika kutengok, tampak seorang perempuan sedang berjalan dengan membawa ransel dan di tangannya memegang tongkat dari ranting. Wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutup topi dan berkaca mata. Ketika jarak kami sudah dekat, perempuan itu memandang padaku dan aku tersenyum saja sambil sedikit menganggukkan kepadaku, ternyata dia malah menghampiriku.

“Selamat siang, Kang...“ katanya sambil melepas ranselnya kemudian duduk.

“Selamat siang juga, Teh…“ jawabku sambil kutatap wajahnya. Rasa-rasanya… aku seperti mengenal wajah ini, tapi... dimana yaa… aku sempat berpikir.

“Hei, Kang, kenapa bengong begitu?“ tanyanya sambil mengibaskan tangan.

“Oh, maaf… hehehe… mau kemana, Teh?“ kataku sedikit malu karena sempat bengong melihat wajahnya.

“Aku mau ke kawah, masih jauh ya?“ tanyanya sambil melepas topinya. Nah, baru aku ingat… ini Titi Kamal!

“Eh… kawah? Oh, ya lumayanlah.“ jawabku agak gugup karena tidak menyangka bakal ketemu selebritis di daerah begini.

“Kenapa Akang seperti bingung sih?“ katanya sambil menatapku.

“Bukan… Teteh… Titi Kamal ya?“ tanyaku, penasaran.

“Kalau iya, kenapa?“ dia balik bertanya sambil mengeluarkan minuman dari ranselnya.

“Titi Kamal?“ aku meyakinkan.

“Iyyyaaa, saya Titi Kamal.“ sambil menepuk-nepukan tangannya ke dada terus dengan santainya dia minum air mineral dari botolnya.

“Gak nyangka aja, ternyata Teteh suka begini.“ kataku lalu kuhampiri dia dan kusodorkan tanganku untuk berjabat tangan dan dia sambut tanganku dengan disertai senyum.

“Adi,“ kataku sambil menjabat tangannya yang lembut.

“Titi.“ katanya singkat lalu dia melepaskan tangannya dari genggamanku dan aku kembali duduk, mengeluarkan kembali rokokku.

Kami diam sejenak menatap pemandangan yang ada di daerah ini kemudian kulihat Titi membuka sehelai kertas lalu dia bertanya, “Kang Adi suka main di daerah ini?“

“Ya gitulah… di saat ada libur aja. Kenapa?“
 
“Kalau ini namanya daerah apa, Kang?“
 
“Ini daerah Tenjo Laut, Afdeling Barusell, Perkebunan Patuhahwattee.“

“Aih-aih… sampai hapal gitu.”

“Namanya juga suka main kemari, ya pasti hapal atuh.”

Titi meneliti kertas yang dipegangnya lalu kuhampiri dia pelan-pelan dan dia perlihatkan kertas yang dipegangnya, ternyata peta wilayah perkebunan ini. “Nah, kita ada disini, Teh.“ kataku sambil menunjukkan satu titik di peta itu.

“Berarti ke kawah masih jauh ya?“

“Ya lumayanlah… satu jam jalan kaki dari sini.“

“Waaahhh… aku pikir udah dekat.“

“Dekat-dekat jauh deh…“ candaku.

Titi tertawa renyah mendengar jawabanku dan dia keluarkan bungkusan dari ranselnya, lalu dia tawarkan isinya padaku. Kuambil beberapa potong sambil menggumankan terima kasih lalu kunikmati saja biskuit pemberiannya.

“Kang Adi aslinya dari mana?“

“Saya mah urang Bandung pituin, tinggal di daerah Bandung Utara.“

“Pituin itu apa?

“Asli.“

“Ohhh…“ jawabnya.

“Nah, Teteh sendiri koq mau-maunya main ke daerah ini… sendirian lagi. Emang Teteh suka melakukan kegiatan begini?“

“Iya sih. Aku suka diam-diam pergi ke daerah-daerah wisata yang tidak terlalu terbuka. Aku senang aja menikmati alam tanpa diganggu oleh kehadiran pers.“

“Padahal kan pers yang bikin Teteh jadi ngetop.“

“Betul, tapi aku juga butuh kesempatan untuk bisa menikmati privaciku dong.“

“Iya sih, dan sekarang Teteh sedang menikmatinya.“

Hening sejenak, kulihat dengan ekor mataku, Titi sedang menatapku.
“Kang Adi…“

“Ya?“

“Keberatan ndak kalo nemenin aku?“

“Ya berat sih kalau harus bawain juga ranselnya.“

“Aaahhhh… Kang Adi ini becanda melulu. Mau kan?

“Ya ayo aja… lagian siapa yang mau nolak kalau nemenin seleb.“

“Kang Adi… sekarang aku cuma seorang Titi Kamal, bukan seleb dan aku minta kesediaan Akang untuk nemenin aku.“

“Ya kalau Teteh percaya sama aku, mangga teh teuing.“

“Bahasa Sunda Akang kadang suka lucu deh, aku suka tuh dengar orang Sunda kalau berbicara pakai bahasanya.“

“Ya kudu bangga atuh menggunakan bahasa sendiri.“

Kami kemudian ngobrol tentang daerah yang terlihat dari tempat kami istirahat. Kebetulan tempat kami beristirahat memang ada di daerah pedataran tinggi sehingga hampir semua terlihat. Apalagi saat kusodorkan padanya teropong, Titi begitu antusias menanyakan daerah demi daerah yang tampak jelas dari teropongku. Otomatis posisi dudukku jadi dekat dengannya. Tercium olehku harum rambut dan tubuhnya namun karena aku tidak mau dikatakan kurang ajar, aku tetap membuat jarak agar tubuhku tidak bersinggungan dengannya. Rupanya Titi menaruh simpati padaku dengan sikapku (ge-er nih), hal itu terbukti dengan sikapnya yang makin terbuka seolah aku ini kawan lama buatnya.

“Sekarang rencana Teteh bagaimana?“

“Kang, kalau aku lihat usia Akang ada di atasku, plis deh, jangan panggil aku Teteh… panggil saja namaku.“

“Takut aja aku mah, nanti dibilang tidak menghormati.“

“Akang jangan gitu ah. Dari tadi juga Akang baik tuh…“

“Ya atuh… jadi aku panggil Titi aja?“

“Jangan pakai Aja.“

“Baik, Titi Aja...“

“Ahhhh…“ sambil dia cubit tanganku dan aku tertawa melihat gayanya.

Kami menjadi akrab lalu setelah lelahnya hilang, aku ajak dia untuk berjalan menuju lokasi yang dia inginkan. Sepanjang jalan kami saling bercerita dan dia banyak tertawa kaena aku sering menceritakan hal-hal yang lucu padanya. Kadang dia sampai menjerit-jerit minta aku menyudahi cerita karena tidak kuat menahan tawa… Ah, ternyata seorang Titi Kamal bisa juga tertawa lepas oleh guyonanku yang bukan pelawak ini.

Akhirnya kami tiba juga di Kawah dan kebetulan tempatnya sepi, hanya ada beberapa turis lokal dan mereka tidak tahu bahwa yang sedang berjalan denganku adalah seorang selebritis yang terkenal sehingga Titi dengan santai dia dapat menikmati keindahan panorama Kawah yang sudah terkenal ini. Dia memotret berbagai objek termasuk memotret aku, kadang dia meminta aku memotretnya.

Puas memotret, tiba-tiba BB Titi berbunyi lalu kudengar dia berbicara agak serius kemudian setelah selesai kulihat roman wajahnya seperti kesal tetapi aku pura-pura tidak tahu. Aku tetap anteng aja menghisap rokok kretekku sambil melihat gambar-gambar di kamera hasil pemotretan tadi.

“Kang…“ suara Titi di sebelahku.

“Ya?“ jawabku sambil menoleh padanya.
 
“Rencana pengambilan foto diundur sampai hari Minggu… jadi aku tidak tau mesti mengisi hari besok dengan acara apa…“

“Ya terserah kau saja. Kalau mau turun ke Bandung, nanti aku antar karena ada mobilku di bawah sana, tapi kalau mau jalan-jalan disini, tidak jadi apa, akan kutemani.“ jawabku.

Tampak Titi berpikir lalu akhirnya dia kembali membuka BB-nya dan menghubungi seseorang. Aku tidak mau nguping obrolannya jadi aku jalan agak menjauh, lalu Titi memanggilku. “Kang Adi… sini!“

Kuhampiri dia, lalu Titi bilang dengan penuh semangat, “Kang, barusan aku telepon managerku, kubilang bahwa aku mau jalan-jalan aja di perkebunan sampai sabtu pagi. Managerku awalnya khawatir tapi setelah kubilang ada yang nemenin, dia mengijinkan aku. Kang Adi mau kan nemenin?“

“Aku mah siap-siap saja, siapa nolak nemenin selebritis…“ jawabku.

“Tuh... mulai lagi deh.“ jawabnya sambil memukul pelan tanganku. Lalu kubuka peta yang dibawanya, kutunjukkan tempat-tempat bagus di sekitar daerah situ dan Titi dengan penuh semangat meminta aku untuk mengantarkannya ke tempat-tempat tersebut.

Dari kawah, kami kembali berjalan, kali ini kubawa dia untuk menuju sebuah kawah kecil yang masih aktif. Jalan kesana memang agak terjal tapi Titi ikuti saja langkahku, kadang tangannya kupegang bila jalan terlalu menurun atau mendaki dan kalau dia merasa lelah, ku suruh dia beristirahat bahkan pada akhirnya daypacknya aku bawakan.

Kami semakin akrab saja, sampai akhirnya kawah yang kusebutkan terlihat di depan mata. Titi kembali memotret objek-objek yang menarik, kadang dia memotret aku hingga tak terasa waktu bergerak menuju senja. Kuingatkan dia untuk segera keluar dari wilayah ini karena bila senja hari, disini kabutnya suka tebal. Setelah dia menyimpan kameranya, kuajak dia berjalan menuju jalan utama perkebunan namun ternyata apa yang kukhawatirkan akhirnya terjadi juga. Kabut tebal datang menyergap kami saat waktu sudah magrib, otomatis jalan menjadi tidak terang hingga kukeluarkan senter untuk membantu menerangi jalan.

Satu sisi aku senang bisa jalan-jalan dengan seorang selebritis, tapi di sisi lain aku khawatir terjadi hal-hal yang tidak enak dan aku pasti akan menjadi sorotan karena sudah berlaku gegabah membawanya ke daerah yang asing tetapi ketika kulihat Titi tenang-tenang saja kubawa ke daerah itu sehingga aku jadi ikut tenang.

Jalan utama yang menuju ke arah afdeling terdekat ternyata masih belum tergapai sedangkan malam sudah keburu datang.

“Ti…“ panggilku saat kusuruh dia beristirahat di batang pohon yang roboh.

“Ya, Kang?“

“Hari sudah gelap nih, kau masih kuat gak kalau aku bawa jalan barang dua jam lagi. Di sana ada perkampungan perkebunan, kau bisa istirahat di salah satu rumah penduduk.“ kataku dengan rasa khawatir akan keselamatannya.

“Kang Adi, tadi kan aku sendiri yang memilih untuk jalan-jalan dengan Akang, jadi Akang gak usah sekhawatir itu… nyantai aja deh. Aku percaya, Akang bakal jaga keselamatanku.“

“Beneran nih?“ tanyaku untuk meyakinkan diriku sendiri.

“Beneran. Suer!“ katanya sambil mengacungkan tanda V dengan kedua jarinya.

“Oke. Sekarang, karena aku lihat kau sudah lelah, maka di depan sana ada pedataran… kita pasang tenda disana saja. Kebetulan di tempat itu ada sumber airnya, lumayan untuk bersih-bersih.“ tawarku.

“Beneran? Aku mau, Kang… aku mau.“ jawabnya spontan sehingga menggembirakan aku.

Kusodorkan padanya jaket karena ternyata dia cuma bawa switer dan Titi mengenakan jaket pemberianku lalu setelah beberapa saat, kuajak dia berjalan menuju tempat yang kurencanakan. Karena jalan gelap serta hanya diterangi senter, otomatis Titi tidak melepaskan tangannya bahkan beberapa kali dia malah memeluk tanganku sehingga tanpa sengaja dadanya membentur lenganku. Titi sama sekali tidak canggung bersikap padaku sehingga aku jadi terbiasa saja menggamit tangannya bila jalan agak sulit.

Tiba di tempat yang kukatakan, segera kudirikan tenda lalu setelah berdiri, kupersilahkan dia untuk istirahat di dalam tenda, sementara aku menyalakan unggun untuk mengusir rasa dingin. Setelah unggun menyala, kupanaskan air mineral dari botol lalu kubuatkan minuman hangat untuknya. Selama aku bekerja, Titi hanya menatapku, sesekali memberikan komentar dengan apa yang kukerjakan. Setelah dia minum beberapa teguk, kuminta dia untuk kutinggal sebentar karena aku mau mengambil air bersih di sumber tapi ternyata dia tidak mau kutinggal sendirian.

“Gak ah… aku atut ditinggal sendiri.“

“Disini mah tidak ada apa-apa, Ti, aman-aman saja.“ kataku.

“Gak mau… aku ikut ke sumber air aja.“ jawabnya sambil keluar dari tenda lalu berdiri di sisiku sambil memegang tanganku. Aku kalah, kutuntun saja dia menuju sumber air yang jalannya agak curam sehingga jalan kami jadi sangat perlahan karena Titi belum terbiasa menyusuri jalan seperti itu dan setelah beberapa lama, tibalah kami di sumber air.

“Aih… koq tempatnya begini? “ Titi bingung menatap sumber air yang hanya di kelilingi rimbunan pohon teh dan alang-alang.

“Ya namanya juga di gunung. Kalau ada showernya mah ya di hotel atuh.“ jawabku nyantai sambil kuserahkan senter padanya lalu aku mencuci muka.

“Akang mau mandi?“ tanyanya.

“Ya mau, tapi bagaimana mau mandi kalau kamu diem disitu?“ jawabku sambil menatapnya.

Titi tertawa perlahan lalu jalan agak menjauhiku dan setelah posisinya agak jauh di balik gerumbul, aku segera membuka pakaianku dan mandi. Beerrrrrr, dingin air gunung membuat tubuhku menggigil tapi karena tubuhku seharian sudah mandi keringat, aku bela-belain mandi. Selesai mandi, aku pakai kembali bajuku dan kupanggil Titi. Kutawarkan dia untuk mandi, tapi ternyata dia tidak mau… takut katanya, kuambilkan saja air dari sumber, kusimpan di jerigen terus kuajak dia kembali ke tenda.
Tiba di tenda, kupanaskan air dan setelah mendidih, kucampurkan air dingin. Kusuruh dia untuk membasuh wajahnya supaya segar. Titi turuti mauku, saat dia sedang membersihkan wajahnya, kusiapkan makanan kaleng perbekalanku… kubakar di unggun, setelah panas, kubuka kalengnya dengan pisau lalu kutawarkan makan malam sederhanaku padanya.

Titi terlihat senang menikmati makanan orang hutanku dan dia banyak bertanya tentang makanan itu. Kami makan dengan lahap dan setelah makan sambil menikmati minuman hangat sambil duduk berdampingan, kami saling bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing. Dari ceritanya aku dapat pengetahuan bahwa tidak semua selebritis itu bahagia dengan kehidupan selebnya. Ada sisi-sisi kehidupan orang kecil yang mereka rindukan.

“Aku kadang suka ingin bisa jalan dengan santai tanpa orang harus melihatku sebagai seleb, Kang.“

“Lha, hari ini kau bisa mengalaminya. Aku tidak melihatmu sebagai seleb koq.“ jawabku.

“Tapi tadi kan Akang sempat begitu…“ jawabnya.

“Hanya beberapa saat, sesudahnya kan tidak, Ti.“ jawabku.

Kukeluarkan harmonica kesayangku lalu kumainkan beberapa lagu dan sepertinya Titi terhanyut dengan permainan harmonikaku. Tiba-tiba saja kepalanya bersandar di bahuku… aku sempat kaget tapi kutenangkan saja hatiku dan kuteruskan permainan harmonikaku. Saat aku alunkan lagu Annie Song-nya John Denver, Titi seperti sangat menghayati dan aku kaget juga ketika kudengar dia mengisak.
Kuhentikan tiupan harmonikaku. “Ti… kenapa?“ tanyaku.

“Lagu itu… mengingatkan aku pada seseorang, Kang.“ katanya sambil mengusap air mata.

“Duh... maaf atuh, aku tidak tahu.“ kataku menyesal.

“Gak apa. Akang tidak salah koq…“ jawabnya lalu dia tersenyum. Aku jadi tidak enak untuk melanjutkan permainan harmonikaku, jadi kuhentikan saja dan ketika kulihat jam, ternyata sudah mau jam sepuluh malam. Kulihat Titi beberapa kali menguap sehingga kupersilahkan dia untuk masuk ke tenda. Kukeluarkan sleeping bagku dan kuserahkan padanya.

“Lho… terus Akang tidur pakai apa?“ tanyanya saat dia menerima sleeping bagku.

“Gampang, aku masih mau duduk-duduk dekat unggun.“ jawabku sambil keluar dari tenda dan kututupkan pintunya agar angin tidak masuk.

Aku naikkan sleting jaketku hingga ke leher, kupakai balacalvaku dan kaos tangan wool dan kujerang kembali air untuk menghangatkan perutku. Kunikmati rokok kretekku sambil kulihat jutaan bintang di langit yang tidak berbulan.

Udara malam semakin menggigit sehingga kubesarkan nyala unggun untuk melawan dingin, pantas, sudah jam satu. Kubuka flysheet untuk kujadikan selimut lalu aku berbaring di atas matras… lumayan hangat dan perlahan kesadaranku mulai menghilang menuju ke alam mimpi, tetapi tiba-tiba kudengar pintu tenda dibuka lalu… muncul kepala Titi.

“Kang?“ panggilnya.
 
Aku bangun.
“Koq bangun, Ti? Ini masih jam 1 malam…“

“Aku gak bisa tidur, dingin sekali dan aku tidak enak sama Akang. Akang yang punya barang, koq aku yang pakai, lalu Akang malah tidur di luar begini…“

“Ya tidak apa, Ti, disini juga hangat… ada unggun.“ jawabku.

“Gak mau, Akang tidurlah di tenda sama aku.“ jawabnya sambil menghampiriku lalu menarik tanganku untuk masuk ke tenda.

Aku manut saja… kusingkirkan fly sheet yang sudah basah oleh embun lalu aku turut masuk ke dalam tenda. Kututup pintu tenda lalu aku berbaring di sampingnya, tapi justru aku malah tidak bisa tidur. Di sebelahku, saat ini, terbaring seorang selebritis, Titi Kamal. Berbagai perasaan berkecamuk di benakku hingga semakin sulitlah aku untuk tidur.

“Koq Akang jadi melamun?“ tanya Titi memecah keheningan.

“Ndak, Ti, cuma bingung aja… Mimpi apa aku koq sampai bisa tidur setenda denganmu?”

“Emangnya kenapa dengan aku?“

“Ya bingung, ya gak percaya... koq bisa-bisanya aku tidur bersebelahan dengan sele...”
Tiba-tiba Titi menutup bibirku dengan tangannya dan berkata, “ Stop, jangan diteruskan lagi.“
Aku mengangguk-anggukan kepala, baru dia lepaskan tangannya lalu dari mulutku keluar kata-kata, “...britisssss.“ sambil kumiringkn tubuh memunggunginya dan… Titi langsung menyerbuku dari belakang, mencubiti dadaku dan entah sadar atau tidak, bibirnya begitu dekat dengan telingaku…
Kuraih saja tangannya dan kuputar tubuhku sehingga sekarang poisisi Titi berhadapan denganku. Bibirnya begitu dekat, begitu menggoda… dan matanya yang semula menatapku sekarang mulai meredup dan akhirnya... perlahan kutempelkan saja bibirku ke bibirnya. 1, 2, 3, 4, 5 detik… kujauhkan wajahku, mata Titi tetap terpejam dan tangannya malah memelukku sehingga tanpa pikir panjang lagi… kusatukan lagi bibirku dengan bibirnya dan kubaringkan tubuhnya dan kutindih dia. Kami berciuman dengan lembut, lidah kami berpilin dan karena aku tidak merasakan adanya penolakan, maka ciumanpun kutingkatkan, kugigit lembut bibirnya, kuhisap lidahnya dan tanganku mulai bergerak ke arah dadanya. Saat tersentuh, kuremas dengan perlahan. Sementara mulutku sudah mulai bergerak ke lehernya yang jenjang, lidahku bermain disana dan Titi merintih serta melenguh penuh kenikmatan. Tubuhnya kadang mengejang kadang melemas dan tanganku semakin nakal bermain di gundukan dadanya.

Lidahku terus bergerak menuju celah antara kedua payudaranya. Titi sudah tidak menentu gerakan kepalanya, kadang menggeleng ke kiri - ke kanan, kadang sedikit terdongak menatapku, kadang meregang ke belakang karena kegelian oleh tarian lidahku. Baju yang dia kenakan sudah terbuka, pengait BH-nya sudah kulepaskan sehingga terbentanglah tubuh setengah telanjangnya. Perlahan lidahku mulai turun menjelajah perutnya yang mulus. Kugigit lembut disitu hingga Titi semakin menggelinjang.

“Kanggggggg… oooohhhh… Kang Addddiiiiiiiiiii...“

Perlahan celananya kuturunkan sekaligus dengan celana dalamnya lalu lidahku bergerak turun lagi menuju selangkangannya. Aku ciumi rambut yang menutupi kemaluannya, kucari celahnya dan Titi pun membuka pahanya. Aku ambil posisi diantara kedua kakinya. Kedua tanganku mencoba membuka lubang kemaluan Titi sampai lubangnya terlihat. Aku ciumi dan jilati celah kenikmatan Titi yang sudah tidak perawan ini dengan penuh nafsu, dan Titi kegelian sehingga sesekali mendorong atau menekan kepalaku.
Rintihannya sudah tidak menentu dan nafsunya sudah terlihat jelas. Dari lubang kenikmatan telah keluar cairan yang menandakan Titi sudah siap untuk menerimaku sehingga segera kubuka bajuku hingga kami bertelanjang bulat. Lalu aku teduhi tubuh telanjangnya dan perlahan namun pasti batang kemaluanku bergerak masuk. Setelah terbenam seluruhnya, kudiamkan sejenak sambil kucium bibirnya. Titi memelukku dan kakinya membelit pinggangku dan mulailah kuayun pinggulku dan Titi bekerjasama dengan menggoyangkan pinggulnya.

Dari mulut kami terdengar desah, rintih dan lenguh mengiringi gerakan kami lalu Titi berguling ke samping dan kini Titi sudah berada di atas tubuhku. Aku bisa melihat keindahan tubuhnya, perutnya yang rata, buah dadanya yang masih kencang dengan puting susu yang mengacung ke atas mengundangku untuk meraih puting susu itu lalu kujilat dan kukulum.

“Ooouuuhhhh… Kang Adi… teruskan, Kangggggg...” desah Titi sambil terus meliuk-liukkan pinggulnya memainkan batang kemaluan yang berada di dalam lubang kenikmatannya.

Tanganku meremas buah dadanya yang tak terlalu besar tapi pas dengan telapak tanganku. Kadang tanganku meremas pantatnya yang masih kenyal, bibirku melumat bibirnya dan membuat goyangan pinggul Titi semakin liar naik turun maju mundur tak karuan.

“Adduuuhhh… Kang Addddiiiiiiiiiii...” lenguh Titi dengan gerakan yang kian tak teratur dan akhirnya... tubuh Titi mengejang, kurasakan ada cairan hangat mengucur deras membasahi batang kemaluanku. Titi menggelepar dan menggelinjang liar dengan nafasnya yang tersengal. Lalu segera kubalikkan lagi tubuh telanjangnya dan aku ayunkan dengan cepat pinggulku, mengayunkan batang kemaluanku keluar masuk di lubang kemaluannya yang masih terasa sempit tapi sudah licin karena Titi sudah menggampai puncak kenikmatannya.
Ketika aku sudah mulai merasa akan tiba di puncakku, kupeluk tubuh Titi, kuhujamkan batang kemaluanku sedalam-dalamnya dan kulepaskan cairan kenikmatanku menyirami kedalaman lubang kemaluan Titi… ada 3 - 4 kali kedutan nikmat yang kurasakan. Kurengkuh tubuhnya dalam pelukan yang sangat kuat dan Titipun menggigit dadaku… rupanya kembali dia mencapai puncaknya bersama dengan letupanku…

Tubuh kami mengejang beberapa saat kemudian akhirnya aku ambruk di sisinya. Kukecup bibirnya sebagai ungkapan bahagia dan terima kasihku, Titi menatapku sejenak sambil tersenyum lalu dia peluk tubuhku dan membelitkan kakinya ke tubuhku sehingga kurasakan kemaluannya yang basah menempel di tubuhku. Kutarik sleeping bag menutupi tubuh telanjang kami dan akhirnya kami tertidur kelelahan tapi dengan perasaan yang sangat tenang dan bahagia…

***
Keesokan paginya, aku terjaga karena hangatnya sinar matahari yang menerpa ke wajahku dan kulihat Titi masih terlelap memelukku. Sejenak kulihat punggung telanjangnya yang semalam bersimbah peluh ketika menggapai puncak birahi. Kuusap dengan perlahan lalu kucium rambutnya yang panjang sebahu. Titi menggeliat lembut tetapi tidak terbangun oleh elusan dan kecupanku di rambutnya. Perlahan kudorong tubuhnya agar lepas dari tubuhku lalu kuselimuti tubuh telanjangnya dengan sleeping bag dan fly sheet. Perlahan kupakai celana dan kaosku lalu aku keluar tenda untuk membuat air panas. Kunyalakan tungku dan kupanaskan air mineral dari botol. Sambil menunggu air, kubasuh wajahku dan kuhirup udara sejuk keindahan pagi ini.

Aku duduk sambil menunggu air mendidih dan kubayangkan kembali kejadian hari kemarin… aku, bisa jalan, tidur dan bersetubuh dengan seorang selebritis yang bernama Titi Kamal!
Edan… ini pengalaman yang paling top dari semua pengalamanku meniduri perempuan. Masih terbayang desahnya, geliatnya saat tubuhku menggeluti tubuh hangatnya Titi… ah, siapa yang akan percaya kalau aku semalam sudah bersetubuh dengannya?

Ketika air mendidih, saat aku akan mengangkat nesting, tiba-tiba muncul kepala Titi dan dia keluar dengan hanya membalutkan sleeping bag di tubuhnya yang telanjang dan dia berjalan mendekatiku. “Pagi, Kang…“ sapanya sambil dia cium pipiku lalu duduk di sampingku.
Kubuatkan dia minuman hangat manis lalu kusodorkan padanya. Dia terima sambil tersenyum dan menggumankan terima kasih. Aaahhh, senyumnya… Lalu kami nikmati minuman hangat dan kurengkuh tubuhnya agar merapat ke tubuhku. Dia manda, kepalanya disandarkan di bahuku. Perlahan kugumamkan lagu George Groban, You Raise Me Up…
 
“Kang…“

“Ya?“

“Kenapa Akang nyanyikan lagu itu?“

“Lagu yang menggambarkan tentang rasa syukur seseorang yang telah mendapatkan semangat dari orang lain…“

“Akang dapet semangat dari siapa?“

“Dari kau lah…“ sambil kukecup pipinya.

“Justru aku dari sejak kemarin telah Akang beri semangat. Sebenarnya aku pergi ke gunung karena aku sedang down banget… Aku bingung mau ngapain, mau ngomong ke siapa dan dalam kegalauanku, aku pergi ke daerah ini dan bertemu dengan Akang.“

“Ah, aku kan gak berbuat apa-apa, Ti, kenapa kamu malah bilang aku memberi semangat?”

“Justru itu. Sikap Akang saat jalan dengan aku yang begitu melindungi aku, perhatian Akang yang tulus tanpa pamrih sama aku…“

“Itu mah biasa, Ti, kalaupun aku bertemu dengan orang lain juga, ya aku pasti akan begitu. Bagi sebagian besar orang-orang seperti kami, menolong dan membantu orang lain itu wajib hukumnya…“

“Justru itu, di lingkunganku jarang ditemui hal seperti itu. Mereka mau dekat-dekat aku selalu ada maunya… dengan Akang aku merasakan sebuah ketulusan… aku sudah dapat pelajaran berguna dari Akang. Terima Kasih ya...“ dan dia kecup pipiku.
Kupeluk dia lebih erat…
“Sekarang, apa rencana kita, Kang?”

“Kau harus ada di Bandung Sabtu pagi kan?”

“Iya. Pemotretannya memang hari Sabtu, tapi aku jadi betah disini, Kang.”

”Ah, jangan mengecewakan orang, mereka kan perlu makan juga. Mereka sudah siap-siap lalu kau malah tidak datang, kasihan atuh…“

Titi terdiam lalu dia berdiri dan berjalan ke tenda… lalu kudengar dia tengah berbicara dengan seseorang. Tak lama kemudian dia keluar lagi, masih dengan tubuh berbalut sleeping bag… ah, cantik benar bidadari ini, kataku dalam hati.

“Barusan sudah aku telepon managerku, ternyata pemotretan diundur lagi ke hari Senin. Bete jadinya, aku harus nunggu.“ mukanya merengut.

“Deeeuuuuuh… yang lagi bete.“ godaku.

Titi menatapku dengan ekspresi cemberutnya tapi kemudian dia tersenyum dan memelukku, otomatis sleeping bag yang membungkus tubuhnya terlepas tetapi sepertinya dia tak perduli…
“Tapi dengan Akang aku gak bete koq.“ dan sebuah ciuman mendarat di bibirku. Kubalas saja ciumannya dengan memainkan lidahku di bibirnya dan dia sambut lidahku dengan lidahnya. Tanganku pun akhirnya tak tinggal diam, kubelai punggung telanjangnya lalu kuremas buah dadanya. Tubuhku terdorong sehingga terguling di atas rumput basah, Titi ada di atas tubuhku dan dia terus ciumi aku dengan penuh gairah. Semula ingin aku balikkan tubuhnya tetapi karena rumput masih basah, maka aku bertahan saja dengan posisi ini. Tanganku sudah mulai memainkan dada Titi dan ini membuat Titi terengah-engah dan bibirnya pun selepas dari bibirku, sudah bergerilya ke leherku, telingaku.
Desah-desah lembut kudengar dari mulutnya ketika puting dadanya kumainkan. “Ooohhh… Kaaaannnggggg...“

Tanganku yang tidak bisa bergerak bebas karena tindihan tubuhnya akhirnya hanya bermain sekwilda (sekitar wilayah dada) dan sedikit ke perutnya yang datar tetapi agak sulit untuk bergerak ke selangkangannya. Kubelai punggung telanjangnya dan kujilati saja leher dan bahunya.

“Titi… udah dulu dong… ntar ada yang lewat.“ kataku.

“Semalem Kang Adi hebat deh… aku suka banget.“
 
“Terus mau lagi?“

Titi tidak menjawab, tetapi dia kecup bibirku… dan buatku itu merupakan jawaban sehingga akhirnya kubopong tubuh telanjangnya ke dalam tenda, kutaruh perlahan di atas matras lalu kututup pintu tenda. Kubuka kaos dan celanaku sambil menatapnya dan Titi memandangku dengan pandangan yang sayu. Tubuh telanjangnya ternyata begitu indah untuk dilihat. Rambut panjang tergerai, buah dada yang besar dan pinggul yang bulat serta lubang kenikmatannya yang telah kujelajahi semalam bersamanya.

Lalu setelah aku telanjang sama dengan dia, kubaringkan tubuhku dan kupeluk tubuh telanjangnya. Dia sambut aku dengan ciumannya dan kemudian kami berciuman. Mula-mula lembut namun semakin lama semakin panas dan tanganku mulai bergerak. Awalnya kumainkan dadanya bergantian, kuusap-usap putingnya dan makin lama Titi semakin bergairah, tangannya mulai bergerak turun untuk menuju selangkanganku dan akhirnya batang kemaluanku terpegang olehnya lalu mengocoknya pelan-pelan sehingga tanpa kusadari aku mengeluarkan desahan kecil, “Sssshh… aahh...” sambil kedua tanganku kuusap-usapkan di wajah dan rambutnya.
 
“Kaaanggg, aku ingin menghisapnya.“ bisik Titi dan kemudian kubalikkan tubuhku ke posisi 69.

Langsung saja Titi memegang batangku dengan kedua tangannya lalu mengeluarkan lidahnya serta menjilati kepala batangku. Titi membuka mulut dan memasukkan batangku masuk ke dalam mulutnya. Kurasakan lidah Titi memainkan kepala batangku dan sesekali dia menghisapnya dengan lembut hingga kenikmatan yang luar biasa kurasakan pagi ini. Dan tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku mulai melebarkan kakinya dan kuletakkan badanku diantara kedua pahanya, lalu kusibak bulu kemaluannya yang lebat itu untuk melihat belahan kemaluannya, ternyata kemaluan Titi telah basah sekali. Saat ujung lidahku kujilatkan ke kelentitnya, kurasakan tubuh Titi menggelinjang agak keras lalu dengan cepat kumainkan lidahku. Kadang sesekali kusedot dengan agak keras ini sehingga Titi mulai menaik-turunkan pantatnya serta suaranya sudah meracau memanggil-manggil namaku dan saat kukecup daging kecilnya, Titi menggelinjang hebat.

“Aahh… Kang Adddiiiiiii... enaak… aahh!” rintihnya sambil kedua tangannya meremas pantatku serta menekan kepalaku lebih dalam masuk ke lubang kemaluannya. Jilatan pun kuteruskan hingga gerakan tubuh Titi semakin tidak beraturan dan kudengar suara Titi setengah mengerang, “Aaahh… oooh… Kang Addiiiiiii… aku sampaiii… oooh!”

Tubuhnya terdiam, lalu kubalikkan dan tanpa membuang waktu lagi,  kupegang batang kemaluanku yang sudah mengeras dan basah oleh kulumannya dan kuusapkan di belahan bibir kemaluannya yang sudah sedikit terbuka. kutusukkan batang kemaluanku dengan perlahan… kuresapi gesekan batang kemaluanku dengan dinding kemaluannya yang masih peret dan… Bleess! Batang kemaluanku masuk seluruhnya ke lubang kemaluan Titi diikuti dengan teriakan kecil, “Ahhhhhh...
Kang Adddiiiiiiiiiii...” dan jemari tangan Titi terasa menekan di punggungku.
Setelah diam beberapa detik karena aku sendiri merasa nikmat berada dalam cengkraman lubang kemaluannya, perlahan kunaik-turunkan pantatku sehingga batang kemaluanku yang terjepit di dalam lubang kemaluannya keluar masuk dan Titi mulai menggoyang-goyangkan pantatnya pelan-pelan sambil mendesah.

Sambilku genjot pinggulku, sesekali kucium bibirnya, meremas punggungnya, pantatnya. Sementara nafas Titi sudah kian memburu dan lalu kucabut batang kemaluanku, kubalikkan tubuh Titi yang sudah bersimbah peluh lalu setelah posisinya nungging segera saja kutusukkan kembali batang kemaluanku ke lubang kemaluan Titi yang sudah sangat basah.
Saat semua batangku sudah masuk terbenam semua di dalam lubang kemaluannya, aku lanjutkan lagi gerakan maju mundur dengan ayunan keras dan kuat. Tiap kali batang kemaluanku kutekan dengan kuat ke dalam luang kemaluannya, Titi mendesah kadang menjerit kecil memanggil namaku.
“Oooh… Kang Adddiiiiiii… enak banget! Terus... tekan yang kuaat, Kang!” jeritnya.
Aku terus menghantamkan batang kemaluanku tanpa memperdulikan rintihnya. Aku tarik dengan gerakan perlahan dan kudorong dengan gerakan menghentak sehingga tubuh Titi semakin bergetar. Kumainkan buah dadanya yang menggantung bebas. Betapa legitnya kemaluan perempuan ini, ucapku dalam hati.
Setelah beberapa lama dalam posisi itu dan kulihat Titi sudah lelah, segera kucabut batang kemaluanku dan kembali kutelentangkan tubuhnya. Titi membuka pahanya lebar-lebar hingga lubang kemaluannya agak terbuka. Kulesakkan kembali batang kemaluanku yang sudah mengeras ke lubang kemaluannya dan kembali kuayunkan pinggulku untuk menggerakkan batang kemaluanku maju mundur di lubang kenikmatannya.

“Kaaannngggg… ayooooo... Kaaannngggg… terusssss… oooohhhh…” Titi mendesah-desah tidak karuan, lalu kupeluk tubuhnya, kulumat bibirnya dan saat kurenggangkan tubuhku, segera kuhisap buah dadanya hingga terdapat tanda merah di pinggir putingnya.
 
Akhirnya tubuh Titi kurasakan mengejang. Matanya membeliak sebentar lalu terpejam kuat, lubang kemaluannya terasa menjepit batang kemaluanku dan jari-jari tangannya terasa membenam di kulit punggungku. Kupercepat ayunan batangku dan ketika kurasakan aku akan segera tiba maka kutekan pantatku dalam-dalam. Tanpa sadar kami kami berdua berteriak lirih dan kulepaskan cairan kenikmatanku untuk membanjiri lubang kemaluan Titi yang paling dalam. Beberapa detik kami seolah tidak sadar dimana kami berada… nikmat tiada terperi saat air maniku muncrat.

Tubuh kami menegang tanpa suara hingga beberapa saat lalu akhirnya aku pun roboh menindih tubuhnya. Kuangkat kepalaku menatapnya dan Titipun menatapku.

“Makasih, Sayang… indah banget pagi ini dengan permainanmu.“

“Aku juga makasih banget, Kang Adi dah buat aku merasakan nikmat yang luar biasa.“

Setelah kurasakan ketegangan berkurang, aku rebahkan tubuhku di sisinya. Nafas kami terdengar sangat keras dan saling bersahutan, kemudian Titi memelukku.

“Kang Adi… jantan banget sih… aku sampai lemas begini.“

“Sama, Ti, kamu juga begitu liar melayaniku.“

“Nafsu kita, Kang…“ katanya sambil mengecup bibirku. Kami terbaring dengan tubuh sama-sama telanjang, meresapi kenikmatan yang barusan terjadi.

“Hari ini mau dibawa kemana aku?“

“Kamu maunya kemana, Ti?“

“Aku ingin menikmati keindahan tadi lagi nanti… jadi mendingan kita diam aja disini…“

“Lha… trus kita cuma makan daging mentah melulu?“

“Aaaaahhhhh… Akang nakallll…“ katanya sambil mencubit dadaku yang masih berkeringat.
Lalu akhirnya kuajak dia untuk mandi di sumber air.
Kami mandi bersama dalam di tempat itu tanpa rasa khawatir akan ketemu orang bahkan saat aku menyabuni tubuhnya, kuajak dia untuk bersetubuh di tempat itu tetapi dia menolak karena khawatir kulitnya akan tergores oleh ranting-ranting. Ah, aku ingat, tubuhnya adalah modal utama kepopulerannya… sehingga akhirnya aku hanya menciumi saja bibirnya, pipinya.
Usai mandi, kami kembali ke tenda lalu berdua kami membuat sarapan sambil diselingi obrolan, canda, godaan…

0 comments:

Post a Comment

 

©2011Pojokan Dewasa | by TNB