Monday 18 February 2013

Cinta Pada Pandangan Pertama



Di sebuah planet kecil yang indah dan berjarak milyaran yard dari bumi, terdapat kehidupan segerombolan mahkluk hidup yang menyerupai manusia dengan telinga yang panjang meruncing ke atas, Elf namanya. Mereka terbagi dalam 2 kelompok, yakni, kelompok pekerja yang sehari-harinya hanya bekerja dan membangun segala fasilitas dalam planetnya, serta kelompok tentara yang berkewajiban menjaga stabilitas keamanan planet yang mereka namakan Elfmund Planet. Mereka hidup bersosialisasi dan damai tanpa pernah ada setetes darah pun yang tumpah akibat perpecahan atau konflik-konflik lainnya seperti mahkluk di bumi.

Meski planet mereka hanya berukuran seperempat dari ukuran bumi, namun mereka memiliki alam yang tidak kalah indah dengan di bumi, bahkan bisa dibilang alam mereka adalah alam fantasi atau kaki surga, dimana terdapat banyak panorama yang menakjubkan, seperti pepohonan dengan ranting-ranting yang menjuntai ke tanah, lengkap dengan buah-buahan yang segar, air terjun raksasa dengan pelangi seribu warna-nya, pesisir pantai juga lautan yang mempesona, mereka semua memilikinya, bahkan di planet mereka terdapat sungai yang dialiri oleh susu dan khamr.

Di segi teknologi pun mereka tidak kalah hebat dan canggih. Meski terbilang planet baru, teknologi mereka justru lebih mutakhir dengan teknologi yang di miliki manusia di bumi saat ini.

Namun uniknya, para Elf yang jumlahnya tak lebih dari seribu jiwa itu, mereka semua berjenis kelamin laki-laki kecuali sang ratu yang telah melahirkan mereka, Ratu Elfmund penghuni istana suci dan hanya elf-elf tertentu saja yang diijinkan memasukinya. Para Elf yang seluruhnya dilahirkan dari satu betina (sang ratu) itu juga memiliki penis yang sama dengan manusia jantan di bumi, namun nasib penis-penis mereka tak sebaik nasib penis-penis manusia di bumi, karena selama ini mereka hanya melampiaskan nafsunya pada alat bantu sex yang dijual secara gelap oleh seorang elf yang menjuluki dirinya sendiri sebagai Profesor, Sigmund. Namun lama-kelamaan, klien-klien Sigmund mulai merasa kentang alias kena tanggung, karena sebenarnya, alat tersebut jauh dari apa yang mereka harapkan dari sebuah alat bantu sex dan memang, secara keseluruhan alat tersebut benar-benar tidak menyerupai vagina.

Sampai pada akhirnya, Sigmund mengambil inisiatif untuk melanglang buana mengitari galaksi dan tata surya demi menemukan mahkluk yang memiliki alat kelamin seperti sang ratu, sebagai referensi pembuatan alat bantu sex, atau mungkin menciptakan replikasinya, karena tak mungkin ia meminta sang ratu untuk memperlihatkan kemaluannya.

Berminggu-minggu Sigmund melanglang buana menyusuri (planet) Neptunus, Uranus, Saturnus, Mars bahkan Namek telah disinggahinya, namun ia tak juga menemukan apa-apa selain bebatuan dan padang yang tandus, sampai akhirnya dari jarak yang cukup jauh, ia melihat sebuah planet berwarna biru samar.

Bibir Sigmund mulai tersenyum sumringah, karena semakin ia mendekati planet tersebut, semakin jelas terlihat adanya kehidupan di sana.

Namun adalah tolol bila dia langsung mendaratkan kendaraan super duper canggihnya di daratan planet tersebut, beberapa saat ia mengapung dari permukaan, sambil memantau dengan computer super jeniusnya untuk menganalisa struktur dan tetek bangek lainnya tentang planet yang tak lain dan tak bukan adalah bumi. EARTH...!!

Seperempat jam berlalu, ia berfikir keras bagaimana caranya agar bisa menjejakan kakinya di bumi dan menculik mahkluk di planet tersebut yang memiliki kelamin betina tanpa memicu kehebohan, karena menurut komputernya, mahkluk bumi tercatat sebagai mahkluk paling lebay.

Tiba-tiba saja, ia menjentikkan jarinya sambil tersenyum seperti baru saja memecahkan sebuah rumus yang rumit. Sembilan jarinya mulai mengetik cepat pada keybord di depannya sementara bibirnya masih saja tersenyum penuh misteri.

Selesai dengan pengetikannya, ia bertolak pinggang sambil menegakan punggungnya yang lelah membungkuk, masih dengan senyum dan tatapan tajamnya pada screen monitor yang mulai menunjukan tanda-tanda akan adanya perubahan transformasi dari sebuah UFO menjadi...

***

Sementara di bumi...

Entah apa yang di pikirkannya, namun wajah cantiknya jelas-jelas menggambarkan kegundahan hati. Setengah jam berlalu, perempuan berwajah sendu itu cuma berdiam diri sambil memandang ke arah luar jendela kamar hotelnya, sebuah jendela yang menyuguhkan pemandangan dari lantai 10 tentang gemerlap kehidupan pusat Jakarta di malam ini dengan gerimis yang makin mengesankan betapa dinginnya di luar sana. Bulir-bulir gerimis yang disisakan hujan sore tadi masih membuat orang-orang yang berlalu lalang melindungi kepala mereka dengan payung, meski ada beberapa yang nekat basah-basahan, juga tentang dua sejoli yang tengah berjalan mesra di bawah rintikan gerimis sambil menutupi kepala mereka dengan selembar jaket.

Sejurus kemudian, perempuan muda itu memalingkan pandangnya.
Mata cantiknya memancar teduh, menyisir pandang ke sekeliling kamar yang di dominasi warna hitam dan merah marun dengan dekorasi yang mengedepankan nuansa romantic glamour dengan penempatan atau tata letak barang yang menciptakan harmonisasi yang memanjakan indra penglihatan, sepertinya, sang penata mencoba mendeskripsikan cinta ke dalam dimensi sebuah ruang.

Namun tiba-tiba saja mimik wajahnya berubah serius, dia seperti sedang memikirkan sebuah rencana... berfikir dan berfikir... tidak lama kemudian ia menjentikan jarinya, disusul seutas senyum pada bibirnya yang merah mengkilap basah.

Ia segera bergegas dan meninggalkan kamar yang sejam lalu di booking seorang pria yang hendak menidurinya. Tak sampai seperempat jam ia sudah berada di jalan raya seorang diri dalam Honda Civic kesayangannya. Dengan kecepatan rata-rata 70 km/jam, ia menembus jalanan Jakarta yang saat itu sudah lenggang karena gerimis sudah menjadi hujan yang deras.

Namun naas baginya, di tengah pelarian, ban kiri belakangnya bocor dan mau tak mau dia harus menghentikan laju kendaraannya. Setelah memepetkan mobilnya pada trotoar, ia segera turun dan mengganti sendiri ban mobilnya di tengah lebatnya hujan. Susah payah ia melakukannya sampai akhirnya ada seorang supir taksi yang mau berbaik hati membantu melepas bannya yang bocor di saat seperti ini.

Tapi ternyata supir taksi itu punya maksud terselubung, begitu dilihatnya lengah, supir taksi bertubuh tegap itu malah membekap wajah si cantik dengan kain yang sudah di bubuhi bius, seketika si cantik pun semaput.

Tanpa membuang-buang waktu, supir taksi segera membopong si cantik ke dalam taksinya, membaringkannya di jok belakang tanpa perlu was-was karena ia tahu, tak ada seorang manusia pun di lokasi tersebut.

Sejurus kemudian taksi itu pun melaju sekencang-kencangnya menuju jalanan yang sekiranya aman untuk melakukan transformasi dari sebuah taksi menjadi kendaraan super duper canggih yang mampu melintas antarplanet.

"Huahahahaha..." teriak Sigmund kegirangan, setelah berhasil mentransformasikan taksi gembel-nya kembali menjadi UFO super keren yang kemudian bergerak dengan kecepatan penuh melesat menembus lapisan ozon.

Betapa senangnya hati Sigmund, karena akhirnya dia berhasil menemukan dan membawa pulang mahkluk yang memiliki kelamin seperti sang ratu, tanpa menyadari bahwa korban penculikannya adalah pemeran Ayu dalam drama korea berjudul Sarangsange, Revalina S. Temat.

Selama perjalanan menuju planetnya, Sigmund tak henti-hentinya bersiul dan bernyanyi bahkan sempat-sempatnya dia bergangnam style ketika pesawatnya nyaris menabrak meteroid.

Sesampainya di planet kelahirannya, Sigmund langsung mengarahkan kendali pesawat ke halaman rumahnya dan menerobos hangar pesawatnya tanpa mempedulikan kalau gerbangnya belum membuka sempurna. Tanpa perlu seremonial atau sujud syukur, Elf dengan tinggi badan 170 cm itu segera membopong si cantik ke dalam lab-nya.

Diletakannya tubuh manusia bumi tersebut di atas ranjang dalam laboratoriumnya, tubuh yang masih mengenakan pakaian lengkap (t-shirt putih merek Zarra, rok mini berbahan jeans dan boots sexy berwarna coklat gelap). Sejurus kemudian Sigmund segera menyiapkan beberapa utas tali, lalu mengikat kedua kaki dan tangan korban, juga tak lupa ia membungkam mulut mungil si korban dengan sehelai kain.

Kini, jantung Sigmund benar-benar berdegup kencang tidak beraturan, tak percaya dengan apa yang didapatnya. Ia pun mulai memberanikan diri menyentuh selangkangan dara manis kelahiran Jakarta 26 tahun silam yang masih terbungkus rapih celana dalam berwarna beige.

Namun sial bagi Sigmund, belum sempat ia menyentuh bagian tersebut, Reva keburu sadar dari pingsannya. Gadis itu meronta-ronta minta dilepaskan, tapi apa daya, ikatan tali pada lengan dan kakinya begitu kencang, begitu kuat.

Sigmund mendadak bingung dan kikuk, ia pun segera meminta maaf pada Reva dan mencoba menjelaskan maksudnya, namun percuma karena Reva tak mengerti omongannya. Sampai akhirnya Sigmund teringat pada sebuah permen yang diciptakannya sendiri, sebuah permen yang jika di makan akan membuat si pemakannya memiliki kemampuan berbicara dan mengerti bahasa yang di inginkannya.

"Tenang.. Tenang..! Saya tidak akan menyakitimu." ucap Sigmund pada Reva setelah memakan permen ajaibnya.

Kemudian Sigmund mencoba menjelaskan dan memberitahu Reva yang masih terikat tak berdaya, tentang di mana keberadaannya kini. Namun sang artis tidak mempercayainya begitu saja, hingga akhirnya Elf berwajah tampan tersebut nekat mengajak Reva mengelilingi planetnya dengan UFO-nya agar si cantik itu mempercayainya.

Selama perjalanan 'bertamasya' mengelilingi planet Elfmund, Reva benar-benar tak percaya dangan apa yang dilihatnya, bahkan beberapa kali ia menampar pipinya sendiri, memastikan bahwa ia tak sedang bermimpi. Di lihatnya sendiri Pepohonan tinggi besar dengan ranting-ranting yang menjuntai menyentuh tanah berisikan buah-buahan yang segar dan ranum, panorama sebuah air terjun yang begitu menakjubkan dengan pelangi yang memiliki seribu warna dan pesona alam lainnya, juga kecanggihan segala fasilitas yang tak pernah dilihatnya. Inilah perpaduan antara teknologi masa depan dan keunikan alam fantasi yang hanya ada di Elfmund planet. Namun ada satu hal yang membuat si cantik ini bingung dan geli sendiri, Bangsa Elf mampu menciptakan dan mengembangkan teknologi secanggih ini dengan masih menjaga kelestarian alam dan ekosistem lainnya, namun mereka semua tak mengenal yang namanya aurat, penis-penis mereka bergelantungan bebas ketika bekerja atau melakukan aktifitas lainnya, sama seperti Elf yang menculik Reva, Sigmund.

Apa mungkin karena mereka semua berjenis kelamin yang sama, jadi tak perlu menutupi apa yang dinamakan dengan 'persetan' aurat ?! entahlah, hanya Sigmund dan famili-nya yang tahu.

Setelah beberapa saat mengajak Reva mengitari Elfmund sambil menjelaskan maksud penculikannya, Sigmund kembali membawa Reva ke rumahnya.
Mati-matian Sigmund membujuk Reva agar mau membantunya membuat alat bantu sex, hingga akhirnya si cantik pun mengabulkan permintaan Sigmund lantaran tidak tega melihat mimik wajah Sigmund yang begitu memelas sampai-sampai sudi menjilati boots-nya. Meski malu-malu, dengan sukarela Reva pun mulai beranjak menaiki ranjang dalam ruang laboratorium tersebut lalu melepas celana dalamnya.

Sejurus kemudian si cantik itu mulai merebahkan kepalanya pada bantalan yang telah disiapkan Sigmund dan membiarkan Elf tersebut membuka sepasang pahanya yang putih mulus.

Detik itu juga penis Sigmund menegang tak terkira mendapati pemandangan ‘mengerikan’ tepat di depan matanya, yang tak lain adalah selangkangan sesosok mahkluk yang memliki kelamin seperti sang ratu. Namun yang satu ini berbeda, rapat dengan bulu yang tidak terlalu lebat.

Sigmund mulai memberanikan diri untuk membungkukkan badannya setelah yakin bahwa sang donatur ikhlas membantunya, kemudian mengendus, menciumi aroma dari selangkangan Reva yang ditumbuhi beberapa lembar bulu-bulu genit. Setelah menciumi dan menghafalkan aromanya, Sigmund mulai menyentuh bagian berbelah tersebut. Disibakkannya beberapa helai jembut Reva lalu menatap lekat-lekat permukaan vagina si cantik.

Beberapa menit menganalisis bagian luarnya sambil menempelkan stetoskop yang terhubung pada kuping lancipnya, Sigmund berlanjut pada bagian sebelah dalam. Ditusukannya pelan telunjuk yang telah diolesi sejenis minyak ke dalam liang persenggamaan Reva lalu mendiamkannya sejenak, sesekali ia mengobelnya pelan untuk mengenali tekstur di dalamnya. Tak lama kemudian Sigmund pun mengangguk-anggukan kepalanya, seperti menemukan dan mengerti suatu hal tanpa menyadari, bahwa si empunya memek jadi horny dengan perlakuannya itu.
Puas ’berkenalan’, Sigmund pun mencabut telunjuknya dari memek si cantik. Timbul keinginan untuk menganalisis bagian yang baru saja dikobelnya, Sigmund meraih sebuah alat kedokteran bernama Speculum lalu mulai memasukannya ke dalam vagina Reva, tentu saja setelah melumurinya dengan pelumas yang sama.

Setelah speculum masuk dengan sempurna, dengan hati-hati Sigmund menarik tuasnya, hingga bagian ujung alat tersebut yang menyerupai gunting, mendongkrak pelan belahan vagina si cantik, memperlihatkan bagian dalamnya secara gamblang.

Kini, dengan speculum, Sigmund bisa melihat bagian dalam vagina Reva. Segera saja ia mengambil ballpoint dan alat pengukur khusus berukuran mini. Dan dengan alat pengukur tersebut, ia mulai mengukur jarak antara ’instrument-instrument’ di dalamnya, seperti klitoris, lubang urinior dan liang peranakan, tak lupa juga Sigmund mengukur berapa jarak antara anus dan vagina mahkluk bumi tersebut. Selesai melakukan penggukuran dan mencatatnya pada whiteboard, Sigmund tak segera mencabut alat yang mendongkrak vagina Reva, ia masih ingin mempelajarinya lebih lanjut dan terperinci.

Beberapa setelah itu, Elf jenius yang menganggap dirinya sebagai profesor, beranjak ke ruang sebelah lalu kembali dengan sebilah alat menyerupai penis namun terbuat dari kaca, dilengkapi microcamera di dalamnya yang terhubung secara langsung dengan komputer tanpa bantuan kabel. Setelah mengecek alat tersebut, Sigmund mulai menusukannya ke dalam vagina sang Reva lalu berhenti pada kedalaman 1 cm. Beberapa saat Sigmund memperhatikan screen monitornya yang menunjukan tentang bagian dalam vagina. Lalu menusukannya lagi dan lagi namun berhenti per 1 cm, hingga ujung alat tersebut menyentuh mulut rahim sang donatur.

Ada sekitar 5 menitan Sigmund mempelajari bagian tersebut dari gambar yang ditampilkan oleh layar komputer, sementara sang donatur berusaha tetap tenang, karena kegiatan Sigmund tersebut mulai menaikan libido-nya.

Berkali-kali Sigmund menarik ulur alat edan tersebut sambil terus mengamati screen monitornya. Sesaat kemudian, profesor muda itu menolehkan wajahnya ke arah Reva dan mendapati mata cantik wanita tersebut sedang terpejam sembari menjilat pelan bibirnya, seperti sedang enjoy merasakan sesuatu.

Sigmund menangkap sesuatu dalam pikirannya, ia mengerti apa yang di rasakan Reva. Ia pun menyengaja memelintir alat dalam genggamannya tersebut sambil tetap menggerakannya keluar masuk secara perlahan.

Ia tersenyum mendengar Reva mendesis dan mulai menggeliat kegelian. Sigmund makin kurang ajar, dengan terus menerus membuat dara manis tersebut makin kelojotan. Sementara Reva, sesekali membuka tipis kelopak matanya, memantau apa yang dikerjakan Sigmund pada lubang ngewe-nya.

Seakan kurang dengan apa yang di lakukan Sigmund , Reva merayapkan sendiri lengannya ke dalam t-shirt putihnya lalu berhenti di atas ujung payudara dan mulai meremasnya pelan. Pelan dan pelan...

Sigmund makin serius dengan apa yang dikerjakannya setelah mengetahui dinding dalam veggi Reva mulai merembes mengeluarkan pelumas alami. Ia pun mempercepat pergerakannya, sampai menimbulkan suara becek dari dalamnya.

”Ohh… ighh… shh… oufhh… aaghh...” beragam desahan Reva mulai terdengar, menandakan bahwa ia makin tak kuasa di 'coli-in'. Sementara satu tangannya masih meremas payudaranya sendiri, satunya lagi mencengkram erat tepian ranjang seperti hendak meremukkannya.

Sigmund makin membungkukkan badannya, mendekatkan wajahnya pada vagina yang sedang berkontraksi tinggi sementara lengannya terus bekerja dengan giat, tanpa mempedulikan lagi gambar yang ditunjukkan screen monitornya, meski sebenernya dia sedikit kerepotan dengan satu paha Reva yang bergerak-gerak kegelian, mau tak mau, ia menahan paha tersebut dengan satu tangannya lagi.

Detik ke detik, dari pengamatan menjadi erangan. Si cantik Reva bener-bener nge-fly, merasakan nikmatnya terbang dan tenggelam. Dari alam nyata menuju fantasy, sambil mengoyangkan pinggulnya pelan seakan ingin melumat habis alat yang disodokkan Sigmund ke dalam mekie-nya, sementara bibir mekie tersebut masih menganga, terdongkrak alat bernama speculum.

Dinding dalam vagina Reva makin berkedut cepat, tak kuat lagi menahan serangan demi serangan. Sigmund makin gila, sambil terus mengocokkan benda jahanamnya, ia mendorong paha sebelah kiri Reva sedangkan lengan kirinya membuka lebar paha mulus Reva yang satunya lagi, sehingga selangkangan Reva benar-benar melebar dan sedikit terangkat karena Sigmund mendorong kuat paha mulus tersebut.

"Aghh... ahh... aaghh... f-fuck...!" lenguhan Reva makin membahana ke seantero ruang lab yang cuma berukuran 6x8 meter tersebut. Bibirnya terbuka lebar dengan wajah yang menengadah tanpa menghentikan goyang pinggulnya.

Hingga akhirnya tubuh moleknya pun menggelinjang edan sambil mengempit kedua pahanya kuat-kuat, matanya terpejam begitu erat merasakan desir dan deburan kenikmatan yang meluluhlantakkan seluruh persendiannya atau mungkin malah meremukkannya.

Sesaat kemudian Reva merasakan tubuhnya seperti meleleh, namun dinding-dinding vaginanya terus saja mengemut benda yang sengaja dijejalkan Sigmund ke dalam veggi-nya. Mata Reva telihat sayu dengan tubuh yang mengkilap lantaran keringat dingin, wajahnya pun memerah menandakan orgasme baru saja memecut keras tubuhnya. Sementara Sigmund, Elf baik hati dan rajin belajar tersebut dengan segenap hati mengelap cairan squirtin' si cantik yang membasahi ranjangnya.

Sejurus kemudian Sigmund beranjak dari ruangan tersebut lalu kembali membawa segelas air dan memberikannya pada Reva yang dirasanya begitu kelelahan. Seperti terkena dehidrasi tinggi, dara cantik itu meminumnya sampai habis.

”Mau lagi?!” tawar Sigmund tersenyum ramah.

"Udah cukup.” jawab si cantik Reva disusul sesungging senyum pada bibir tipisnya.

Tak lama setelah menaruh gelas, Sigmund pun membereskan semua perabotnya yang berjejalan pada vagina si cantik, tak lupa juga ia mengelap permukaan veggi tersebut dengan selembar tissue hingga kering.

Setelah veggi Reva kering seperti sedia kala meski lubang ngewe-nya rada melongo sedikit, Sigmund menjulurkan tangannya dengan maksud membantu Reva bangkit dari rebahnya, namun, bukan lengan yang diraih Reva, melainkan penis yang menggelantung di selangkangan profesor muda tersebut.

Sigmund yang jenius paham apa maksudnya, sambil menatap sepasang mata yang memandangnya, Sigmund bergerak pelan, mendekatkan batang kejantanannya ke wajah Reva dan Reva pun makin mendekatkan paras cantiknya, menyambut sesuatu yang pasti menghampiri mulut mungilnya.

Tanpa tedeng aling-aling, Reva yang cantik pun mulai menjulurkan lidahnya, mecicipi ujung penis dari mahkluk yang selama ini dianggapnya cuma ada di dunia maya. Lalu dengan telaten dan sukarela ia mulai menyapu kepala penis Sigmund bahkan kini ia membelitnya, membuat Sigmund harus menghela nafas panjang.

Selesai memanasi penis Sigmund, Reva melebarkan lagi pahanya lalu mengusap vaginanya sendiri, menginstruksikan agar Sigmund menjejalinya dengan penis miliknya.

Kini Sigmund menyelinapkan tubuhnya ke antara paha yang mengangkang ihklas itu, lalu menarik tubuh Reva agar dekat dengan tubuhnya. Sesaat setelah pencarian posisi, si cantik merapihkan rambut panjangnya yang berantakan lalu mengangkat t-shirt yang dipakainya, memperlihatkan kemilau indah buah dadanya yang baru saja dibebaskan dari kekangan bra berwarna purple, kemudian meminta jasa kesepuluh jari Sigmund untuk meremasnya dan Sigmund yang beruntung pun segera melakukannya dengan begitu lembut, begitu berperasaan.

Sementara Sigmund menghayati pemerasaannya, satu lengan Reva meringsek menjemput penis yang sudah siap di pintu 'surga'. Digenggamnya pasti sekujur batang berurat tersebut, sambil mengangkat sedikit punggungnya dan mengangkat lebih tinggi pahanya, Reva mulai menusukkan ujung penis Sigmund pada lubang destinasi setelah sesaat sebelumnya menyinggahi kelentit.

Begitu kepala penis tersebut menyumpal mekie-nya, Reva melepaskan genggamannya lalu mencengkram pinggang sang profesor dengan kedua tangannya. Sambil menikmati remasan lembut pada toket-nya, Reva memejamkan mata dan menarik pinggang Sigmund, membuat kepala penis pada mulut vaginanya melesak lebih dalam.

"Sscchhhhh…" Reva mendesis menikmati sesenti demi sesenti batang penis yang menyeruak mesra dinding vaginanya.

"Oouugghhhh… sscchhhhhh..." Sigmund pun merasakan hal yang sama, ia melenguh sembari meremas kuat sepasang kantung susu dihadapannya.

Sigmund yang baru kali ini melakukan hubungan sex dengan wanita sungguhan, tak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian setelah penisnya melesak utuh ke dalam sesuatu yang lembut mencengkram dengan kehangatan yang menyenangkan.

Mendapati pasangannya lugu dengan hal ini, Reva menggoyangkan sendiri pinggulnya tanpa melepaskan cengkraman pada pinggang Sigmund. Sesekali Reva bergoyang memutar mencari sendiri sensasi yang sudah terlanjur membuatnya...

"Ooouugghhh... eemmgghhhh..." Reva menggigit-gigit kecil bibir bawahnya sambil terus menggoyangkan pinggulnya, erotis.

Sigmund yang menyadari keluguannya, mulai percaya diri untuk membungkukkan lagi tubuhnya sembari memasukan putting sebelah kiri Reva ke dalam mulut dan meremas dengan bibir dan lidahnya yang hangat dan lembab.

Reva memindahkan pegangannya dari pinggang Sigmund ke tepian ranjang di kiri-kanannya. Sigmund yang mulai mengerti, kini memberanikan diri menggerakan penisnya keluar masuk dalam liang persenggamaan Reva.

"Terus... terus... ouhhh... iya, begitu... goyang lagi... terus... lebih cepet dikit...! ahhhhhhh... aaarrrggghhhhh... AAAAAAAAAAAAAA...!" Reva yang cerewet selama dientot mahkluk bertelinga panjang itu, akhirnya menemukan lagi orgasmenya. Namun tidak bagi Sigmund, ia belum mencapai titik ejakulasinya.

Akhirnya dengan hati yang sudi mau membantu, Reva bangkit menuruni ranjang lalu berlutut menghadap penis berkepala besar milik Sigmund dan...
"Slurpp... sluurpp... sluurrpp...!" Reva dan mulut mungilnya membantu Sigmund mencapai garis finish.

Tapi tak perlu waktu lama untuk Reva membantu Elf tersebut. Baru beberapa kenyotan, lubang kontie Sigmund langsung meludahi wajah si cantik dengan sejenis cairan berwarna hijau menyala mirip darah alien, namun si cantik tak mempedulikan warnanya, malah dengan sengaja ia membuka mulut hingga sebagian cairan tersebut masuk ke dalam rongga mulutnya.

"Udah belom?!" tanya Reva sejurus kemudian sambil mengumpulkan cairan yang belepotan di bibir dengan lidahnya sendiri lalu memasukan ke dalam mulutnya.

Sigmund hanya menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum menatap Reva dengan pandangan menakjubkan.

Reva kemudian berdiri, lalu mengeluarkan cairan dari dalam mulut dan menampungnya pada telapak tangannya yang terbuka. Setelah itu, ia memoleskannya pada permukaan vaginanya sendiri.

Sigmund menatap lekat-lekat pemandangan tersebut. Baru kali ini ia melihat sesosok mahkluk yang mampu menggerakkan sesuatu dalam jiwanya, sementara Reva sibuk sendiri dengan vaginanya yang menyala berwarna hijau tanpa menyadari kelakuannya tersebut menumbuhkan benih cinta dalam hati Sigmund.

Sigmund mengelus dadanya, ia merasa ada sesuatu yang merasuk ke dalam dirinya, namun sesuatu itu tak nampak.

Tak lama kemudian, dengan dibantu Sigmund, Reva membersihkan tubuhnya dalam kamar mandi. Dara cantik itu tampak begitu gembira, senyum riangnya seperti tak habis-habis ia kembangkan.

Selesai membersihkan tubuhnya, Sigmund mengajak Reva untuk sejenak berbincang sambil menikmati secangkir teh yang diseduh dengan air susu dari sungai di belakang rumahnya. Dalam perbincangan tersebut, Sigmund bertanya pada Reva tentang sesuatu yang menderanya kini, sesuatu yang tak bisa digambarkan atau diungkapkan dan Reva menjawab bahwa ia sedang jatuh cinta.

"Berarti kamu sedang jatuh cinta, cinta pada pandangan pertama." jawab Reva sembari menowel hidung Sigmund yang mancung. Sesaat setelah menjawabnya, Reva juga mengungkapkan keinginannya untuk tinggal di planet yang hebat ini. Namun Sigmund tak mengijinkannya, sebab hal itu bisa memantik kericuhan dan tidak menutup kemungkinan juga hal tersebut akan menimbulkan perang saudara.

Reva berbesar hati mendengar panjang lebar penjelasan Sigmund dan sambil sesekali melirik kemaluan Sigmund.

"Saya sudah berjanji pada diri saya sendiri, bahwa saya akan mengembalikanmu setelah mengetahui perihal vagina yang sesungguhnya, karena selama ini saya cuma mendapat informasi mengenai hal itu dari beberapa Elf yang membantu persalinan Ratu kami." tutur Sigmund dengan mata menerawang ke arah sunset yang terlihat dari jendela rumahnya.

Mau tak mau, Reva harus kembali ke planet yang dibencinya dan memupus keinginan untuk tinggal di planet yang dipenuhi keajaiban ini dan penis-penis yang bergelantungan bebas. Sementara Sigmund pun merasa hal yang sama, jauh di palung hatinya, Elf tersebut ingin terus menerus hidup dengan mahkluk yang memiliki vagina itu, namun tak mungkin.

Tapi lebih dari apa yang ia dapatkan tentang vagina dan mencatat pada whiteboard-nya, Sigmund mulai mengerti, kalau ternyata segumpal daging yang bernama hati, bisa diisi oleh sebuah perasaan yang katanya Reva adalah CINTA. Sesuatu yang baru saja di temukan Sigmund dengan hatinya.

Bila ia bisa menciptakan replikasi vagina atau alat bantu sex lainnya, tapi untuk yang satu ini... TIDAK. Sigmund menyadari bahwa tak ada satu mahkluk pun yang mampu menciptakan atau memusnahkan perasaan bernama cinta, kecuali cinta itu sendiri.

***

Sebentar lagi mereka sampai di bumi, Reva yang duduk di samping sang pilot yang tak lain dan tak bukan adalah Sigmund, heran melihat Sigmund senyam-senyum sendiri.

"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?!"

"Gak pa-pa." jawab Sigmund singkat. Padahal jauh di lubuk hatinya, Sigmund makin tergelitik dengan apa yang namanya cinta. Cinta tak bisa ditemukan dalam alat bantu sex atau pun dalam vagina sungguhan. Cinta akan datang dengan sendirinya, menyentuh tanpa tangan, merangkul tanpa sayap atau mungkin membunuh tanpa pisau.

Selidik punya selidik, Reva mengerti apa yang dirasakan Sigmund, mahkluk unik yang cantik ini sedang jatuh cinta padanya. Dan sebagai salam perpisahan, Reva berbisik pada Sigmund untuk sebentar meng-auto pilot-kan UFO-nya. Setelah UFO berada pada mode tersebut, tanpa basa-basi lagi kedua mahkluk berbeda planet tersebut kembali bercinta sebelum UFO itu mendarat di bumi dan memisahkan Sigmund dengan mahkluk yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

0 comments:

Post a Comment

 

©2011Pojokan Dewasa | by TNB