Monday 18 February 2013
One Day Paradise
Velove memejamkan matanya lalu menghirup udara segar dari hidungnya yang
mancung. Lengkungan
tipis nan samar tertarik dari sudut kanan bibirnya, merambat menuju sudut
sebelahnya. Sebuah sentuhan halus tergerak di pundaknya, membuat Velove membuka
matanya lalu menengok ke belakang.
“Mungkin lebih baik kau pulang.”
ujar sebuah suara.
Velove tidak peduli. Gadis itu
tetap terduduk, kembali menuju posisinya, namun kini memilih untuk tidak
menutup mata. Suara itu makin mendekat, memberikan fakta bahwa si pemilik suara
telah duduk di sampingnya, lalu menyampirkan lengannya di bahu Velove. Menarik
gadis itu agar bersandar kepadanya.
“Jul,” suara Velove terdengar
lirih, sarat akan kekhawatiran dan kecemasan, “Apa kita bisa… selamanya?”
“Kau bicara apa sih?” Julian memotong ucapan gadis pemeran Olivia itu dengan mimik tidak suka. Laki-laki itu memandang langit biru dari tempatnya duduk lalu menghela nafasnya perlahan, “Maafkan aku. Kau benar. Harusnya kita memang tidak begini, Ve.”
Mereka berdua terdiam. Setiap
helaan nafas dan detak jantung mengandung makna emosi dan kekecewaan, membuat
mereka hampir tidak bisa berfikir dan pasrah dengan kenyataan. Untuk yang
kesekian kalinya, Velove kembali menutup mata lalu bicara, “Aku bermimpi...”
ujarnya, “aku bermimpi melihat sepasang merpati di dekat rumah. Saat aku
berusaha untuk mengambil keduanya...”
Velove berhenti bicara. Gadis
itu mengigit bibirnya, “S-saat aku berusaha untuk mengambil keduanya, sepasang
merpati itu pergi. Dengan jalur yang berbeda. Apa artinya?”
“Umurmu berapa sih? Masih
percaya dengan mimpi?” Julian berkata dingin dengan nada mengejek, namun tidak
membuat Velove tergerak untuk tertawa atau tersenyum. Gadis itu semakin cemas.
Keadaan itu membuat Julian sadar lalu berdehem.
“Maksudmu, apa kita akan
berpisah?” Julian kembali berkata dan dibalas anggukan oleh Velove. Laki-laki
itu menarik nafas sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga paru-paru miliknya
yang entah mengapa terasa menyempit.
Sakit sekali...
Julian kembali menatap Velove lekat-lekat
seolah ini adalah kesempatan terakhirnya melihat gadis berambut hitam itu ada
disisinya. Tanpa kesadaran penuh, Julian mendekatkan wajahnya ke arah Velove.
Mengecup dahi perempuan itu lembut lalu dan mengusap pelan pipi Velove dengan
jemarinya.
Dengan suara berat dan sarat
getaran, laki-laki itu berkata, “Tidak akan!”
***
Velove menyetop taksi lalu naik.
Sudah
seharian ia tinggal di apartement Julian dengan alasan mengerjakan tugas kampus
bersama Jenny, teman mainnya. Velove tersenyum miris.
Tidak sedetikpun Velove ingin
lepas dari genggaman Julian. Akhir-akhir ini feelingnya terasa kelabu. Mimpinya
terus-terusan berwarna hitam putih dan buruk hingga gadis itu merasa mungkin
suatu pertanda buruk akan terjadi pada hubungannya dengan laki-laki itu.
Sudah hampir 4 tahun Velove berpacaran
dengan Julian. Diawali dengan pertemuan mereka saat SMA, lalu berlanjut ke arah
yang lebih jauh. Satu sekolah merasa terkejut saat tahu bahwa gadis pendiam itu
menjalin hubungan dengan Julian. Ya, yang dimaksud adalah Julian Prasetya. Anak
broken home yang terkenal bajingan dan dingin, yang selalu cari masalah.
Entah pada guru, pada siswa SMA lain, atau pada keluarganya sendiri, terutama ayahnya.
Untuk masalah Julian dan ayahnya
kita bicarakan nanti. Yang terpenting adalah bagaimana Velove mengenal Julian dan
tahu sisi baik laki-laki itu yang tertimbun di dalam hati kecilnya. Julian adalah
anak yang baik, penyayang dan penurut, namun didikan keras dan masa-masa kelabu
bersama kedua orang tuanya membuat Julian berubah.
Dan Velove tahu itu.
Mengenai orang tuanya… Apa yang
kau pikirkan kalau orang tua Velove sampai tahu bahwa gadis mereka berpacaran
dengan seorang bajingan macam Julian? Pasti akan murka dan marah besar. Jadi
mereka memilih untuk backstreet saja, walaupun akhirnya dua tahun
yang lalu orang tua Velove tahu dan memaksa anak perempuannya agar memutuskan
hubungannya dengan sang kekasih.
Dan Velove berjanji.
Namun gadis itu mengingkarinya.
Memori Velove terpause saat gadis itu telah sampai di depan rumahnya.
Rumah megah berlantai dua, kediaman keluarga O.C Kaligis yang terkenal ke seantero
negeri karena sang tulang punggung keluarga adalah salah satu pengacara kondang
di Indonesia.
Dan Velove tidak suka predikat
itu.
“Ini, pak.” Velove menyerahkan
selembar uang pada supir taksi, lalu berjalan lesu menuju rumahnya. Gadis itu
tidak menghiraukan teriakan sang supir tentang uang kembalian, karena nominal
uang yang tadi Velove berikan terlalu besar.
Seorang gadis berpakaian resmi dengan
sigap berjalan di samping Velove. Melindungi Velove dari sergapan orang
berbahaya atau apa, bak putri presiden. Velove mendesah. Lelah dengan semua
prosedur penyelamatan dan embel-embel melindungi yang sudah dicap padanya
sedari lahir.
Velove mendekatkan matanya pada
sebuah kamera mini yang menempel di pintu utama. Kamera itu memutar-mutar
lensanya dengan cepat lalu pintu ruang tamu terbuka dengan sendirinya. Velove berjalan
entang menuju ruang tamu dan berbelok menuju kamarnya.
Gadis itu segera membuka
ponselnya lalu menekan angka satu yang langsung terhubung dengan nomor Julian.
“Jadi kau sudah di rumah?” suara Julian
menyambut dari ujung telepon.
“Iya.”
“Jangan menelfonku terus, nanti
pulsamu habis.”
“Aku tinggal beli pulsa lagi,
apa susahnya?”
“Kau ini…”
“Sayang,” suara wanita paruh
baya mengalir di telinga Velove, membuatnya tanpa sadar bergidik. Gadis itu terdiam.
Ia tidak mendengarkan lanjutan kalimat Julian karena langsung menjatuhkan
ponselnya di sela-sela seprai.
“Eh, Mama,” Velove berbalik dan
membalas tatapan mamanya yang teduh namun tajam. Wanita itu bernama Alfa Lolita.
Suara stilleto milik sang mama beradu dengan lantai saat wanita itu berjalan
menghampiri Velove, entah mengapa membuat degup jantung Velove seperti terpompa
habis-habisan.
“Tadi Jenny kemari,
mengembalikkan makalah milikmu yang ia pinjam.”
Deg!
Mati kau, Velove Vexia! gumam Velove.
Gadis itu mencoba bersikap natural, lalu tersenyum pada mamanya, “Trims infonya,
Mah. Lalu, dimana makalahku?”
“Ve, bukan itu pointnya.” Alfa
Lolita menghela nafasnya perlahan ,lalu melanjutkan kalimatnya, “Dari mana saja
kau semalaman? Kamu tidak menginap di rumah Jenny kan?!”
Headshoot! Kena kau, Velove!
Velove gelapagan. Ia paling
tidak bisa berbohong dihadapan mamanya. Gadis itu menunduk, lalu dengan nada rendah
berkata, “Mamah bicara apa? Aku ke rumah Jenny kok kemarin.”
“Lalu mengapa kamu enggan
dijemput sama Mang Didin?” mata Alfa mulai berkaca-kaca. Tidak. Ia tidak marah
sedikitpun pada anak putrinya ini. Ia sedih. Dan takut.
Velove masih belum menjawab.
Dengan penuh kasih sayang, Alfa membelai
rambut Velove lalu tersenyum pahit, “Apa kamu ke apartemen Julian?”
“Eh, Mah... aku...” Velove mulai
menitikkan air mata. Lidahnya kelu dan terasa hambar. Ia takut sekali mamanya akan menangis
seperti dulu. Menangis melihat Velove dimarahi habis-habisan oleh sang Papa,
dan O.C Kaligis tak segan-segan menampar anak gadis itu.
“Velove,” Alfa Lolita mulai
menitikkan air matanya juga, “dengar kata mamah ya, nak. Julian tidak baik
untukmu.”
Velove tidak dapat menjawab.
Ya, setiap orang pasti
langsung menilai Julian begitu. Anak broken home yang arogan
dan memilih tinggal berpisah dari orang tuanya, mana lagi sisi positif yang
bisa membela Julian?
“Jenny kemari tadi malam, dan papamu
marah besar. Untung saja sekarang ia sedang pergi bekerja, sehingga kamu tak kena marah.”
Alfa menatap putri satu-satunya itu, ”Papamu sudah memesankan tiket ke Perancis.
Kamu akan melanjutkan kuliah disana.”
“Hah! Mamah!” Velove menatap mamanya
nanar. Jantungnya serasa berhenti mendadak dan setiap hembusan nafas dari
hidungnya terasa menyakitkan.
Alfa tahu itu. Wanita 40 tahunan
itu menuntun Velove dalam pelukannya lalu menyisir rambut Velove penuh rasa
sayang, “Lusa kamu akan pergi. Jangan membantah ya, nak.”
Velove tidak ingin jadi anak
durhaka. Ia tidak ingin membuat mamanya kecewa untuk yang kedua kalinya.
Melihat mamanya menangis adalah siksaan dunia yang paling ia benci.
Dengan segala kekecewaan dan
rasa pilu yang tertimbun di hatinya, gadis kelahiran Manado, 13 Maret 1990 itu
mengangguk kecil.
***
Julian baru saja akan mengambil
handuknya saat ponselnya bergetar. Dari Velove.
“Jadi kau sudah di rumah?” Julian
menyambutnya tanpa basa-basi. Pria itu memilih untuk duduk di sofa sambil
melirik ke arah televisi.
“Iya.”
“Jangan menelfonku terus, nanti
pulsamu habis” ujar laki-laki itu jenaka. Velove ini umurnya berapa sih? Hampir
tiap ada kejadian, gadis itu selalu menyempatkan waktunya untuk menelpon dirinya.
Namun itu yang membuat laki-laki berambut cokelat ini suka. Diam-diam
lengkungan tipis muncul di bibir Julian.
“Aku tinggal beli pulsa lagi,
apa susahnya?”
“Kamu ini, tiap aku bicara
kerjaannya mengelak terus.”
“Sayang,” suara asing
terdengar dari ujung telepon. Sedetik kemudian, terdengar suara benda
dijatuhkan yang Julian yakin adalah ponsel Velove. Julian melihat layar ponselnya. Velove belum men-end
call telpon darinya. Suara siapa tadi? Apa mamanya Velove?
“Eh, Mama,” terdengar
suara Velove.
“Tadi Jenny kemari, mengembalikkan makalah milikmu yang ia pinjam.”
Percakapan berikutnya tidak terlalu Julian dengarkan, namun terdengar
isakan kecil di ujung sana.
Laki-laki itu langsung menyalakan speakernya dan dengan seksama menyimak suara
itu.
Dan satu kalimat membuat matanya
melebar dalam sepersekian detik.
“Papamu sudah memesankan tiket
ke Perancis. Kamu akan melanjutkan kuliah disana.”
Julian menatap layar ponselnya
dalam diam. Laki-laki itu segera menekan ‘end call’ lalu
menatap nyalang ke arah ponselnya lagi.
Velove akan ke Perancis lusa.
Velove akan ke Perancis lusa.
Velove akan ke Perancis lusa.
“BANGSAAAATT!!!”
Dengan penuh emosi, Julian memukul
cermin di kamarnya hingga muncul retakan besar. Darah mengucur dari kepalan
tangannya, mengalir melewati buku-buku jarinya, lalu menetes ke lantai
apartemennya yang putih. Ia kecewa. Marah. Sedih.
Julian merosot ke lantai karena
sepasang kakinya hampir tidak berfungsi lagi. Ia menjambak rambutnya dengan
penuh frustasi. Mengalihkan seluruh rasa sakitnya kesana, namun rasa sakit di
pusat tubuhnya lebih mendominasi.
Hatinya sakit sekali.
Penopangnya akan pergi.
Lagi. Apa harus dua kali ia kehilangan orang yang ia sayang? Dua orang
wanita yang ia sayangi sampai ke dasar hatinya. Julian tidak tahu. Tanpa sadar
air matanya menitik. Turun perlahan dari sudut matanya.
Dan bayangan putih itu muncul
lagi...
Ibunya berdiri di hadapannya.
Menunduk, mengelus pipinya, lalu tersenyum tipis. Senyuman yang ia
rindukan sejak dulu. Senyuman yang ia cari dan terdapat dalam diri Velove.
Julian memegang tangan ibunya
yang terasa dingin. Menahan anggota tubuh itu agar tetap disana. Laki-laki itu menangis
pilu, lalu menutup matanya.
“Ibu…jangan pergi lagi.”
Julian memegang tangan wanita
itu lama sekali. Yang ia butuhkan sebenarnya hanya sang ibu. Penopangnya saat
ia rapuh, lalu mengangkatnya saat ia terjatuh. Namun saat ia kembali membuka
matanya, bayangan itu hilang. Tergantikan oleh tangan Julian yang sedari tadi menggapai
udara.
***
“Hai!” Jenny membuka pintu kamar Velove
tanpa permisi. Gadis berambut pendek itu berjalan riang ke arah Velove, mencoba
meningkatkan mood sahabatnya, tapi tetap tidak berhasil. Velove tetap meringkuk di balik
selimut dengan mata membengkak merah.
“Heh, jelek, jangan menangis
terus dong.” Jenny mendorong kecil bahu
Velove lalu duduk di tepian ranjang. Velove tetap terisak, ia bahkan menaikkan selimut
putihnya sampai ke kepala.
“Hhhh, dasar cinta monyet.” perempuan
yang hanya berbeda 3 tahun dengan Velove itu menyandarkan tubuh pada kepala
tempat tidur dan mengamati sahabat baiknya. Sudah seharian Velove berdiam diri
di kamar dan menangis. Bahkan Velove yang terkenal doyan makan itu sudah
melewatkan jam makan siang dan sorenya.
“Jenn...” Velove tiba-tiba
membuka selimutnya, lalu menatap Jenny nanar, “bisakah kamu membawaku kabur
dari sini? Kumohon.”
“Heh! Aku teman yang bertanggung
jawab, tidak mungkin aku membawa kabur anak orang!” sentaknya. Velove kembali
terdiam dan meringkuk.
Jenny ikut terdiam. Sahabatnya
itu terlihat begitu terpukul dengan informasi tadi pagi, membuatnya tidak tega
dan ikut sedih. Jujur, ia juga kaget saat mendengar bahwa Velove akan melanjutkan
kuliah di Perancis. Jenny langsung memutar otaknya, lalu sebuah ide cemerlang
melintas begitu saja.
“Apa barusan kau bilang bahwa
kau ingin kabur dari sini?” tanyanya antusias.
Velove mengintip Jenny dari
selimut yang ia turunkan sedikit, lalu mengangguk kecil.
“Sepertinya... aku bisa
membantumu.” Jenny berdiri dari duduknya dan mondar-mandir, “Tapi mungkin hanya
satu hari. Anggap saja ini ucapan farewell-mu pada Julian.”
Dan ide gila Jenny meluncur
begitu saja...
***
Bel apartemen berbunyi. Julian terbangun
dan baru sadar bahwa ia tertidur di lantai kamarnya. Laki-laki itu mengerang
saat merasakan nyeri di sekitar tangan kanannya. Ia menoleh dan mendapati bahwa
tangannya sedikit membengkak dan memar karena pukulan tadi.
Julian segera bangun dan
berjalan malas menuju pintu ruang tamu. Laki-laki itu menatap ke arah interkom
apartemen yang menampilkan seorang gadis dengan rambut hitam pendek. Julian mengernyit.
Ia tidak kenal dengan gadis itu.
“Siapa?” Julian bertanya.
“Aku Jenny, teman Velove. Aku
ingin bicara sebentar denganmu.” jawab gadis di luar.
Julian segera membuka pintu
apartemennya dan perempuan bernama Jenny itu langsung nyelonong masuk. Ia segera duduk
di sofa dan menaruh tasnya.
“Aku tidak bilang kan kalau kau
boleh masuk?” ujar Julian dingin dan ikut duduk di hadapan Jenny.
“Ah, whatever. Ada
hal penting yang harus aku bicarakan denganmu.” Jenny menatap Julian serius, “Velove
akan pergi ke Perancis lusa.”
“Aku sudah tahu.” sahut Julian
pedas.
Jenny menarik nafasnya lalu
menghembuskannya pelan. Sepertinya bicara dengan Julian tidaklah mudah, “Yang
aku maksud adalah, Velove Vexia pacarmu itu akan pergi ke Perancis.
Meninggalkanmu. Ia akan melanjutkan kuliahnya disana. Kamu ini belum connect atau
bagaimana sih?”
Julian tidak menjawab dan tetap
memandang datar ke arah Jenny. Yang ditatap menghela nafasnya dengan berat lalu
mengeluarkan udara itu lewat mulut. Namun tiba-tiba tatapan Jenny tertumbuk pada tangan
Julian yang terluka. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya.
“Aku tidak peduli apa yang
membuat Velove bisa menyukaimu. Tapi aku tidak buta. Aku tahu kalau kamu sangat
terpukul dengan berita itu.” Jenny menarik nafasnya lalu kembali melanjutkan, “Besok
aku akan menjemputmu jam 9 pagi.”
Julian menaikkan alisnya,
“untuk?”
“Kamu dan Velove akan pergi. Ke
suatu tempat. Dan hanya sehari penuh.” Jenny berdiri dari duduknya lalu
tersenyum, “Pikirkan baik-baik. Kalau kamu memilih untuk ikut, kemasi
baju-bajumu dan tunggulah di depan apartemenmu jam 9.”
Jenny tersenyum misterius lalu
berjalan keluar.
***
Velove dan Julian keluar dari
mobil BMW milik Jenny, lalu sama-sama memicingkan mata mereka. Velove langsung
menoleh ke arah sahabatnya itu dan berseru, “I-ini... bukannya resort milikku?”
Jenny terlihat meregangkan
otot-ototnya yang sedari tadi terasa pegal selama perjalanan. Gadis itu memicingkan
matanya karena sinar matahari begitu terang pagi ini, “iya.” jawabnya singkat.
Jenny kembali berjalan menuju
mobilnya lalu berseru, “Ve, besok aku akan menjemputmu di sini jam 10. Pesawatmu take off jam 12.”
Bahu Velove langsung melemas begitu mendengar kata take off.
Namun gadis
itu tersenyum masam dan mengangguk kecil. Jenny segera menghidupkan mesin dan
kembali menuju jalan utama. Julian dan Velove berjalan lambat menuju sebuah
villa yang sudah terlihat di kejauhan sana.
“Jenny itu benar-benar sahabatmu?”
celetuk Julian. Laki-laki itu agak tidak percaya melihat tingkah laku Jenny
yang sudah seperti kakak Velove saja. Sangat akrab dan sok ngatur.
“Iya, memangnya kamu pikir dia
siapa?” Velove tersenyum geli sambil memandang pasir putih pantai yang terinjak
olehnya.
Mereka kembali terdiam setelah
percakapan super singkat tadi. Mendalami ruang memori masing-masing dan mencari
percakapan selanjutnya yang tidak akan sememalukan tadi.
Tanpa mereka sadari, pintu villa
sudah ada di depan mata. Julian langsung memasukkan kunci pada lubangnya, lalu
segera memutar gagang pintu. Ruangan yang lumayan besar itu begitu rapih dan
wangi. Velove yang notabene adalah pemilik resort ini bahkan belum pernah
kemari karena terlalu malas.
Tapi nyatanya resort dan villa
disini begitu mengagumkan. Apalagi sekarang bukanlah masa liburan semester,
atau libur musim panas sehingga resort sedang sepi pengunjung. Mereka berdua
segera meletakkan koper di salah satu kamar lalu menghempaskan diri ke kasur.
Wait...!!!
“Hanya ada satu kamar?!” Velove memekik
lalu kembali pada posisi duduknya. Ia merutuki Jenny yang dengan bodohnya sudah
membawanya kemari, Jenny mungkin tidak tahu bahwa ini adalah resort bulan madu
orang tuanya dulu. Sehingga tiap villa disini hanya punya satu kamar.
“Memangnya kenapa?” Julian
bertanya enteng lalu ikut duduk.
Velove memandangnya gelagapan
lalu segera mengambil guling. Ia posisikan guling itu di tengah-tengah mereka, lalu
menunjuk-nunjuk dengan frustasi, “Ini batasnya! Kamu sebelah kanan dan aku
sebelah kiri! Yang melanggar batas harus didenda!”
“Ck!” Julian mendecak lalu
menggulingkan badannya ke tempat tidur sebelah kiri, “Seperti ini?” tantangnya.
“Yak! Juliaaan!!” Velove memukul
kepala laki-laki itu dengan bantal.
Julian langsung tergelak dan
menggoda Velove, “Iya, iya, aku mengerti! Lagi pula, aku tidak akan bernafsu
dengan papan setrika berjalan.”
“JULIAAANN!!”
***
“Julian bodoh! Hei, tunggu aku!”
Velove berlari-lari kecil menuju sang kekasih yang sudah berjalan ke pinggir
pantai. Sudah setengah hari mereka bermain disini, dan waktu sudah menunjukkan
pukul 6 sore. Parasailing, banana boat, berkeliling resort, sampai snorkeling
sudah mereka coba. Mereka berdua segera menghempaskan badan ke pasir pantai
yang hangat lalu memejamkan mata.
“Menyenangkan sekali.” ujar Velove
lirih. Julian tersenyum kecil dan dalam hati mengiyakan. Velove segera
mengeluarkan handphone dari saku anti airnya lalu menyenggol Julian.
“Ada apa?”
“Ayo kita foto dulu!” Velove memberikan
isyarat dengan menggoyangkan ponselnya.
“Ck! Aku tidak suka difoto!” Julian menoleh ke arah
lain.
Namun Velove keburu menahannya,
“Ah, ayolah.”
Julian jadi tidak tega juga. Ia
segera memaksakan diri untuk tersenyum dan berkata, ”Baiklah. Hanya sekali ya?”
Velove tersenyum riang lalu
mengangguk penuh semangat. Gadis itu mengangkat ponselnya lalu menekan tombol
capture. Mereka berdua segera melihat hasilnya, dan Julian kontan protes,
“Sekali lagi, aku jelek sekali disini!”
“Memang dari sananya kamu sudah
jelek! Katanya kan hanya sekali?!” Velove meleletkan lidahnya lalu berlari ke
arah villa. Namun Julian yang mengejarnya membuat gadis itu harus
berputar-putar mengelilingi pantai hingga ke bagian tepi. Julian dengan
mudahnya segera memeluk tubuh mulus Velove dari belakang dan menggulingkan
gadis itu, juga dirinya, ke arah pasir basah yang terkena ombak-ombak kecil.
“Ini namanya penyiksaan!” ujar Velove
sambil tertawa puas. Julian ikut tertawa lalu mengacak-acak rambut hitam sang
kekasih dengan gemas hingga pandangan mereka bertemu. Julian seakan terkunci di
mata bulat Velove yang mengagumkan. Pertahanannya runtuh. Seolah ia
terjebak di negeri antah berantah dengan gadis itu di sisinya.
Refleks, kedua orang itu segera
berhenti tertawa dan terdiam. Lebih fokus pada detak jantung masing-masing yang
entah mengapa bekerja diluar kebiasaan.
Julian membeku. Sejak kapan Velove
yang polos dan dan childish ini berubah menjadi wanita dewasa yang penuh
pesona? Velove yang seperti tersetrum oleh arus listrik, juga ikut terdiam dan
memandangi Julian yang ada di atas tubuhnya, menindihnya. Ia benci mengatakannya namun, Laki-laki
itu tampak begitu jantan. Mempesona.
Entah siapa yang memulai, atau
mungkin kedua orang itu yang memulai, mereka berdua menautkan bibir satu sama
lain. Ini memang bukan firstkiss Julian dan Velove. Mereka
sudah sering melakukan ini sebelumnya.
Namun kali ini, ciuman mereka terasa
begitu berbeda. Penuh emosi.
Julian mulai menguasai Velove dengan
meraup bibir gadis itu yang terasa penuh. Laki-laki itu berusaha semaksimal
mungkin menikmati bibir kecil Velove yang mungkin tidak akan pernah ia rasakan
lagi.
Damn...!
Julian menjilat bibir itu
sesekali, merasakan lipbalm favorit Velove yang terasa dan berbau Cery. Buah
kesukaan Velove dan buah kesukaanya juga. Velove merasa hilang keseimbangan dan
langsung mengalungkan kedua tangannya di leher Julian, sesekali menyisir dan
membelai rambut Julian yang halus.
Ciuman itu terasa makin dalam. Julian
mulai melumat bibis Velove perlahan, lalu menelusupkan lidahnya ke dalam bibir
mungil sang kekasih. Menekan nekan rongga mulut Velove yang lunak, juga
membelai gigi-gigi Velove yang rapi dengan lidahnya. Velove mulai ikut serta
dalam permainan dengan menggigit-gigit kecil bibir Julian yang tipis, dan
melumatnya rakus.
Lumatan itu seakan makin ganas.
Keduanya egois. Keduanya emosi. Keduanya ingin bersatu. Julian mendorong-dorong
lidah Velove dengan lidahnya, lalu menekan kepala Velove agar mendekat, dan
mempercayainya. Melupakan kenyataan bahwa esok hari mungkin gadis itu tidak akan
ada lagi untuknya.
Nafas mereka berdua semakin
menipis. Julian segera menggendong Velove menuju villa dengan terburu, karena
kemungkinan besar mereka akan melakukan hal yang lebih dari ini. Julian melepaskan kontak
mereka sejenak, berkonsentrasi pada pintu masuk villa yang terkunci.
Sesampainya di kamar, Velove segera
dipojokkan di dinding. Julian meletakkan kedua tangannya pada dinding di kanan
dan kiri Velove, seolah-olah mengatakan bahwa gadis itu sedang ada pada
areanya. Mereka sedang punya dunia sendiri.
Kini Velove kembali melumat
bibir Julian dengan penuh nafsu. Gadis yang beberapa jam lalu masih begitu
polos itu sekarang sudah tidak terkendali. Nafasnya tersendat dan menghembus
dalam rangakaian udara pendek yang menyapu leher serta wajah sang kekasih. Julian
mengalihkan tangannya pada pinggang Velove yang terbalut kaus tipis yang basah.
Menelusuri lekukan disana yang tercetak jelas karena basahnya kaus itu.
“Ssshh...” keduanya mulai
mendesah hingga air liur mereka menetes melewati sudut bibir dan terus turun
menuju leher. Julian mengalihkan bibirnya pada telinga Velove lalu mengigitnya
pelan.
“Ja-jangan disitu...” Velove menutup
matanya rapat-rapat. Menikmati sensasi baru pada tubuhnya, sekaligus mencium
feromon laki-laki di hadapannya yang begitu memikat.
Julian menjilat leher Velove dengan
begitu perlahan yang omong-omong terasa asin karena terkena air laut. Tanpa
basa-basi segera ia hisap dan gigit kecil kulit itu, membuat Velove melolong
kenikmatan. Entah sejak kapan Julian sangat menyukai leher Velove yang jenjang
dan bersih ini.
“Eummhhh… sssshhh…” Julian semakin
bernafsu untuk menghisap dan mengulum leher Velove. Mencari tempat-tempat
kosong yang belum terisi oleh cupangannya dengan tidak sabar dan menghembuskan
nafasnya perlahan. Menjilat leher Velove lalu mengecupnya berkali-kali.
Namun Velove melarangnya untuk
terlalu lama. Leher terlalu sensitif baginya sehingga gadis itu langsung meraup
wajah Julian dan menuntun laki-laki itu agar kembali mencium bibirnya. Julian kembali melumat
dan mengigit kecil bibir atas dan bawah Velove secara bergantian. Menghasilkan
suara decapan dan lenguhan di kamar bercat putih itu.
Tangan Julian menangkup sepasang
benda bulat di bagian atas dada Velove. Menekan-nekan benda kenyal itu dengan
gemas, membuat Velove semakin melolong tak karuan. Tangan laki-laki itu
menelusup diam-diam ke dalam t-shirtnya, menangkup kedua buah dada Velove dari
dalam dan melepas pengait branya tanpa membuka kaus Velove terlebih dahulu.
“Sssshhh... re-remaaaass, Juul!!”
Velove semakin tak karuan. Masih dengan melumat bibir manis sang kekasih,
laki-laki itu mulai meremas payudara Velove yang bulat kencang. Menekan-nekan
dan menggoda putingnya yang mulai mengeras, Julian sangat suka bagian ini.
Dengan tidak sabar, ia segera membuka kaus putih Velove sekaligus tali bra yang
masih menggantung, menampilkan sepasang payudara Velove yang putih bersih
dengan puting bulat mungil kemerahan.
Laki-laki itu mencubit putingnya
dengan gemas, membuat Velove memekik kecil. Julian meremas benda kenyal itu
perlahan dan mengelus-elusnya dengan kagum. Dia mengalihkan kecupannya pada
bibir Velove sebelum akhirnya menunduk, meraup kedua benda bulat yang
menggantung indah itu dengan tangan dan mulutnya.
“Oh! S-ssuckk... ittt!!!” rintih
Velove saat Julian mengecup dan memasukkan sebagian besar bulatan payudara ke
dalam mulutnya. Laki-laki itu menggigit lembut putingnya lalu menyedotnya kuat-kuat
bagaikan bayi yang kehausan. Velove tidak berhenti mendesah dan menekan-nekan
kepala Julian agar memperdalam emutannya.
Lalu tiba-tiba Julian berdiri dan
menggendong Velove ke tempat tidur. Dengan segera, laki-laki itu membuka
kausnya yang sudah tercampur dengan air laut dan keringat karena panasnya
permainan mereka tadi. Velove tertegun memandangi perut Julian yang berotot,
tampak begitu indah. Tanpa sadar, ia pun mengelus dan menekan-nekan otot-otot itu.
“Aku tidak tahu kalau kamu rajin
fitness.” ujar Velove dengan nafas terengah, membuat dadanya yang bulat padat naik
turun menggiurkan.
“It’s yours!” Julian menuntun
tangan Velove untuk kembali menggerayangi perutnya, “but only tonight...”
Julian menyumpal mulut Velove dengan
ciumannya, laki-laki itu kembali melumat bibir tipis sang kekasih yang
kemerahan, sambil menekan-nekan puting Velove dengan jempol dan telunjuknya. Velove
mengandalkan instingnya untuk mencubit-cubit puting Julian yang ikut menegang
dan sesekali menelusuri perut sixpack pemuda itu dengan telunjuknya.
Kaki Velove tak sengaja
menyenggol kemaluan Julian yang ternyata sudah menegang sempurna. Gadis itu
terbelalak kaget lalu berujar di sela-sela kecupannya dengan sang kekasih, “Ma-maaf,”
Julian tertawa di sela-sela
ciumannya. Ia segera melepaskan lumatannya dari bibir Velove, membiarkan kening dan
hidung mereka bergesekan, “Kamu boleh menyentuhnya sepuasmu. I’m yours, from my head to toe!”
Dengan hanya mengandalkan insting dan feelingnya, Velove turun ke ujung
ranjang, lalu membuka jeans Julian. Laki-laki itu mengamati Velove dengan
seksama, yang entah mengapa terlihat begitu sempurna bagaikan bidadari dengan bekas
cupangan dimana-mana, rambut acak-acakan, juga bibirnya yang memerah.
Velove menurunkan jeans itu beserta celana dalamnya, menampilkan adik Julian
yang menegang dahsyat, membuat Velove meneguk ludah saat melihatnya. Lagi-lagi,
hanya mengandalkan insting, dia mulai mengocok penis Julian dengan tempo pelan.
“Ssshh… good... good girl...” rintih Julian keenakan.
Velove menyeringai. Jadi ini
kelemahan setiap pria? Ia segera menambah kecepatan kocokannya, membuat Julian memejamkan
mata dan mengerang habis-habisan. Itu karena Velove menggoda biji peler Julian dengan
jempolnya dan mengecup ujung penis laki-laki itu yang sudah bengkak memerah
berkali-kali.
“Ahhhh… Vee... Velovee...” Julian
mendongakkan kepalanya ke atas saat ia merasa cairan spermanya mulai merambat
keluar. Beberapa sudah meleleh dan
memercik ke wajah cantik Velove.
Senang karena bisa menyiksa
laki-laki itu, Velove segera mengemut penis Julian untuk menambah
rangsangannya. Ia lahap benda besar kecoklatan itu hingga melesak ke pangkal
tenggorokannya. Dengan pelan namun pasti, Velove melumat dan memaju-mundurkannya
sambil sesekali menggeletik ujungnya dengan lidah.
“Keep going… hhh… yaa… yah…” Julian mengerang saat Velove menambah
kecepatan hisapannya. Gadis itu tersenyum geli saat melihat ekspresi Julian yang
sulit dijelaskan. Mungkin laki-laki itu akan orgasme sebentar lagi.
“Ohh... ohh… yeah... lebih cepat!!!” rintih Julian.
Dan akhirnya, cairan itu pun meledak di dalam mulut Velove. Meski sempat
kaget dan ragu, Velove langsung menelan semuanya. Bahkan ia bersihkan sisanya
dengan terus menjilati penis sang kekasih hingga batang coklat itu tampak mulus
dan mengkilat.
Setelah nikmat itu berlalu,
Julian segera membalik posisi. Dibaringkannya tubuh mulus Velove di tempat
tidur sementara dia jongkok di depan vagina sang gadis sambil menyeringai
licik.
“I’ll make you orgasm.”
bisik Julian saat tangannya melepas hotpants beserta panties yang dikenakan
Velove, hingga muncullah apa yang ia perkirakan. Vagina Velove yang memerah
dengan bulu-bulu halus tumbuh jarang di sekitar lubangnya. Laki-laki itu
kembali tersenyum saat menghirup wangi cairan khas dari lubang itu.
“Jangan menggodakuuu!” Velove protes
keras. Namun ekspresinya langsung berubah saat sebuah benda lunak yang basah melesak
memasuki liangnya. Lidah Julian! Velove mencengkram bahu laki-laki itu kuat-kuat
sambil mengigit bibirnya, menahan setiap desahan yang berusaha untuk lolos.
Dan itu membuat Julian semakin
extrim menggodanya. Ia menarik-narik klitoris Velove yang memerah dengan
perlahan dan menyedot daging kecil itu hingga terdengar bunyi decapan ringan.
“Hhhhhhsssshhh...” Velove langsung
memejamkan mata dan menggerayangi payudaranya sendiri untuk melampiaskan rasa
nikmatnya. Ia tidak mau tahu dengan apa yang sedang diperbuat Julian pada vaginanya
dibawah sana, yang penting rasanya enak.
Julian berhasil menemukan g-spot Velove. Saat menggunakan lidahnya untuk
menggelitik benda itu, kekasihnya itu langsung memekik kecil. Dengan jahil, Julian
terus menekan g-spot itu dengan lidahnya sampai membuat Velove mengerang kuat,
“J-Juul… aahh… a-akuu… gelii…”
Dan tak sampai satu detik, cairan
cinta Velove tumpah di mulut Julian. Begitu banyaknya hingga beberapa ada yang
menyembur di pipi dan hidung laki-laki itu. Julian segera menjilat semuanya,
membalas perlakuan Velove kepadanya tadi. Setelah semuanya bersih, tinggal
menyisakan bibir kemaluan Velove yang semakin basah dan memerah, Julian
perlahan tersenyum jahil dan tanpa banyak bicara, langsung mengulum bibir tipis
Velove, dan menggigitnya berkali-kali hingga membuat Velove kembali menjadikan
rambut laki-laki itu sebagai pegangan. Hembusan nafas keduanya kembali
tersendat menjadi udara-udara pendek saat dengan tiba-tiba Julian memasukkan penisnya
yang sudah kembali menegang ke dalam lubang kemaluan Velove.
“A-aww!” Velove meringis
kesakitan, dan darah langsung meleleh dari dalam selangkangannya.
Julian mengecup dahi gadis itu
dan berkata sepelan mungkin, “Aku tinggalkan tanda disini, sebelum kamu pergi!”
Setitik air mata muncul di sudut
mata Velove. Gadis itu mengangguk dan tersenyum tipis, memberi izin pada Julian
untuk memperawaninya. Biarlah ini menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi
mereka berdua sebelum Velove berangkat esok hari.
Julian mulai menggerakkan penisnya,
menariknya maju-mundur secara lembut dan perlahan, tidak ingin menyakiti Velove
lebih jauh lagi. Tapi tetap saja gadis itu merintih kesakitan. Velove merasakan
perih yang menusuk-nusuk pada awalnya, dia sampai harus mencengkram bahu Julian
kuat-kuat agar tidak sampai menjerit dan meronta. Cakarannya meninggalkan
bekas-bekas kuku disana. Velove terus melakukannya hingga rasa itu berangsur hilang
dan akhirnya membaik dan malah membuat Velove menjadi ketagihan saat nikmat persetubuhan
mulai menjalari tubuh mulusnya.
“Ssshhh… fasterrr...!!!” rasa
sakitnya hilang sudah, berganti dengan rasa nikmat yang amat sangat hingga Velove
menutup kedua matanya untuk meresapi sensasinya.
Julian ikut memejamkan mata dan
menambah kecepatan pompaannya. Velove mengimbangi permainannya dengan bergerak
berlawanan arah hingga payudara gadis itu bergoyang-goyang indah di depan sana.
Julian segera meraup dan meremas-remasnya, sementara bibirnya kembali melumat
bibir tipis Velove yang entah mengapa terasa begitu manis hari ini.
“Ssshhh... i-iya, Jul! Di situ!
Gesek terus di situ!” Velove memberikan petunjuk letak g-spotnya, membuat Julian
ikut merasakan kenikmatan dari jepitan liang vagina Velove yang semakin kuat.
Sampai akhirnya vagina Velove berkedut
kencang saat hendak menumpahkan isinya, “Juuul... aku mau…”
“A-aku jugaa...!!!” Julian ikut
menggeram penuh nikmat.
“Ke-keluarkan d-di situuu!!!” Velove
mengerang saat cairannya melebur begitu saja. Sedetik kemudian, sperma Julian
ikut menyembur keluar, bersatu dengan miliknya, mengisi lubang vaginanya hingga
terasa begitu penuh. Begitu banyaknya hingga beberapa ada yang menetes dan merambat
perlahan membasahi paha keduanya.
Velove mengambil nafas panjang
untuk mengisi rongga paru-parunya yang terasa kosong melompong. Julian menyelipkan
helaian-helaian rambut Velove ke belakang telinga gadis itu, lalu tersenyum
lembut, “Terimakasih karena sudah mengizinkanku,”
Velove ikut tersenyum dengan
nafas yang masih terengah-engah, “Terimakasih karena sudah mau jadi yang
pertama.”
***
Velove memeluk Julian erat
dengan hidung yang terkadang digesekkan. Membaui dan mencoba menyimpan bau
badan laki-laki itu dalam ingatan dan mimpinya, sedangkan Julian sudah membuka
matanya sedari satu jam yang lalu. Laki-laki itu terus memandangi wajah polos Velove
yang terlelap, kadang-kadang mengecup pelan keningnya.
“Hmm,” Velove terbangun lalu
mengerjap-ngerjapkan mata. Gadis itu langsung menaikkan selimutnya. Masih
dengan wajah mengantuk, dia berkata, “Jam berapa sekarang?”
“Masih jam dua pagi, tidurlah
lagi.” Julian menepuk payudara gadis itu lalu mendekapnya erat. Velove menurut saja,
dia kembali menutup matanya, namun tidak bisa tidur lagi. Gadis itu mendongak
ke arah sang kekasih dan Julian langsung balas menatapnya, “Apa?”
“Kenapa kita sampai bisa
melakukannya?” tanya Velove.
Julian membeku. Ia sendiri tidak
tahu mengapa mereka bisa sampai berbuat sejauh ini. Julian menunduk, lalu
menatap wajah cantik Velove dalam-dalam, “Entahlah.” dia menarik nafasnya
perlahan kemudian berkata, “Maafkan aku,”
“Untuk?” Velove menunggu.
“Kita tidak seharusnya melakukan
ini. Imagemu bisa jelek kalau orang-orang tahu.” Julian kembali meremas
payudara Velove satu per satu.
Velove mempererat dekapannya,
membuat dadanya makin menempel dengan dada Julian. “Selama tidak ada yang tahu,
tidak akan masalah. Dan selama aku tidak hamil, juga pasti akan baik-baik saja.” Velove berkata yakin.
“Tapi...” Julian masih ragu.
“Ini bukan masa suburku kok. Lagipula, semuanya sudah
terjadi, tidak usah dipikirkan lagi.” Velove memainkan ujung penis Julian yang
terasa sudah kembali bangun, lalu tiba-tiba dengan gerakan cepat, ia mendongakkan
kepala dan mengecup bibir Julian bertubi-tubi.
Julian terdiam sambil memandang
wajah polos sang kekasih, “Jangan mulai lagi.” bisiknya.
Velove tersenyum jahil, “Bagaimana kalau begini?”
Julian tersentak saat Velove berguling
dan menindih tubuhnya. Bahkan tidak cuma menindih, gadis itu juga mulai meraup dan
melumat penisnya. Velove menghisapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Awalnya
Kyuhyun memang tidak mau melakukannya lagi, tubuhnya terlalu capek, tapi begitu
merasakan payudara Velove yang mengimpit perutnya, pikirannya pun berubah.
”Sial juga gadis ini.” umpat
Julian dalam hati.
Julian ikut menghisap bibir kemaluan
Velove yang merekah merah di depan mukanya. Dia mencucupnya berkali-kali
sebelum akhirnya memasukkan lidahnya kesana, menusuk-nusuk lubangnya yang sudah
berlendir, lalu menggigit klitorisnya berkali-kali. Terus begitu hingga terdengar
decapan-decapan ringan diiringi kasur mereka yang bergoyang tak karuan. Posisi
69 memang selalu terasa nikmat.
“Hhhh... hhhh…” saat sudah tidak
tahan lagi, keduanya segera menjauhkan diri, mencoba menghirup oksigen sebanyak
banyaknya, dengan penis dan vagina yang sudah menempel satu sama lain. Velove memejamkan
matanya saat Julian mulai menggoyang tubuhnya. Ia menikmati sentuhan laki-laki
itu sambil mencoba memusatkan pikirannya karena beberapa jam lagi mungkin
laki-laki di hadapannya ini akan tinggal kenangan.
“Jul...“ ujar Velove lirih, tubuh
mulusnya tampak terlonjak-lonjak saat Julian terus menggumulinya. “kau tidak
sedih, eghh... m-mendengar aku akan, ahhh... p-pindah ke P-Perancis?” tanyanya
lirih diantara desah kenikmatannya.
Julian tersenyum pahit lalu
menjawab, “Tentu saja aku sedih.” tangannya membelai pelan puncak payudara sang
kekasih dan memilin-milin putingnya dengan lembut.
“Lalu kenapa, ughhh... k-kamu
tidak marah sama sekali, sshhhh... d-denganku?” Velove mulai menitikkan air
mata, “A-aku akan lebih senang kalau, ahhss... k-kau membentakku dengan muka
yang memerah, hmmm... k-ketimbang diam dan pasrah, oughh... seperti ini!”
tusukan Julian terasa semakin cepat sekarang.
Julian kembali tersenyum, lalu
menyisir pelan rambut hitam Velove, “Karena aku tahu, akhirnya pasti akan
begini.” bisa dirasakannya vagina gadis itu mulai berkedut kencang.
“Jul,” Velove menangis saat
orgasme kembali datang menerpa dirinya, membuat air matanya jatuh ke pipi Julian.
Terengah-engah, dia meringkuk ke pelukan hangat laki-laki itu yang masih
menggerakkan pinggulnya penuh semangat.
Julian mengelap air mata Velove dengan
ujung jarinya saat cairan spermanya meledak keluar. Lima semprotan mengisi
lubang rahim gadis itu. Setelah rasa nikmatnya mereda, ia pun tersenyum lembut,
“Sekarang, lebih baik kita kembali tidur supaya besok tidak kesiangan.”
Tanpa mencabut penisnya, Julian
menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka yang telanjang. Velove hanya bisa mengangguk
penuh rasa cinta.
***
Velove terbangun saat mendengar
pintu kamar mandi dibuka. Julian keluar dari sana dengan rambut basah, memakai t-shirt
serta celana jeans yang kemarin, “Lebih baik kamu mandi, sudah jam 9:45. Jenny
akan menjemputmu jam 10 kan?” kata laki-laki itu.
Velove menyipitkan matanya,
masih belum terbiasa dengan sinar matahari yang begitu terik. Gadis itu segera
melilitkan selimut putih pada tubuh bugilnya, lalu berjalan ke kamar mandi.
Julian menghela nafas. Semakin
dekat, sebentar lagi gadisnya akan berangkat. Dia tersenyum pahit.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Dari ayahnya.
Julian segera menekan tombol
‘end call’, lalu kembali fokus mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.
Sesudahnya, dia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya perlahan.
Namun lagi-lagi ponselnya
berbunyi. Julian menghela nafas dengan kesal lalu mengangkat teleponnya, “Apa
lagi?”
“Dimana kamu sekarang? Anak
buahku datang ke apartemenmu, tapi tidak ada siapa-siapa disana!” suara berat
ayahnya menyambut dari ujung telepon.
Julian tersenyum sinis, “Kamu masih
membutuhkanku?”
“JULIAN...!!!” bentak
sang ayah.
“Aku hanya sedang berlibur,
setelah stress dengan masalah keluarga dan lain-lain.” Julian berkilah.
“Kamu harus pulang, sekarang!
Ada hal penting yang harus kubicarakan.”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?”
Julian menantang.
“JULIAN!” lagi-lagi
laki-laki itu membentaknya. ”Jangan coba-coba!!!”
Tawa Julian hampir meledak saat
mendengar ayahnya emosi begitu. Setelah sekian lama. Dia kembali menjawab masih
dengan senyum mengejek di bibirnya. “Oke, aku akan ke sana. Asal kamu
mengirimkanku mobil!”
“Jangan main-main!” sergah sang ayah.
“Siapa bilang aku main-main? Aku
memang tidak punya kendaraan untuk kesana, jadi setidaknya satu dari ribuan
anak buahmu itu harus mengirimkanku mobil. Ke resort ya, nama resortnya akan
aku kirimkan di sms.”
“Dasar tidak tahu diri. Tunggu
disana, akan kusiapkan mobilnya.” akhirnya laki-laki itu
mengalah.
Julian langsung menekan tombol
end call dan menjatuhkan ponselnya ke tempat tidur. Setelah satu tahun lamanya,
ayahnya kembali menelepon. Namun jika Julian tidak pergi dan tetap ada di
apartemennya, akankah ayahnya tetap menelepon? Entahlah, hal-hal sepele seperti
itu tidak usah dipikirkan.
Julian tersentak saat sebuah
pelukan hangat tiba-tiba menjalar dari punggung hingga ke perutnya. Velove telah
berdiri di belakangnya sambil memeluk, nyaris tanpa busana karena handuk yang
digunakan gadis itu untuk menutupi tubuh telanjangnya telah melorot hingga ke
perut. Payudara Velove yang bulat dan padat menekan ketat punggung Julian.
“Velove,” Julian benci
mengatakan ini. Ia menikmati segala sentuhan gadis yang berdiri di belakangnya,
ingin mengulangi lagi apa yang mereka lakukan semalam, namun akal sehatnya
menghentakkannya kembali ke daratan.
“J-Jenny bilang, ia sudah sampai
di resort.” Velove berkata lirih dengan suara berat, seperti menahan tangisan.
“Kalau begitu, lebih baik kamu
pakai bajumu sekarang.” sahut Julian.
“Dasar bodoh!” Velove memaksa kekasihnya
itu untuk berbalik dan menatap kedua mata bulatnya, “Aku tidak mau pergi!!
Lebih baik aku kabur!!!”
“Ve, kamu bicara apa sih?!”
“Kamu bodoh! Bodohh!” Velove memukul
dada bidang Julian dengan kepalan tangannya yang kecil dan lemah sambil
menangis kuat.
Julian membeku melihat belahan
hatinya yang begitu sedih dan frustasi. Dadanya ikut naik turun, seolah menahan emosi dan
kesedihan yang sudah sekian lama ia tahan. “Ve, dengarkan aku,” Julian mencengkram
kedua bahu Velove yang berguncang, “jangan kecewakan keluargamu seperti aku
mengecewakan keluargaku, kamu harus ke Perancis. Sekarang!”
“J-Julian…” Velove menangis pilu,
memejamkan kedua matanya, “aku tidak mau sakit terus seperti ini, aku tidak mau
terus mengingatmu sebagai kenangan, aku...”
“Velove...” Julian mengelap
butiran air mata gadis itu yang terus-menerus menitik.
“Jul, ke-kenapa sakit sekali? Aku
be-belum pernah sesakit ini…” Velove mendongak dengan matanya yang memerah,
masih dengan tangisannya yang kuat, “S-sakit sekali, di sini…” Velove menepuk-nepuk
dadanya dengan mata terpejam.
Pertahanan Julian runtuh. Sebagian
karena ia kasihan pada gadis itu, sebagian lagi karena tak tahan melihat
payudara Velove yang ranum dan menggiurkan. Ia segera mendekap putri O.C
Kaligis itu erat-erat, seolah menenggelamkan Velove ke dalam pelukannya dan
mengatakan pada dunia kalau gadis itu adalah miliknya, “Aku tahu, Ve. Aku tahu…”
bisiknya sambil menciumi puncak kepala sang kekasih.
Keduanya terdiam dan fokus pada
emosi dan perasaan masing-masing. Atmosfer terasa begitu kelabu, diselangi dengan
suara tangisan Velove yang tidak henti.
“Kalau begitu, kita masih bisa
bersama kan?” Velove membuka matanya kembali, lalu mendongak, “Walaupun berbeda
negara?” dia memaksakan senyuman manisnya keluar.
Julian menggeleng, “Semuanya
tidak akan sama lagi, Ve.” diselipkannya helaian rambut Velove yang terkena air
mata ke belakang telinga gadis itu.
“Jul, to-tolong jangan bilang be-gitu…”
Velove kembali terisak hebat.
“Ve,” Julian tersenyum pahit, “aku
percaya, tak lama lagi, kamu akan menemukan jodohmu, dan aku juga...”
“Julian, aku mohon…” Velove masih
saja terisak dengan mata yang semakin membengkak, badannya yang masih telanjang
terguncang hebat.
“Sst, dengarkan aku,” Julian menatap
mata gadis itu dalam-dalam, “saat kau kembali ke sini nanti, yang aku harapkan
adalah…” dia memejamkan mata saat sebuah kalimat menyakitkan meluncur dari
bibirnya, “...kamu bukan kembali untukku.”
Velove tersentak. Setiap helaan
nafasnya begitu menyakitkan, dan jantungnya berhenti berdetak seolah terkena
serangan jantung. Gadis itu tahu, harusnya ia tidak melawan takdir. Harusnya ia
sadar dari awal kalau endingnya akan seperti ini.
Perlahan Julian melepaskan
pelukannya. Ia meraih baju dalam Velove dan dengan sabar memakaikannya ke tubuh
telanjang sang kekasih. Ia juga membantu Velove untuk mengenakan kembali baju
dan celananya.
Selesai. Velove sudah
berpakaian. Julian tersenyum tipis lalu mengacak rambut gadis itu. Tiba-tiba Julian
teringat sesuatu, dia segera mengeluarkan sebuah barang dari dalam tasnya.
Julian menyelimuti tubuh Velove dengan
jaket jeans kesayangannya. Velove terdiam saat menyadari benda baru yang kini
tersampir di bahunya, “I-ini... jaketmu.” bisiknya.
“Dipakai ya, kudengar di
Perancis sebentar lagi masuk musim dingin. Walaupun kurang membantu, tapi aku
hanya ingin membayangkan kamu memakainya.” Julian mengecup pelan bibir tipis
Velove.
Velove menggigit bibirnya
kuat-kuat, matanya kembali memanas karena menahan tangis. Julian mengancingkan
jaket jeans miliknya ke badan Velove dengan telaten, lalu tersenyum puas.
Saat itulah, mata Julian tiba-tiba menangkap bayangan putih di sudut
kamar, bayangan ibunya, seolah mengatakan kepadanya bahwa laki-laki itu harus
kuat. Mengatakan
padanya bahwa kejadian ini tidak seharusnya menjatuhkannya kembali ke dasar
jurang. Mungkin
ini saatnya…
“Selamat tinggal, Velove Vexia.”
Julian mengecup pelan bibir sang kekasih. Membiarkan bibirnya ada di sana
selama beberapa detik. Bukan melumat, dia hanya menempelkan bibirnya. Untuk
yang terakhir kalinya, ia berkata. “Kuharap kamu mendapatkan orang yang lebih
baik dariku.” ujarnya ragu. Sangat ragu.
Velove ikut tersenyum walau
sambil mengigit bibirnya, tanda gadis itu tengah menahan tangis. Dengan segala
keraguan dan kesedihan yang menyiksa, Velove berkata, “Selamat tinggal juga,
Julian Prasetya. Walaupun kamu bicara
begitu, aku masih yakin bahwa kamu yang terbaik.”
1 comments:
Very good
30 June 2018 at 11:12Post a Comment