Monday 18 February 2013

One Day Paradise



Velove memejamkan matanya lalu menghirup udara segar dari hidungnya yang mancung. Lengkungan tipis nan samar tertarik dari sudut kanan bibirnya, merambat menuju sudut sebelahnya. Sebuah sentuhan halus tergerak di pundaknya, membuat Velove membuka matanya lalu menengok ke belakang.
“Mungkin lebih baik kau pulang.” ujar sebuah suara.
Velove tidak peduli. Gadis itu tetap terduduk, kembali menuju posisinya, namun kini memilih untuk tidak menutup mata. Suara itu makin mendekat, memberikan fakta bahwa si pemilik suara telah duduk di sampingnya, lalu menyampirkan lengannya di bahu Velove. Menarik gadis itu agar bersandar kepadanya.
“Jul,” suara Velove terdengar lirih, sarat akan kekhawatiran dan kecemasan, “Apa kita bisa… selamanya?”

“Kau bicara apa sih?” Julian memotong ucapan gadis pemeran Olivia itu dengan mimik tidak suka. Laki-laki itu memandang langit biru dari tempatnya duduk lalu menghela nafasnya perlahan, “Maafkan aku. Kau benar. Harusnya kita memang tidak begini, Ve.”
Mereka berdua terdiam. Setiap helaan nafas dan detak jantung mengandung makna emosi dan kekecewaan, membuat mereka hampir tidak bisa berfikir dan pasrah dengan kenyataan. Untuk yang kesekian kalinya, Velove kembali menutup mata lalu bicara, “Aku bermimpi...” ujarnya, “aku bermimpi melihat sepasang merpati di dekat rumah. Saat aku berusaha untuk mengambil keduanya...”
Velove berhenti bicara. Gadis itu mengigit bibirnya, “S-saat aku berusaha untuk mengambil keduanya, sepasang merpati  itu pergi. Dengan jalur yang berbeda. Apa artinya?”
“Umurmu berapa sih? Masih percaya dengan mimpi?” Julian berkata dingin dengan nada mengejek, namun tidak membuat Velove tergerak untuk tertawa atau tersenyum. Gadis itu semakin cemas. Keadaan itu membuat Julian sadar lalu berdehem.
“Maksudmu, apa kita akan berpisah?” Julian kembali berkata dan dibalas anggukan oleh Velove. Laki-laki itu menarik nafas sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga paru-paru miliknya yang entah mengapa terasa menyempit.
Sakit sekali...
Julian kembali menatap Velove lekat-lekat seolah ini adalah kesempatan terakhirnya melihat gadis berambut hitam itu ada disisinya. Tanpa kesadaran penuh, Julian mendekatkan wajahnya ke arah Velove. Mengecup dahi perempuan itu lembut lalu dan mengusap pelan pipi Velove dengan jemarinya.
Dengan suara berat dan sarat getaran, laki-laki itu berkata, “Tidak akan!”
***
Velove menyetop taksi lalu naik. Sudah seharian ia tinggal di apartement Julian dengan alasan mengerjakan tugas kampus bersama Jenny, teman mainnya. Velove tersenyum miris.
Tidak sedetikpun Velove ingin lepas dari genggaman Julian. Akhir-akhir ini feelingnya terasa kelabu. Mimpinya terus-terusan berwarna hitam putih dan buruk hingga gadis itu merasa mungkin suatu pertanda buruk akan terjadi pada hubungannya dengan laki-laki itu.
Sudah hampir 4 tahun Velove berpacaran dengan Julian. Diawali dengan pertemuan mereka saat SMA, lalu berlanjut ke arah yang lebih jauh. Satu sekolah merasa terkejut saat tahu bahwa gadis pendiam itu menjalin hubungan dengan Julian. Ya, yang dimaksud adalah Julian Prasetya. Anak broken home yang terkenal bajingan dan dingin, yang selalu cari masalah. Entah pada guru, pada siswa SMA lain, atau pada keluarganya sendiri, terutama ayahnya.
Untuk masalah Julian dan ayahnya kita bicarakan nanti. Yang terpenting adalah bagaimana Velove mengenal Julian dan tahu sisi baik laki-laki itu yang tertimbun di dalam hati kecilnya. Julian adalah anak yang baik, penyayang dan penurut, namun didikan keras dan masa-masa kelabu bersama kedua orang tuanya membuat Julian berubah.
Dan Velove tahu itu.
Mengenai orang tuanya… Apa yang kau pikirkan kalau orang tua Velove  sampai tahu bahwa gadis mereka berpacaran dengan seorang bajingan macam Julian? Pasti akan murka dan marah besar. Jadi mereka memilih untuk backstreet saja, walaupun akhirnya dua tahun yang lalu orang tua Velove tahu dan memaksa anak perempuannya agar memutuskan hubungannya dengan sang kekasih.
Dan Velove berjanji.
Namun gadis itu mengingkarinya.
Memori Velove terpause saat gadis itu telah sampai di depan rumahnya. Rumah megah berlantai dua, kediaman keluarga O.C Kaligis yang terkenal ke seantero negeri karena sang tulang punggung keluarga adalah salah satu pengacara kondang di Indonesia.
Dan Velove tidak suka predikat itu.
“Ini, pak.” Velove menyerahkan selembar uang pada supir taksi, lalu berjalan lesu menuju rumahnya. Gadis itu tidak menghiraukan teriakan sang supir tentang uang kembalian, karena nominal uang yang tadi Velove berikan terlalu besar.
Seorang gadis berpakaian resmi dengan sigap berjalan di samping Velove. Melindungi Velove dari sergapan orang berbahaya atau apa, bak putri presiden. Velove mendesah. Lelah dengan semua prosedur penyelamatan dan embel-embel melindungi yang sudah dicap padanya sedari lahir.
Velove mendekatkan matanya pada sebuah kamera mini yang menempel di pintu utama. Kamera itu memutar-mutar lensanya dengan cepat lalu pintu ruang tamu terbuka dengan sendirinya. Velove berjalan entang menuju ruang tamu dan berbelok menuju kamarnya.
Gadis itu segera membuka ponselnya lalu menekan angka satu yang langsung terhubung dengan nomor Julian.
“Jadi kau sudah di rumah?” suara Julian menyambut dari ujung telepon.
“Iya.”
“Jangan menelfonku terus, nanti pulsamu habis.”
“Aku tinggal beli pulsa lagi, apa susahnya?”
“Kau ini…”
“Sayang,” suara wanita paruh baya mengalir di telinga Velove, membuatnya tanpa sadar bergidik. Gadis itu terdiam. Ia tidak mendengarkan lanjutan kalimat Julian karena langsung menjatuhkan ponselnya di sela-sela seprai.
“Eh, Mama,” Velove berbalik dan membalas tatapan mamanya yang teduh namun tajam. Wanita itu bernama Alfa Lolita. Suara stilleto milik sang mama beradu dengan lantai saat wanita itu berjalan menghampiri Velove, entah mengapa membuat degup jantung Velove seperti terpompa habis-habisan.
“Tadi Jenny kemari, mengembalikkan makalah milikmu yang ia pinjam.”
Deg!
 Mati kau, Velove Vexia!  gumam Velove. Gadis itu mencoba bersikap natural, lalu tersenyum pada mamanya, “Trims infonya, Mah. Lalu, dimana makalahku?”
“Ve, bukan itu pointnya.” Alfa Lolita menghela nafasnya perlahan ,lalu melanjutkan kalimatnya, “Dari mana saja kau semalaman? Kamu tidak menginap di rumah Jenny kan?!”
Headshoot! Kena kau, Velove!
Velove gelapagan. Ia paling tidak bisa berbohong dihadapan mamanya. Gadis itu menunduk, lalu dengan nada rendah berkata, “Mamah bicara apa? Aku ke rumah Jenny kok kemarin.”
“Lalu mengapa kamu enggan dijemput sama Mang Didin?” mata Alfa mulai berkaca-kaca. Tidak. Ia tidak marah sedikitpun pada anak putrinya ini. Ia sedih. Dan takut.
Velove masih belum menjawab.
Dengan penuh kasih sayang, Alfa membelai rambut Velove lalu tersenyum pahit, “Apa kamu ke apartemen Julian?”
“Eh, Mah... aku...” Velove mulai menitikkan air mata. Lidahnya kelu dan terasa hambar. Ia takut sekali mamanya akan menangis seperti dulu. Menangis melihat Velove dimarahi habis-habisan oleh sang Papa, dan O.C Kaligis tak segan-segan menampar anak gadis itu.
“Velove,” Alfa Lolita mulai menitikkan air matanya juga, “dengar kata mamah ya, nak. Julian tidak baik untukmu.”
Velove tidak dapat menjawab.
Ya, setiap orang  pasti langsung menilai Julian begitu. Anak broken home yang arogan dan memilih tinggal berpisah dari orang tuanya, mana lagi sisi positif yang bisa membela Julian?
“Jenny kemari tadi malam, dan papamu marah besar. Untung saja sekarang ia sedang pergi bekerja, sehingga kamu tak kena marah.” Alfa menatap putri satu-satunya itu, ”Papamu sudah memesankan tiket ke Perancis. Kamu akan melanjutkan kuliah disana.”
“Hah! Mamah!” Velove menatap mamanya nanar. Jantungnya serasa berhenti mendadak dan setiap hembusan nafas dari hidungnya terasa menyakitkan.
Alfa tahu itu. Wanita 40 tahunan itu menuntun Velove dalam pelukannya lalu menyisir rambut Velove penuh rasa sayang, “Lusa kamu akan pergi. Jangan membantah ya, nak.”
Velove tidak ingin jadi anak durhaka. Ia tidak ingin membuat mamanya kecewa untuk yang kedua kalinya. Melihat mamanya menangis adalah siksaan dunia yang paling ia benci.
Dengan segala kekecewaan dan rasa pilu yang tertimbun di hatinya, gadis kelahiran Manado, 13 Maret 1990 itu mengangguk kecil.
***
Julian baru saja akan mengambil handuknya saat ponselnya bergetar. Dari Velove.
“Jadi kau sudah di rumah?” Julian menyambutnya tanpa basa-basi. Pria itu memilih untuk duduk di sofa sambil melirik ke arah televisi.
“Iya.”
“Jangan menelfonku terus, nanti pulsamu habis” ujar laki-laki itu jenaka. Velove ini umurnya berapa sih? Hampir tiap ada kejadian, gadis itu selalu menyempatkan waktunya untuk menelpon dirinya. Namun itu yang membuat laki-laki berambut cokelat ini suka. Diam-diam lengkungan tipis muncul di bibir Julian.
“Aku tinggal beli pulsa lagi, apa susahnya?”
“Kamu ini, tiap aku bicara kerjaannya mengelak terus.”
“Sayang,” suara asing terdengar dari ujung telepon. Sedetik kemudian, terdengar suara benda dijatuhkan yang Julian yakin adalah ponsel Velove. Julian melihat layar ponselnya. Velove belum men-end call telpon darinya. Suara siapa tadi? Apa mamanya Velove?
“Eh, Mama,”  terdengar suara Velove.
“Tadi Jenny kemari, mengembalikkan makalah milikmu yang ia pinjam.”
Percakapan berikutnya tidak terlalu Julian dengarkan, namun terdengar isakan kecil di ujung sana. Laki-laki itu langsung menyalakan speakernya dan dengan seksama menyimak suara itu.
Dan satu kalimat membuat matanya melebar dalam sepersekian detik.
“Papamu sudah memesankan tiket ke Perancis. Kamu akan melanjutkan kuliah disana.”
Julian menatap layar ponselnya dalam diam. Laki-laki itu segera menekan ‘end call’ lalu menatap nyalang ke arah ponselnya lagi.
Velove akan ke Perancis lusa.
Velove akan ke Perancis lusa.
Velove akan ke Perancis lusa.
“BANGSAAAATT!!!”
Dengan penuh emosi, Julian memukul cermin di kamarnya hingga muncul retakan besar. Darah mengucur dari kepalan tangannya, mengalir melewati buku-buku jarinya, lalu menetes ke lantai apartemennya yang putih. Ia kecewa. Marah. Sedih.
Julian merosot ke lantai karena sepasang kakinya hampir tidak berfungsi lagi. Ia menjambak rambutnya dengan penuh frustasi. Mengalihkan seluruh rasa sakitnya kesana, namun rasa sakit di pusat tubuhnya lebih mendominasi.
Hatinya sakit sekali.
Penopangnya akan pergi.  Lagi. Apa harus dua kali ia kehilangan orang yang ia sayang? Dua orang wanita yang ia sayangi sampai ke dasar hatinya. Julian tidak tahu. Tanpa sadar air matanya menitik. Turun perlahan dari sudut matanya.
Dan bayangan putih itu muncul lagi...
Ibunya berdiri di hadapannya. Menunduk, mengelus pipinya,  lalu tersenyum tipis. Senyuman yang ia rindukan sejak dulu. Senyuman yang ia cari dan terdapat dalam diri Velove.
Julian memegang tangan ibunya yang terasa dingin. Menahan anggota tubuh itu agar tetap disana. Laki-laki itu menangis pilu, lalu menutup matanya.
“Ibu…jangan pergi lagi.”
Julian memegang tangan wanita itu lama sekali. Yang ia butuhkan sebenarnya hanya sang ibu. Penopangnya saat ia rapuh, lalu mengangkatnya saat ia terjatuh. Namun saat ia kembali membuka matanya, bayangan itu hilang. Tergantikan oleh tangan Julian yang sedari tadi menggapai udara.
***
“Hai!” Jenny membuka pintu kamar Velove tanpa permisi. Gadis berambut pendek itu berjalan riang ke arah Velove, mencoba meningkatkan mood sahabatnya, tapi tetap tidak berhasil. Velove tetap meringkuk di balik selimut dengan mata membengkak merah.
“Heh, jelek, jangan menangis terus dong.” Jenny mendorong kecil bahu Velove lalu duduk di tepian ranjang. Velove tetap terisak, ia bahkan menaikkan selimut putihnya sampai ke kepala.
“Hhhh, dasar cinta monyet.” perempuan yang hanya berbeda 3 tahun dengan Velove itu menyandarkan tubuh pada kepala tempat tidur dan mengamati sahabat baiknya. Sudah seharian Velove berdiam diri di kamar dan menangis. Bahkan Velove yang terkenal doyan makan itu sudah melewatkan jam makan siang dan sorenya.
“Jenn...” Velove tiba-tiba membuka selimutnya, lalu menatap Jenny nanar, “bisakah kamu membawaku kabur dari sini? Kumohon.”
“Heh! Aku teman yang bertanggung jawab, tidak mungkin aku membawa kabur anak orang!” sentaknya. Velove kembali terdiam dan meringkuk.
Jenny ikut terdiam. Sahabatnya itu terlihat begitu terpukul dengan informasi tadi pagi, membuatnya tidak tega dan ikut sedih. Jujur, ia juga kaget saat mendengar bahwa Velove akan melanjutkan kuliah di Perancis. Jenny langsung memutar otaknya, lalu sebuah ide cemerlang melintas begitu saja.
“Apa barusan kau bilang bahwa kau ingin kabur dari sini?” tanyanya antusias.
Velove mengintip Jenny dari selimut yang ia turunkan sedikit, lalu mengangguk kecil.
“Sepertinya... aku bisa membantumu.” Jenny berdiri dari duduknya dan mondar-mandir, “Tapi mungkin hanya satu hari. Anggap saja ini ucapan farewell-mu pada Julian.”
Dan ide gila Jenny meluncur begitu saja...
***
Bel apartemen berbunyi. Julian terbangun dan baru sadar bahwa ia tertidur di lantai kamarnya. Laki-laki itu mengerang saat merasakan nyeri di sekitar tangan kanannya. Ia menoleh dan mendapati bahwa tangannya sedikit membengkak dan memar karena pukulan tadi.
Julian segera bangun dan berjalan malas menuju pintu ruang tamu. Laki-laki itu menatap ke arah interkom apartemen yang menampilkan seorang gadis dengan rambut hitam pendek. Julian mengernyit. Ia tidak kenal dengan gadis itu.
“Siapa?” Julian bertanya.
“Aku Jenny, teman Velove. Aku ingin bicara sebentar denganmu.” jawab gadis di luar.
Julian segera membuka pintu apartemennya dan perempuan bernama Jenny  itu langsung nyelonong masuk. Ia segera duduk di sofa dan menaruh tasnya.
“Aku tidak bilang kan kalau kau boleh masuk?” ujar Julian dingin dan ikut duduk di hadapan Jenny.
“Ah, whatever. Ada hal penting yang harus aku bicarakan denganmu.” Jenny menatap Julian serius, “Velove akan pergi ke Perancis lusa.”
“Aku sudah tahu.” sahut Julian pedas.
Jenny menarik nafasnya lalu menghembuskannya pelan. Sepertinya bicara dengan Julian tidaklah mudah, “Yang aku maksud adalah, Velove Vexia pacarmu itu akan pergi ke Perancis. Meninggalkanmu. Ia akan melanjutkan kuliahnya disana. Kamu ini belum connect atau bagaimana sih?”
Julian tidak menjawab dan tetap memandang datar ke arah Jenny. Yang ditatap menghela nafasnya dengan berat lalu mengeluarkan udara itu lewat mulut. Namun tiba-tiba tatapan Jenny tertumbuk pada tangan Julian yang terluka. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya.
“Aku tidak peduli apa yang membuat Velove bisa menyukaimu. Tapi aku tidak buta. Aku tahu kalau kamu sangat terpukul dengan berita itu.” Jenny menarik nafasnya lalu kembali melanjutkan, “Besok aku akan menjemputmu jam 9 pagi.”
Julian menaikkan alisnya, “untuk?”
“Kamu dan Velove akan pergi. Ke suatu tempat. Dan hanya sehari penuh.” Jenny berdiri dari duduknya lalu tersenyum, “Pikirkan baik-baik. Kalau kamu memilih untuk ikut, kemasi baju-bajumu dan tunggulah di depan apartemenmu jam 9.”
Jenny tersenyum misterius lalu berjalan keluar.
***
Velove dan Julian keluar dari mobil BMW milik Jenny, lalu sama-sama memicingkan mata mereka. Velove langsung menoleh ke arah sahabatnya itu dan berseru, “I-ini... bukannya resort milikku?”
Jenny terlihat meregangkan otot-ototnya yang sedari tadi terasa pegal selama perjalanan. Gadis itu memicingkan matanya karena sinar matahari begitu terang pagi ini, “iya.” jawabnya singkat.
Jenny kembali berjalan menuju mobilnya lalu berseru, “Ve, besok aku akan menjemputmu di sini jam 10. Pesawatmu take off jam 12.”
Bahu Velove langsung melemas begitu mendengar kata take off. Namun gadis itu tersenyum masam dan mengangguk kecil. Jenny segera menghidupkan mesin dan kembali menuju jalan utama. Julian dan Velove berjalan lambat menuju sebuah villa yang sudah terlihat di kejauhan sana.
“Jenny itu benar-benar sahabatmu?” celetuk Julian. Laki-laki itu agak tidak percaya melihat tingkah laku Jenny yang sudah seperti kakak Velove saja. Sangat akrab dan sok ngatur.
“Iya, memangnya kamu pikir dia siapa?” Velove tersenyum geli sambil memandang pasir putih pantai yang terinjak olehnya.
Mereka kembali terdiam setelah percakapan super singkat tadi. Mendalami ruang memori masing-masing dan mencari percakapan selanjutnya yang tidak akan sememalukan tadi.
Tanpa mereka sadari, pintu villa sudah ada di depan mata. Julian langsung memasukkan kunci pada lubangnya, lalu segera memutar gagang pintu. Ruangan yang lumayan besar itu begitu rapih dan wangi. Velove yang notabene adalah pemilik resort ini bahkan belum pernah kemari karena terlalu malas.
Tapi nyatanya resort dan villa disini begitu mengagumkan. Apalagi sekarang bukanlah masa liburan semester, atau libur musim panas sehingga resort sedang sepi pengunjung. Mereka berdua segera meletakkan koper di salah satu kamar lalu menghempaskan diri ke kasur.
Wait...!!!
“Hanya ada satu kamar?!” Velove memekik lalu kembali pada posisi duduknya. Ia merutuki Jenny yang dengan bodohnya sudah membawanya kemari, Jenny mungkin tidak tahu bahwa ini adalah resort bulan madu orang tuanya dulu. Sehingga tiap villa disini hanya punya satu kamar.
“Memangnya kenapa?” Julian bertanya enteng lalu ikut duduk.
Velove memandangnya gelagapan lalu segera mengambil guling. Ia posisikan guling itu di tengah-tengah mereka, lalu menunjuk-nunjuk dengan frustasi, “Ini batasnya! Kamu sebelah kanan dan aku sebelah kiri! Yang melanggar batas harus didenda!”
“Ck!” Julian mendecak lalu menggulingkan badannya ke tempat tidur sebelah kiri, “Seperti ini?” tantangnya.
“Yak! Juliaaan!!” Velove memukul kepala laki-laki itu dengan bantal.
Julian langsung tergelak dan menggoda Velove, “Iya, iya, aku mengerti! Lagi pula, aku tidak akan bernafsu dengan papan setrika berjalan.”
“JULIAAANN!!”
***
“Julian bodoh! Hei, tunggu aku!” Velove berlari-lari kecil menuju sang kekasih yang sudah berjalan ke pinggir pantai. Sudah setengah hari mereka bermain disini, dan waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Parasailing, banana boat, berkeliling resort, sampai snorkeling sudah mereka coba. Mereka berdua segera menghempaskan badan ke pasir pantai yang hangat lalu memejamkan mata.
“Menyenangkan sekali.” ujar Velove lirih. Julian tersenyum kecil dan dalam hati mengiyakan. Velove segera mengeluarkan handphone dari saku anti airnya lalu menyenggol Julian.
“Ada apa?”
“Ayo kita foto dulu!” Velove memberikan isyarat dengan menggoyangkan ponselnya.
“Ck! Aku tidak suka difoto!” Julian menoleh ke arah lain.
Namun Velove keburu menahannya, “Ah, ayolah.”
Julian jadi tidak tega juga. Ia segera memaksakan diri untuk tersenyum dan berkata, ”Baiklah. Hanya sekali ya?”
Velove tersenyum riang lalu mengangguk penuh semangat. Gadis itu mengangkat ponselnya lalu menekan tombol capture. Mereka berdua segera melihat hasilnya, dan Julian kontan protes, “Sekali lagi, aku jelek sekali disini!”
“Memang dari sananya kamu sudah jelek! Katanya kan hanya sekali?!” Velove meleletkan lidahnya lalu berlari ke arah villa. Namun Julian yang mengejarnya membuat gadis itu harus berputar-putar mengelilingi pantai hingga ke bagian tepi. Julian dengan mudahnya segera memeluk tubuh mulus Velove dari belakang dan menggulingkan gadis itu, juga dirinya, ke arah pasir basah yang terkena ombak-ombak kecil.
“Ini namanya penyiksaan!” ujar Velove sambil tertawa puas. Julian ikut tertawa lalu mengacak-acak rambut hitam sang kekasih dengan gemas hingga pandangan mereka bertemu. Julian seakan terkunci di mata bulat Velove yang mengagumkan. Pertahanannya runtuh. Seolah ia terjebak di negeri antah berantah dengan gadis itu di sisinya.
Refleks, kedua orang itu segera berhenti tertawa dan terdiam. Lebih fokus pada detak jantung masing-masing yang entah mengapa bekerja diluar kebiasaan.
Julian membeku. Sejak kapan Velove yang polos dan dan childish ini berubah menjadi wanita dewasa yang penuh pesona? Velove yang seperti tersetrum oleh arus listrik, juga ikut terdiam dan memandangi Julian yang ada di atas tubuhnya, menindihnya. Ia benci mengatakannya namun, Laki-laki itu tampak begitu jantan. Mempesona.
Entah siapa yang memulai, atau mungkin kedua orang itu yang memulai, mereka berdua menautkan bibir satu sama lain. Ini memang bukan firstkiss Julian dan Velove. Mereka sudah sering melakukan ini sebelumnya.
Namun kali ini, ciuman mereka terasa begitu berbeda. Penuh emosi.
Julian mulai menguasai Velove dengan meraup bibir gadis itu yang terasa penuh. Laki-laki itu berusaha semaksimal mungkin menikmati bibir kecil Velove yang mungkin tidak akan pernah ia rasakan lagi.
Damn...!
Julian menjilat bibir itu sesekali, merasakan lipbalm favorit Velove yang terasa dan berbau Cery. Buah kesukaan Velove dan buah kesukaanya juga. Velove merasa hilang keseimbangan dan langsung mengalungkan kedua tangannya di leher Julian, sesekali menyisir dan membelai rambut Julian yang halus.
Ciuman itu terasa makin dalam. Julian mulai melumat bibis Velove perlahan, lalu menelusupkan lidahnya ke dalam bibir mungil sang kekasih. Menekan nekan rongga mulut Velove yang lunak, juga membelai gigi-gigi Velove yang rapi dengan lidahnya. Velove mulai ikut serta dalam permainan dengan menggigit-gigit kecil bibir Julian yang tipis, dan melumatnya rakus.
Lumatan itu seakan makin ganas. Keduanya egois. Keduanya emosi. Keduanya ingin bersatu. Julian mendorong-dorong lidah Velove dengan lidahnya, lalu menekan kepala Velove agar mendekat, dan mempercayainya. Melupakan kenyataan bahwa esok hari mungkin gadis itu tidak akan ada lagi untuknya.
Nafas mereka berdua semakin menipis. Julian segera menggendong Velove menuju villa dengan terburu, karena kemungkinan besar mereka akan melakukan hal yang lebih dari ini. Julian melepaskan kontak mereka sejenak, berkonsentrasi pada pintu masuk villa yang terkunci.
Sesampainya di kamar, Velove segera dipojokkan di dinding. Julian meletakkan kedua tangannya pada dinding di kanan dan kiri Velove, seolah-olah mengatakan bahwa gadis itu sedang ada pada areanya. Mereka sedang punya dunia sendiri.
Kini Velove kembali melumat bibir Julian dengan penuh nafsu. Gadis yang beberapa jam lalu masih begitu polos itu sekarang sudah tidak terkendali. Nafasnya tersendat dan menghembus dalam rangakaian udara pendek yang menyapu leher serta wajah sang kekasih. Julian mengalihkan tangannya pada pinggang Velove yang terbalut kaus tipis yang basah. Menelusuri lekukan disana yang tercetak jelas karena basahnya kaus itu.
“Ssshh...” keduanya mulai mendesah hingga air liur mereka menetes melewati sudut bibir dan terus turun menuju leher. Julian mengalihkan bibirnya pada telinga Velove lalu mengigitnya pelan.
“Ja-jangan disitu...” Velove menutup matanya rapat-rapat. Menikmati sensasi baru pada tubuhnya, sekaligus mencium feromon laki-laki di hadapannya yang begitu memikat.
Julian menjilat leher Velove dengan begitu perlahan yang omong-omong terasa asin karena terkena air laut. Tanpa basa-basi segera ia hisap dan gigit kecil kulit itu, membuat Velove melolong kenikmatan. Entah sejak kapan Julian sangat menyukai leher Velove yang jenjang dan bersih ini.
“Eummhhh… sssshhh…” Julian semakin bernafsu untuk menghisap dan mengulum leher Velove. Mencari tempat-tempat kosong yang belum terisi oleh cupangannya dengan tidak sabar dan menghembuskan nafasnya perlahan. Menjilat leher Velove lalu mengecupnya berkali-kali.
Namun Velove melarangnya untuk terlalu lama. Leher terlalu sensitif baginya sehingga gadis itu langsung meraup wajah Julian dan menuntun laki-laki itu agar kembali mencium bibirnya. Julian kembali melumat dan mengigit kecil bibir atas dan bawah Velove secara bergantian. Menghasilkan suara decapan dan lenguhan di kamar bercat putih itu.
Tangan Julian menangkup sepasang benda bulat di bagian atas dada Velove. Menekan-nekan benda kenyal itu dengan gemas, membuat Velove semakin melolong tak karuan. Tangan laki-laki itu menelusup diam-diam ke dalam t-shirtnya, menangkup kedua buah dada Velove dari dalam dan melepas pengait branya tanpa membuka kaus Velove terlebih dahulu.
“Sssshhh... re-remaaaass, Juul!!” Velove semakin tak karuan. Masih dengan melumat bibir manis sang kekasih, laki-laki itu mulai meremas payudara Velove yang bulat kencang. Menekan-nekan dan menggoda putingnya yang mulai mengeras, Julian sangat suka bagian ini. Dengan tidak sabar, ia segera membuka kaus putih Velove sekaligus tali bra yang masih menggantung, menampilkan sepasang payudara Velove yang putih bersih dengan puting bulat mungil kemerahan.
Laki-laki itu mencubit putingnya dengan gemas, membuat Velove memekik kecil. Julian meremas benda kenyal itu perlahan dan mengelus-elusnya dengan kagum. Dia mengalihkan kecupannya pada bibir Velove sebelum akhirnya menunduk, meraup kedua benda bulat yang menggantung indah itu dengan tangan dan mulutnya.
“Oh! S-ssuckk... ittt!!!” rintih Velove saat Julian mengecup dan memasukkan sebagian besar bulatan payudara ke dalam mulutnya. Laki-laki itu menggigit lembut putingnya lalu menyedotnya kuat-kuat bagaikan bayi yang kehausan. Velove tidak berhenti mendesah dan menekan-nekan kepala Julian agar memperdalam emutannya.
Lalu tiba-tiba Julian berdiri dan menggendong Velove ke tempat tidur. Dengan segera, laki-laki itu membuka kausnya yang sudah tercampur dengan air laut dan keringat karena panasnya permainan mereka tadi. Velove tertegun memandangi perut Julian yang berotot, tampak begitu indah. Tanpa sadar, ia pun mengelus dan menekan-nekan otot-otot itu.
“Aku tidak tahu kalau kamu rajin fitness.” ujar Velove dengan nafas terengah, membuat dadanya yang bulat padat naik turun menggiurkan.
It’s yours!” Julian menuntun tangan Velove untuk kembali menggerayangi perutnya, “but only tonight...
Julian menyumpal mulut Velove dengan ciumannya, laki-laki itu kembali melumat bibir tipis sang kekasih yang kemerahan, sambil menekan-nekan puting Velove dengan jempol dan telunjuknya. Velove mengandalkan instingnya untuk mencubit-cubit puting Julian yang ikut menegang dan sesekali menelusuri perut sixpack pemuda itu dengan telunjuknya.
Kaki Velove tak sengaja menyenggol kemaluan Julian yang ternyata sudah menegang sempurna. Gadis itu terbelalak kaget lalu berujar di sela-sela kecupannya dengan sang kekasih, “Ma-maaf,”
Julian tertawa di sela-sela ciumannya. Ia segera melepaskan lumatannya  dari bibir Velove, membiarkan kening dan hidung mereka bergesekan, “Kamu boleh menyentuhnya sepuasmu. I’m yours, from my head to toe!
Dengan hanya mengandalkan insting dan feelingnya, Velove turun ke ujung ranjang, lalu membuka jeans Julian. Laki-laki itu mengamati Velove dengan seksama, yang entah mengapa terlihat begitu sempurna bagaikan bidadari dengan bekas cupangan dimana-mana, rambut acak-acakan, juga bibirnya yang memerah.
Velove menurunkan jeans itu beserta celana dalamnya, menampilkan adik Julian yang menegang dahsyat, membuat Velove meneguk ludah saat melihatnya. Lagi-lagi, hanya mengandalkan insting, dia mulai mengocok penis Julian dengan tempo pelan.
“Ssshh… good... good girl...” rintih Julian keenakan.
Velove menyeringai. Jadi ini kelemahan setiap pria? Ia segera menambah kecepatan kocokannya, membuat Julian memejamkan mata dan mengerang habis-habisan. Itu karena Velove menggoda biji peler Julian dengan jempolnya dan mengecup ujung penis laki-laki itu yang sudah bengkak memerah berkali-kali.
“Ahhhh… Vee... Velovee...” Julian mendongakkan kepalanya ke atas saat ia merasa cairan spermanya mulai merambat keluar. Beberapa sudah meleleh  dan memercik ke wajah cantik Velove.
Senang karena bisa menyiksa laki-laki itu, Velove segera mengemut penis Julian untuk menambah rangsangannya. Ia lahap benda besar kecoklatan itu hingga melesak ke pangkal tenggorokannya. Dengan pelan namun pasti, Velove melumat dan memaju-mundurkannya sambil sesekali menggeletik ujungnya dengan lidah.
“Keep going… hhh… yaa… yah…” Julian mengerang saat Velove menambah kecepatan hisapannya. Gadis itu tersenyum geli saat melihat ekspresi Julian yang sulit dijelaskan. Mungkin laki-laki itu akan orgasme sebentar lagi.
“Ohh... ohh… yeah... lebih cepat!!!” rintih Julian.
Dan akhirnya, cairan itu pun meledak di dalam mulut Velove. Meski sempat kaget dan ragu, Velove langsung menelan semuanya. Bahkan ia bersihkan sisanya dengan terus menjilati penis sang kekasih hingga batang coklat itu tampak mulus dan mengkilat.
Setelah nikmat itu berlalu, Julian segera membalik posisi. Dibaringkannya tubuh mulus Velove di tempat tidur sementara dia jongkok di depan vagina sang gadis sambil menyeringai licik.
I’ll make you orgasm.” bisik Julian saat tangannya melepas hotpants beserta panties yang dikenakan Velove, hingga muncullah apa yang ia perkirakan. Vagina Velove yang memerah dengan bulu-bulu halus tumbuh jarang di sekitar lubangnya. Laki-laki itu kembali tersenyum saat menghirup wangi cairan khas dari lubang itu.
“Jangan menggodakuuu!” Velove protes keras. Namun ekspresinya langsung berubah saat sebuah benda lunak yang basah melesak memasuki liangnya. Lidah Julian! Velove mencengkram bahu laki-laki itu kuat-kuat sambil mengigit bibirnya, menahan setiap desahan yang berusaha untuk lolos.
Dan itu membuat Julian semakin extrim menggodanya. Ia menarik-narik klitoris Velove yang memerah dengan perlahan dan menyedot daging kecil itu hingga terdengar bunyi decapan ringan.
“Hhhhhhsssshhh...” Velove langsung memejamkan mata dan menggerayangi payudaranya sendiri untuk melampiaskan rasa nikmatnya. Ia tidak mau tahu dengan apa yang sedang diperbuat Julian pada vaginanya dibawah sana, yang penting rasanya enak.
Julian berhasil menemukan g-spot Velove. Saat menggunakan lidahnya untuk menggelitik benda itu, kekasihnya itu langsung memekik kecil. Dengan jahil, Julian terus menekan g-spot itu dengan lidahnya sampai membuat Velove mengerang kuat, “J-Juul… aahh… a-akuu… gelii…”
Dan tak sampai satu detik, cairan cinta Velove tumpah di mulut Julian. Begitu banyaknya hingga beberapa ada yang menyembur di pipi dan hidung laki-laki itu. Julian segera menjilat semuanya, membalas perlakuan Velove kepadanya tadi. Setelah semuanya bersih, tinggal menyisakan bibir kemaluan Velove yang semakin basah dan memerah, Julian perlahan tersenyum jahil dan tanpa banyak bicara, langsung mengulum bibir tipis Velove, dan menggigitnya berkali-kali hingga membuat Velove kembali menjadikan rambut laki-laki itu sebagai pegangan. Hembusan nafas keduanya kembali tersendat menjadi udara-udara pendek saat dengan tiba-tiba Julian memasukkan penisnya yang sudah kembali menegang ke dalam lubang kemaluan Velove.
“A-aww!” Velove meringis kesakitan, dan darah langsung meleleh dari dalam selangkangannya.
Julian mengecup dahi gadis itu dan berkata sepelan mungkin, “Aku tinggalkan tanda disini, sebelum kamu pergi!”
Setitik air mata muncul di sudut mata Velove. Gadis itu mengangguk dan tersenyum tipis, memberi izin pada Julian untuk memperawaninya. Biarlah ini menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi mereka berdua sebelum Velove berangkat esok hari.
Julian mulai menggerakkan penisnya, menariknya maju-mundur secara lembut dan perlahan, tidak ingin menyakiti Velove lebih jauh lagi. Tapi tetap saja gadis itu merintih kesakitan. Velove merasakan perih yang menusuk-nusuk pada awalnya, dia sampai harus mencengkram bahu Julian kuat-kuat agar tidak sampai menjerit dan meronta. Cakarannya meninggalkan bekas-bekas kuku disana. Velove terus melakukannya hingga rasa itu berangsur hilang dan akhirnya membaik dan malah membuat Velove menjadi ketagihan saat nikmat persetubuhan mulai menjalari tubuh mulusnya.
“Ssshhh… fasterrr...!!!” rasa sakitnya hilang sudah, berganti dengan rasa nikmat yang amat sangat hingga Velove menutup kedua matanya untuk meresapi sensasinya.
Julian ikut memejamkan mata dan menambah kecepatan pompaannya. Velove mengimbangi permainannya dengan bergerak berlawanan arah hingga payudara gadis itu bergoyang-goyang indah di depan sana. Julian segera meraup dan meremas-remasnya, sementara bibirnya kembali melumat bibir tipis Velove yang entah mengapa terasa begitu manis hari ini.
“Ssshhh... i-iya, Jul! Di situ! Gesek terus di situ!” Velove memberikan petunjuk letak g-spotnya, membuat Julian ikut merasakan kenikmatan dari jepitan liang vagina Velove yang semakin kuat.
Sampai akhirnya vagina Velove berkedut kencang saat hendak menumpahkan isinya, “Juuul... aku mau…”
“A-aku jugaa...!!!” Julian ikut menggeram penuh nikmat.
“Ke-keluarkan d-di situuu!!!” Velove mengerang saat cairannya melebur begitu saja. Sedetik kemudian, sperma Julian ikut menyembur keluar, bersatu dengan miliknya, mengisi lubang vaginanya hingga terasa begitu penuh. Begitu banyaknya hingga beberapa ada yang menetes dan merambat perlahan membasahi paha keduanya.
Velove mengambil nafas panjang untuk mengisi rongga paru-parunya yang terasa kosong melompong. Julian menyelipkan helaian-helaian rambut Velove ke belakang telinga gadis itu, lalu tersenyum lembut, “Terimakasih karena sudah mengizinkanku,”
Velove ikut tersenyum dengan nafas yang masih terengah-engah, “Terimakasih karena sudah mau jadi yang pertama.”
***
Velove memeluk Julian erat dengan hidung yang terkadang digesekkan. Membaui dan mencoba menyimpan bau badan laki-laki itu dalam ingatan dan mimpinya, sedangkan Julian sudah membuka matanya sedari satu jam yang lalu. Laki-laki itu terus memandangi wajah polos Velove yang terlelap, kadang-kadang mengecup pelan keningnya.
“Hmm,” Velove terbangun lalu mengerjap-ngerjapkan mata. Gadis itu langsung menaikkan selimutnya. Masih dengan wajah mengantuk, dia berkata,  “Jam berapa sekarang?”
“Masih jam dua pagi, tidurlah lagi.” Julian menepuk payudara gadis itu lalu mendekapnya erat. Velove menurut saja, dia kembali menutup matanya, namun tidak bisa tidur lagi. Gadis itu mendongak ke arah sang kekasih dan Julian langsung balas menatapnya, “Apa?”
“Kenapa kita sampai bisa melakukannya?” tanya Velove.
Julian membeku. Ia sendiri tidak tahu mengapa mereka bisa sampai berbuat sejauh ini. Julian menunduk, lalu menatap wajah cantik Velove dalam-dalam, “Entahlah.” dia menarik nafasnya perlahan kemudian berkata, “Maafkan aku,”
“Untuk?” Velove menunggu.
“Kita tidak seharusnya melakukan ini. Imagemu bisa jelek kalau orang-orang tahu.” Julian kembali meremas payudara Velove satu per satu.
Velove mempererat dekapannya, membuat dadanya makin menempel dengan dada Julian. “Selama tidak ada yang tahu, tidak akan masalah. Dan selama aku tidak hamil, juga pasti akan baik-baik saja.” Velove berkata yakin.
“Tapi...” Julian masih ragu.
“Ini bukan masa suburku kok. Lagipula, semuanya sudah terjadi, tidak usah dipikirkan lagi.” Velove memainkan ujung penis Julian yang terasa sudah kembali bangun, lalu tiba-tiba dengan gerakan cepat, ia mendongakkan kepala dan mengecup bibir Julian bertubi-tubi.
Julian terdiam sambil memandang wajah polos sang kekasih, “Jangan mulai lagi.” bisiknya.
Velove tersenyum jahil, “Bagaimana kalau begini?”
Julian tersentak saat Velove berguling dan menindih tubuhnya. Bahkan tidak cuma menindih, gadis itu juga mulai meraup dan melumat penisnya. Velove menghisapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Awalnya Kyuhyun memang tidak mau melakukannya lagi, tubuhnya terlalu capek, tapi begitu merasakan payudara Velove yang mengimpit perutnya, pikirannya pun berubah.
”Sial juga gadis ini.” umpat Julian dalam hati.
Julian ikut menghisap bibir kemaluan Velove yang merekah merah di depan mukanya. Dia mencucupnya berkali-kali sebelum akhirnya memasukkan lidahnya kesana, menusuk-nusuk lubangnya yang sudah berlendir, lalu menggigit klitorisnya berkali-kali. Terus begitu hingga terdengar decapan-decapan ringan diiringi kasur mereka yang bergoyang tak karuan. Posisi 69 memang selalu terasa nikmat.
“Hhhh... hhhh…” saat sudah tidak tahan lagi, keduanya segera menjauhkan diri, mencoba menghirup oksigen sebanyak banyaknya, dengan penis dan vagina yang sudah menempel satu sama lain. Velove memejamkan matanya saat Julian mulai menggoyang tubuhnya. Ia menikmati sentuhan laki-laki itu sambil mencoba memusatkan pikirannya karena beberapa jam lagi mungkin laki-laki di hadapannya ini akan tinggal kenangan.
“Jul...“ ujar Velove lirih, tubuh mulusnya tampak terlonjak-lonjak saat Julian terus menggumulinya. “kau tidak sedih, eghh... m-mendengar aku akan, ahhh... p-pindah ke P-Perancis?” tanyanya lirih diantara desah kenikmatannya.
Julian tersenyum pahit lalu menjawab, “Tentu saja aku sedih.” tangannya membelai pelan puncak payudara sang kekasih dan memilin-milin putingnya dengan lembut.
“Lalu kenapa, ughhh... k-kamu tidak marah sama sekali, sshhhh... d-denganku?” Velove mulai menitikkan air mata, “A-aku akan lebih senang kalau, ahhss... k-kau membentakku dengan muka yang memerah, hmmm... k-ketimbang diam dan pasrah, oughh... seperti ini!” tusukan Julian terasa semakin cepat sekarang.
Julian kembali tersenyum, lalu menyisir pelan rambut hitam Velove, “Karena aku tahu, akhirnya pasti akan begini.” bisa dirasakannya vagina gadis itu mulai berkedut kencang.
“Jul,” Velove menangis saat orgasme kembali datang menerpa dirinya, membuat air matanya jatuh ke pipi Julian. Terengah-engah, dia meringkuk ke pelukan hangat laki-laki itu yang masih menggerakkan pinggulnya penuh semangat.
Julian mengelap air mata Velove dengan ujung jarinya saat cairan spermanya meledak keluar. Lima semprotan mengisi lubang rahim gadis itu. Setelah rasa nikmatnya mereda, ia pun tersenyum lembut, “Sekarang, lebih baik kita kembali tidur supaya besok tidak kesiangan.”
Tanpa mencabut penisnya, Julian menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka yang telanjang. Velove hanya bisa mengangguk penuh rasa cinta.
  
***
Velove terbangun saat mendengar pintu kamar mandi dibuka. Julian keluar dari sana dengan rambut basah, memakai t-shirt serta celana jeans yang kemarin, “Lebih baik kamu mandi, sudah jam 9:45. Jenny akan menjemputmu jam 10 kan?” kata laki-laki itu.
Velove menyipitkan matanya, masih belum terbiasa dengan sinar matahari yang begitu terik. Gadis itu segera melilitkan selimut putih pada tubuh bugilnya, lalu berjalan ke kamar mandi.
Julian menghela nafas. Semakin dekat, sebentar  lagi gadisnya akan berangkat. Dia tersenyum pahit.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dari ayahnya.
Julian segera menekan tombol ‘end call’, lalu kembali fokus mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Sesudahnya, dia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya perlahan.
Namun lagi-lagi ponselnya berbunyi. Julian menghela nafas dengan kesal lalu mengangkat teleponnya, “Apa lagi?”
“Dimana kamu sekarang? Anak buahku datang ke apartemenmu, tapi tidak ada siapa-siapa disana!” suara berat ayahnya menyambut dari ujung telepon.
Julian tersenyum sinis, “Kamu masih membutuhkanku?”
“JULIAN...!!!” bentak sang ayah.
“Aku hanya sedang berlibur, setelah stress dengan masalah keluarga dan lain-lain.” Julian berkilah.
“Kamu harus pulang, sekarang! Ada hal penting yang harus kubicarakan.”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” Julian menantang.
“JULIAN!” lagi-lagi laki-laki itu membentaknya. ”Jangan coba-coba!!!”
Tawa Julian hampir meledak saat mendengar ayahnya emosi begitu. Setelah sekian lama. Dia kembali menjawab masih dengan senyum mengejek di bibirnya. “Oke, aku akan ke sana. Asal kamu mengirimkanku mobil!”
“Jangan main-main!” sergah sang ayah.
“Siapa bilang aku main-main? Aku memang tidak punya kendaraan untuk kesana, jadi setidaknya satu dari ribuan anak buahmu itu harus mengirimkanku mobil. Ke resort ya, nama resortnya akan aku kirimkan di sms.”
“Dasar tidak tahu diri. Tunggu disana, akan kusiapkan mobilnya.” akhirnya laki-laki itu mengalah.
Julian langsung menekan tombol end call dan menjatuhkan ponselnya ke tempat tidur. Setelah satu tahun lamanya, ayahnya kembali menelepon. Namun jika Julian tidak pergi dan tetap ada di apartemennya, akankah ayahnya tetap menelepon? Entahlah, hal-hal sepele seperti itu tidak usah dipikirkan.
Julian tersentak saat sebuah pelukan hangat tiba-tiba menjalar dari punggung hingga ke perutnya. Velove telah berdiri di belakangnya sambil memeluk, nyaris tanpa busana karena handuk yang digunakan gadis itu untuk menutupi tubuh telanjangnya telah melorot hingga ke perut. Payudara Velove yang bulat dan padat menekan ketat punggung Julian.
“Velove,” Julian benci mengatakan ini. Ia menikmati segala sentuhan gadis yang berdiri di belakangnya, ingin mengulangi lagi apa yang mereka lakukan semalam, namun akal sehatnya menghentakkannya kembali ke daratan.
“J-Jenny bilang, ia sudah sampai di resort.” Velove berkata lirih dengan suara berat, seperti menahan tangisan.
“Kalau begitu, lebih baik kamu pakai bajumu sekarang.” sahut Julian.
“Dasar bodoh!” Velove memaksa kekasihnya itu untuk berbalik dan menatap kedua mata bulatnya, “Aku tidak mau pergi!! Lebih baik aku kabur!!!”
“Ve, kamu bicara apa sih?!”
“Kamu bodoh! Bodohh!” Velove memukul dada bidang Julian dengan kepalan tangannya yang kecil dan lemah sambil menangis kuat.
Julian membeku melihat belahan hatinya yang begitu sedih dan frustasi. Dadanya ikut naik turun, seolah menahan emosi dan kesedihan yang sudah sekian lama ia tahan. “Ve, dengarkan aku,” Julian mencengkram kedua bahu Velove yang berguncang, “jangan kecewakan keluargamu seperti aku mengecewakan keluargaku, kamu harus ke Perancis. Sekarang!”
“J-Julian…” Velove menangis pilu, memejamkan kedua matanya, “aku tidak mau sakit terus seperti ini, aku tidak mau terus mengingatmu sebagai kenangan, aku...”
“Velove...” Julian mengelap butiran air mata gadis itu yang terus-menerus menitik.
“Jul, ke-kenapa sakit sekali? Aku be-belum pernah sesakit ini…” Velove mendongak dengan matanya yang memerah, masih dengan tangisannya yang kuat, “S-sakit sekali, di sini…” Velove menepuk-nepuk dadanya dengan mata terpejam.
Pertahanan Julian runtuh. Sebagian karena ia kasihan pada gadis itu, sebagian lagi karena tak tahan melihat payudara Velove yang ranum dan menggiurkan. Ia segera mendekap putri O.C Kaligis itu erat-erat, seolah menenggelamkan Velove ke dalam pelukannya dan mengatakan pada dunia kalau gadis itu adalah miliknya, “Aku tahu, Ve. Aku tahu…” bisiknya sambil menciumi puncak kepala sang kekasih.
Keduanya terdiam dan fokus pada emosi dan perasaan masing-masing. Atmosfer terasa begitu kelabu, diselangi dengan suara tangisan Velove yang tidak henti.
“Kalau begitu, kita masih bisa bersama kan?” Velove membuka matanya kembali, lalu mendongak, “Walaupun berbeda negara?” dia memaksakan senyuman manisnya keluar.
Julian menggeleng, “Semuanya tidak akan sama lagi, Ve.” diselipkannya helaian rambut Velove yang terkena air mata ke belakang telinga gadis itu.
“Jul, to-tolong jangan bilang be-gitu…” Velove kembali terisak hebat.
“Ve,” Julian tersenyum pahit, “aku percaya, tak lama lagi, kamu akan menemukan jodohmu, dan aku juga...”
“Julian, aku mohon…” Velove masih saja terisak dengan mata yang semakin membengkak, badannya yang masih telanjang terguncang hebat.
“Sst, dengarkan aku,” Julian menatap mata gadis itu dalam-dalam, “saat kau kembali ke sini nanti, yang aku harapkan adalah…” dia memejamkan mata saat sebuah kalimat menyakitkan meluncur dari bibirnya, “...kamu bukan kembali untukku.”
Velove tersentak. Setiap helaan nafasnya begitu menyakitkan, dan jantungnya berhenti berdetak seolah terkena serangan jantung. Gadis itu tahu, harusnya ia tidak melawan takdir. Harusnya ia sadar dari awal kalau endingnya akan seperti ini.
Perlahan Julian melepaskan pelukannya. Ia meraih baju dalam Velove dan dengan sabar memakaikannya ke tubuh telanjang sang kekasih. Ia juga membantu Velove untuk mengenakan kembali baju dan celananya.
Selesai. Velove sudah berpakaian. Julian tersenyum tipis lalu mengacak rambut gadis itu. Tiba-tiba Julian teringat sesuatu, dia segera mengeluarkan sebuah barang dari dalam tasnya.
Julian menyelimuti tubuh Velove dengan jaket jeans kesayangannya. Velove  terdiam saat menyadari benda baru yang kini tersampir di bahunya, “I-ini... jaketmu.” bisiknya.
“Dipakai ya, kudengar di Perancis sebentar lagi masuk musim dingin. Walaupun kurang membantu, tapi aku hanya ingin membayangkan kamu memakainya.” Julian mengecup pelan bibir tipis Velove.
Velove menggigit bibirnya kuat-kuat, matanya kembali memanas karena menahan tangis. Julian mengancingkan jaket jeans miliknya ke badan Velove dengan telaten, lalu tersenyum puas.  Saat itulah, mata Julian tiba-tiba menangkap bayangan putih di sudut kamar, bayangan ibunya, seolah mengatakan kepadanya bahwa laki-laki itu harus kuat. Mengatakan padanya bahwa kejadian ini tidak seharusnya menjatuhkannya kembali ke dasar jurang. Mungkin ini saatnya…
“Selamat tinggal, Velove Vexia.” Julian mengecup pelan bibir sang kekasih. Membiarkan bibirnya ada di sana selama beberapa detik. Bukan melumat, dia hanya menempelkan bibirnya. Untuk yang terakhir kalinya, ia berkata. “Kuharap kamu mendapatkan orang yang lebih baik dariku.” ujarnya ragu. Sangat ragu.
Velove ikut tersenyum walau sambil mengigit bibirnya, tanda gadis itu tengah menahan tangis. Dengan segala keraguan dan kesedihan yang menyiksa, Velove berkata, “Selamat tinggal juga, Julian Prasetya.  Walaupun kamu bicara begitu, aku masih yakin bahwa kamu yang terbaik.”

1 comments:

Hasto Nugroho said...

Very good

30 June 2018 at 11:12

Post a Comment

 

©2011Pojokan Dewasa | by TNB