Sunday 10 February 2013
Mbak Tatik Atasanku
Sebelum
saya bercerita, saya akan memperkenalkan diri, nama saya Anton, tinggi
sekitar 170 cm dengan berat badan 75 kg, cukup seimbang dari segi body.
Kulit saya coklat kehitaman dan wajah biasa-biasa saja, tidak ada yang
istimewa. Saat ini usia saya 34 tahun. Karena ini kisah nyata, maka
nama-nama para pelakunya saya samarkan.
Kisah
ini terjadi sekitar bulan Mei tahun 1990, ketika aku baru pertama kali
bekerja di sebuah cabang lembaga keuangan yang baru buka di Kota B.
Sebagai kantor baru, maka teman-temanku pun juga masih baru, namun
keakraban diantara kami sudah sangat terbina dengan baik, karena sebelum
buka kantor, kami sama-sama mengikuti training di kantor pusat. Oleh
karena itu, keakraban kami terjalin sejak kami mengikuti training di
kantor pusat.
Setelah
tiga bulan kantor kami beroperasi, datanglah seorang karyawati baru,
dengan penampilan sebagai seorang yang sudah profesional dan kelihatan
berpengalaman. Dia mengenakan blazer kuning gading, serasi dengan rok
bawahan yang juga kuning gading. Tas kantor hitam tertenteng di
tangannya, sehingga menambah kewibawaanya sebagai seorang wanita karir.
Rambut
disisir rapi ke belakang dengan gaya aristokrat, kulitnya kuning
langsat dan sangat bersih dan terawat, dan pada saat itu saya perkirakan
berusia sekitar 36 tahun, jauh diatas usiaku pada saat itu yang masih
24 tahun. Saya berpikir bahwa wanita ini cukup cantik dan berwibawa,
meskipun usianya jauh di atas saya, tapi saya sempat berpikir ngeres
kepadanya. Wanita tersebut masuk ke ruang pimpinan saya, mereka
berbicara dengan pimpinan saya, dan akhirnya keluar dari ruangan dan
menuju meja saya.
Pimpinan
saya memperkenalkan wanita tersebut kepada saya dan ternyata namanya
Tatik, dan aku dipersilakan memanggilnya Mbak Tatik. Mbak Tatik bakal
menjadi atasan saya dalam menangani keuangan. "Asyik" pikirku dalam
hati, lumayan buat cuci mata kalau pas lagi lembur pulang malam. Hari
itu kami basa-basi sebentar dan saling memperkenalkan diri dan akhirnya
kami sudah menjadi team yang akrab, meskipun gaya Mbak Tatik dalam
bekerjasama dengan saya cukup menjaga jarak.
Dari
perkenalan awal, saya tahu bahwa dia masih keturunan bangsawan. Mbak
Tatik juga cerita bahwa dia menikah lima tahun yang lalu dan belum punya
anak, sedangkan suaminya seorang pejabat Pemda. Usia suaminya adalah
sepuluh tahun di atas usia Mbak Tatik.
Kami
bekerja sama dengan Mbak Tatik cukup baik, karena dia sudah lama
bekerja dan sudah berpengalaman, maka saya banyak belajar dari dia.
Setiap hari kami pulang larut malam, karena kami diminta oleh Mbak Tatik
untuk bekerja lembur setiap hari. Dan anehnya, semakin malam bertambah
larut, maka stamina kerja Mbak Tatik semakin meningkat. Rata-rata kami
pulang kerja jam 10 malam.
Karena
mobil dinas Mbak Tatik belum diberi oleh perusahaan, maka setiap hari
saya harus antar pulang Mbak Tatik sampai ke rumah, dengan mengendarai
sepeda motor saya.
Hubungan
kami semakin lama semakin akrab, meskipun saya mengagumi kecantikan
Mbak Tatik, tetapi saya sangat menaruh hormat dan tidak berani bertindak
kurang ajar. Paling-paling hanya mencuri kesempatan untuk memandang
betisnya yang mulus, pantatnya yang bulat dan indah, atau memandang
leher atau sedikit dada bagian atas ketika Mbak Tatik sedang membungkuk.
Tidak lebih dari itu.
Tetapi
tanpa kuduga, suatu malam ketika kami habis istirahat makan malam
berdua di ruang kerja Mbak Tatik, sebelum kami melanjutkan kerja lagi,
kami masih terlibat pembicaraan santai tentang keluarganya Mbak Tatik.
Mbak Tatik juga bercerita bahwa Mbak Tatik itu sebenarnya memiliki
penyakit kulit yang terkadang muncul dengan tiba-tiba dan katanya terasa
gatal di sekujur tubuh. Dengan tiba-tiba Mbak Tatik meminta saya untuk
menggaruk punggungnya yang mulai terasa gatal.
"Dik Anton, tolong ya garukkan punggung saya, agak gatal nich, mungkin kumat kali penyakit saya."
Meskipun agak terkejut, tetapi saya langsung jawab,
"Baik
Mbak, sebelah mana yang perlu saya garuk?" saya langsung spontan
berdiri untuk menggaruk punggungnya dan sambil berpikir "Cihuii rejeki
nomplok, kenapa baru sekarang? tidak kemarin-kemarin" pikirku mulai
nakal.
Saya garuk pelan-pelan, tapi lebih tepatnya hanya mengusap-usap punggungnya saja, takut kalau Mbak Tatik kesakitan.
"Dik Anton, agak keras dikit, masih gatal lho Dik", pinta Mbak watik.
Dan saya agak sedikit memantapkan tangan saya di pungungnya.
"Dik Anton, masih belum terasa, sebentar saya buka dulu blazer saya."
Mbak
Tatik langsung membuka blazernya, sehingga tinggal blouse-nya yang
putih dan transparan. Waduh semakin tidak tahan nich saya, karena kulit
tengkuknya yang mulus dengan sedikit rambut lembut yang tergerai di
tengkuknya (Mbak Tatik kalau ke kantor selalu rambutnya disanggul di
atas), semakin menambah feminin, dan semakin membikin saya langsung
terangsang.
Saya
menggaruknya tetap tidak mau keras dan masih cenderung mengusap atau
membelai punggungnya, karena saya menikmati kehalusan kulit seorang
bangsawan yang berada dibalik bajunya yang tipis. Saya usap seluruh
punggungnya dengan pelan, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan,
terkadang tangan saya, saya telusupkan di bawah ketiaknya, untuk
menggapai payudara yang di depan.
Mbak
Tatik menengadahkan kepalanya, dan menggeleng-gelengkan kepalanya ke
kiri dan ke kanan, sambil suaranya mendesah, "Uuhhh enak Dik Anton...
enaaakk... uuuhh..." Mendengar desahannnya yang merangsang, rudalku
langsung tegak bak tugu Monas. Sekujur tubuhku mulai menggigil dan
seperti dialiri setrum listrik yang halus merambat di sekujur tubuh dan
terpusat di kemaluanku. Tenggorokanku terasa kering, dan susah bicara,
karena nafsuku yang langsung menggebu. Baru kali ini saya bisa menikmati
tubuh seorang bangsawan yang bersih, terhormat dan sangat terjaga dari
tangan laki-laki lain, selain suaminya.
Karena
Mbak Tatik duduk membelakangiku yang berdiri sambil memijit-mijit
punggungnya, batang kemaluanku langsung kutempelkan di punggungnya yang
lembut seperti sutera. Kugesek-gesekkan batang kemaluanku ke punggungnya
dengan pelan. Dan Mbak Tatik berkali-kali melen Sebelum saya bercerita,
saya akan memperkenalkan diri, nama saya Anton, tinggi sekitar 170 cm
dengan berat badan 75 kg, cukup seimbang dari segi body. Kulit saya
coklat kehitaman dan wajah biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa.
Saat ini usia saya 34 tahun. Karena ini kisah nyata, maka nama-nama para
pelakunya saya samarkan.
Kisah
ini terjadi sekitar bulan Mei tahun 1990, ketika aku baru pertama kali
bekerja di sebuah cabang lembaga keuangan yang baru buka di Kota B.
Sebagai kantor baru, maka teman-temanku pun juga masih baru, namun
keakraban diantara kami sudah sangat terbina dengan baik, karena sebelum
buka kantor, kami sama-sama mengikuti training di kantor pusat. Oleh
karena itu, keakraban kami terjalin sejak kami mengikuti training di
kantor pusat.
Setelah
tiga bulan kantor kami beroperasi, datanglah seorang karyawati baru,
dengan penampilan sebagai seorang yang sudah profesional dan kelihatan
berpengalaman. Dia mengenakan blazer kuning gading, serasi dengan rok
bawahan yang juga kuning gading. Tas kantor hitam tertenteng di
tangannya, sehingga menambah kewibawaanya sebagai seorang wanita karir.
Rambut
disisir rapi ke belakang dengan gaya aristokrat, kulitnya kuning
langsat dan sangat bersih dan terawat, dan pada saat itu saya perkirakan
berusia sekitar 36 tahun, jauh diatas usiaku pada saat itu yang masih
24 tahun. Saya berpikir bahwa wanita ini cukup cantik dan berwibawa,
meskipun usianya jauh di atas saya, tapi saya sempat berpikir ngeres
kepadanya. Wanita tersebut masuk ke ruang pimpinan saya, mereka
berbicara dengan pimpinan saya, dan akhirnya keluar dari ruangan dan
menuju meja saya.
Pimpinan
saya memperkenalkan wanita tersebut kepada saya dan ternyata namanya
Tatik, dan aku dipersilakan memanggilnya Mbak Tatik. Mbak Tatik bakal
menjadi atasan saya dalam menangani keuangan. "Asyik" pikirku dalam
hati, lumayan buat cuci mata kalau pas lagi lembur pulang malam. Hari
itu kami basa-basi sebentar dan saling memperkenalkan diri dan akhirnya
kami sudah menjadi team yang akrab, meskipun gaya Mbak Tatik dalam
bekerjasama dengan saya cukup menjaga jarak.
Dari
perkenalan awal, saya tahu bahwa dia masih keturunan bangsawan. Mbak
Tatik juga cerita bahwa dia menikah lima tahun yang lalu dan belum punya
anak, sedangkan suaminya seorang pejabat Pemda. Usia suaminya adalah
sepuluh tahun di atas usia Mbak Tatik.
Kami
bekerja sama dengan Mbak Tatik cukup baik, karena dia sudah lama
bekerja dan sudah berpengalaman, maka saya banyak belajar dari dia.
Setiap hari kami pulang larut malam, karena kami diminta oleh Mbak Tatik
untuk bekerja lembur setiap hari. Dan anehnya, semakin malam bertambah
larut, maka stamina kerja Mbak Tatik semakin meningkat. Rata-rata kami
pulang kerja jam 10 malam.
Karena
mobil dinas Mbak Tatik belum diberi oleh perusahaan, maka setiap hari
saya harus antar pulang Mbak Tatik sampai ke rumah, dengan mengendarai
sepeda motor saya.
Hubungan
kami semakin lama semakin akrab, meskipun saya mengagumi kecantikan
Mbak Tatik, tetapi saya sangat menaruh hormat dan tidak berani bertindak
kurang ajar. Paling-paling hanya mencuri kesempatan untuk memandang
betisnya yang mulus, pantatnya yang bulat dan indah, atau memandang
leher atau sedikit dada bagian atas ketika Mbak Tatik sedang membungkuk.
Tidak lebih dari itu.
Tetapi
tanpa kuduga, suatu malam ketika kami habis istirahat makan malam
berdua di ruang kerja Mbak Tatik, sebelum kami melanjutkan kerja lagi,
kami masih terlibat pembicaraan santai tentang keluarganya Mbak Tatik.
Mbak Tatik juga bercerita bahwa Mbak Tatik itu sebenarnya memiliki
penyakit kulit yang terkadang muncul dengan tiba-tiba dan katanya terasa
gatal di sekujur tubuh. Dengan tiba-tiba Mbak Tatik meminta saya untuk
menggaruk punggungnya yang mulai terasa gatal.
"Dik Anton, tolong ya garukkan punggung saya, agak gatal nich, mungkin kumat kali penyakit saya."
Meskipun agak terkejut, tetapi saya langsung jawab,
"Baik
Mbak, sebelah mana yang perlu saya garuk?" saya langsung spontan
berdiri untuk menggaruk punggungnya dan sambil berpikir "Cihuii rejeki
nomplok, kenapa baru sekarang? tidak kemarin-kemarin" pikirku mulai
nakal.
Saya garuk pelan-pelan, tapi lebih tepatnya hanya mengusap-usap punggungnya saja, takut kalau Mbak Tatik kesakitan.
"Dik Anton, agak keras dikit, masih gatal lho Dik", pinta Mbak watik.
Dan saya agak sedikit memantapkan tangan saya di pungungnya.
"Dik Anton, masih belum terasa, sebentar saya buka dulu blazer saya."
Mbak
Tatik langsung membuka blazernya, sehingga tinggal blouse-nya yang
putih dan transparan. Waduh semakin tidak tahan nich saya, karena kulit
tengkuknya yang mulus dengan sedikit rambut lembut yang tergerai di
tengkuknya (Mbak Tatik kalau ke kantor selalu rambutnya disanggul di
atas), semakin menambah feminin, dan semakin membikin saya langsung
terangsang.
Saya
menggaruknya tetap tidak mau keras dan masih cenderung mengusap atau
membelai punggungnya, karena saya menikmati kehalusan kulit seorang
bangsawan yang berada dibalik bajunya yang tipis. Saya usap seluruh
punggungnya dengan pelan, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan,
terkadang tangan saya, saya telusupkan di bawah ketiaknya, untuk
menggapai payudara yang di depan.
Mbak
Tatik menengadahkan kepalanya, dan menggeleng-gelengkan kepalanya ke
kiri dan ke kanan, sambil suaranya mendesah, "Uuhhh enak Dik Anton...
enaaakk... uuuhh..." Mendengar desahannnya yang merangsang, rudalku
langsung tegak bak tugu Monas. Sekujur tubuhku mulai menggigil dan
seperti dialiri setrum listrik yang halus merambat di sekujur tubuh dan
terpusat di kemaluanku. Tenggorokanku terasa kering, dan susah bicara,
karena nafsuku yang langsung menggebu. Baru kali ini saya bisa menikmati
tubuh seorang bangsawan yang bersih, terhormat dan sangat terjaga dari
tangan laki-laki lain, selain suaminya.
Karena
Mbak Tatik duduk membelakangiku yang berdiri sambil memijit-mijit
punggungnya, batang kemaluanku langsung kutempelkan di punggungnya yang
lembut seperti sutera. Kugesek-gesekkan batang kemaluanku ke punggungnya
dengan pelan. Dan Mbak Tatik berkali-kali melenguh,
“Uughh, enachh Dik, enaak, terus Dik.” Dia membimbing tanganku untuk
mengusap dua gunung kembar yang kencang dan kenyal. Kuusap payudaranya
dengan lembut, kucium tengkuknya dengan lembut, dan kugesekkan batang
kemaluanku ke pungungnya dengan lembut. Aku sangat tahu, kalau melayani
tipe wanita seperti Mbak Tatik ini harus dengan lembut dan dengan
menggunakan perasaan.
Kucium
tengkuknya dengan lembut, Mbak Tatik sekali lagi menengadahkan
kepalanya ke atas, matanya sambil terpejam, dan bibirnya yang tipis
terbuka sedikit, dan mulutnya hanya bergumam, “Emm.” Aku tahu itu
artinya dia sangat menikmati. Tanganku, kuusapkan dengan lembut di
sekeliling payudaranya, dan kulingkari masing-masing payudaranya dengan
kedua tanganku, sengaja aku tidak sentuhkan tanganku ke pentilnya, untuk
memberikan sensasi yang sangat halus dan perlahan. Beberapa kali
tanganku mengitari sekeliling payudaranya, kemudian perlahan-lahan
tanganku kutarik untuk mengusap pipinya. Kutengadahkan wajahnya, dan
kucium keningnya dengat lembut sekali. Aku bisa rasakan kelembutan
nafasnya di wajahku, bibirnya yang tipis masih mengeluarkan gumaman yang
lembut, “Dik Anton.. emm.. eemm..”
Dengan
perlahan aku membalikkan badan Mbak Tatik ke arahku, dengan cara
memutar kursinya, dan saya membimbing dia untuk berdiri dengan perlahan,
kini aku dan Mbak Tatik sudah berhadapan, sama-sama berdiri, dadaku
menempel ke dadanya, dan aku bisa merasakan kekenyalan susunya, dan saya
membayangkan betapa indahnya bukit kembarnya.
Tanganku
kudekapkan ke pinggangnya, dan telapak tanganku kuusapkan ke pantatnya
yang juga sangat indah dan kencang. Tangan Mbak Tatik memegang pundakku
dengan lembut, kepalanya sudah menengadah ke atas, dan tatapan matanya..
waduh, jernih dan indah menatap mataku tanpa berkedip. Kusentuh
bibirnya dengan lembut, kuusapkan perlahan bibirku ke bibirnya. Mbak
Tatik memberikan reaksi dengan mengencangkan dekapannya ke pundakku dan
dadanya ditempelkan lekat ke dadaku, tanganku kudekapkan semakin erat ke
pantatnya dan agak kutarik ke atas pantatnya, sehingga kakinya agak
diangkat ke atas.
Waduh
ciumannya sangat lembut, perlahan-lahan kuusapkan lidahku ke lidahnya,
dia memberikan reaksi yang sama, menyapukan lidahnya ke seluruh mulutku.
Tanganku mulai mengusap-usap punggungnya naik turun dengan lembut. Aku
menikmati sekali kehalusan kulit punggungnya.
Setelah
aku puas menciumi bibir, wajah dan pipinya, ciumanku perlahan-lahan
kuarahkan ke lehernya. Mbak Tatik menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri
dan ke kanan, matanya masih terpejam menikmati, nafasnya agak memburu,
dan mulutnya masih bergumam, “Mmm.. uhh..” Ciumanku mulai bergeser ke
bawah, ke belahan dadanya. Kancing blousenya yang di depan dengan mudah
kubuka satu persatu, sehingga tersingkap sudah BH hitam yang menyangga
dua buah payudaranya yang padat, bulat, kenyal, bersih dan ranum.
Kuciumi lehernya dengan sangat lembut, ke pundaknya, bergesar turun ke
sebelah atas payudara yang tidak ditutup BH. Mbak Tatik semakin
menengadahkan kepalanya, punggungnya juga semakin melengkung ke
belakang, kedua tangannya memegang kepala saya dan sedikit meremas
rambut saya, tandanya semakin menikmati gaya permainanku. Kedua tanganku
memegangi di bawah kedua ketiaknya, biar Mbak Tatik tidak terjerembab
ke belakang, tapi bibirku masih mengusap daerah leher dan di atas
payudara. Aku sengaja memperlama untuk menyentuh payudaranya, apalagi
pentilnya. “Diik.. Aannton.. uugghh.. sstt”, sambil mulutnya berdesis
kenikmatan.
Blousenya
yang masih menempel di pundaknya perlahan-lahan kulepaskan, sehingga
pemandangan kemulusan dan kemolekan tubuh Mbak Tatik terpampang jelas di
hadapanku, dan terkena sinar lampu down light kekuningan yang berada di
langit-langit tepat di atas kami berdua, menambah romantisnya suasana
malam itu yang tidak akan pernah kulupakan. Sekali lagi tanganku
kugunakan meremas sebelah pinggir dari payudaranya, dan tampak bahwa
payudaranya sudah mulai mengeras.
Tanganku
mengusap punggungnya dengan perlahan sambil membuka tali BH yang ada di
punggungnya. “Tik” sekali jentik langsung terbuka pengait BH-nya.
dengan pelan kuturunkan tali BH yang ada di pundaknya, akhirnya BH-nya
kulepas. Woow, terlihat pemandangan indah sekali, dua gunung kembar yang
kuning dan bersih dengan puncaknya yang kecil yang sudah berdiri tegak.
Aku sudah sangat terangsang tapi aku tidak boleh gegabah. Kuusap
payudaranya dari sebeleh bawah dengan tangan kananku, tangan kiriku
masih mendekap punggungnya untuk menjaga agar Mbak Tatik tidak terjatuh,
dan kucium payudaranya, berkeliling mengitari pentilnya, dan tangan
kananku masih mengusap-usap sebelah luar payudara, tapi dengan gaya agak
memeras. Kedua tangan Mbak Tatik memegang erat pundakku tanda sudah
semakin gemes, untuk dicium pentilnya.
Karena
aku sudah merasa waktunya tepat, maka dengan lembut kukulum pentilnya.
Dan reaksinya, “Aaaughh, uuhh.. ss.. uuhh”, Mbak Tatik melenguh-lenguh
dan mendesis-desis keenakan, seakan-akan yang dinantikannya telah tiba.
Meskipun kondisinya sangat terangsang, tapi lenguhan itu tetap lembut
dan terdengar lirih. Kukulum pentilnya, kugesek-gesek pentilnya dengan
lidahku, dan kugigit lembut pentilnya, tanganku tetap meremas-remas
lembut payudaranya.
Setelah
aku puas mempermainkan pentilnya kiri dan kanan bergantian, kulepaskan
bibirku dari susunya, dan kugeKeSkan mulutku ke bawah ke seputar
perutnya yang datar dan menGeluarkan aroma parfum yang lembut dan
semerbak. Ketika mulutku terlepas dari susunya, Mbak watik kelihatan
menghela napas lega dan baru bisa bernafas dengan tenang. Aku menciumi
perutnya dengan agak sedikit jongkok. Kucium pusarnya, dan kujilati
pusarnya dengan lidahku. Mbak Tatik menggelinjang kegelian. Karena
terlalu lama berdiri atau karena sudah sangat terangsang, Mbak Tatik
sudah tidak kuat berdiri dan dia bergeser ke belakang duduk di meja
kerjanya. Aku berdiri dengan kedua lututku dan aku tetap jilati pusarnya
dan perutnya. Mbak Tatik kegelian, dan mengusap-usap rambut kepalaku
dengan tidak beraturan, terkadang meremas, menjambak dan mengusap
rambutku. Sehingga rambutKu sangat kacau.
Puas
dengan permainan perut, Mbak Tatik kurebahkan di meja kerjanya.
Untungya meja kerja Mbak Tatik cukup besar. Kupelorotkan rok bawahannya,
sekaligus dengan CD-nya. Sekarang tampak di hadapanku seorang putri
yang kuning, bersih, dengan kaki dan betis yang aduhai indah, terbujur
pasrah di hadapanku.
Kunikmati
tubuh Mbak Tatik sebentar, karena selama ini aku hanya bisa
membayangkan keindahan tubuhnya, tanpa berharap untuk dapat
memandangnya. Tapi ternyata malam ini apa yang kudapatkan jauh dari yang
kubayangkan. Seorang wanita dengan tubuh montok dan kuning mulus,
dengan kaki dan betis ramping. Dua buah dada yang tidak terlalu besar,
tapi bulat, padat dan kencang, sehingga cocok dengan kesan payudara
seorang putri. Bentuk lengan dan bahu yang padat bulat dan berisi.
Mbak
Tatik telentang di atas meja di hadapanku, aku masih berdiri. Aku
mencium pipinya sekali lagi dengan lembut, kuusap payudaranya dengan
lembut. Kedua tangan Mbak Tatik merangkul leherku dengan erat. Kedua
kakinya bergerak-gerak dengan halus pertanda sangat terangsang.
Perlahan-lahan tanganku kugerakan dari susunya turun ke perutnya. Kuusap
sebentar perutnya dan bergerak turun ke bawah mengusap pahanya. Paha
yang selama ini hanya bisa kupandang. Aku usap pahanya naik turun dengan
tetap mulut kami masih saling memagut. Erangan-erangan kecil keluar
dari mulut Mbak Tatik, “Ugh.. ugh.. emm.. emm..” Tanganku bergerak dari
sekitar pahanya terus mengusap sekitar bibir kemaluannya. Dengan
perlahan kedua kaki Mbak Tatik mengembang, memberi kesempatan tanganku
untuk mengelus kemaluannya. Tetapi kemaluannya belum kuelus, hanya kedua
selangkangan saja yang aku belai dengan kedua jari telunjuk dan jari
manis bersama-sama. Kuelus selangkangannya naik turun, dan Mbak Tatik
menambah kecepatan gerakan kakinya. Dengan pelan Mbak Tatik mengangkat
pantatnya, sehingga kemaluannya juga ikut naik. Aku tahu ini pertanda
agar aku dapat segera mengelus kemaluannya. Kuusap pelan dan dengan
jarak sentuhan yang kubuat serenggang mungkin antara bibir kemaluannya
dan telapak tanganku, membuat gelinjang Mbak Tatik menaikkan kemaluannya
untuk menyentuh tanganku semakin tinggi.
Kubelai
rambut kemaluannya yang lembut, tipis dan tertata rapi. Setelah puas
memainkan sekitar kemaluannya, dan liang kemaluan Mbak Tatik sudah
semakin terbuka dan semakin basah. Kusentuh klitorisnya dengan sedikit
ujung dari jari tengahku dengan lembut dan.. “Uuhhgh”, lenguhan Mbak
Tatik kenikmatan. Gerakan kakinya sudah semakin tidak teratur. Tiba-tiba
tanganku dijepit dengan kedua pahanya. “Diik Aaanntoon.. aakkuu..
nggakk.. taahh..” kemudian tangannya menarik punggungku sebagai bertanda
agar aku segera menaiki tubuhnya.
Kutarik
kedua kakinya ke arah pinggir meja, sehingga kedua kakinya terjuntai,
kemudian Mbak Tatik membuka kedua selangkangannya dengan tidak sabar.
Aku sempat memandangi kemaluannya, dan seakan liang kemaluannya merah
seperti bibir gadis yang memakai lipstik yang sedang merengek.
Kugesekkan
batang kemaluanku pelan-pelan ke bibir kemaluannya, dan Mbak Tatik
mengerang lagi, “Uugghh.. uughhg..” Kumasukkan dengan pelan batang
kemaluanku ke liang kemaluannya. Belum sampai habis masuk semua, kutarik
kembali dan kumasukkan kembali. Dengan gesekan-gesekan yang pelan
tersebut membuat erangan Mbak Tatik semakin tidak beraturan.
Untuk
melayani tipe seperti Mbak Tatik ini, kugunakan gaya gesekan 5:1,
artinya lima kali keluar masuk setengah batang kemaluan, baru sekali
masuk seluruh batang kemaluan. Dan pada saat masuk yang seluruh batang
kemaluan, erangan Mbak Tatik semakin hebat. Dengan gaya lembut dan 5:1
ini kami bisa saling menikmati.
“Uuugghh.. acchh.. Diikk.. Anntonn.. ucchh.. sstt.. uhh..”
Erangan
erangan yang tidak beraturan tetapi artinya hanya satu yaitu Enak.
Sambil kugenjot pelan batang kemaluanku, kedua tanganku dengan leluasa
meremas kedua susunya, yang bergerak-gerak naik turun tergantung
sodokanku. Kadang-kadang tanganku mengusap wajah dan pipinya,
kadang-kadang mengusap perutnya.
Setelah
cukup lama aku melakukan genjotan 5:1, tiba tiba kedua paha Mbak Tatik
diangkat dan dililitkan ke pinggangku. Kedua tangannya mendekap diriku,
mulutnya sedikit menganga dan mendesis.. “Diikk Ann.. toon.. saa.. yaa
ssaampa.. aaii.. uuhhff.” Kupegangi pinggangnya untuk menekan liang
kemaluannya ke batang kemaluanku. Setelah Mbak Tatik selesai mengejang
dan nafasnya tersengal-sengal, aku mulai lagi dengan genjotan, tetap
dengan gaya 5:1. Mbak Tatik melenguh,
“Uuff.. uff.. uuff.. Dik Anton beluumm yaa. Ayo donk.. uff.. uff jangan ditahaan.. uuff.. ugh..”
“Sebentar Mbak!” kataku.
“Dik.. uhff, ceepetan dikit.. Dik.. ughf.. uhfgg.. aa.. ku mau uhgf uff uff.. keeluar.. laa.. ggii..”
“Sebentar Mbak, aku juga sudah.. mma.. uu.. saammpai..”
Tiba-tiba
ada aliran listrik menjalar dari ubun-ubun turun ke arah kemaluanku dan
semakin-lama semakin mengencang. Batang kemaluanku seakan balon yang
ditiup dan mau pecah.
“Aachghh..
accghh.. Mmmbakk.. Tatiik.. aku mmau keluarr..” Mbak Tatik memegang
erat tubuhku dan “Crret.. crrett..” keluar semua cairan yang ada di
seluruh tubuhku dan “Aaachh..”
Kami berdua terkulai lemas dengan badan penuh keringat dan nafas terengah-engah.
“Dik
Anton, makasih ya Dik, kamu telah memberi saluran yang selama ini
tersumbat.” Aku sangat puas malam itu, karena aku tidak dapat
membayangkan, ternyata aku bisa menikmati tubuh seorang wanita
terhormat, yang selama ini orang luar sangat menghormatinya, tapi
ternyata malam ini dia begitu pasrah menyerahkan tubuhnya kepadaku.
Jam
telah menujukkan pukul 22.00 ketika permainan kami usai, dan kami
berdua segera masuk ke toilet untuk membersihkan dan merapikan badan
kami masing-masing. Dan sebelum pulang aku mendapat tugas baru dari Mbak
Tatik, yaitu membantu membersihkan cairan yang membasahi meja kerja
Mbak Tatik, dan membantu merapikannya. Sambil merapikan mejanya aku
berbisik ke telinga Mbak Tatik, “Mbak meja ini dirapikan ya.. karena
besok malam mau dipakai lagi”, Mbak Tatik hanya tersenyum dan mencubit
mesra lenganku.
Hal
tersebut kuulangi setiap ada kesempatan, baik di kantor ataupun di
hotel, tapi rahasia tersebut tidak terbongkar dan kami saling menjaga
rahasia. Dan kalau pagi hari, Mbak Tatik kembali memerankan perannya
sebagai atasan yang berwibawa, profesional, tetapi kalau malam,
melenguh-lenguh dan menggelinjang-gelinjang di bawah selangkanganku.
0 comments:
Post a Comment